You are on page 1of 7

Jurnal Hubungan Luar Negeri

Vol. 7 No. 2, Jul-Des 2022


80
Diplomasi Humanisme: Etika dan Tanggung Jawab Belanda
kepada Indonesia
Diva Rahma Oktaviani
S1 Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
Universitas Padjadjaran
Yusuf Iskandar
S1 Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
Universitas Padjadjaran
Abstract
Dutch violence against the Indonesian people during the colonial period is a dark history of
the
Indonesian nation. This is a trauma for the Indonesian people themselves. Extreme Dutch
violence between 1945 and 1949 killed 100,000 Indonesian militants. This is a form of
aggression
against a sovereign state, due to the fact that Indonesia had become independent on August
17,
1945. However, as time went on, there was increasing evidence of this violence. Even though
the
Dutch government often apologizes, it is undeniable that this is not something fair. Then what
is
the attitude that needs to be taken by the Indonesian government regarding cases of violence
committed by the Dutch against the Indonesian nation in the past. This article aims to explain
how
the Indonesian government can act to follow up on Dutch violence on the basis of ethics and
responsibility. Through the qualitative analysis conducted, the Indonesian government's
attitude
towards this case has the potential to provide justice, both for the Indonesian government and
the
affected communities. Based on Humanism, in this case the Indonesian government needs to
strive for the best, both material and immaterial restitution. It cannot be denied that this event
will
be arbitrary if it is not given a deterrent effect.
Keyword: Extreme Violence, Netherlands, Indonesian, and Responsibility
Latar Belakang

Datangnya Belanda ke Indonesia adalah untuk berdagang.

Jurnal Hubungan Luar Negeri

Serangan itu dimaksudkan untuk menghapus peta ketatanegaraan Republik Indonesia.

19 Januari 1948 antara pemerintah Republik

Dalam peristiwa yang terjadi antara tahun 1945 hingga 1949, lebih dari 100.000 korban jiwa
di pihak Indonesia yang tewas oleh 220.000 tentara Belanda dan sekutu. Hal tersebut
dikarenakan tindakan kekerasan ekstrem yang dilakukan Belanda dan sekutu dalam merebut
wilayah Indonesia ke tangan mereka.

Belanda dan Indonesia yang menghasilkan

Hemat penulis, sebagai bangsa yang pernah menentang keras kolonialisme pada zaman
tersebut, hal ini menjadi suatu pertanggungjawaban sendiri secara internal Indonesia dan
pembuktian kepada Dunia. Dengan tidak menerima permintaan maaf Belanda secara resmi
tersebut Indonesia masih membawakan kesan, agar permasalahan ini dibawa ke ranah yang
lebih serius.

Etika Kemanusiaan

Sebagai makhluk sosial yang setiap harinya berinteraksi, kita perlu memperhatikan sikap kita
baik secara lisan maupun perbuatan, menjaga kedua hal tersebut memberikan dampak baik
pada kehidupan, cara untuk menjaga nilai-nilai tersebut dapat dipahami melalui Etika. Etika
yang dimiliki seorang manusia perlu untuk dimaksimalkan dengan sebaik-baiknya. Artinya
dengan etika yang dianggap positif maka manusia akan bernilai baik. Dengan perilaku dan
lisan yang baik orang tersebut akan dicap baik, begitu pula sebaliknya.

Tindakan ini merupakan hal yang sederhana, tetapi memiliki dampak yang


besar. Sedangkan, etika berarti «ilmu yang mempelajari baik dan buruk». Apakah seorang
manusia ingin memaknai hidupnya sebagai orang yang memiliki etika tertinggi ataupun etika
terendah itu merupakan hak masing-masing manusia, sebab ialah yang bertanggung jawab
dan menerima konsekuensinya secara langsung. Kita sering kali bersinggungan dengan
manusia lain untuk berinteraksi, nilai-nilai yang sering ditampakkan oleh kita adalah nilai
yang baik.

Ada juga nilai buruk yang diberikan kepada mereka, tetapi sikap ini sering kali dihadapi
dengan penolakan dari lawan interaksinya.
Apabila kita memahami lebih dalam terkait apa yang terjadi pada masa penjajahan
pemerintahan Belanda di

Tentu saja hal tersebut merupakan tindakan yang tidak sesuai etika humanisme yang
ada. Rakyat Indonesia dipaksa untuk kerja rodi, tanam paksa, perbudakan, bahkan hingga
dibunuh tanpa alasan yang jelas.

Menurutnya, seharusnya pemerintah

Belanda melakukan langkah konkret dalam upaya restitusi atas kejadian masa lalu yang
terjadi di Indonesia akibat tentara Belanda tersebut. Menteri Belanda tersebut dan
mempertimbangkan tuntutan keluarga korban karena kekerasan ekstrem, sistematis dan
menyebar yang dilakukan oleh Belanda pada saat itu pada faktanya sangat berdampak pada
keluarga dan keturunan korban.

Belanda lainnya melakukan kejahatan perang saat melakukan operasinya di

selebihnya angkatan bersenjata milik Belanda tersebut melakukan hal yang sesuai etika
kemiliteran. Posisi yang diambil oleh pemerintah Belanda pada tahun 1969 tidak pernah
direvisi. Namun, dalam beberapa tahun terakhir semakin banyak bukti yang menyatakan
tentara Belanda melakukan kekerasan ekstrem di Indonesia. Sebagaimana yang ada di dalam
disertasi yang berjudul «Independence, Decolonization, Violence and War in
Indonesia, 1945-1950» yang akhirnya dibukukan dalam buku «de brandende kampongs van
generaal spoor» milik doktor sejarawan Remy Limpach.

Belanda pada tahun 1945 hingga 1949 di

Besar Jonkheer Tjeerd de Swan dan restitusi sebesar Rp220 juta yang dibayarkan pemerintah
Belanda kepada keluarga korban Pembantaian Rawagede.

Mengingat apa yang terjadi pada

Sementara itu, tidak semua pemerintah terbukti bersedia mengakui tindakan masa lalu rekan
senegaranya.

Belanda, sebagaimana Jerman pada tahun

1952, maka pemerintahan Belanda pun harus melakukan hal yang sama. Terlepas dari
itu, adapun menurut sejarawan, Bonnie Triyana, dalam mengakui kesalahannya, Belanda
harus menanggung konsekuensi hukum yang ada. Sebab pada saat Belanda melakukan
penjajahan pada tahun 1945 hingga 1949, Indonesia sudah berstatus negara yang
berdaulat. Hal tersebut berarti Belanda telah melanggar kedaulatan Indonesia.

Kekerasan yang dilakukan Belanda pada tahun 1945 hingga 1949 tentunya melanggar hukum
internasional karena Belanda melakukan invasi ke wilayah kedaulatan Indonesia. Hal tersebut
melanggar Piagam PBB Pasal 2 ayat dan Pasal 2 ayat . Maka, dalam kasus ini sudah
seharusnya Belanda melakukan restitusi atau pemberian ganti rugi atas perbuatannya
terhadap Indonesia. Psikolog fokus pada trauma kolektif, dan represi dan kembalinya
ingatan, serta nilai katarsis dan penyembuhan dari permintaan maaf.

Para filsuf pun sibuk memikirkan masalah etika, moralitas, dan tanggung jawab yang
sulit, sementara para teolog membangkitkan aspek penebusan dan pendamaian dari
pengakuan, penyesalan, penebusan dosa, dan absolusi. Pada kasus perubahan sejarah yang
sebenar-benarnya hal ini ditujukan untuk mengembalikan citra dan kejadian yang sebenarnya
atas pemerintahan Belanda terhadap bangsa Indonesia di masa lampau.
Kesimpulan
Kolonialisme yang menimpa bangsa
Indonesia oleh Belanda merupakan hal yang

sulit dihapuskan bahkan dalam sejarah


dunia sekalipun. Penelitian terkait kekerasan
tersebut, sudah banyak diteliti oleh para
ilmuwan. Meskipun telah banyak pernyataan
dari pemerintah Belanda terkait permohonan
maaf atas tindakan tersebut. Namun, bangsa
Indonesia sampai hari ini belum
mengeluarkan pernyataan memaafkan
Belanda secara resmi. Kerugian yang
dialami oleh bangsa Indonesia baik secara
materiil maupun imateriel menjadi
pertimbangan penting. Kerugian atas
sejarah yang berbeda pun menjadi fokus
pada kerugian pemerintah Indonesia. Perlu
ditinjau kembali, apabila dulu bangsa
Indonesia dieksploitasi dalam berbagai hal,
bagaimana bisa permohonan maaf saja bisa
menyelesaikan eksploitasi manusia selama
itu. Perubahan sejarah yang dilakukan pun
menjadi suatu hal yang perlu ditinjau
kembali, apa maksud dari semua itu.
Restitusi tidaklah hanya berupa materiil,
namun perlu hal-hal yang bersifat imateriel.
Kedua hal tersebut merupakan sikap yang
dapat diambil oleh pemerintah Indonesia
dalam melihat permasalahan yang dilakukan
oleh pemerintah Belanda di masa lalu.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul, M. (2022). Etika Dan Moral Dalam
Dunia Ilmiah Dan Kemanusiaan. Jurnal
AL-SAID, 80-99.

91

Agung, I. A. A.G. 1983. Renville. Jakarta :


Pustaka Sinar Harapan..
Amrullah, Z. (2011). Belanda Minta Maaf
atas Pembantaian Rawagede. DW.

https://www.dw.com/id/belanda-
akhirnya-minta-maaf-atas-
pembantaian-rawagede/a-15589501

Anton. (2017). Etika Kemanusiaan. Nuasa,


191-197.
DW. (2022, 02 17). DW. Retrieved from DW:

https://www.dw.com/en/netherlands-
apologizes-to-indonesia-over-war-
crimes/a-60817847
Dutch apologize for massacre. (2013). The
Jakarta Post.
Gouda, F. (2007) Dutch culture overseas :
Praktik kolonial di Hindia Belanda,
1900-1945. Jakarta: Serambi.
Heffner, M. (1918) ‘Does Colonization Pay ?’,
The Journal of Race Development,
8(3), pp. 354–365. Available at:
https://www.jstor.org/stable/29738246.
Heijboer, P. 1998. Agresi Militer Belanda,
Memperebutkan Pending Zamrud
Sepanjangn Khatulistiwa 1945-1949.
Jakarta : PT Grasindo.

Limpach, R. (2019) Kekerasan ekstrem


Belanda di Indonesia : perang
kemerdekaan Indonesia 1945-1949.
Jakarta: Yayasan Pustaka Obor
Indonesia.
NIOD, KITLV and NIMH (2022) Beyond The
Pale. aup.nl. doi:
10.5117/9789463726481.
NIOD, KITLV and NIMH (2022)
Independence, decolonization,
violence and war in Indonesia, 1945-
1950. Available at:
https://www.niod.nl/en/projects/indepe

ndence-decolonization-violence-and-
war-indonesia-1945-1950.

Sationo, T. I. (2019) ‘Humanitarian


Intervention Menurut Hukum
Internasional Dan Implikasinya Dalam
Konflik Bersenjata’, Widya Pranata
Hukum : Jurnal Kajian dan Penelitian
Hukum, 1(1), pp. 65–88. doi:
10.37631/widyapranata.v1i1.255.
Thomas, M. and Thompson, A. S. (2017) ‘the
Oxford Handbook of the Ends of
Empire’, The Oxford Handbook of the
Ends of Empire, pp. 743–764. doi:
10.1093/oxfordhb/9780198713197.00
1.0001.

You might also like