You are on page 1of 12
BAGIAN ILMU PENYAKIT MATA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN RS MATA CICENDO BANDUNG Laporan Kasus : Penatalaksanaan Luksasi Lensa + Proptosis akibat Trauma Tumpul Penyaji : Shanti $ Agustina Pembimbing _: Prof. DR. H. Gantira N, dr. SpM (K) Telah diperiksa dan disetujui oleh Pembimbing Unit Katarak dan Bedah Refraksi Prof. DR. H. Gantira N, (Agustus 2006 cc Abstract Introduction: Blunt trauma can lead to lens subluxation or dislocation. A lens is subluxated when zonular fibers were broken and it is no longer held securely in place, but remains in the papillary aperture. It is dislocated when all the zonules are broken and it is completely displaced from the pupil aperture. Trauma is the leading cause of lens dislocations. Case Report: A 70 years old man with blur vision on his left eye, consulted to Cicendo Eye Hospital with a history of blunt trauma. On examination we found: hand movement visual acuity, high IOP, proptosis, limitation in ocular motility and dislocated lens inferiorly. The patient was diagnosed as lens dislocation and suspicious retro-bulbar hemorrhage in his left eye. The patient was planed to performed intra-capsular cataract extraction and IOL implantation in his left eye. Conclusion: The patient in this case report, has high possibility to have poor visual prognosis what ever the intervention performs to his left eye. Therefore, management of dislocated lens caused by blunt trauma needs careful examination and several considerations before more invasive intervention performed. L Pendabuluan Pada mata emetrop, kekuatan lensa merupakan sepertiga dari kekuatan refraksi untuk memfokuskan bayangan tepat di retina. Untuk memenubi hal tersebut, lensa harus jemnih dan berada pada tempatnya. Walaupun trauma lensa cukup sering terjadi pada trauma mata berat, tapi kepustakaan yang membahas masalah ini tidak terlalu banyak. Penatalaksanaan trauma lensa mekanik sering berhubungan dengan hasil akhir yang Kurang bermakna sementara tingkat kesulitannya cukup tinggi. ' Dislokasi lensa adalah perubahan letak lensa schingga keseluruhan lensa berada diluar apertura pupil. Penyebab tersering dislokasi tensa adalah trauma, pernah dilaporkan antara 22% - 25% dari seluruh kasus dislokasi lensa.’ Dalam satu kepustakaan, dilaporkan dislokasi lensa terjadi pada 13% dari seluruh kasus trauma Jensa.' Pengangkatan lensa akibat trauma sering berhubungan dengan penyulit-penyulit sebagai berikut: buruknya pandangan (mis, Luka korea, hifema, fibrin), Iuka pada struktur yang berdekatan, kelemahan zonula, kerusakan kapsul lensa, potensi prolaps vitreus dan kurangnya pengalaman operator dalam menggunakan alat vitrektomi. ' Dalam taporan kasus ini dibahas mengenai seorang pasien yang mengalami dislokasi lensa akibat trauma tumpul dan penatalaksanaannya, Il Laporan Kasus Seorang laki-laki, 70 tahun, datang ke RSM Cicendo pada tanggal 1 Maret 2006, dengan riwayat trauma tumpul. Sekitar 16 hari sebelum datang ke RSM Cicendo, mata Kiri penderita terkena benturan keras benda tumpul (buah kelapa). Segera setelah itu, penderita tidak sadar, saat bangun, penderita merasa nyeri pada mata kiti disertai penglihatan kabur. Penderita berobat ke RSD Sukabumi, kemudian dirawat selama 4 hari, tapi tidak ada perbaikan, karena keadaan tersebut, penderita berobat ke RSM. Cicendo. Penderita tidak mempunyai riwayat penyakit mata sebelumnya. Tridodialisis Vitreus f fa = ba Gambar 2.1. Gambaran skematis dan_ mata nderi Pemeriksaan tanggal 1 Maret 2006, didapatkan tajam penglihatan mata kanan 5/15 dan mata kiri 1/300, tekanan bola mata kanan 17,3 mmHg dan mata kiri 37,2 mmlg. Gerak bola mata kanan dalam batas normal, sedangkan gerak mata kiri terbatas ke segala arah. Pada pemeriksaan lampu celah mata kanan didapatkan segmen anterior tampak tenang, dan dalam batas normal. Pemeriksaan fundus mata kanan terlihat masih dalam batas normal. Mata kiri terlihat eksotropia dan proptosis, pemeriksaan lampu celah mata kiri tampak konjungtiva bulbi khemosis, kornea jemih, bilik mata depan sedang dan tampak vitreus, pupil terlihat midilatasi, pada iris ditemukan iridodenesis dan iridodialisis, pada jam 11, sedangkan lensa terlihat luksasi ke inferior (gambar 2.1). Pemeriksaan fundus pada mata kiri dalam batas normal; Pemeriksaan auskultasi pada mata kiri, tidak didapatkan adanya bruit dan pemeriksaan rima orbita tidak ditemukan tanda-tanda patah tulang. Pemeriksan USG mata kiri penderita, didapatkan kesan: subluksasi lensa, tidak tampak kekeruhan anterior, Retina, Khoroid, Sklera masih dalam batas normal, tidak tampak perdarahan retrobulbar (edema?) Penderita kemudian didiagnosis sebagai Luksasi lensa mata kiri, serta diduga perdarahan retrobulbar mata kiri. Oleh bagian KBR, penderita disarankan dirawat untuk tindakan Ekstraksi Katarak Intra-Kapsular mata kiri + pemasangan Lensa Intra Okular, I, Pembahasan 3.1. ‘Trauma Tumpul Das Peer bits ona & sic ge S wr primer Rupr khoroid Perdraan vtews Abas retina é Rebeka ting Gambar 3.1. Beberapa kerusakan pada mata akibat trauma tumpul (sumber: Thomas M. Aaberg & Paul Stenberg Jr, Blunt and penetrating ocular injuries, dalam: Carl D Regillo ed., Vitreo retinal disease, the essential, Thienve, 1999, New York, hal: 515) Secara garis besar, trauma mata dapat dibagi dua, trauma terbuka dan tertutup, saat memeriksa pasien dengan trauma, sangat penting untuk menentukan termasuk trauma jenis mana karena berhubungan dengan penanganan selanjutnya kondisi tersebut. Di daerah perkotaan, 60% dari semua trauma mata, disebabkan oleh trauma tumpul. Akibat dari trauma tumpul, walaupun tidak ada penetrasi ke dalam mata, tapi dapat menyebabkan beberapa hal, termasuk abrasi kornea, hifema, iridodialisis, siklodialisis, dislokasi atau ruptur kapsul lensa, perdarahan vitreus, kerusakan retina, dll (gambar 3.1). Kelainan orbita yang mungkin terjadi, antara lain, perdarahan retrobulbar, fistula arteriovena dan fraktur dinding orbita. Kerusakan jaringan terjadi baik akibat kompresi Jangsung maupun tidak langsung oleh benturan. ?*'* Pemeriksaan yang berorientasi pada masalah harus dilakukan pada pasien dengan riwayat trauma. Anamnesis riwayat trauma harus dilakukan dengan teliti, bagaimana keadaan penglihatan pasien sebelumnya, riwayat penyakit, riwayat operasi sebelumnya dll. Pemeriksaan tajam penglihatan, pemeriksaan pupil, gerak bola mata, dan Konfrontasi diperiksa dengan teliti. Pasien dengan riwayat trauma tumpul, pemeriksaan cover fest harus dilakukan, demikian juga palpasi kelopak mata dan tepi orbita. Pemeriksaan lampu celah, pewamaan floresin, tonometer bila tidak ada luka terbuka, pemeriksaan fundus dan pemeriksaan penunjang, seperti pemeriksaan pencitraan dilakukan untuk menunjang, diagnosis. * te Pasien mengalami trauma akibat benturan benda tumpul (buah kelapa) pada mata kirinya, dari pemeriksaan pada mata tersebut, tidak ditemukan adanya Iuka terbuka, dengan demikian trauma pada pasien ini termasuk trauma tertutup. Akibat trauma tersebut pada bola mata kiri pasien, ditemukan adanya luksasi lensa ke inferior dan iridodialisis. Kedua keadaan tersebut terjadi karena benturan keras langsung mengenai bola mata (coup), yang mengakibatkan dorongan mendadak segmen anterior ke posterior dan perluasan ekuator bola mata, sehingga terjadi robekan pangkal iris (iridodialisis) dan ruptur zonula yang menyebabkan luksasi lensa, Struktur bola mata lainnya dalam keadaan normal, termasuk segmen posterior, tidak ditemukan adanya ablasio retina atau ruptur khoroid. ‘Tajam penglihatan yang buruk pada pasien ini (1/300), dapat disebabkan oleh luksasi lensa atau sebab lain di retrobulbar yang menyebabkan tekanan pada nervus optikus. Hal ini dimungkinkan karena media refraksi pasien cukup jemnih, sehingga perlu dicari sebab lain yang menyebabkan tajam penglihatan pasien buruk. Pada pasien ditemukan proptosis dan eksotropia, diduga ada penambahan volume orbita yang. mungkin disebabkan oleh perdarahan atau edema di daerah retrobulbar, hal ini baru dapat dipastikan dengan pemeriksaan pencitraan. Pemeriksaan palpasi tepi orbita dalam keadaan normal, kemungkinan pada pasien ini tidak terdapat patah tulang orbita di anterior, tapi sebaiknya dilakukan pemeriksaan lebih lanjut dengan radiologi atau C7- Scan untuk memastikannya. Pemeriksaan auskultasi orbita, tidak ditemukan bruit, tidak adanya bruit dapat menyingkirkan kemungkinan fistula arteri-vena pada pasien ini. lll 3.2. Dislokasi Lensa Ektopia lensa adalah berpindahnya posisi lensa dari tempatnya, disebut subluksasi bila terjadi sebagian dan lensa masih berada di apertura pupil serta disebut dislokasi bila seluruh lensa berpindah dari tempatnya, Penyebab tersering ektopia lensa adalah trauma, penyebab lain misalnya iatrogenik dari operasi, penyakit sistemik misalnya sifilis, dan penyakit herediter misalnya sindroma marfan. ?**° Tensa dengan ikatan zonula yang telah mengalami kerusakan menyeluruh, dapat mengalami dislokasi ke dalam (biasanya pada trauma tumpul): di bilik mata depan, suprakhoroid atau intravitreal; atau ke luar (khusus pada ruptur dinding bola mata). Keluhan utama dislokasi lensa adalah penurunan tajam penglihatan akibat dari afakia dan keadaan lain yang berhubungan, antara lain diplopia, distorsi dan kesulitan penglihatan dekat, iridodenesis dan/atau fakodenesis. Dislokasi lensa ke bilik mata depan dapat menyebabkan edema kornea berat dan peninggian tekanan intraokular (TIO), sehingga perlu diangkat segera. Akibat dislokasi lensa intravitreal antara lain: edema korea, radang, peninggian TIO, perdarahan vitreus, CME (Cystoid Macular Edema), ablasio retina, Bila tidak ditangani, luksasi lensa berhubungan dengan buruknya prognosis tajam penglihatan akibat komplikasi. "67 Pasien mengalami trauma tumpul yang menycbabkan dislokasi lensa, hal ini diketahui dari anamnesis adanya riwayat trauma tumpul dan pada pemeriksaan oftalmologis ditemukan iridodenesis serta luksasi lensa ke inferior, sehingga terlihat cekuator lensa bagian superior (gambar 2.1). Keadaan lain yang ditemukan pada mata kiti pasien adalah peninggian TIO, yang mungkin disebabkan oleh hambatan aliran humor akuos oleh lensa dan vitreus, walaupun demikian peninggian TIO pada pasien ini bisa juga disebabkan oleh sebab lain, hal ini akan dibahas kemudian. Tajam penglihatan mata kiri adalah 1/300, keadaan i tidak sesuai dengan gejala dislokasi lensa dan pemeriksaan oftalmologis segmen anterior dan posterior penderita, sehingga perlu dicari penyebab lain yang mengakibatkan tajam penglihatan penderita yang buruk. Penanganan dislokasi lensa masih menjadi perdebatan, para ahli bedah masih berbeda pendapat mengenai indikasi intervensi bedah dan prosedur yang diambil untuk mengangkat lensa, Tidak adanya komplikasi mata atau gangguan penglihatan, hanya dislokasi lensa saja, baik jemih maupun katarak, mungkin tidak cukup alasan untuk ee merekomendasikan pengangkatan lensa, dengan koreksi afakia, tajam penglihatan bisa 6/6. Komplikasi dari dislokasi lensa dapat disebabkan oleh berbagai mekanisme, antara lain, dislokasi ke posterior, fragmen lensa, prolaps vitreus dan perlekatan vitreus, serta tarikan basis vitreus dan robekan retina, Adanya komplikasi tersebut dan penurunan tajam penglihatan akibat dislokasi lensa, dapat menjadi alasan untuk melakukan tindakan operasi. Indikasi operasi lainnya adalah penilaian kondisi fundus akibat pengaruh lensa, misalnya masalah retina atau mata dengan glaukoma yang membutuhkan penilaian papil nervus optikus secara periodik. #5 7+* ‘Waktu tindakan pengangkatan dislokasi lensa masih menjadi perdebatan, apakah perlu tindakan segera atau ditunda, Pengangkatan lensa dipertimbangkan bila komplikasi dislokasi menyebabkan gangguan penglihatan yang bermakna. Sebagian besar penulis menemukan tingkat komplikasi yang rendah dan hasil yang lebih baik bila intervensi dilakukan pada minggu pertama, rekomendasi ini lebih tepat digunakan pada dislokasi ensa akibat trauma. Pada distokasi lensa akibat trauma, terapi kortikosteroid baik topikal maupun sistemik sebaiknya diberikan sejak beberapa hari pasca trauma, diikuti pengangkatan lensa pada minggu-minggu pertama setelah trauma. "> Bila serat zonula rusak secara bermakna, tanpa adanya vitreus di Jensa bagian antrerior, dapat dilakukan ekstraksi katarak intra kapsular. Teknik ini juga dapat dilakukan bila lensa dislokasi ke bilik mata depan, Obat tetes miotik dapat diberikan untuk menahan tensa di bilik mata depan sebelum pengangkatan tensa. Bila ditemukan vitreus disekeliling lensa, pendekatan dari anterior dapat dilakukan setelah dilakukan vitrektomi anterior. Penanganan terbaik dislokasi lensa intravitreal, adalah pengangkatan Jensa dengan vitrektomi pars plana lengkap. Lensa dapat diambil dengan menggunakan salah satu dari teknik/alat: probe vitrektomi, fakofragmentasi atau melalui limbus dengan bantuan vektis. Tindakan fakofragmentasi baru dilakukan setelah lensa berada di tengah vitreus, PECL (Perflourocarbon Liquid) dapat digunakan untuk mengangkat lensa pada jarak yang aman, jauh dari retina. '2"7-* Pada pasien ini trauma terjadi sckitar 16 hari sebelum masuk rumah sakit, sehingga pemberian steroid untuk dislokasi lensa akibat trauma seperti disebutkan dalam kepustakaan mungkin kurang bermakna, Pemberian steroid diperlukan untuk mengatasi adanya peradangan bila dislokasi lensa disertai robekan kapsul lensa. Pada pasien ini —— a kemungkinan kapsul Jensa masih utuh, karena pada bilik mata depan tidak ditemukan adanya sel-sel radang, sebagai tanda terdapatnya reaksi peradangan terhadap massa lensa. Komplikasi akibat dislokasi lensa yang ditemukan pada pasien ini, adalah prolaps vitreus dan peningkatan TIO, Peningkatan TIO pada pasien ini masih belum dapat dibedakan, apakah disebabkan oleh hambatan aliran humor akuos oleh lensa dan vitreus atau disebabkan oleh tekanan dari retrobulbar, karena pada pasien ini ditemukan adanya proptosis yang mungkin disebabkan oleh perdarahan retrobulbar. Bila peningkatan TIO hanya disebabkan olch dislokasi lensa dan prolaps vitreus, hal ini berpengaruh pada saat tindakan bedah, yaitu ekstraksi lensa dilakukan setelah tindakan vitrektomi anterior. Waktu tindakan pengangkatan dislokasi lensa pada pasien ini masih menjadi perdebatan, apakah perlu tindakan segera atau ditunda. Pengangkatan dislokasi lensa dapat dipertimbangkan bila komplikasi dislokasi menyebabkan gangguan penglihatan yang bermakna. Pada pasien ini tajam penglihatannya sangat buruk (1/300), kemungkinan besar tajam penglihatan pasien tidak semata-mata disebabkan oleh dislokasi lensa dan komplikasinya. Pada segmen anterior pasien ditemukan dislokasi lensa dan prolaps vitreus, sedangkan segmen posterior pasien dalam batas normal. Keadaan yang ditemukan pada pasien diatas tidak sesuai dengan buruknya penglihatan pasien, sehingga dikhawatirkan prognosis tajam penglihatan bila ‘dilakukan tindakan ekstraksi lensa, tidak akan baik. Tindakan ekstraksi lensa dan pemasangan lensa intraokular pada pasien ini sebaiknya dilakukan setelah fuktor penyebab buruknya tajam. penglihatan diatasi. 33. Tajam Penglihatan Buruk akibat Trauma dengan Media Refraksi Jernih. Sebagian pasien dengan trauma periokular mempunyai tajam penglihatan buruk tanpa disertai adanya luka di bola mata, Penurunan tajam penglihatan pada keadaan ini, terjadi karena disfungsi nervus optikus traumatik, yang biasanya terjadi akibat salah satu dari tiga mekanisme: 1. trauma langsung ke nervus optikus dari luka penetrasi 2. gangguan suplai darah ke nervus optikus akibat sindroma kompartemen, seperti pada edema atau perdarahan orbita pasca trauma aa 3. trauma tidak langsung akibat kekuatan hantaman dari depan disalurkan ke nervus ‘optikus di puncak orbita dan kanal optik Dua keadaan yang perlu diperhatikan dalam kondisi diatas, yaitu RAPD (Relative Afferent Pupillary Defect) dan tekanan intraorbita. Bila ditemukan defek aferen pada bola mata yang utuh, kemungkinan besar terdapat neuropati optik traumatik. Tekanan orbita yang tinggi terlihat dari TIO tinggi dengan orbita yang keras, kemungkinan disebabkan oleh perdarahan atau edema orbita. Perdarahan retrobulbar terjadi bila terdapat robekan pembuluh darah orbita dan bocoran darah mengalir ke orbita, Ruang orbita adalah ruang, tertutup, setiap penambahan volume orbit akan meningkatkan tekanan dalam orbita dan mempunyai potensi buruk terhadap struktur mata. °'° Perdarahan-orbita mempunyai gejala yang. bervariasi tergantung dari letak perdarahan dalam hubungan dengan ruang anatomi, yaitu: perdarahan orbita dalam ‘meliputi ruang intra-konal, perdarahan subperiosteal, perdarahan dalam kantung nervus optikus, perdarahan ruang yang berdekatan seperti sinus yang menyebar ke orbita dan perdarahan di kelopak preseptal. Gejala yang ditemukan pada pasien dengan perdarahan retrobulbar, antara lain: proptosis, peningkatan TIO, hambatan gerakan bola mata, pulsasi arteri retina sentral, lipatan khoroid dan tanda2 neuropati optik. Pemeriksaan orbita dengan menggunakan USG lebih sulit karena beberapa alasan. Untuk mencapai kedalaman jaringan orbita harus digunakan frekuensi ultrasound yang lebih rendah, yang mempunyai kapabilitas resolusi kurang. Jaringan orbita sangat reflektif, sehingea gambaran USG yang terlihat sulit untuk dinilai, sehingga pemeriksaan ini tidak dapat dijadikan dasar diagnosis kelainan orbita. Untuk menilai orbita, paling baik menggunakan teknik pencitraan, sebaiknya dengan MR/ karena mempunyai kelebihan dapat menggambarkan struktur jaringan lunak dibandingkan C7-Scan. *°:"' Pada pasien ini, disamping ditemukan luksasi lensa, ditemukan juga proptosis, khemosis konjungtiva, tekanan bola mata tinggi (37,2 mmHg), tajam penglihatan 1/300, sedangkan aksis visual jernih dan hambatan gerak bola mata (gambar 3.1). Gejala-gejala yang ditemukan diatas mirip dengan gejala pada edema atau perdarahan orbita pasca trauma dengan dugaan adanya neuropati optik akibat trauma. Pemeriksaan USG pada pasien ini, pemeriksa masih ragu-ragu apakah terdapat edema, atau kelainan lain, dan pemeriksa menilai tidak tampak adanya perdarahan retrobulbar. Seperti telah dijelaskan dalam kepustakaan, dengan pemeriksaan USG, orbita sulit dinilai karena refleksifitasnya yang tinggi, sehingga pemeriksaan USG tidak dapat dijadikan dasar untuk mendiagnosis kelainan di orbita. Untuk mengetahui penyebab pasti dari gejala-gejala yang ditemukan pada pasien ini sebaiknya dilakukan pemeriksaan pencitraan, khususnya MR/, schingga gambaran jaringan lunak akan lebih terlihat jelas. Gambar 3.1. Proptosis dan khemosis konjungtiva pada pasi Penanganan yang tepat untuk penurunan tajam penglihatan neurogenik masih dalam perdebatan. Pilihan penanganan yang beralasan adalah tindakan konservatif, steroid dosis tinggi dan pembedahan dekompresi orbita. Penanganan perdarahan retrobulber bila penglihatan tidak memerlukan tindakan scgera, dapat diberikan pengobatan untuk menurunkan TIO. Apabila terdapat tanda-tanda neuropati optik, segera berikan obat-obat penurun TIO dan disiapkan untuk kemungkinan tindakan darurat kantotomi lateral dan kantolisis untuk menurunkan tekanan orbita. Bila traumatik neuropati optik ditemukan dalam 8 jam pertama, pemberian steroid intravena mungkin menguntungkan, walaupun tindakan dekompresi tetap diperlukan. Adanya darah di sinus etmoid posterior, pasien lebih dari 40 tahun, riwayat hilang kesadaran berhubungan dengan traumatik neuropati optik, dan tidak ada perbaikan setelah pemberian steroid lebih dari 48 jam, memperlihatkan peningkatan kemungkinan yang bermakna bahwa tajam penglihatan pasien tidak akan pulih, Disarankan tindakan dekompresi dilakukan kurang dari 5 hari sejak trauma untuk mengembalikan penglihatan pasien dengan neuropati optik traumatik tidak langsung. *” Pada pasien ini, bila pasien datang segera setelah kejadian dengan proptosis hebat, dapat dilakukan tindakan dekompresi dengan orbitotomi lateral dan kantolisis untuk menurunkan tekanan intra-orbita, schingga diharapkan dapat menyelamatkan penglihatan _ » Tey pasien. Pilihan lain sebagai tindakan awal adalah pemberian steroid intravena dan pemberian obat-obat penurun TIO. Masalah yang timbul pada pasien ini, adalah pasien datang lebih dari 5 hari (hari ke 16) setelah trauma, schingga penanganan diatas dikhawatirkan tidak memberikan hasil yang diharapkan. Sebaiknya tindakan yang dilakukan pada pasien ini, dikerjakan setelah pemeriksaan pencitraan dengan MRI atau CT-Scan, sehingga dapat diketahui penyebab proptosis dan buruknya tajam penglihatan. Pilihan tindakan yang dilakukan pada pasien ini adalah: pemberian steroid dosis tinggi, pemberian obat penurun ‘TIO, bedah dckompresi orbita, dan ekstraksi katarak intrakapsular. Tindakan pembedahan yang. dapat dilakukan pada pasien ini, sebaiknya tindakan dekompresi orbita lebih dulu, walaupun kemungkinannya kecil, tapi diharapkan akan terjadi penurunan tekanan intra-orbita yang dapat menyelamatkan penglihatan pasien. Tindakan ekstraksi katarak intra-kapsular dapat dilakukan bila ada perbaikan tajam penglihatan akibat tindakan dekompresi_ orbita. Apapun tindakan yang dilakukan pada pasien ini, kemungkinan besar pasien ini ‘mempunyai prognosis tajam penglihatan yang buruk, karena lambatnya pasien datang ke RSM (16 hari setelah trauma). Sebaiknya penanganan apapun yang dilakukan pada pasien ini, dilakukan setelah memberi penjelasan (informed consent) yang baik pada pasien khususnya mengenai prognosis pasca tindakan. é IV. Kesimpulan Tindakan pembedahan pada pasien ini, sebaiknya dilakukan setelah faktor penyebab buruknya tajam penglihatan diketahui. Penanganan selanjutnya yang sebaiknya dilakukan pada pasien ini adalah pemeriksaan MRI atau C7-Scan, schingga dapat diketahui kemungkinan penyebab buruknya tajam penglihatan pasien. Apapun bentuk penanganan pada pasien ini kemungkinan besar mempunyai prognosis tajam penglihatan yang buruk arena lamanya waktu antara penanganan dengan kejadian trauma. Penanganan dislokasi lensa akibat trauma tumpul memerlukan pemeriksaan yang lengkap dan pertimbangan berbagai faktor sebelum menentukan tindakan. Pengambilan keputusan mengenai tindakan ekstraksi lensa atau prosedur tindakan lain, sebaiknya dilakukan setelah menilai seluruh kondisi penyakit pasien, serta tindakan tersebut telah dijelaskan, dimengerti dan disetujui oleh pasien. 10 10, Mu. ll, Daftar Pustaka . Viktoria Mester & Ferenc Kuhn, Lens, dalam: Ferenc Kuhn & Dante J. Pieramici, ed., Ocular trauma, principles & practice, Thieme, New York, 2002, hal: 180-191. , Gholam A Peyman, Joel Aschulman, Intravitreal Surgery, principles & practice, ed 2, Prentice-Hall Ine, Conneticut, 1998, hal 236-246. Section 11 Lens and cataract, Basic clinical course, 2003-2004, ‘American academy of ophtalmology, LEO, 2003, hal: 215 Joseph M. Rappon, Ocular trauma management for the primary care provider, terdapat dalam: http// www.opt pacifu.edu Paul Stemberg, Jr., Trauma: principles and techniques of treatment, dalam: Stephen J Ryan ed., Surgical retina, vol 3, C.V. Mosby co., St Louis, 1989, hal: 469-472. ‘Thomas M. Aaberg & Paul Stemberg Jr, Blunt and penetrating ocular injuries, dalam: Carl D Regillo ed., Vitreo retinal disease, the essential, Thienve, 1999, New York, hal: 511-515. Peter S. Hersh, Bruce M. Zagelbaum, Kenneth R. Kenyon, Bradford J. Shingleton, Chapter 39, Surgical management of anterior segment trauma, dalam: Tasman and Jaeger, Duane’s ophthalmology on CD ROM. JB Lippincott Co, 2003 Morton S. Cox, Tarek S. Hasan, Management of posterior segment trauma, dalam: ‘Tasman and Jaeger, Duane’s ophthalmology on CD ROM. JB Lippincott Co, 2003 , Section 7 orbit, eyelids and lacrimal system, Basic clinical course, 2003-2004, American academy of ophtalmology, LEO, 2003, hal: 107-108 Richard M. Chavis, Gregory B. Krohel dan Kevin L. Perman, Chapter 28, Acute proptosis adults, dalam: Tasman and Jaeger, Duane’s ophthalmology on CD ROM. JB Lippincott Co, 2003 Yale L. Fisher, Fabio Nogueira dan Danielle Salles, Chapter 108, Diagnostic ophthalmic ultrasonography, dalam: Tasman and Jaeger, Duane’s ophthalmology on. CD ROM. JB Lippincott Co, 2003 ul

You might also like