You are on page 1of 9

PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE DI KAWASAN KONSERVASI

DESA MAMBURUNGAN KOTA TARAKAN KALIMANTAN TIMUR

Oleh:
SALMA
NIM. J1C110027

KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL


PROGRAM STUDI S-I BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARBARU
NOVEMBER 2014
BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Menurut Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial


berdasarkan data tahun 1999, luas hutan mangrove di Indonesia diperkirakan
mencapai 8,60 juta hektar dan 5,30 juta hektar di antaranya dalam kondisi rusak.
Kerusakan tersebut disebabkan oleh konversi mangrove yang sangat intensif
pada tahun 1990-an menjadi pertambakan terutama di Jawa, Sumatera,
Kalimantan, dan Sulawesi dalam rangka memacu ekspor komoditas perikanan
(Mulyadi, et. al., 2010).
Kawasan hutan mangrove dianggap sebagai ekosistem yang memiliki
produktivitas tinggi, dan mempunyai potensi untuk dikembangkan, tetapi sangat
rawan apabila cara penanganannya mengabaikan faktor-faktor pembatas dan
interaksi antara sistem sumberdaya yang ada dalam satu kesatuan tatanan
lingkungan. Potensi hutan mangrove tersebut dapat ditinjau dari dua aspek, yaitu
potensi ekologis dan potensi ekonomis. Dilihat dari aspek ekologis, hutan
mangrove memiliki peranan sebagai penghimpun sedimen dan pembentukan
lahan; habitat alami dari berbagai macam fauna dan sekaligus merupakan daerah
asuhan, mencari makan dan bertelurnya beberapa biota akuatik; Sebagai
stabilisator dan benteng daerah pesisir dari hempasan gelombang, angin dan
bahkan penahan banjir. Sedangkan dari aspek ekonomisnya, dapat diketahui
bahwa beberapa jenis pemanfaatan tumbuhan mangrove untuk keperluan lokal
maupun sebagai bahan industri. Secara lokal, tumbuhan mangrove telah
digunakan oleh masyarakat pesisir sebagai sumber makanan, obat dan bahan
untuk keperluan (Pramudji, 2001).
Disamping aspek-aspek potensialnya, kawasan hutan mangrove juga
rentan mengalami kerusakan yang disebabkan oleh aktivitas manusia dan faktor
alam. Aktifitas manusia adalah perambahan hutan mangrove secara besar-
besaran untuk pembuatan arang, kayu bakar, dan bahan bangunan, serta
penguasaan lahan oleh masyarakat, pembukaan lahan untuk pertambakan ikan
dan garam, pemukiman, pertanian, pertambangan, dan perindustrian (Mulyadi,
et. al., 2010).
Pengelolaan hutan mangrove di kawasan desa Mamburungan belum
dilakukan secara optimal. Pelibatan masyarakat sekitar dalam kegiatan hutan
mangrove di kawasan ini masih sangat minim. Akibatnya, masih terjadi
perusakan mangrove secara tidak langsung, dimana masih terjadi penebangan
pohon mangrove secara langsung, pembuangan sampah, limbah aktivitas
masyarakat dan konversi mangrove untuk peruntukan lain di sekitar lokasi.
Sebagai langkah awal pengelolaan, maka perlu diketahui presepsi masyarakat
terhadap keberadaan hutan mangrove di sekeliling mereka. Selanjutnya
diperlukan suatu strategi pengelolaan yang tepat untuk pengembangan hutan
mangrove secara berkelanjutan (Wiharyanto & Laga, 2010).
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana kondisi hutan mangrove di kawasan konservasi di desa
Mamburungan?
2. Bagaimana presepsi masyarakat mengenai konservasi hutan mangrove?
3. Bagaimana cara menentukan strategi pengelolaan hutan mangrove di
kawasan konservasi desa Mamburungan?
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi hutan mangrove dan
presepsi masyarakat di kawasan konservasi desa serta menentukan strategi
pengelolaan hutan mangrove di kawasan konservasi desa Mamburungan.
1.4 Manfaat
Hasil Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai bahan
masukan dan pertimbangan bagi pengambilan keputusan dalam mengelola hutan
mangrove secara terpadu dan berkelanjutan dengan melihat kondisi kelestarian
ekologi dan sosial, ekonomi masyarakat setempat serta Memberikan informasi
ilmu pengetahuan untuk pengembangan penelitian lebih lanjut.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Secara alami, kawasan estuary merupakan kawasan yang subur dan


banyak ditumbuhi oleh beragam jenis tumbuhan mangrove, nipah dan sagu.
Hutan mangrove berkembang di zona intertidal sepanjang garis pantai tropis
seperti estuary, lagun, delta, delta estuary dan lagun estuary. Hutan mangrove
besar ditemukan sepanjang garis pantai yang berlumpur, terlindung, terbebas dari
angin dan arus yang kuat. Hutan mangrove tumbuh subur jika banyak mendapat
persediaan sedimen dan air tawar. Air payau tidak penting namun baik untuk
pertumbuhan mangrove. Hutan mangrove juga dapat tumbuh di pantai berpasir
dan berbatu, terumbu karang dan pulau (Saraswati, 2004).
Mangrove merupakan salah satu biodiversitas lahan basah terbesar di
dunia karena kaya akan nutrisi. Mangrove juga menyediakan habitat fisik dan
ruang untuk berbagai hewan laut seperti burung, reptile, ikan dan mamalia
(Ghasemi, et. al. 2010). Mangrove mempunyai banyak fungsi, diantaranya
sebagai control, mencegah erosi, badai, banjir dan bahaya lain, sebagai area
wisata dan rekreasi, sebagai tambak perikanan dan budidaya perikanan dan hutan
produksi. Mangrove mempunyai sistem kompleks yang terbagi atas keragaman,
ketergantungan antar-bagian, sebagai penghubung dan adaptasi (Lignon, et. al.
2011).
Adaptasi ekosistem yang dilakukan mangrove meliputi adaptasi
perakaran seperti akar aerial atau pneumotofora, propagul viviparous, eksklusi
garam atau sekresi garam, disamping toleransi lingkungan dan kemampuan
tumbuh dalam lingkungan yang berbeda dimana air asin bertemu dengan air
tawar atau secara langsung terpapar garis pantai (Magris & Baretto, 2010).
Pertumbuhan mangrove yang ada di dalam suatu ekosistem akan selalu
dipengaruhi dan dikendalikan oleh faktor-faktor habitat. Faktor yang dominan
berpengaruh biasanya pada pertumbuhan vegetasi, meskipun tidak terlepas dari
peran faktor resesif yang ada di dalam ekosistem tersebut. Faktor yang
mempengaruhi arah tumbuh mangrove adalah adanya zonasi yang terbentuk oleh
arus dan genangan pasang surut. Beberapa faktor lingkungan yang penting dalam
mengontrol zonasi adalah pasang surut dan kemiringan pantai, tipe tanah,
salinitas, cahaya dan aliran air sungai yang mampu membawa lumpur.
Pertumbuhan mangrove juga dipengaruhi oleh keadaan sifat fisik-kimia
habitatnya. Sifat fisik-kimia tersebut adalah bahan organik, unsur Kalium, unsur
Kalsium, unsur Magnesium dan pH (Poedjirahayoe, 2007).
Konservasi dan restorasi mangrove dapat menyediakan adaptasi
berkelanjutan dalam konteks tindakan seperti penyangga badai dan meningkatkan
kapasitas kelenturan. Hal yang paling penting untuk meningkatkan pemahaman
bagaimana mengkonservasi mangrove dapat berkontribusi dalam adaptasi
berkelanjutan tidak hanya melalui mitigasi cyclonic dan resiko banjir dalam
bencana yang menimbulkan korban jiwa dan kerusakan tetapi juga melalui
peningkatan kapasitas adaptif (Bahinipati & Sahu, 2012).
Masyarakat lokal sekarang memandang kawasan mangrove sebagai
partner yang potensial seperti dalam usaha reforestasi dan umumnya diasumsikan
masyarakat yang berpartisipasi akan meningkatkan keberhasilan reforestasi
tersebut melalui usaha lokal melalui pengurus lokal di lahan yang baru (Walters,
2004).
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian


Penelitian akan dilaksanakan selama empat bulan yakni pada bulan
Januari 2015 – April 2015 bertempat di kawasan hutan konservasi di desa
Mamburungan, Kecamatan Mamburungan Timur Provinsi Kalimantan Timur.
3.2 Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dan bersifat eksploratif
dengan tujuan untuk menggali fakta yang ada. Arah penelitian adalah untuk
mendapatkan data potensi sumberdaya untuk pengelolaan mangrove, tingkat
persepsi, partisipasi masyarakat dalam kegiatan tersebut, serta kebijakan
pengelolaan ekosistem mangrove. Pengumpulan data primer dilakukan melalui
pengamatan langsung di lapangan, dengan melakukan pengukuran potensi hutan
mangrove dan melakukan wawancara langsung masyarakat lokal. Pengumpulan
data sekunder dengan cara mengumpulkan dokumen-dokumen hasil
studi/penelitian, peraturan perundang-undangan dan data pendukung lainnya.
3.3 Pengumpulan Data Vegetasi
Pengumpulan data vegetasi dan satwa dilakukan dengan cara pengamatan
secara langsung di lapangan. Pengamatan vegetasi di kawasan hutan mangrove
dilakukan dengan cara mengambil contoh bagian-bagian tumbuhan, mencatat
nama daerah, ciri-ciri, tempat tumbuhnya yang kemudian diidentifikasi dengan
melihat buku petunjuk yang ada, serta menghitung kerapatannya.
Inventarisasi vegetasi digunakan metode garis berpetak, arah jalur
pengamatan tegak lurus terhadap pantai ke arah darat. Pada setiap zona mangrove
yang berada di setiap transek garis, diletakkan petak-petak contoh (plot)
berbentuk bujur sangkar dengan ukuran 10 x 10 m untuk tingkat pohon (diameter
>4 cm), 5 x 5 m untuk tingkat pancang (1,5 – 4 cm), 2 x 2 (semai atau tumbuhan
bawah), dan jarak setiap zona mangrove satu dengan yang lain adalah 50 m.
3.4 Pengambilan Data Presepsi Masyarakat
Data dikumpulkan secara langsung di lokasi penelitian melalui
wawancara dengan responden (interview) dan wawancara mendalam (depth-
interview). Pemilihan responden sebagai unit penelitian dilakukan dengan
sengaja (purposive sampling). Responden yang diamati adalah penduduk dewasa
yang berdomisili di sekitar lokasi penelitian secara administratif yang terkait
dengan kawasan konservasi hutan mangrove.
3.5 Metode Analisis Data
a. Kerapatan Spesies (Ki)
Kerapatan spesies (i) adalah jumlah individu spesies i dalam suatu unit area
yang dinyatakan sebagai berikut : Ki = ni / A
Dimana, Ki adalah kerapatan spesies i, ni adalah jumlah total individu dari
spesies dan A adalah luas area total pengambilan contoh (luas total
petak/plot/kuadrat contoh).
b. Kerapatan Relatif Spesies (KRi)
Kerapatan relatif spesies (KRi) adalah perbandingan antara jumlah individu
spesies i (ni) dan jumlah total individu seluruh spesies (Σn) dengan formula
sebagai berikut: KRi = (ni / Σn) x 100
c. Frekuensi Spesies (Fi)
Frekuensi spesies (Fi) adalah peluang ditemukannya spesies i dalam petak
contoh yang diamati : Fi = pi / Σp
Dimana, Fi adalah frekuensi spesies i, pi adalah jumlah petak contoh dimana
ditemukan spesies i dan Σp adalah jumlah total petak contoh yang diamati.
d. Frekuensi Relatif Spesies (FRi)
Frekuensi relatif spesies (FRi) adalah perbandingan antara frekuensi (Fi) dan
jumlah frekuensi untuk seluruh spesies (ΣF): FRi = (Fi / ΣF) x 100 %
e. Penutupan Spesies (Ci)
Penutupan spesies (Ci) adalah luas penutupan spesies i dalam suatu unit
area :
Ci = ΣBA / A
Dimana, BA = ΠDBH2/4, (dalam Cm2), Π adalah suatu konstanta (3,14) dan
DBH adalah diameter dari jenis i, A adalah luas area total pengambilan
contoh (luas total petak/plot/kuadrat contoh). DBH = CBH /Π (dalam Cm),
CBH adalah lingkaran pohon setinggi dada.
f. Penutupan Relatif Spesies (RCi)
Penutupan relatif spesies (RCi) adalah perbandingan antara luas area
penutupan spesies i (Ci) dan luas total area penutupan untuk seluruh spesies
(ΣCi) :
RCi = (Ci / ΣCi) x 100 %
g. Nilai Penting Spesies (NPi)
Jumlah nilai kerapatan relatif spesies (RDi), frekuensi relatif spesies (RFi)
dan penutupan relatif spesies (RCi) menunjukkan Nilai Penting Spesies
(Npi):
NPi = RDi + RFi + RCi
Nilai penting suatu spesies berkisar antara 0 - 300. Nilai Penting ini
memberikan suatu gambaran mengenai pengaruh atau peranan suatu spesies
tumbuhan mangrove dalam komunitas mangrove.
3.6 Analisis Strategi Hutan Mangrove
Analisis SWOT ini disusun berdasarkan peta logika yang dapat
memaksimalkan kekuatan (strenghts), peluang (opportunities) secara bersamaan
dapat meminimalkan kelemahan (weakneses) dan ancaman (threat) didalam
menentukan strategi terbaik (Rangkuti, 2004). Analisis ini dilakukan dengan
menggunakan data kuantitatif atau deskripsi dengan pendekatan matrik SWOT.
Selanjutnya unsur-unsur tersebut dihubungkan keterkaitannya dalam bentuk
matrik untuk memperoleh beberapa alternatif strategi.
DAFTAR PUSTAKA

Bahinipati, Chandra Sekhar & Nirmal Chandra Sahu. 2012. Mangrove


Conservation as Sustainable Adaptation to Cyclonic Risk in Kendrapada
District of Odisha, India. Asian Journal of Environment and Disaster
Management Vol. 4(2): 183–202
Ghasemi, Saber., Mohamed Zakaria., Hazandy Abdul-Hamid., Ebil Yusof.,
Afshin Danehkar., Muhammad Nawaz Rajpar. 2010. A Review of
Mangrove Value and Conservation Strategy by Local Communities in
Hormozgan Province, Iran. Journal of American Science Vol. 6(10): 329-
338.
Lignon, M. Cunha., C. Coelho Jr., R. Almeida ., R.P. Menghini., Y. Schaeffer-Novelli.,
G. Cintrón and F. Dahdouh-Guebas. 2011. Characterisation of Mangrove
Forest Types in View of Conservation and Management: A Review of
Mangals at The Cananéia Region, São Paulo State, Brazil. Journal of
Coastal Research, SI 64 (Proceedings of the 11th International Coastal
Symposium). Hal. 349 – 353.
Magris, Rafael Almeida & Raquel Barreto. 2010. Mapping and Assessment of
Protection of Mangrove Habitats in Brazil. Pan-American Journal of
Aquatic Sciences. Vol. 5(4): 546-556.
Mulyadi, Edi., Okik Hendriyanto, Nur Fitriani. 2010. Konservasi Hutan
Mangrove Sebagai Ekowisata. Jurnal Ilmiah Teknik Lingkungan Vol. 1:
51-58.
Poedjirahayoe, Erny. 2007. Dendogram Zonasi Pertumbuhan Mangrove
Berdasarkan Habitatnya Rehabilitasi Pantai Utara Jawa Tengah Bagian
Barat. Jurnal Ilmu Kehutanan Vol. 1(2): 10-21.
Pramudji. 2001. Upaya Pengelolaan Rehabilitasi dan Konservasi pada Lahan
Mangrove yang Kritis Kondisinya. Oseana Vol. 25(2): 1-8
Saraswati, Adinda Arimbi. 2004. Konsep Pengelolaan Ekosistem Pesisir (Studi
Kasus Kecamatan Ulujami, Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah). Jurnal
Teknik Lingkungan Vol. 5(3): 205-211.
Walters, Bradley B. 2004. Local Management of Mangrove Forests in the
Philippines: Successful Conservation or Efficient Resource Exploitation?.
Journal Human Ecology, Vol. 32(2): 177-195.
Wiharyanto, Dhimas & Asbar Laga. 2010. Kajian Pengelolaan Hutan Mangrove
Di Kawasan Konservasi Desa Mamburungan Kota Tarakan Kalimantan
Timur. Jurnal Media Sains Vol. 2(1): 10-17.

You might also like