Professional Documents
Culture Documents
G1A221110 Albashir Feriohadi (Trauma Medula Spinalis)
G1A221110 Albashir Feriohadi (Trauma Medula Spinalis)
Oleh:
Albashir Feriohadi*
G1A221110
Pembimbing:
Dr.dr. Apriyanto, Sp.BS, M.Kes.**
Disusun Oleh :
Albashir Feriohadi,S.Ked G1A221110
Universitas Jambi
Pembimbing,
Segala puji dan syukur kepada Allah SWT atas segala limpahan rahmat
dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menelesaikan Bed Side Teaching (BST)
yang berjudul “Managemen Trauma Medula Spinalis” sebagai salah satu syarat
dalam mengikuti Program Profesi Dokter di Ilmu Bagian Bedah di Rumah
Sakit Umum Daerah Raden Mattaher Provinsi Jambi.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada Dr.dr. Apriyanto, Sp.BS,
M.Kes yang telah bersedia meluangkan waktu dan pikirannya untuk
membimbing penulis selama menjalani Kepaniteraan Klinik Senior di Ilmu
Bagian Bedah Rumah Sakit Umum Daerah Raden Mattaher Provinsi Jambi.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan pada laporan
Case Report Session (CRS) ini, sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran
yang membangun untuk menyempurnakan referat ini. Penulis mengharapkan
semoga referat ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pembaca.
Penulis
Daftar Isi
1 Definisi............................................................................................................................6
2 Epidemiologi...................................................................................................................6
3 Etiologi............................................................................................................................7
4 Klasifikasi.......................................................................................................................8
5 Patofisiologi..................................................................................................................18
6 Manifestasi lesi traumatic.............................................................................................20
7 Gejala dan Gambaran Klinis.........................................................................................23
8 Diagnosis.......................................................................................................................24
9 Pemeriksaan Fisik.........................................................................................................25
10 Pemeriksaan Radiologi................................................................................................26
11 Tatalaksana dan komplikasi........................................................................................28
12 Prognosis.....................................................................................................................34
PENDAHULUAN
Trauma medula spinalis adalah cedera pada tulang belakang baik langsung
maupun tidak langsung, yang menyebabkan lesi di medula spinalis sehingga
menimbulkan gangguan neurologis, dapat menyebabkan kecacatan menetap atau
kematian. Gejala-gejala dapat bervariasi mulai dari nyeri, paralisis, sampai terjadinya
inkontinensia bergantung pada letak kerusakan medula spinalis. Kerusakan medula
spinalis dapat dibagi menjadi tingkat inkomplit dengan gejala-gejala yang tidak
berefek pada pasien sampai tingkat komplit dimana pasien mengalami kegagalan
fungsi total.
Angka insidensi SCI bervariasi dipengaruhi kondisi geografis. Salah satu contoh
yang ekstrim adalah di negara Jepang. Usia terbanyak penderita SCI di Jepang adalah
50-59 tahun, dan 41% nya disebabkan karena jatuh. Data dari WHO pada tahun 2013,
terdapat 250.000 sampai 500.000 orang yang mengalami SCI setiap tahunnya dan
90%nya merupakan kasus traumatik. Pada tahun 2018, estimasi prevalensi ini
meningkat 2 kali lipat. Penyebab tersering SCI pada dewasa adalah kecelakaan
bermotor, sedangkan pada orang tua penyebab terseringnya adalah jatuh.
Penelitian pada negara maju menyatakan bahwa pada pasien yang
menderita tetraplegia dan paraplegia memiliki tingkat harapan hidup 91,2% dan 95,9%,
walaupun tidak menjamin pasien dapat kembali normal secara utuh tanpa kecacatan
sama sekali. Hal ini dapat terjadi karena sekitar 5% pasien masih mendapat
penanganan kegawatdaruratan yang salah seperti manipulasi berlebih dan immobilisasi
tulang belakang yang tidak adekuat mengakibatkan pasien mendapat gejala neurologis
tambahan dan atau gejala yang semakin buruk setelah perawatan (ATLS, 2018). Selain
itu, penanganan yang telat juga dapat menyebabkan risiko komplikasi dan kecacatan
menetap pada pasien semakin meningkat.
5
TRAUMA MEDULA SPINALIS
1 Definisi
Trauma medula spinalis yaitu kerusakan medula spinalis karena trauma langsung
atau tak langsung yang mengakibatkan gangguan fungsi utamanya perubahan
sementara atau permanen, seperti fungsi motorik, sensorik, autonomik, dan refleks,
baik komplet ataupun inkomplet. Cedera medula spinalis yang disebut juga
cedera spinal, trauma spinal, spinal cord injury (SCI). Cedera medula spinalis harus
senantiasa dipikirkan pada kasus cedera kepala ataupun trauma multipel. Hal ini
karena sekitar 5% pasien cedera kepala juga mengalami SCI. Sebaliknya, sekitar
25% pasien SCI juga mengalami trauma/cedera kepala (minimal cedera kepala
ringan). Sekitar 55% SCI terjadi di daerah servikal, 15% di daerah torakal, 15%
di torakolumbal, dan 15% di lumbosakral. Namun demikian harus diingat bahwa
SCI dapat bersifat multipel. Sekitar 10% pasien fraktur vertebra servikal juga
mengalami fraktur vertebra di tempat lain.
2 Epidemiologi
Menurut WHO, SCI diperkirakan terjadi sebanyak 40-80 kasus per 1 juta
penduduk dalam setahun. Ini artinya terjadi sekitar 300.000 – 600.000 kasus SCI
yang ada di seluruh dunia setiap tahunnya. Hal ini tentunya tidak terlepas dari risiko
terjadinya kejadian SCI yang sebagian besar disebabkan oleh karena kasus
traumatik (90%), meliputi kecelakaan lalu lintas (50%), jatuh (25%), olahraga
atau kecelakaan akibat pekerjaan (10%). Hasil studi lainnya menunjukkan bahwa
lebih dari 70% pasien SCI juga akan mengalami beberapa cedera lainnya yang
menjadi bukti bahwa kejadian SCI pada kasus traumatik yang sangat tinggi.
Penelitian pada negara maju menyatakan bahwa pada pasien yang menderita
tetraplegia dan paraplegia memiliki tingkat harapan hidup 91,2% dan 95,9%,
walaupun tidak menjamin pasien dapat kembali normal secara utuh tanpa kecacatan
sama sekali.
Insidensi pada negera berkembang berkisar antara 11,5 hingga 53,4 kasus
dalam 1.000.000 populasi. Umumnya terjadi pada remaja dan dewasa muda.
6
Penyebab tersering adalah kecelakaan lalu lintas (50%), jatuh (25%) dan cedera
yang berhubungan dengan olahraga (10%).
3 Etiologi
Etiologi dari SCI secara garis besar, SCI dapat dibedakan menjadi 2 yaitu
traumatik dan non-traumatik. Kasus traumatik memiliki tingkat kejadian yang lebih
banyak (90%) ketimbang nontraumatik (10%) dengan kasus traumatik paling
sering antara lain kecelakaan lalu lintas, diikuti oleh jatuh, olahraga atau
kecelakaan akibat pekerjaan dan rekreasi, serta kekerasan.
7
Tabel 1 Penyebab dari trauma medulla spinalis
4 Klasifikasi
a. Berdasarkan Level
Secara lebih detail, National Spinal Cord Injury Association dan The
Christopher & Dana Reeve Foundation mengkategorikan trauma medulla spinalis,
menjadi :
8
Trauma medulla spinalis pada level ini menyebabkan tetraplegia. Pasien
mungkin tidak mampu untuk bernapas dan batuk dengan kemampuan sendiri juga
kehilangan kemampuan mengontrol defekasi, berkemih. Terkadang kemampuan
untuk berbicara juga terganggua atau menurun.
Saraf ini berfungsi untuk pergerakan ekstensi siku, jadi trauma pada
level ini menyebabkan gangguan pada kemampuan ekstensi siku,
9
Saraf pada level ini mempengaruhi otot dada atas, ototabdominal, dan
otot punggung atas. Trauma medulla spinalis level ini jarang menyebabkan
gangguan ekstremitas atas.
- Thoracic Nerves (T6 – T12)
Secara umum trauma ini menyebabkan gangguan fungsi panggul dan kaki.
Tidak terdapat kontrol atau tedapat sedikit kontrol terhadap fungsi berkemih atau
defekasi tetapi pasien dapat mengatur fungsi tersebut sesuai dengan keinginan
dengan bantuan alat. Tergantung kekuatan kaki, pasien mungkin memerlukan alat
bantu untuk berjalan.
10
Tabel 3. Klasifikasi ASIA/IMSOP
Sangat penting untuk mencari tanda-tanda adanya preservasi fungsi dari semua
jaras medulla spinalis. Adanya fungsi motorik dan sensorik dibawah level trauma
menunjukkan adanya cedera inkomplit. Tanda-tanda cedera inkomplit meliputi
adanya sensasi atau gerakan volunter di ekstremitas bawah, sacral sparing (contoh
: sensasi perianal), kontraksi sfinghter ani volunter, dan fleksi ibu jari kaki volunter.
Reflek sakral, seperti refleks bulbokavernosus atau kerutan anus, tidak termasuk dalam
sacral sparing.
11
Pola karakteristik cedera neurologis tertentu sering ditemukan pada pasien
dengan cedera medulla spinalis. Pola-pola ini harus dikenali sehingga tidak
membingungkan pemeriksa.
1. Complete transaction
12
Gambar 1. Paraplegia pada thoracal spinal transection; tetraplegia pada
cervical spinal transection
13
3. Incomplete transection : Anterior Cord Syndrome
14
disebabkan trauma tembus langsung ke medulla spinalis, biasanya masih mungkin
untuk terjadi perbaikan.
Kondisi ini terjadi parese ipsilateral di bawah level lesi disertai
kehilangan fungsi sensoris sentuhan, tekanan, getaran dan posisi. Terjadi gangguan
kehilangan sensoris nyeri dan suhu kontralatetal.
d. Berdasarkan Morfologi
Cedera spinal servikal dapat terjadi akibat salah satu atau kombinasi dari
mekanisme trauma berikut ini:
a. Axial Loading
b. Fleksi
c. Ekstensi
d. Rotasi
e. Lateral Bending
f. Distraksi
15
Cedera yang disebutkan meliputi seluruh kolumna spinalis. Cedera tersebut
disusun dalam urutan anatomis (bukan berdasarkan frekuensi) mulai dari kranial
hingga ujung kaudal spinal.
16
40% fraktur atlas berhubungan dengan fraktur aksis (C2). Fraktur C1
tersering adalah burst fracture (Fraktur Jefferson). Mekanisme trauma yang
biasa terjadi adalah aksial loading, yang terjadi bila ada beban berat jatuh secara
vertikal ke kepala pasien atau pasie jatuh ke permukaan dengan kepala pasien
berada pada posisi netral. Fraktur Jefferson meliputi terputusnya kedua ring
anterior-posterior C1 dengan bergesernya massa lateral ke arah lateral. Fraktur ini
paling baik dilihat dengan pandangan open mouth dari C1-C2 dan dengan CT
scan Axial.
3. Subluksasi Rotasi C1
Subluksasi rotasi C1 paling sering ditemukan pada anak. Dapat terjadi
spontan, setelah trauma mayor atau minor, dengan infeksi saluran pernafasan atas
atau dengan rheumatoid arthritis. Pasien datang dengan rotasi kepala persisten
(tortikolis). Cedera ini paling baik juga dilihat dengan open mouth odontoid
view. Pada cedera ini odontoid tidak terletak sama dari kedua lateral mass C1.
Pasien tidak boleh dipaksa untuk melawan rotasi, tapi harus diimobilisasi dalam
posisi terotasi dan dirujuk untuk mendapat penanganan spesialistik
4. Fraktur Aksis C2
Aksis adalah tulang vertebra servikal terbesar dan bentuknya berbeda
dengan yang lain. Sehingga tulang ini mudah mengalami bermacam-macam
fraktur tergantung dari gaya dan arahnya. Fraktur C2 kira-kira terjadi pada 18%
dari semua cedera tulang servikal. Fraktur C2 (axis) dapat melibatkan
processus odontoid (pada 55% kasus) atau pedikel ( Hangman’s fracture-25%
kasus).
17
merupakan tempat fleksi dan ekstensi terbesar pada leher. Pada pasien dengan
cedera ini biasanya didapatkan fraktur korpus vertebra dengan atau tanpa
subluksasi, subluksasi prosessus artikularis (meliputi terkunvinya faset –locked
facet- unilateral atau bilateral), dan fraktur lamina, prosessus spinosus, pedikel,
atau lateral mass. Yang jarang terjadi juga adalah terjadinya ruptur ligamen tanpa
disertai fraktur atau dislokasi faset.
Insidensi terjadinya gangguan neurologis meningkat secara dramatis
dengan adnaya dislokasi faset. Dengan adanya dislokasi faset unilateral,
80% pasien mengalami gangguan neurologis, kira-kira 30% hanya mengalami
gangguan radikuler, 40% cedera medulla spinalis inkomplit, dan 30%
mengalami cedera medulla spinalis komplit. Pada dislokasi faset bilateral
morbiditas lebih buruk.
Fraktur torakal dibagi menjadi 4 kategori yaitu (1) fraktur kompresi anterior
wedge, (2) burst injuries, (3) Fraktur Chance, (4) Fraktur Dislokasi. Axial
loading dengan posisi fleksi menyebabkan cedera kompresi anterior WEDGE.
Bagian yang mengalami wedge biasanya kecil, dan ukuran anterior korpus
yang lebih dari 25% lebih pendek dari korpus posterior. Akibat rigiditas
lengkung iga, kebanyakan fraktur jenis ini stabil.
Jenis kedua fraktur torakal adalah burst injury, yang disebabkan oleh
kompresi vertikal-aksial. Fraktur Chance adalah fraktur transversal yang melalui
korpus vertebra. Ini disebabkan oleh fleksi kira-kira pada aksis anterior kolumna
vertebralis dan sering terjadi pada tabrakan mobil di mana penderita hanya
mengenakan lap belt. Fraktur Chance dapat berkaitan dengan cedera organ
visera di retoperitoneal dan abdomen. Frakturdislokasi relatif jarang terjadi pada
torakal dan lumbal karena orientasi sendi faset. Cedera jenis ini hampir selalu
terjadi akibat fleksi yang ekstrim atau trauma tumpul posterior (pedikel, faset, dan
lamina) vertebra
8. Fraktur Lumbal
18
Gambaran radiologis pada fraktur lumbal sama dengan fraktur torakal
dan torakolumbal. Namun, karena hanya mengenai kauda equina, kemungkinan
terjadinya defisit neurologis komplit lebih jarang pada cedera jenis ini.
5 Patofisiologi
19
Gambar 6. Manifestasi plegi trauma medula spinalis.
Yang paling berat adalah kerusakan akibat kompresi tulang dan kompresi oleh
korpus vertebra yang mengalami dislokasi tulang dan kompresi oleh korpus vertebra
yang mengalami dislokasi ke posterior dan trauma hiperekstensi.
- Regangan jaringan yang berlebihan akan menyebabkan gangguan pada jaringan, hal
ini biasanya terjadi pada hiperfleksi. Toleransi medulla spinalis terhadap regangan
akan menurun dengan bertambahnya usia.
- Edema medulla spinalis yang timbul segera setelah trauma menyebabkan gangguan
aliran darah kapiler dan vena.
- Gangguan sirkulasi akibat kompresi tulang atau arteri spinalis anterior dan posterior.
20
Komosio medulla spinalis adalah suatu keadaan dimana fungsi medulla spinalis
hilang sementara akibat suatu trauma dengan atau tanpa disertai fraktur atau dislokasi.
Sembuh sempurna akan terjadi dalam waktu beberapa menit hingga beberapa jam
/ hari tanpa meninggalkan gejala sisa. Kerusakan yang medasari komosio medulla
spinalis berupa edema, perdarahan perivaskuler kecil-kecil dan infark disekitar
pembuluh darah. Pada inspeksi makroskopik medulla spinalis tetap utuh. Bila paralisis
total dan hilangnya sensibilitas menetap lebih dari 48 jam maka kemungkinan sembuh
sempurna menipis dan perubahan pada medulla spinalis lebih mengarah ke perubahan
patologik daripada fisiologik.
- Kontusio Medula Spinalis
21
Tetapi setelah edema berkurang dan bekuan darah diserap maka terdapat
perbaikan-perbaikan fungsi funikulus lateralis dan posterior medulla spinalis. Hal ini
menimbulkan gambaran klinis yang khas hematomiella sebagai berikut : terdapat
paralisis flaksid dan atrofi otot setinggi lesi dan dibawah lesi terdapat paresis otot,
dengan utuhnya sensibilitas nyeri dan suhu serta fungsi funikulus posterior.
- . Kompresi Medula Spinalis
22
terdapat kelumpuhan neuron motorik perifer (LMN) ipsilateral pada otot-otot yang
disarafi oleh motoneuron yang terkena hemilesi. Di bawah tingkat lesi dijumpai pada
sisi ipsilateral kelumpuhan neuron motorik sentral (UMN) dan neuron sensorik
proprioseptif, sedangkan pada sisi kontralateral terdapat neuron sensorik protopatik.
Ciri khas sindrom ini adalah adanya kelemahan motorik yang lebih berat pada
lengan dari pada tungkai dan disertai kelemahan sensorik. Defisit motorik yang
lebih jelas pada lengan (daripada tungkai) dapat dijelaskan akibat rusaknya sel
motorik di kornu anterior medulla spinalis segmen servikal atau akibat terlibatnya
serabut traktus kortikospinalis yang terletak lebih medial di kolumna lateralis
medulla spinalis. Sindromini sering dijumpai pada penderita spondilitis servikal.
- Transeksi Medula Spinalis
Bila medulla spinalis secara mendadak rusak total akibat lesi transversal maka
akan dijumpai 2 macam gangguan yang muncul serentak yaitu :
1. semua gerak otot pada bagian tubuh yang terletak di bawah lesi akan Semua sensibilitas
daerah di bawah lesi menghilang, hilang fungsinya secara mendadak dan menetap
2. semua fungsi reflektorik pada semua segmen dibawah lesi akan hilang. Efek
terakhir ini akan disebut renjatan spinal (spinal shock), yang melibatkan baik otot
tendon maupun otot otonom. Fase renjatan spinal ini berlangsung beberapa minggu
sampai beberapa bulan (3-6 minggu)
Pada anak-anak, fase shock spinal berlangsung lebih singkat daripada orang
dewasa yaitu kurang dari 1 minggu. Bila terdapat dekubitus, infeksi traktus urinarius
atau keadaan otot yang terganggu, malnutrisi, sepsis, maka fase syok ini akan
berlangsung lebh lama. McCough mengemukakan 3 faktor yang mungkin berperan
dalam mekanisme syok spinal.
- Hilangnya fasilitas traktus desendens
- Inhibisi dari bawah yang menetap, yang bekerja pada ototekstensor, dan
23
- Degenerasi aksonal interneuron
Karena fase renjatan spinal ini amat dramatis, Ridoch menggunakannya
sebagai dasar pembagian gambaran klinisnya atas 2 bagian, ialah renjatan spinal
atau arefleksia dan aktivitas otot yang meningkat.
Gejala klinis yang timbul bervariasi seperti Nyeri akut pada belakang leher,
yang menyebar sepanjang sarafyang terkena, Paraplegia, Paralisis sensorik motorik total,
Kehilangan kontrol kandung kemih (retensi urine, distensi kandung kemih), Penurunan
keringat dan tonus vasomotor, Penurunan fungsi pernapasan, Gagal nafas, dan
tergantung dari 2 faktor yaitu bedasarkan tingkat keparahan dari SCI dan bedasarkan
letak dari cedera di sepanjang medula spinalis Bedasarkan tingkat keparahannya, SCI
dapat dibagi menjadi 2 yaitu cedera komplit dan inkomplit.
24
Tabel 6. Jenis Spinal cord syndrome.
8 Diagnosis
Dilakukan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang. Cedera medula spinalis dikenali berdasarkan keluhan klinis pada
pasien yang sadar seperti rasa sakit di sepanjang tulang belakang, sensasi
kebas, hingga kelumpuhan pada anggota
gerak.
25
9 Pemeriksaan Fisik
Derajat Keterangan
0 Tidak bisa digerakan sama sekali (paralisis total)
1 Terdapat kontraksi saat inspeksi atau dipalpasi
2 Dapat digerakan, namun tidak mampu melawan gravitasi
3 Dapat digerakan dan dapat melawan gravitasi namun tidak dapat melawantahanan
4 Dapat digerakan, namun kekuatan berkurang
26
5 Dapat digerakan dan dapat menahan tahanan
10 Pemeriksaan Radiologi
a. Radiologik
Foto polos posisi antero-posterior dan lateral pada daerah yang diperkirakan
mengalami trauma akan memperlihatkan adanya fraktur dan mungkin disertai dengan
dislokasi. Pada trauma daerah servikal foto dengan posisi mulut terbuka dapat membantu
dalam memeriksa adanya kemungkinan fraktur vertebra C1-C2.
Evaluasi radiologis yang lengkap sangat penting untuk menentukanadanya cedera
spinal. Pemeriksan radiologis tulang servical diindikasikan pada semua pasien trauma
dengan nyeri leher di garis tengah, nyeri saat palpasi, defisit neurologis yang
berhubungan dengan tulang servical, atau penurunan kesadaran atau dengan kecurigaan
intoksikasi. Pemeriksaan radiologis proyeksi lateral, anteroposterior (AP) dan gambaran
odontoid open mouth harus dilakukan.
Pada proyeksi lateral, dasar tengkorak dan ketujuh tulang cervicla harus tampak.
Bahu pasien harus ditarik saat melakukan foto servikal lateral, untuk menghindari
luputnya gambaran fraktur atau fraktur dislokasi di tulang servikal bagian bawah. Bila
ketujuh tulang servikal tidak bisa divisualisasikan pada foto latural, harus dilakukan
swimmer view pada servical bawah dan thorakal atas.
Proyeksi open mouth odontoid harus meliputi seluruh prosessus odontoid dan
artikulasi C1-C2 kanan dan kiri. Proyeksi AP tulang servikal membantu indenfitikasi
adanya diskolasi faset unilateral pada kasus dimana sedikit atau tidak tampak gambaran
dislokasi pada foto lateral. CT-scan aksial dengan irisan 3 mm juga dapat dilakukan
27
pada daerahyang dicurigai dari gambaran foto polos atau pada servikal bawah bila tidak
jelas tampak pada foto polos.
Gambaran CT aksial melalui C1-C2 juga lebih sensitif daripada foto polos untuk
mencari adanya fraktur pada vertebra. Bila kualitas filmnya baik dan diinterpretasikan
dengan benar, cedera spinal yang tidak stabil dapat dideteksi dengan sensitivitas lebih
dari 97%.
Jika pada skrining radiologis seperti dijelaskan normal, foto X-ray fleksi ekstensi
perlu dilakukan pada pasien tanpa penurunan kesadaran, atau pada pasien dengan keluhan
nyeri leher untuk mencari adanya instabilitas okult atau menentukan stabilitas fraktur,
seperti pada fraktur kompresi atau lamina. Mungkin sekali pasien hanya mengalami
cedera ligamen sehingga mengalami instabilitas tanpa adnaya fraktur walaupun beberapa
penelitian menyebutkan bahwa bila 3 proyeksi radiologis ditambah CT scan
menunjukkan gambaran normal (tidak ada pembengkakan jaringan lunak atau angulasi
abnormal) maka instabilitas jarang terjadi.
Untuk tulang torakolumbal, indikasi melakukan skrining radiologis sama dengan
pada kejadian di tulang servikal. Foto polos AP dan lateral dengan CT scan aksial irisan 3
mm pada daerah yang divutigai dapat mendeteksi lebih dari 99% cedera yang tidak stabil.
Pada proyeksi AP kesegarisan vertikal pedikel dan jarak antar pedikel pada masing-
masing tulang harus diperhatikan. Fraktur yang tidak stabil sering menyebabkan
pelebaran jarak antar pedikel.
Foto lateral dapat mendeteksi adanya subluksasi, fraktur kompresi, dan fraktur
Chance. CT scan sendiri berguna untuk mendeteksi adanya faktur pada elemen posterior
(pedikel, lamina, dan prosessus spinosus) jdan menentukan derajat gangguan kanalis
spinalis yang disebabkan burst fraktur. Rekonstruksi sagital dari CT Scan aksial
mungkin diperllukanuntuk menentukan fraktur Chance. Pungsi Lumbal
Berguna pada fase akut trauma medula spinalis. Sedikit peningkatan tekanan
likuor serebrospinalis dan adanya blokade pada tindakan Queckenstedt menggambarkan
beratnya derajat edema medula spinalis, tetapi perlu diingat tindakan pungsi lumbal ini
harus dilakukan dengan hati-hati, karena posisi fleksi tulang belakang dapat
memperberat dislokasi yang telah terjadi. Dan antefleksi pada vertebra servikal harus
dihindari bila diperkirakan terjadi trauma pada daerah vertebra servikalis tersebut.
b. Mielografi
28
Mielografi dianjurkan pada penderita yang telah sembuh dari trauma pada daerah
29
o Kelebihan dari penggunaan bidaia servikal adalah manipulasi minimal pada saat
memasangnya. Bidai servikal dapat dijadikan sebagi penana bahwa risiko cedera
servikal yang belum dapat disingkirkan. Kombinasi dengan cara lain, misalnya
taping, dapat lebih memfiksasi leher.
o Yang perlu diperhatikan dalam taping adalah agitasi pasien dengan agitasi dapat
bergerak – gerak yang dapat menimbulkan cedera spinal sekunder. Taping
daerah dada sebaiknya diminimalisasi karena mengurangi ruang gerak rongga
paru, Taping pada posisi terlentang (supinea) meningkatkan resiko terjadi
bronkopneumonia aspirasi.
o Penggunaaan sanbag dipikirkan lebih aman dibandingkan taping karena tidak
menganggu jalan napas tetapi dapat meminimalisasi timbulnya gerakan yang
tidak diinginkan. Sandbag direkomendasikan pada pemindahan pasien pada
keadaan yang tidak memungkinkan dengan pengaplikasian tower roll pada
kedua sisi kepala. Sebaiknya pengaplikasian sandbaga atau towel roll tanpa
dikombinasikan dengan taping atau pelindung leher tipe rigid.
- Imobilisasi sepanjang tulang belakang
o Imobilisasi tulang belakang bertujuan untuk meminimalisir gerakan serta
menjaga kesejajaran (allignment) tulang belakang dengan menggunakan spine
board. Spine board tidak diperuntukkan untuk pemakaiana jangka panjang
karena berisiko terjadinya dekubitus akibat penekanan berlebih di bagian
sakrum, belikat, tumit, dan oksipital.
2) Tindakan Resusitasi
- Penjagaan jalan napas dan ventilasi
Penjagaan jalan napas wajib dilakukan pada seluruh pasien trauma terutama
yang mengalami penurunan kesadaran. Pasien dengan jalan napas yang tidak
adekuat akan mengalami gangguan ventilasi yang akan berlanju pada
kurangnya oksigenasi jaringan jika terjadi dalam waktu yang lama.
Pembukaan jalan napas pada pasien dengan trauma spinal pra rumah sakit dapat
dilakukan dengan manauver jaw thrust. Untuk meminimalisasi pergerakan
leher.pemasangan nasopharyngeal airway atau oropharyngeal airway dapat
dilakukan untuk menjaga jalan napas tetap terbuka, namun perlu diperhatikan
bahwa penggunaan ini dapat menginduksi reflek muntah dan memberikan efek
agitasi pada pasien.
30
Pembukaan jalan napas definitif dilakukan bila alat pembuka jalan napas
sementara tidak adekuat dapat dipertimbangkan tindakan krikotiroidektomi
emergensi atau trakeostomi definitif di rumah sakit bila kondisi tidak
memungkinkan untu diintubasi
Ventilasi adekuat dilakukan setelah jalan napas dipastikan adekuat. Perlu
diperhatikan ada tidaknya kegagalan respirasi pada pasien trauma medula spinal.
Kondisi ini ditandai oleh adanya gerak dinding dada paraoksikal, serta kapasitas
vital paru yang dipengaruhia oleh postur tubuh pasien.
Posisi tegak dan tredelenburg sebaiknya dihindari pada pasien cedera
medula spinalis dengan klinis tetraplegia. Hal ini berkaitan dengan tertariknya
diagragma oleh organ – organ abdomen ke arah kaudal atau terdorongnya ke
arah rostral, sehingga mengganggu kapasitas vital pasien
- Kontrol pendarahan dan renjatan
Renjatan hipovolemik pada spinal merupakan hal yang rumit. Kondisi
hipotensi dapat ditemukan tanpa disertai dengan adanya perfusi, atau disebut
juga renjatan neurogenik
Cedera setinggi segmen servikal atau torakalis tinggi dapat dijumpai hipotensi
dan bradikari. Keadaan dapat terjadi akibat adanya renjatan neurogenik,
sehingga tidak disarankan untuk dilakukan resusitasi cairan berlebihan.
a. Imobilisasi
imobilisasi pada fase rumah sakit merupakan lanjutan dari tata laksana pra
rumah sakit. Pasien yang datang dalam keadaan termobilisasi dengan spine board dan
31
pelindung leher sebaiknya dipindahkan segera mengingatk tindakan imobilisasi juga
memberikan risiko komplikasi. Sebaiknya penilaian dan pemeriksaan penunjang
lengkap dilakukan dalam waktu tidak lebih dari dua jam. Apabila dalam dua jam tidak
tercapai, sebaiknya mobilisasi terkontrol tetap dilakukan dengan memperhatikan
kesegaris tulang belakang.
b. primary survey
tindakan primary survey merupakan evaluasi ulang dari tindakan prarumah
sakita. Primary survey tetap dilakukan walaupun sudah dilakukan sebelum tiba di
rumah sakit.
d. medikamentosa akut
obat – obatan yang dapat diberikan sebagai pengobatan akut, antara lain
- Glukokortikosteroid dosis tinggi, studi oleh NASCIS II menghasilkan
bahwa pemberian metilprednisolon dosis tinggi dalam 24 jam pertama
memberikan perbaikan fungsi motorik yang signifikan dibandingkan
kelompok kontrol (plasebo atau nalokson). Penelitian tersebut telah
dikembangkan dan saat ini sudah ditetapkan metilprednisolon dosis tinggi
dalam 8 jam pertama sebagai tatalaksana standar pasien cedera medula
spinalis cara pemberian sebagai berikut :
o Pasien onset <3 jam diberikan metilprednisolon 30 mg/kgbb IV bolus
selama 15 menit, ditunggu selama 45 menit (tidak diberikan
metilprednisolon dalam kurun waktu ini). Dilanjutkan dengan infus terus
menerus selama 23 jam dengan dosis 5,4 mg/kgBB/jam
o Pasien onset 3-8 jam, diberikan dengan cara yang sama namun dosis infus
dilakukan selama 47 jamm
o Bila didiagnosis baru ditegakkan >8 jam, maka pemberian steroid tidak
dianjurkan
32
Opiat reseptor antagonis
Nonglukokortikoid steroid tirilazad
Monosialogangliosie (GM-1)
2. Perawatan intensif
Perawatan penderita cedera medula spinalis di ruang rawat intensif ditekankan pada
upaya mempertahankan pasien tetap imobolisasi dan mengevaluasi masalah neurologis
maupun kesehatan lain yang mungkin timbul sebagai keadaan primer maupun sekunder akibat
upaya imobilisasi sendiri. Insiden morbiditas dan mortalitas pasien cedera medula spinalis lebih
tinggi terjadi pada dua minggu awal pascacedera.
Kriteria tempat tidur. yang sesuai dalam perawatan pasien cedera medula spinalis,
antara lain :
1. dapat menunjang stabilitas dan kesegarisan tulang belakang
2. nyaman dan memiliki risiko rendah ulkus dekubitus
3. memudahkan akses perawatan
4. memudahkan upaya reposisi pasien untuk mencegah komplikasi imobilisasi
33
Penanganan awal renjatan neurogenik adalah resusitasi cairan kristaloid
intravena untuk menjaga kecukupan volume intravaskula. Jika hipotensi tetap
terjadi setelah resusitasi, maka dapat dipertimbangkan penggunaan vasosupressor.
Pemilihan regimen vasosupressor yang terbaik hingga saat ini masih dalam
penelitian , tetapi lebih diutamakan yang memiliki aktivitas alfa dan beta
adrenergik, misalnya norepinefrin, dopamin, dan adrenalin.
Bila pasien mengalami renjaan hipovolemik, maka terapi utamanya adalah
resusitasi cairan dengan kristaloid (NaCl 0,9 % atau ringer laktat). Kombinasi
dengan koloid, misalnya albumin 5 % dapat juga dipertimbangkan pada
kemungkinan overload serta adanya kontraindikasi pemakaian kristaloid pada
cedera kepala. Pemantuan saturasi oksigen menggunakan oksimeter (pulse
oximeter) perlu dilakukan selama perawatan.
34
hingga kondisi stabil, dilanjutakan dengan pemasangan kateter setiap 6 jam.
Pemasangan pipa suprapubik dapat dilakukan pada kondisi priapismus untuk
menghindari cedera sekunder saluran kemih. Penanganan selanjutnya tergantung
dari hasil pemeriksaan urodinamik.
Tatalaksana Operasi
12 Prognosis
Prognosis dapat bervariasi tergantung pada tingkat, komplit tidaknya lesi, cedera
yang menyertai, penyakit komorbid, dan umur dari pasien. Walaupun saat ini sudah
terdapat berbagai macam peralatan canggih dan sumber daya manusia yang
memumpuni, umur pasien pasca SCI umumnya lebih pendek daripada masyarakat pada
umumnya dengan mortalitas sebesar 3,8%. Rata-rata pasien akan memiliki angka
harapan hidup sebesar 18,1 – 88,4% SCI komplit umumnya memiliki yang prognosis
buruk, apabila tidak mengalami perbaikan dalam 72 jam pertama akan mengalami
defisit neurologi dan atau kecacatan yang menetap. Menurut penelitian, hanya
sekitar 5% pasien yang berhasil mengalami perbaikan fungsi neurologis kembali
normal. Menurut (Christopher et al., 2015), hanya sekitar 10-15% pasien dengan
cedera komplit yang akan menjadi inkomplit setelah mendapatkan penanganan. SCI
inkomplit memiliki prognosis yang lebih baik bedasarkan hasil penelitian dengan
35
kemungkinan >50% pasien dapat berjalan normal bila masih terdapat fungsi sensorik
dibawah lesi.
Daftar Pustaka
36
4 Alizadeh, A., Dyck, S. M., & KarimiAbdolrezaee, S. (2019). Traumatic spinal
cord injury: An overview of pathophysiology, models and acute injury mechanisms.
Frontiers in Neurology, 10(March), 1–25. https://doi.org/10.3389/fneur.2019.00 282
5 ATLS. (2018). Advanced trauma life support. Anaesthesia (Vol. 48).
https://doi.org/10.1111/j.1365- 2044.1993.tb07025.x
9 Guyton, Arthur, C. Hall, John, E. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Jakarta
: EGC; 1997
10 Adams RD, Victor M, Ropper AH. Disease of Spinal Cord in Principles of
Neurology,
7th ed. McGraw-Hill, New York, 2001
11 Whitman PA, A. Anatomy, Skin, Dermatomes. 2020.
12 Pertiwi, G. M. D., & Berawi, K. (2017). Diagnosis dan Tatalaksana Trauma
Medula Spinalis Diagnosis and Management of Spinal cord injury. Medical
Proffession Journal of Lampung, 7(2), 48–52.
13 Dinata I , Yasa Pratama, The Overview of Spinal Cord Injury. Ganesha
Medicina
Journal. 2021; 1(2)
14 Sheperd Centre and KPK interactive. Understanding Spinal Cord Injury. The
National
Spinal Cord Injury Association and The Christopher & Dana Reeve Foundation. 2011.
15 Meyza A, Ramli Y. Buku Ajar Neurologi Buku 2. Jakarta: Departemen Neurologi
Universitas Indonesia.2017
16 Silva OT, Joaquim AF, Vaccaro AR, Rothman RH. Fundamentals of Neurosurgery.
A Guide for Clinicians and Medical Students. USA: Springer.2019
17 Ropper AE, Neal MT, Theodore N. Acute management of traumatic cervical
spinal cord injury. Pr Neurol. 2015;15:266–72.
18 Soopramanien A, Grundy D. Spinal Cord Injury in the Developing World.
Dalam: Grundy D, Swain A. ABC of Spinal Cord Injury. Fourth edition.
London: BMJ Publishing Group; 2002: 76
19 Fenstermaker RA. Acute Neurologic Management of the Patient with Spinal
Cord
Injury. Urologic Clinic of North America 1993;20:413-421
20 Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. Panduan Praktik Klinis
Neurologi.
Jakarta: Perdossi.2016
21 Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Buku Ajar
Neurologi. Jakarta : Penerbit Kedokteran Indonesia. 2017
37
22 Alpert MJ. Central Cord Syndrome. eMedicine Journal 2001; 2
38
39