You are on page 1of 12

Nama: Nurfirda Sari

Nim: 105401108322
Kelas: SD 2 C
1. Tahap-tahap perkembangan oleh J. Piaget
Melansir dari laman Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), menurut J. Piaget,
awal masa remaja terjadi transformasi kognitif yang besar menuju cara berpikir
yang lebih abstrak, konseptual, dan berorientasi ke masa depan (future oriented).
Remaja mulai menunjukkan minat dan kemampuan di bidang tulisan, seni, musik,
olahraga, dan keagamaan. Teori perkembangan kognitif Jean Piaget atau teori
Piaget menunjukkan bahwa kecerdasan berubah seiring dengan pertumbuhan
anak. Perkembangan kognitif seorang anak bukan hanya tentang memperoleh
pengetahuan, anak juga harus mengembangkan atau membangun mental.
Lantas, seperti apa sih tahapan teori Piaget dalam perkembangan kognitif anak?
1.Tahap Sensorimotor (Usia 18-24 bulan)
Tahap sensorimotor adalah yang pertama dari empat tahap dalam teori Piaget
mengenai perkembangan kognitif anak Piaget. Selama periode ini, bayi
mengembangkan pemahaman tentang dunia melalui koordinasi pengalaman
sensorik (melihat, mendengar) dengan tindakan motorik (menggapai,
menyentuh).
Perkembangan utama selama tahap sensorimotor adalah pemahaman bahwa
ada objek dan peristiwa terjadi di dunia secara alami dari tindakannya
sendiri.Misalnya, jika ibu meletakkan mainan di bawah selimut, anak tahu
bahwa main yang biasanya ada (dia lihat) kini tidak terlihat (hilang), dan anak
secara aktif mencarinya. Pada awal tahapan ini, anak berperilaku seolah
mainan itu hilang begitu saja.
2.Tahap Praoperasional (Usia 2-7 Tahun)
Tahap ini dimulai sekitar 2 tahun dan berlangsung hingga kira-kira 7 tahun.
Selama periode ini, anak berpikir pada tingkat simbolik tapi belum
menggunakan operasi kognitif. Artinya, anak tidak bisa menggunakan logika
atau mengubah, menggabungkan, atau memisahkan ide atau pikiran.
Perkembangan anak terdiri dari membangun pengalaman tentang dunia
melalui adaptasi dan bekerja menuju tahap (konkret) ketika ia bisa
menggunakan pemikiran logis. Selama akhir tahap ini, anak secara mental bisa
merepresentasikan peristiwa dan objek (fungsi semiotik atau tanda), dan
terlibat dalam permainan simbolik.
3.Tahap Operasional Konkret (Usia 7-11 Tahun)
Perkembangan kognitif anak di tahap ini berlangsung sekitar usia 7 hingga 11
tahun, dan ditandai dengan perkembangan pemikiran yang terorganisir dan
rasional. Piaget menganggap tahap konkret sebagai titik balik utama dalam
perkembangan kognitif anak, karena menandai awal pemikiran logis. Pada
tahapan ini, Si Kecil cukup dewasa untuk menggunakan pemikiran atau
pemikiran logis, tapi hanya bisa menerapkan logika pada objek fisik. Anak
mulai menunjukkan kemampuan konservasi (jumlah, luas, volume, orientasi).
Meskipun anak bisa memecahkan masalah dengan cara logis, mereka belum
bisa berpikir secara abstrak atau hipotesis.
4.Tahap Operasional Formal (Usia 12 tahun ke atas)
Perkembangan kognitif anak menurut tahap terakhir menurut Piaget dimulai
sekitar usia 12 tahun dan berlangsung hingga dewasa. Saat remaja memasuki
tahap ini, mereka memperoleh kemampuan untuk berpikir secara abstrak
dengan memanipulasi ide di kepalanya, tanpa ketergantungan pada manipulasi
konkret. Seorang remaja bisa melakukan perhitungan matematis, berpikir
kreatif, menggunakan penalaran abstrak, dan membayangkan hasil dari
tindakan tertentu.

2.  Advance Organizer oleh Ausebel


Teori belajar Ausubel merupakan teori belajar yang dikemukakan oleh David
Paul Ausubel yang merupakan seorang Psikiatris Anak sekaligus akademika
terkemuka yang bergerak di bidang psikologi pendidikan, psikopatologi umum,
perkembangan ego, kecanduan obat, dan psikiatri forensik. Sepanjang karirnya
baik sebagai seorang Psikiatris Anak maupun Professor di New York University,
ia menerbitkan ratusan karya ilmiah dan buku yang memberikan sumbangsih
dan pengaruh besar terhadap bidang psikologi pendidikan.
Teori Ausubel berkaitan dengan bagaimana individu mempelajari sejumlah
material yang berarti dari verbal/tekstual, presentasi, atau pengaturan dan
tindakan lainnya di sekolah maupun lembaga pendidikan lainnya. Menurut
Ausubel (1962, hlm. 66) belajar adalah berdasarkan jenis proses superordinat,
representasi, dan kombinasi yang terjadi selama penerimaan informasi. Sebuah
proses utama dalam belajar adalah subsumption di mana materi baru terkait
dengan gagasan yang relevan dalam struktur kognitif yang ada, berdasarkan
substantif nonverbal (Ausubel, 1962, hlm. 66).
Menurut Ausubel belajar dapat diklasifikasikan menjadi dua dimensi, yakni:
Dimensi pertama yang berhubungan dengan cara penyampaian informasi atau
materi pelajaran dapat dikomunikasikan pada siswa dalam bentuk belajar
penerimaan atau penemuan; dan Dimensi kedua yang menyangkut cara
bagaimana siswa dapat mengaitkan informasi itu pada struktur kognitif yang
sudah ada. Kedua dimensi, yaitu penerimaan/penemuan dan hafalan/bermakna
tidak menunjukan dikotomi sederhana, melainkan merupakan suatu proses
kontinum.
Berdasarkan pandangannya tentang meaningful learning, Ausubel (dalam
Cahyo, 2013) mengajukan tiga prinsip pembelajaran salah satunya yaitu:
Presentation of Advance Organizer
Advance organizer mengarahkan para siswa pada materi yang akan mereka
pelajari dan menolong mereka untuk mengingat kembali informasi yang
berhubungan yang dapat digunakan dalam membantu menanamkan
pengetahuan baru. The advance organizer berhubungan dengan ide-ide yang
disampaikan dalam suatu pelajaran untuk memberi informasi kepada siswa yang
telah siap dalam pikiran mereka, dan memberikan skema organisasi yang luas
dalam bentuk informasi yang lebih khusus.
Menurut Ausubel (1968 dalam Masdudi, 2015, hlm. 182) siswa akan belajar
dengan baik apabila advance organizer dipresentasikan dengan baik dan tepat
kepada siswa. Advance organizer adalah konsep atau informasi umum yang
mewadahi (mencakup) semua isi pelajaran yang akan diajarkan kepada siswa
dengan manfaat:
1. Dapat menyediakan suatu kerangka konseptual untuk materi belajar yang
akan dipelajari oleh siswa;
2. Dapat berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan antara apa
yang sedang dipelajari siswa “saat ini” dengan apa yang “akan” dipalajari
siswa;
3. Mampu membantu siswa untuk memahami bahan belajar secara lebih
mudah (Masdudi, 2015, hlm. 182).
3. Pemahaman konsep oleh Bruner
Bruner yang memiliki nama lengkap Jerome S.Bruner seorang ahli psikologi
(1915) dari Universitas Harvard, Amerika Serikat, telah mempelopori aliran
psikologi kognitif yang memberi dorongan agar pendidikan memberikan perhatian
pada pentingnya pengembangan berfikir. Bruner banyak memberikan pandangan
mengenai perkembangan kognitif manusia, bagaimana manusia belajar atau
memperoleh pengetahuan, menyimpan pengetahuan dan menstransformasi
pengetahuan. Dasar pemikiran teorinya memandang bahwa manusia sebagai
pemeroses, pemikir dan pencipta informasi. Bruner menyatakan belajar
merupakan suatu proses aktif yang memungkinkan manusia untuk menemukan
hal-hal baru di luar informasi yang diberikan kepada dirinya.
Menurut Bruner (dalam Hudoyo,1990:48) belajar matematika adalah belajar
mengenai konsep-konsep dan struktur-struktur matematika yang terdapat di
dalam materi yang dipelajari, serta mencari hubungan antara konsep-konsep dan
struktur-struktur matematika itu. Siswa harus dapat menemukan keteraturan
dengan cara mengotak-atik bahan-bahan yang berhubungan dengan keteraturan
intuitif yang sudah dimiliki siswa. Dengan demikian siswa dalam belajar, haruslah
terlibat aktif mentalnya agar dapat mengenal konsep dan struktur yang tercakup
dalam bahan yang sedang dibicarakan, anak akan memahami materi yang harus
dikuasainya itu. Ini menunjukkan bahwa materi yang mempunyai suatu pola atau
struktur tertentu akan lebih mudah dipahami dan diingat anak. Dalam setiap
kesempatan, pembelajaran matematika hendaknya dimulai dengan pengenalan
masalah yang sesuai dengan situasi (contextual problem). Dengan mengajukan
masalah kontekstual, peserta didik secara bertahap dibimbing untuk menguasai
konsep matematika. Untuk meningkatkan keefektifan pembelajaran sekolah
diharapkan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi seperti komputer,
alat peraga, atau media lainnya.
Bruner, melalui teorinya itu, mengungkapkan bahwa dalam proses belajar anak
sebaiknya diberi kesempatan memanipulasi benda-benda atau alat peraga yang
dirancang secara khusus dan dapat diotak-atik oleh siswa dalam memahami
suatu konsep matematika. Melalui alat peraga yang ditelitinya itu, anak akan
melihat langsung bagaimana keteraturan dan pola struktur yang terdapat dalam
benda yang sedang diperhatikannya itu. Keteraturan tersebut kemudian oleh anak
dihubungkan dengan intuitif yang telah melekat pada dirinya. Peran guru dalam
penyelenggaraan pelajaran tersebut,
1. perlu memahami sturktur mata pelajaran,
2. pentingnya belajar aktif suapaya seorang dapat menemukan sendiri konep-
konsep sebagai dasar untuk memahami dengan benar,
3. pentingnya nilai berfikir induktif.
Dengan demikian agar pembelajaran dapat mengembangkan keterampilan
intelektual anak dalam mempelajari sesuatu pengetahuan (misalnya suatu konsep
matematika), maka materi pelajaran perlu disajikan dengan memperhatikan tahap
perkembangan kognitif/ pengetahuan anak agar pengetahuan itu dapat
diinternalisasi dalam pikiran (struktur kognitif) orang tersebut.
Proses internalisasi akan terjadi se-cara sungguh-sungguh (yang berarti proses
belajar terjadi secara optimal) jika penge-tahuan yang dipelajari itu dipelajari
dalam tiga model tahapan yaitu model tahap enaktif, model ikonik dan model
tahap simbolik.
Bila dikaji ketiga model penyajian yang dikenal dengan teori Belajar Bruner, dapat
diuraikan sebagai berikut:
1). Model Tahap Enaktif
Dalam tahap ini penyajian yang dilakukan melalui tindakan anak secara
langsung terlibat dalam memanipulasi (mengotak-atik) objek. Pada tahap ini
anak belajar sesuatu pengetahuan di mana pengetahuan itu dipelajari secara
aktif, dengan menggunakan benda-benda konkret atau menggunakan situasi
yang nyata, pada penyajian ini anak tanpa menggunakan imajinasinya atau
kata-kata. Ia akan memahami sesuatu dari berbuat atau melakukan sesuatu.
2). Model Tahap Ikonik
Dalam tahap ini kegiatan penyajian dilakukan berdasarkan pada pikiran inter-
nal dimana pengetahuan disajikan melalui serangkaian gambar-gambar atau
grafik yang dilakukan anak, berhubungan dengan mental yang merupakan
gambaran dari objek-objek yang dimanipulasinya. Anak tidak langsung mema
nipulasi objek seperti yang dilakukan siswa dalam tahap enaktif.
Tahap ikonik, yaitu suatu tahap pembelajaran sesuatu pengetahuan di mana
pengetahuan itu direpresentasikan (diwujudkan) dalam bentuk bayangan
visual (visual imaginery), gambar, atau diagram, yang menggambarkan
kegiatan kongkret atau situasi kongkret yang terdapat pada tahap enaktif
tersebut di atas (butir a). Bahasa menjadi lebih penting sebagai suatu media
berpikir. Kemudian seseorang mencapai masa transisi dan menggunakan
penyajian ikonik yang didasarkan pada pengindraan kepenyajian simbolik yang
didasarkan pada berpikir abstrak.
3). Model Tahap Simbolis
Dalam tahap ini bahasa adalah pola dasar simbolik, anak memanipulasi
simbul-simbul atau lambang-lambang objek tertentu. Anak tidak lagi terikat
dengan objek-objek seperti pada tahap sebelumnya. Anak pada tahap ini
sudah mampu menggunakan notasi tanpa ketergantungan terhadap objek riil.
Pada tahap simbolik ini, pembelajaran direpresentasikan dalam bentuk simbol-
simbol abstrak (abstract symbols), yaitu simbol-simbol arbiter yang dipakai
berdasarkan kesepakatan orang-orang dalam bidang yang bersangkutan, baik
simbol-simbol verbal (misalnya huruf-huruf, kata-kata, kalimat-kalimat),
lambang-lambang matematika, maupun lambang-lambang abstrak yang lain.
Sebagai contoh sederhana, dalam mempelajari penjumlahan dua bilangan cacah,
pembelajaran akan terjadi secara optimal jika mula-mula siswa mempelajari hal
itu dengan menggunakan benda-benda konkret (misalnya menggabungkan 3
kelereng dengan 2 kelereng, dan kemudian menghitung banyaknya kelereng
semuanya ini merupakan tahap enaktif).
Kemudian, kegiatan belajar dilanjutkan dengan menggunakan gambar atau
diagram yang mewakili 3 kelereng dan 2 kelereng yang digabungkan tersebut
(dan kemudian dihitung banyaknya kelereng semuanya, dengan menggunakan
gambar atau diagram tersebut/ tahap yang kedua ikonik, siswa bisa melakukan
penjumlahan itu dengan menggunakan pembayangan visual (visual imagenary)
dari kelereng tersebut.
Pada tahap berikutnya yaitu tahap simbolis, siswa melakukan penjumlahan kedua
bilangan itu dengan menggunakan lambang-lambang bilangan, yaitu : 3+2=5
3+2=5.
Langkah yang diberikan Bruner dalam pembelajaran, secara logika sederhana
dapat kita terima. Dimana perkenalan pembelajaran dimulai dari hal yang paling
sederhana atau nyata lalu sampai kepada hal yang abstrak, mungkin konsep ini
dapat kita terapkan di dalam proses pembelajaran sehari-hari.
4. Hirarki Belajar oleh Gagne
Menurut kamus ilmiah populer (2006:179) hirarki berarti berurutan-urutan,
peringkat, tingkat. Hirarki belajar merupakan struktur belajar yang terdiri dari
tingkatan-tingkatan belajar.Robert M. Gagne merupakan salah seorang penganut
aliran psikologi tingkah laku. Gagne memiliki pandangan bahwa belajar
merupakan perubahan tingkah laku yang kegiatannya mengikuti suatu hirarki
kemampuan yang dapat diobservasi atau diukur. Oleh karena itu, teori belajar
yang dikemukakan Gagne dikenal sebagai Teori Hirarki Belajar. Teori hirarki
belajar ditemukan oleh Rober M. Gagne yang didasarkan atas hasil riset tentang
faktor-faktor yang kompleks pada proses belajar manusia. Penelitiannya
dimaksudkan untuk menemukan teori pembelajaran yang efektif. Analisanya
dimulai dari identifikasi konsep hirarki belajar, yaitu urut-urutan kemampuan yang
harus dikuasai oleh pembelajar (peserta didik) agar dapat mempelajari hal-hal
yang lebih sulit atau lebih kompleks. Orton dalam Warsita Hirarki belajar menurut
Gagne harus disusun dari atas ke bawah atau top down. Dimulai dengan
menempatkan kemampuan, pengetahuan, ataupun keterampilan yang menjadi
salah satu tujuan dalam proses pembelajaran dipuncak hirarki belajar tersebut,
diikuti kemampuan, keterampilan atau pengetahuan prasyarat yang harus mereka
kuasai lebih dahulu agar mereka berhasil mempelajari keterampilan atau
pengetahuan diatasnya. Hirarki ini juga memungkinkan prasyarat yang berbeda
untuk kemampuan yang berbeda pula.
Gagne membedakan delapan tipe belajar yang terurut secara hirarki, mulai dari
tipe belajar yang sederhana sampai dengan tipe belajar yang lebih kompleks.
Kemampuan belajar pada tingkat tertentu ditentukan oleh kemampuan belajar di
tingkat sebelumya. Kedelapan tipe belajar di atas dikemukakan berikut ini.
1. Belajar isyarat (signal learning)
Belajar isyarat adalah belajar sesuatu dengan tidak sengaja yaitu sebagai
akibat dari suatu rangsangan yang dapat menimbulkan reaksi tertentu. Dari
signal yang dilihat atau didengarnya, anak akan memberi respon tertentu.
Belajar isyarat ini mirip dengan conditioning menurut Pavlov dan timbul setelah
sejumlah pengalaman tertentu. Respons yang timbul bersifat umum, kabur,
dan emosional. Misalnya, siswa menjadi senang belajar matematika karena
gurunya bersikap ramah dan humoris.
2. Belajar stimulus-respons (stimulus-response learning)
Belajar stimulus-respons adalah belajar yang disengaja dan responsnya
seringkali secara fisik (motoris). Respons atau kemampuan yang timbul tidak
diperoleh dengan tiba-tiba melainkan melalui pelatihan-pelatihan. Respons itu
dapat diatur dan dikuasai. Misalnya, seorang siswa dapat menyelesaikan suatu
soal setelah memperhatikan contoh penyelesaian soal yang serupa oleh
gurunya.
3. Rantai atau rangkaian (chaining)
Belajar rantai atau rangkaian (gerak, tingkah laku) adalah belajar yang
menunjukkan kemampuan anak untuk menggabungkan dua atau lebih hasil
belajar stimulus–respon secara berurutan. Chaining terbatas hanya pada
serangkaian gerak, bukan serangkaian produk bahasa lisan. Misalnya, siswa
belajar melukis garis melalui dua titik melalui rangkaian gerak: mengambil
pensil, membuat dua titik sembarang, memegang penggaris, meletakkan
penggaris tepat di samping kedua titik, kemudian menarik ruas garis melalui
kedua titik itu.
4. Asosiasi verbal (verbal association)
Belajar asosiasi verbal adalah tipe belajar yang menggabungkan hasil belajar
yang melibatkan unit bahasa (lisan) seperti memberi nama sebuah
objek/benda. Sebagai contoh, bila diperlihatkan suatu bentuk geometris,
seorang siswa dapat mengatakan bentuknya adalah ’persegi’. Sebelumnya, ia
harus dapat membedakan bentuk-bentuk geometris agar dapat mengenal
’persegi’ sebagai salah satu bentuk geometris. Hubungan itu terbentuk bila
unsur-unsur itu terdapat dalam urutn tertentu, yang satu segera mengikuti yang
satu lagi (contiguity).
5. Belajar diskriminasi (discrimination learning)
Belajar diskriminasi atau memperbedakan adalah belajar untuk membedakan
hubungan stimulus-respons agar dapat memahami berbagai objek fisik dan
konsep. Ada dua macam belajar diskriminasi, yaitu belajar disriminasi tunggal
dan belajar diskriminasi jamak. Sebagai contoh belajar diskriminasi tunggal,
siswa dapat membedakan lambang ∩ dan U dalam operasi himpunan. Belajar
diskriminasi jamak, misalnya siswa dapat membedakan sudut dan sisi pada
segitiga lancip, siku-siku, dan tumpul, atau pada segitiga sama sisi, sama kaki,
dan sembarang.
6. Belajar konsep (concept learning)
Belajar konsep adalah belajar memahami sifat-sifat bersama dari benda-benda
konkrit atau peristiwa-peristiwa untuk dikelompokkan menjadi satu jenis. Untuk
mempelajari suatu konsep, anak harus mengalami berbagai situasi dan
stimulus tertentu. Pada tipe belajar ini, mereka dapat mengadakan diskriminasi
untuk membedakan apa yang termasuk atau tidak termasuk dalam suatu
konsep. Melalui pemahaman konsep siswa mampu mengidentifikasikan benda
lain yang berbeda ukuran, warna, maupun materinya, namun masih memiliki
kararkteristik dari objek itu sendiri. Sebagai contoh, seorang siswa dikatakan
telah belajar konsep himpunan jika ia telah dapat menunjukkan kumpulan objek
yang merupakan contoh himpunan atau bukan contoh himpunan.
7. Belajar aturan (rule learning)
Belajar aturan adalah tipe belajar yang memungkinkan peserta didik dapat
menghubungkan dua konsep atau lebih untuk membentuk suatu aturan. Harus
diingat, mengenal aturan tanpa memahaminya akan merupakan verbal-chain
saja, dan hal ini merupakan cara pembelajaran yang keliru. Seorang siswa
dikatakan telah belajar aturan jika ia telah mampu mengaplikasikan aturan itu
Misalnya, dalam matematika siswa dapat memahami bahwa (a + b)(a – b) = a
2 – b 2 berdasarkan konsep-konsep sebelumnya, seperti perkalian dua
bilangan, perkalian berulang, perkalian dua bilangan berbeda tanda, dan
penjumlahan/pengurangan dua bilangan.
8. Memecahkan masalah (problem solving)
Belajar memecahkan masalah merupakan tipe belajar yang lebih tinggi dan
lebih kompleks dibandingkan dengan tipe belajar yang lain. Dalam belajar
pemecahan masalah, ada empat langkah penting dalam proses pemecahan
masalah menurut Polya (dalam Pirdaus, 2007), yaitu (1) memahami
masalahnya, dalam arti menentukan apa yang diketahui dan apa yang
ditanyakan, (2) merencanakan cara penyelesaiannya, (3) melaksanakan
rencana; dan (4) menafsirkan atau mengecek hasilnya. Dalam belajar
pemecahan masalah, siswa harus memiliki pemahaman sejumlah konsep dan
aturan. Selain itu, siswa juga harus memiliki strategi yang dapat memberikan
arah pada pemikirannya untuk memecahkan masalah itu.
Menurut Gagne belajar melalui empat fase utama yaitu :
1. Fase pengenalan (apprehending phase).
Pada fase ini siswa memperhatikan stimulus tertentu kemudian menangkap
artinya dan memahami stimulus tersebut untuk kemudian ditafsirkan sendiri
dengan berbagai cara. ini berarti bahwa belajar adalah suatu proses yang unik
pada tiap siswa, dan sebagai akibatnya setiap siswa bertanggung jawab
terhadap belajarnya karena cara yang unik yang dia terima pada situasi
belajar.
2. Fase perolehan (acqusition phase).
Pada fase ini siswa memperoleh pengetahuan baru dengan menghubungkan
informasi yang diterima dengan pengetahuan sebelumya. Dengan kata lain
pada fase ini siswa membentuk asosiasi-asosiasi antara informasi baru dan
informasi lama.
3. Fase penyimpanan (storage phase).
Fase storage/retensi adalah fase penyimpanan informasi, ada informasi yang
disimpan dalam jangka pendek ada yang dalam jangka panjang, melalui
pengulangan informasi dalam memori jangka pendek dapat dipindahkan ke
memori jangka panjang.
4. Fase pemanggilan (retrieval phase).
Fase Retrieval/Recall, adalah fase mengingat kembali atau memanggil kembali
informasi yang ada dalam memori. Kadang-kadang dapat saja informasi itu
hilang dalam memori atau kehilangan hubungan dengan memori jangka
panjang. Untuk lebih daya ingat maka perlu informasi yang baru dan yang lama
disusun secara terorganisasi, diatur dengan baik atas pengelompokan.

5. Webteaching oleh Norman


Aplikasi pendekatan pemrosesan informasi dalam pendidikan memandang guru
sebagai pembimbing kognitif untuk tugas akademik dan murid sebagai pelajar
yang berusaha memahami tugas- tugasnya.[25] Murid merupakan seseorang
yang memainkan peran aktif dalam perkembangan
mereka. Webteaching merupakan salah satu aplikasi teori Norman dalam
pengorganisasian isi pembelajaran yang berpijak pada teori kognitif.Webteaching
yang  dikemukakan  Norman,  merupakan  suatu  prosedur  menata urutan  isi 
bidang  studi  yang  dikembangkan  dengan  menampilkan  pentingnya peranan
struktur pengetahuan yang telah dimiliki oleh seseorang, dan struktur isi  bidang 
studi  yang  akan  dip elajari.  Pengetahuan  baru  yang  akan  dipelajari secara 
bertahap  harus  diintegrasikan  dengan  struktur  pengetahuan  yang  telah
dimilikinya. 
Dalam kajian tentang model-model pembelajaran, Rumelhart and Norman
(1981) memperlihatkan kedekatan hubungan antara pendekatan proses
informasinya (information processing approach) dan pandangan Piaget tentang
pengembangan pengetahuan (developmental knowledge). Adapun mode of
learning-nya sebagai berikut:
1. Accretion (Pertumbuhan)
Merupakan penambahan pengetahuan pada skemata yang ada, tanpa
mengubah strukturnya dalam cara-cara yang mendasar. Contoh belajar
mengendarai mobil yang sebelumnya tidak bisa mengendarainya. Norman
(1982) menulis, agaknya kita telah memiliki kerangka pengetahuan tentang
struktur automobil dan mekaniknya. Namun, kita masih harus belajar tentang
mobil baru dan bagian-bagiannya yang penting. Sebagaimana mobil kita
memasukkan aspek-aspek baru ke dalam memory sesuai dengan bentuk
maupun caranya.
2. Structuring (Penyusunan)
Ketika keberadaan skemata tidak memperkenankan negosiasi dengan
lingkungan secara efektif. Norman, menunjukkan kepada belajar skemata
sebagai struktur, namun banyak kesulitan jenis belajar ini. Penggunaan contoh
di atas, ketika orang pertama kali belajar bagaimana mengendarai sesuatu,
maka ia harus belajar suatu skema mengendarai; tugas yang sulit ini
dikerjakan, meskipun dapat diterapkan pada hampir semua automobil dengan
relatif menyenangkan.
3. Tuning (penyelarasan)
Merupakan penyesuaian suatu skema pada suatu jenis situasi hubungan yang
luas. Tuning mencoba memasukkan hal yang amatir pada bentuk yang ahli dan
ini menunjukkan keterlambatan jenis belajar. Dalam proses ini dituntut untuk
selalu menyelaraskan dengan yang lebih mampu, yang amatir harus selaras
dengan yang ahli. Hal ini tidak mudah dan akan membutuhkan waktu yang
banyak untuk menyelaraskannya.
4. Learning by analogy (pembelajaran dengan analogi)
Model ini menurut Norman berisi bahwa belajar skemata baru selalu
dihubungkan dengan skemata yang sudah ada. Dalam proses ini beranggapan
bahwa skemata yang ada merupakan suatu analogi yang sempurna untuk
yang lain, padahal belajar dengan analogi ini hampir selalu kurang sempurna.
5.Memory (Ingatan)
Menurut Ellis dan Hunt (1993) Memory atau ingatan menunjuk pada proses
penyimpanan atau pemeliharaan informasi sepanjang waktu (maintaining
information overtime). Seseorang dapat menyimpan kode nomor telepon
tertentu dalam ingatannya untuk jangka waktu kurang dari satu detik, atau
sepanjang hayatnya. Hampir semua aktifitas manusia selalu melibatkan aspek
ingatan. Oleh karena itu ingatan menjadi sesuatu yang sangat penting dalam
proses kognitif manusia. Sementara itu, Menurut Norman bahwa terdapat tiga
hal yang harus dikelola untuk mengingat dengan sukses, yaitu akuisisi
(acquisition), retensi (retention) dan mengingat kembali (retrieval).

You might also like