You are on page 1of 7

ANALISIS UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN

PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG BERDASARKAN UNDANG-


UNDANG NO 11 TAHUN 2020 TENTANG CIPTA KERJA
Untuk Memenuhi Tugas Terstruktur 1 Hukum Kepailitan dan PKPU

Ajmi Pajrul Amien 205010100111130


No Absen :9
Kelas : Hukum Kepailitan dan PKPU (D)

KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET DAN TEKNOLOGI


UNIVERSITAS BRAWIJAYA
FAKULTAS HUKUM
MALANG
2023
ANALISIS UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN
PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG BERDASARKAN UNDANG-
UNDANG CIPTAKER

Peraturan mengenai hukum kepailitan tidak hanya terdapat dalam Undang-Undang 37 Tahun
2004 tentang Kepailitan saja, melainkan juga terdapat dalam instrumen hukum sejenis lainnya, yakni
dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta kerja. Dalam Undang-Undang Ciptaker
sendiri terdapat beberapa pasal yang menyinggung adanya kondisi pailit, pasal-pasal tersebut
diantaranya adalah Pasal 95, Pasal 154A huruf f, Pasal 153G Ayat (2) huruf d dan e, Pasal 162 Ayat
(3), dan Pasal 168 huruf h. selain dari adanya rangkaian pasal-pasal diatas pemerintah sehubungan
dengan UU Ciptaker, memberikan suatu perubahan khusus terhadap adanya bentuk Usaha Mikro dan
Kecil (UMK) yang dapat membentuk badan hukum baru berupa Perseroan Perorangan dengan
tanggung jawab terbatas. Hal ini dilatarbelakangi oleh peraturan perundang-undangan di Indonesia
yang berdasarkan data dari Bank dunia dan International Finance Corporation (IFC) memposisikan
Indonesia dalam peringkat 166 dunia dalam hal kemudahan berusaha. 1 Lantas terhadap adanya bentuk
perseroan perorangan pun menjadi persoalan ketika adanya kondisi pailit dalam perseroan perorangan
yang sebetulnya belum diatur dalam adanya UU Kepailitan dan PKPU. Maka dari itu penulisan
analisis ini akan membahas perbedaan pengaturan yang menyinggung soal kepailitan antara Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Ciptakerja dengan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004
tentang Kepailitan dan PKPU.

a. Pasal 95 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta kerja
Pasal 95 Ayat (1) UU Ciptaker memiliki muatan pengaturan yang menyinggung adanya
regulasi kepailitan, Pasal 95 Ayat (1) sendiri berbunyi:

“Dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan, upah dan hak lainnya yang belum diterima oleh pekerja/buruh
merupakan utang yang didahulukan pembayarannya”2

Pada pasal 95 Ayat (1) memiliki kaitan dengan adanya kondisi perusahaan yang telah
dinyatakan pailit dengan hubungannya terhadap pemenuhan hak pekerja/buruh. Dengan
adanya ketentuan pada Pasal 95 ini, maka dapat diartikan bahwa UU Ciptaker memberikan
penjaminan terhadap posisi kreditur seorang buruh atau pekerja. Dengan adanya unsur pada
1
Riani, N. V., & Narindrani, M. L. F. (2021). Legal Aspect of Individual Company for Micro and Small
Business in Omnibus Law on Job Creation. In 2nd International Conference on Law and Human Rights 2021
(ICLHR 2021) (pp. 1-7). Atlantis Press. hlm. 2.
2
Pasal 95 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja
Pasal 95 Ayat (1) UU Ciptaker yang menyatakan bahwa “upah dan hak lainnya yang belum
diterima oleh pekerja/buruh merupakan utang yang didahulukan pembayarannya” maka
dapat diartikan bahwa pekerja atau buruh merupakan kreditur prepferen ketika perusahaan
tempat mempekerjakannya mengalami pailit atau likuidasi. Adapun yang dimaksud dengan
kreditur preferen berdasarkan Pasal 1139 jo. Pasal 1149 KUH Perdata dan Pasal 21 ayat (1)
dan (3) UU No 28 Tahun 2007 adalah “Kreditur dengan hak mendahului karena sifat
piutangnya oleh undang-undang diberi kedudukan istimewa, yang terdiri dari kreditur
preferen khusus dan umum”

Dengan adanya kedudukan para pekerja/buruh sebagai kreditur preferen menjadikan


adanya jaminan dan penegasan yang lebih khusus oleh adanya Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja yang sebelumnya belum ditegaskan atau dikhususkan oleh
Undang-Undang Kepailitan. Jika dibandingkan dengan pengaturan dalam UU Kepailitan, UU
Kepailitan mengatur adanya hak upah atas pekerja yang bekerja pada perusahaan yang
mengalami kepailitan dalam Pasal 39 Ayat (2) yang menyatakan:

“Sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan, upah yang terutang sebelum maupun
sesudah putusan pernyataan pailit diucapkan merupakan utang harta pailit”3

Dalam Pasal 39 Ayat (2) diatas tidak disebutkan adanya hak istimewa yang membuat
utang upah pekerja didahulukan dalam adanya kondisi kepailitan suatu perusahaan, melainkan
pada Pasal 39 Ayat (2) UU Kepailitan hanya menyebutkan bahwa upah yang belum
terbayarkan oleh perusahaan dalam kondisi pailit merupakan suatu utang pailit. Sehingga
terlihat adanya penegasan pada UU Ciptaker dengan adanya aturan pada Pasal 95 Ayat (2)
dengan memasukan utang pailit atas upah pekerja yang belum terbayarkan sebagai hak yang
harus didahului oleh pekerja, atau mengkategorikan pekerja/buruh dalam kondisi tersebut
sebagai kreditur preferen.

b. Pasal 154A Ayat (1) huruf f Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta
kerja
Pasal 154 Ayat (1) huruf f menyebutkan bahwa:

“Pemutusan hubungan kerja dapat terjadi karena alasan: f perusahaan pailit;”

3
Pasal 39 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang
Menurut adanya Undang-Undang Cipta Kerja, ketika suatu perusahaan mengalami
kepailitan maka perusahaan tersebut dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap
pekerja/buruh di perusahaannya. Jika dibandingkan dengan pengaturan dalam kepailitan
sendiri, UU Kepailitan tidak secara langsung mengatur terkait dengan adanya pemutusan
hubungan kerja akibat dari kondisi kepailitan yang dialami oleh suatu persusahaan, namun
dalam penjelasan Pasal 39 Ayat (1) menyebutkan bahwa :

“Ketentuan mengenai pemutusan hubungan kerja, Kurator tetap berpedoman pada


peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan”4

Hal ini mengartikan bahwa pemutusan hubungan kerja dalam kondisi kepailitan
ditentukan oleh adanya perundang-undang di bidang ketenagakerjaan. Dalam UU Ciptaker
sendiri pemutusan hubungan pekerjaan dalam hal perusahaan pengalami kepailitan
merupakan Tindakan yang menjadi alasan atau dengan kata lain diperbolehkan.

c. Pasal 153G Ayat (2) huruf d dan e Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang
Cipta kerja
Dalam UU Ciptaker terdapat ketentuan mengenai adanya badan usaha perseroan
terbatas untuk Usaha Mikro dan Kecil (UMK) dan adanya pembubarannya diatur dalam Pasal
153G, dalam Pasal 153 G menyebutkan bahwa pembubaran Persoran UMK dapat terjadi
karena adanya kondisi dicabutnya kepailitan oleh putusan pengadilan niaga yang telah
berkekuatan hukum dan karena alasan harta pailir Perseroan tidak mencukupi untuk
membayar seluruh biaya utang pailit. Hal ini sebagai mana disebutkan dalam Pasal 153G
Ayat (2) yang bebunyi:

Pembubaran Perseroan untuk Usaha Mikro dan Kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
terjadi karena:
a. berdasarkan keputusan RUPS;
b. jangka waktu berdirinya yang ditetapkan dalam pernyataan pendirian telah berakhir;
c. berdasarkanpenetapanpengadilan;
d. dengan dicabutnya kepailitan berdasarkan putusan pengadilan niaga yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap, harta pailit Persero
e. harta pailit Perseroan yang telah dinyatakan pailit berada dalam keadaan insolvensi
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang; atau

4
Penjelasan Pasal 39 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang
f. dicabutnya Perizinan Berusaha Perseroan sehingga mewajibkan Perseroan
melakukan likuidasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 5

Sedangkan jika ditelaah dalam Undang-Undang Kepailitan sendiri tidak dikenal dengan
adanya istilah badan usaha Perseroan untuk Usaha Mikro dan Kecil (UMK), sehingga adanya
bentuk ini merupakan suatu kebaharuan yang dibawa oleh UU Ciptaker yang lebih lanjut
mengatur mengenai adanya pembubaran dengan alasan dicabutnya dicabutnya kepailitan oleh
putusan pengadilan niaga yang telah berkekuatan hukum dan karena alasan harta pailir
Perseroan tidak mencukupi untuk membayar seluruh biaya utang pailit.

d. Pasal 162 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta kerja
Pasal 162 Ayat (3) berbunyi:
“Lembaga tidak dapat dipailitkan, kecuali dapat dibuktikan dalam kondisi insolven.”6

Hal ini memiliki arti bahwa suatu “Lembaga” dapat dipailitkan dengan catatan lembaga
tersebut telah memenuhi kondisi insolven, Adapun yang dimaksud dengan kondisi insolven
berdasarkan Pasal 57 Ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU adalah:

“Yang dimaksud dengan "insolvensi" adalah keadaan tidak mampu membayar.”


Sehingga hal ini merupakan penegasan dari adanya UU Ciptaker terhadap adanya keadaan
Kepailitan terhadap suatu Lembaga.

e. Pasal 168 Huruf h Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta kerja
Pasal 168 huruf h berbunyi:

“Untuk dapat diangkat sebagai anggota Dewan Pengawas dari unsur profesional dan
anggota Dewan Direktur, calon anggota Dewan Pengawas dari unsur profesional dan calon
anggota Dewan Direktur harus memenuhi persyaratan:
tidak pernah dinyatakan pailit atau tidak pernah menjadi pengurus perusahaan yang
menyebabkan perusahaan tersebut pailit; dan”7

UU Ciptaker juga memberikan persyaratan terhadap adanya pengangkatan anggota


dewan pengawas, yakni dengan adanya syarat bahwa seorang anggota harus memenuhi
persyaratan yang salah satunya ialah tidak pernah dinyatakan pailit secara pribadi dan tidak

5
Pasal 153G Ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja
6
Pasal 162 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja
7
Pasal 168 Huruf h Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja
pernah mengurus suatu perusahaan yang menyebabkan perusahaan tersebut dipailitkan. Hal
ini merupakan persyaratan yang pengaturannya di luar dari cakupan kepailitan tetapi tetap
mengandung unsur pengaturan pada UU Ciptaker yang menyinggung adanya unsur
Kepailitan.

Kesimpulan
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja merupakan peraturan yang
memiliki tujuan untuk menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan investasi asing dan dalam
negeri dengan mengurangi persyaratan peraturan untuk izin usaha dan pembebasan tanah. Karena
memiliki panjang 1.187 halaman dan mencakup banyak sektor, UU ini juga disebut sebagai undang-
undang sapu jagat atau omnibus law. Di dalam UU Ciptaker terdapat berbagai pengaturan yang
menyinggung atau terkait dengan UU Kepailitan yakni terdapat dalam Pasal 95, Pasal 154A huruf f,
Pasal 153G Ayat (2) huruf d dan e, Pasal 162 Ayat (3), dan Pasal 168 huruf h. Pada Pasal tersebut
pada intisarinya memberikan pengaturan dalam ranah yang baru seperti dalam pendudukan posisi
kreditur preferen bagi pekerja/buruh pada perusahaan yang pailit, pemutusan hubungan kerja dalam
kondisi perusahaan pailit, hingga adanya pengaturan terhadap Perseroan UMK. Rangkaian pengaturan
tersebut sebelumnya tidak dicantumkan dalam Undang-Undang Undang-Undang Nomor 37 Tahun
2004 tentang Kepailitan. Sehingga hadirnya UU Ciptaker memberikan seragam regulasi baru yang
menyinggung adanya Kepailitan, terutama dalam ranah hubungan pekerjaan dan status perusahaan.
DAFTAR PUSTAKA

Ariani, N. V., & Narindrani, M. L. F. (2021). Legal Aspect of Individual Company for Micro and
Small Business in Omnibus Law on Job Creation. In 2nd International Conference on Law
and Human Rights 2021 (ICLHR 2021) (pp. 1-7). Atlantis Press.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang

You might also like