You are on page 1of 29

MAKALAH

KULTUR JARINGAN TUMBUHAN

“Kultur Jaringan Tanaman Hias Anthurium (Anthurium sp.) dengan


Penambahan Zat Pengatur Tumbuh BAP dan NAA”

Dosen Pengampu Mata Kuliah:


Dr. A. Mu’nisa, S.Si., M.Si.

OLEH:
KELOMPOK 9
Aswar Akbar (220013301017)
Besse Maqfirah Ramadhani (220013301018)

PENDIDIKAN BIOLOGI A PPs 2022

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
2023
KATA PENGANTAR

Bismillahirrohmanirrohim…
Segala puji bagi Allah SWT yang Maha Pengasih lagi maha Penyayang, kami
panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat,
hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas
kelompok untuk mata kuliah Kultur Jaringan dengan judul “Kultur Jaringan
Tanaman Hias Anthurium (Anthurium sp.)”.
Penulis menyampaikan terima kasih kepada Ibunda Dr. A. Mu’nisa, S.Si.,
M.Si. selaku dosen pengampu mata kuliah Kultur Jaringan yang senantiasa
memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis untuk dapat menyelesaikan tugas
makalah ini.
Namun dalam penulisan makalah ini, kami menyadari sepenuhnya bahwa ada
kekurangan baik dari segi penyusun bahasanya maupun segi lainnya. Oleh karena itu
kami mengharapkan kritik dan masukan dari pembaca demi kesempurnaan makalah
ini.
Pada akhirnya kami mengharapkan dengan adanya makalah ini, semoga dapat
memberi tambahan ilmu serta dapat diambil hikmah dan manfaatnya sehingga dapat
memberikan inspirasi terhadap pembaca dan mengaplikasikannya.

Penyusun

Kelompok 9

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ i


DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
A. Latar Belakang ............................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................................ 2
C. Tujuan........................................................................................................... 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 4
A. Kultur Jaringan ............................................................................................. 4
B. Jenis Kultur In Vitro ..................................................................................... 4
C. ZPT (Zat Pengatur Tumbuh) ........................................................................ 6
D. Tahapan Teknik Kultur. ............................................................................... 8
E. Tanaman Anthurium .................................................................................. 10
BAB III METODE PENELITIAN .................................................................... 12
A. Metode Penelitian ....................................................................................... 12
B. Alat dan Bahan ........................................................................................... 13
C. Pelaksanaan Penelitian ............................................................................... 13
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN............................................................. 15
A. Pelengkungan Eksplan Daun Tanaman Anthurium ................................... 15
B. Pencoklatan dan Kontaminasi pada Eksplan Daun Anthurium ................. 17
B. Pertumbuhan Planlet Tanaman Anthurium ................................................ 19
B. Pertumbuhan Daun dan Akar Plantlet Anthurium ..................................... 21
BAB V PENUTUP ............................................................................................... 24
A. Kesimpulan................................................................................................. 24
B. Saran ........................................................................................................... 24
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 25

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Anthurium merupakan salah satu tanaman hias yang tidak pernah tertinggal
peminatnya, meskipun akhir-akhir ini banyak muncul tanaman hias yang semakin
popular. Penanamannya tidak hanya sebagai tanaman hias atau kegemaran saja tetapi
sudah merupakan komoditi sebagai sumber pendapatan cukup potensial. Harga jual
Anthurium mahal sebanding dengan keindahan dan keunikannya.
Tanaman Anthurium termasuk tanaman dari keluarga Aracea, tanaman
berdaun indah ini masih berkerabat dengan sejumlah tanaman hias popular semacam
Aglaonema, philodendron, keladi hias dan alokasia. Selain itu tanaman Anthurium ini
juga tergolong jenis tanaman hias yang mempunyai nilai ekonomis tinggi. Tanaman
ini termasuk jenis tanaman evergreen atau tidak mengenal masa dormansi di alam,
biasanya tanaman ini hidup secara epifit dengan menempel di batang pohon. Dapat
juga hidup secara teresterial di dasar hutan.
Daya tarik utama dari Anthurium adalah bentuk daunnya yang indah, unik,
dan bervariasi dengan beranekaragam bentuk dan corak warna yang sesui dengan
jenis Anthuriumnya. Dewasa ini, permintaan Anthurium dalam skala besar sering kali
tidak dapat terpenuhi karena kurangnya stok dan standarisasi yang tidak tercapai.
Sedangkan perbanyakan konvensional memiliki keterbatasan dalam bahan
perbanyakan. Solusi untuk mengatasi masalah ini dapat dilakukan dengan
menerapkan teknik kultur jaringan. Perkembangan awal dari teknik kultur jaringan
sendiri itu dilandasi dengan adanya teori totipotensi di mana pada prinsipnya sel
tumbuhan memiliki kemampuan otonom untuk tumbuh dan beregenerasi menjadi
suatu tanaman yang utuh.
Kultur tanaman sendiri ialah teknik yang dimanfaatkan untuk mengisolasi
bagian dari tanaman baik itu pada bagian protoplasma sel, kelompok sel, jaringan dan

1
2

organ, hingga ditumbuhkan pada keadaan yang aseptik. Sehingga bagian-bagian


tersebut dapat menggandakan diri dan akan beregenerasi menjadi sebuah tanaman
yang utuh kembali. Selain itu, yang perlu untuk diketahui juga bahwa metode ini
bukan hanya berguna sebagai perbanyakan tanaman, tetapi dapat juga digunakan
untuk mengeliminasi virus agar nantinya tanaman yang kita tumbuhkan tidak akan
mengalami kontaminasi dan tanaman tersebut dapat tumbuh dengan baik. Potensi
teknik kultur jaringan untuk mendapatkan tanaman yang bebas virus, diawali dengan
adanya percobaan kultur secara in vitro. Dasar dari pendekatan ini didominasi dari sel
ujung cabang tanaman yang terinfeksi virus lalu ada juga bagian tertentu dari pucuk
tanaman yang bebas dari virus. Sejak saat itu, teknik mendapatkan tanaman bebas
virus banyak digunakan secara meluas pada berbagai macam spesies tumbuhan baik
dari hortikultura maupun pada bidang pertanian lainnya. Adapun faktor yang
mendukung perbanyakan tanaman secara in vitro agar dapat berhasil dengan baik
adalah zat pengatur tumbuh.
Zat pengatur tumbuh memiliki peranan yang besar dalam teknik kultur in
vitro, terutama dalam proses organogenesis. Auksin dan sitokinin merupakan dua
golongan zat pengatur tumbuh yang sering digunakan untuk memengaruhi
pertumbuhan dan morfogenesis dalam kultur sel, jaringan, dan organ. Dari segi fungsi
sendiri, auksin berperan merangsang pertumbuhan kalus dan akar, sedangkan
sitokinin bermanfaat untuk merangsang tumbuhan tunas dan pembelahan sel.
A. Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada makalah ini sebagai berikut:
1. Bagaimana pengaruh penambahan zat pengatur tumbuh BAP dan NAA terhadap
pelengkungan eksplan daun Anthurium?
2. Bagaimana pengaruh penambahan zat pengatur tumbuh BAP dan NAA terhadap
pertumbuhan tunas, daun, dan akar pada tanaman Anthurium?
B. Tujuan
Tujuan dari makalah ini adalah sebagai berikut:
3

1. Untuk mengetahui pengaruh penambahan zat pengatur tumbuh BAP dan NAA
terhadap pelengkungan eksplan daun Anthurium.
2. Untuk mengetahui pengaruh penambahan zat pengatur tumbuh BAP dan NAA
terhadap pertumbuhan tunas, daun, dan akar pada tanaman Anthurium.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Kultur Jaringan
Kultur jaringan didefinisikan sebagai metode perbanyakan tanaman dengan
cara vegetatif dengan mengambil bagian dari tanaman seperti tunas, batang, dan daun
lalu ditanam pada media khusus, tentunya tujuan dari metode ini adalah
menghasilkan tanaman dalam jumlah yang melimpah sesuai yang diinginkan dalam
waktu yang sangat singkat, pemuliaan tanaman, rekayasa genetika dan pelestarian
plasma nutfah (Febriana dan Titta, 2022).
Penggandaan dengan cara mikro yakni penggandaan secara vegetatif pada
tanaman tentunya dalam keadaan yang aseptis. Hal ini mampu digunakan dalam
menghasilkan tanaman yang bebas dari jangkitan virus tentu dengan mengeluarkan
organisme penyebab penyakit selama proses penggandaan tersebut berlangsung,
keuntungan dari mikropropagasi sendiri tingkatan multiplikasinya tergolong tinggi.
Maka dari itu, teknik ini memiliki peluang yang sangat tinggi dalam perbanyakan
atau penggandaan genotipe secara cepat pada tanaman (Dipak, 2018).
Teknik ini sangat membantu dalam usaha mengeliminasi patogen (penyakit
sistemik). Dengan metode ini dapat dipilih bagian-bagian atau sel-sel yang tidak
mengandung patogen sistemik terutama virus, dan menumbuhkan sel-sel (bagian)
tanaman tersebut serta meregenerasikannya kembali menjadi tanaman sempurna dan
sehat. Dalam teknik kultur ada syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi dalam
pelaksanaannya. Syarat pokoknya adalah laboratorium dengan segala fasilitasnya
(Yan, 2021).
B. Jenis Kultur In Vitro
Menurut Fossard dalam buku Prasetyorini (2019) ia membedakan kultur in
vitro pada tumbuhan tingkat tinggi menjadi 3 tipe yaitu:

4
5

1. Kultur yang terorganisasi


Kultur ini adalah kultur tanaman yang hampir memiliki semua bagian
tanaman seperti daun, batang, akar. Adapun contoh bagian dari tanaman yang
biasanya dikultur antara lain kultur embrio, biji dan organ juga termasuk bagian dari
kultur yang terorganisasi. Kultur seperti ini pada dasarnya sama dengan perbanyakan
vegetatif (In Vivo) contoh diantaranya adalah perbanyakan dengan cara distek dan
tunas xiler serta kecambah. Jika secara struktur organisasi pada tanaman yang
dikultur ini tidak terjadi perubahan pada genetiknya maka dapat disimpulkan bahwa
progeni yang akan dihasilkan tergolong sama dengan induknya. Kultur ini sendiri
mempunyai tingkat kestabilan genetik yang lebih akurat dibandingkan dengan kultur
yang lainnya.
2. Kultur tidak terorganisasi
Kultur yang tidak terorganisasi terdiri dari sekumpulan sel yang bersifat
meristematis dan belum mengalami deferensiasi, contoh diantaranya adalah kalus,
agregat sel atau sel tunggal (suspensi sel). Kultur ini diperoleh dengan cara isolasi sel
atau jaringan dari bagian tanaman yang telah mengalami diferensiasi, kemudian
melalui tahapan deferensiasi kultur tumbuh menjadi sekelompok sel meristem yang
tidak terorganisasi (kalus). Apabila kultur tersebut dipisahkan pada medium baru bisa
menjadi agregat sel bergantung dari bagaimana kultur tersebut diperlakukan. Jika
ditinjau dari kestabilan genetiknya maka kultur yang tidak terorganisasi mempunyai
kestabilan yang rendah dibanding kultur yang terorganisasi.
3. Kultur antara terorganisasi dan tidak terorganisasi
Tipe kultur yang satu ini sering juga disebut kultur intermediet. Kultur
intermediet diperoleh dengan cara sel atau jaringan pertama diinduksi untuk
mengalami dediferensiasi untuk membentuk kalus, dari kalus inilah kemudian
berorganisasi membentuk organ seperti akar, daun ataupun tunas. Kadang dapat juga
individu-individu baru melalui pembentukan pre-embrio ataupun embrio
(embriogenesis). Organogenesis kalus akan membentuk struktur organ,
embriogenesis dapat terjadi secara cepat. Sehingga, struktur yang terorganisasi seperti
6

tunas, akar ataupun embrio dapat mengalami perkembangan dari struktur yang tidak
terorganisasi melalui manipulasi medium tumbuh yang tepat. Tanaman yang
dihasilkan pada kultur ini sering tidak identik dengan indukannya.
Perbanyakan tanaman melalui kultur in vitro dipengaruhi oleh faktor seperti
media dan zat pengatur tumbuh yang digunakan, serta kondisi lingkungan kulturnya.
Adapun media yang biasa digunakan dalam kultur adalah media Murashige and
Skoog (media MS-1962), mengandung vitamin, sumber karbon, dan garam anorganik
(Vindi et al, 2022).
C. ZPT (Zat Pengatur Tumbuh)
Zat pengatur tumbuh pada tanaman merupakan senyawa organik bukan hara,
yang dalam jumlah sedikit berfungsi mendukung, menghambat dan merubah proses
fisiologi tumbuhan. Zat pengatur tumbuh yang biasa dan sering digunakan adalah
golongan sitokinin dan auksin (Fathurrahman, 2011).
Keberhasilan dalam penggunaan metode kultur jaringan sangat bergantung
pada komposisi media yang digunakan. Media kultur jaringan tanaman menyediakan
tidak hanya unsur hara makro dan mikro, tetapi juga sumber karbohidrat yang
umumnya berupa sukrosa atau gula, untuk menggantikan karbon yang biasanya
didapat dari atmosfer melalui fotosintesis. Oleh karena itu, pertumbuhan dan hasil
tanaman yang lebih baik akan diperoleh apabila ke dalam media tersebut
ditambahkan vitamin, asam amino, dan zat pengatur tumbuh (Yan, 2021).
Zat pengatur tumbuh berperan besar dalam teknik kultur in vitro, terutama
dalam proses organogenesis. Auksin dan sitokinin merupakan dua golongan zat
pengatur tumbuh yang sering digunakan untuk memengaruhi pertumbuhan dan
morfogenesis dalam kultur sel, jaringan, dan organ. Dari segi fungsinya, auksin
berperan merangsang pertumbuhan kalus dan akar, sedangkan sitokinin bermanfaat
untuk merangsang pertumbuhan tunas dan pembelahan sel (Herlindah et al). selain itu
sitokinin juga berperan dalam memacu pembentukan organ, menunda penuaan,
meningkatkan aktivitas wadah penampung hara dan memicu perkembangan kuncup
hingga keluar (Fathurrahman, 2011).
7

Ada dua golongan ZPT penting yang sering digunakan dalam mempengaruhi
pertumbuhan dan morfogenesis dalam kultur sel, jaringan dan atau kultur organ yaitu
Hormon NAA adalah senyawa kimia yang termasuk dalam golongan auksin
sedangkan hormon BAP termasuk dalam golongan sitokinin. Zat pengatur tumbuh
auksin dan sitokinin tidak bekerja secara sendiri-sendiri, tetapi kedua ZPT ini bekerja
secara berinteraksi dalam mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan eksplan.
Sitokinin merangsang pembelahan sel tanaman dan berinteraksi dengan auksin dalam
menentukan arah diferensiasi sel. Apabila perbandingan konsentrasi sitokinin lebih
besar dari auksin, maka pertumbuhan tunas dan daun akan terstimulasi. Sebaliknya
apabila sitokinin lebih rendah dari auksin, maka mengakibatkan terstimulasinya pada
pertumbuhan akar. Apabila perbandingan sitokinin dan auksin seimbang, maka
pertumbuhan tunas, daun dan akar akan berimbang pula (Karjadi & Buchory, 2007).
1) ZPT NAA (Naphtaleine Acetic Acid)
Peranan NAA adalah mendorong pemanjangan sel, diferensiasi jaringan xilem
dan floem serta pembentukan akar. Pada kultur jaringan penambahan NAA berfungsi
untuk merangsang pertumbuhan kalus, akar, pembelahan dan pemanjangan sel dan
organ serta memacu dominansi apikal pada jaringan meristem. Tujuan penambahan
NAA mengakibatkan tumbuhnya kalus dari eksplan dan mempercepat pembentukan
akar (Zulkarnain, 2009).
Salah satu golongan auksin yang paling banyak digunakan pada teknik kultur
in vitro adalah Naphthaleine Acetic Acid (NAA). NAA merupakan zat pengatur
tumbuh sintetik yang mempunyai sifat lebih stabil daripada jenis auksin lainnya
seperti Indol Acetic Acid (IAA) hal ini dikarenakan IAA dapat mengalami degradasi
yang disebabkan adanya cahaya dan enzim oksidatif. Oleh karena sifatnya yang labil
IAA jarang digunakan dan hanya merupakan hormon alami yang ada pada jaringan
tanaman yang digunakan sebagai eksplan. Sedangkan NAA tidak mudah terurai oleh
enzim yang dikeluarkan sel atau pemanasan pada proses sterilisasi (Mardhiyetti et al,
2015).
8

2) ZPT BAP (Benzyl Amino Purine)


Zat pengatur tumbuh tanaman berperan penting dalam mengontrol proses
biologi dalam jaringan tanaman dan umumnya tanaman memiliki respon yang baik
terhadap BAP dibandingkan terhadap kinetin dan 2-Ip. Zat pengatur tumbuh BAP ini
berpengaruh terhadap tinggi tunas, jumlah daun, jumlah akar dan berat tunas, tetapi
tidak berpengaruh terhadap jumlah tunas dan panjang akar (Warnita & Netti, 2018).
Penggunaan zat pengatur tumbuh pada kultur jaringan tergantung pada tujuan
atau arah pertumbuhan tanaman yang diinginkan. Zat pengatur tumbuh BAP (Benzyl
Amino Purine)paling banyak digunakan untuk memacu penggandaan tunas karena
mempunyai aktivitas yang kuat dibandingkan dengan kinetin. BAP mempunyai
struktur dasar yang sama dengan kinetin tetapi lebih efektif BAP karena mempunyai
gugus benzil, umumnya tanaman memiliki respon yang lebih baik terhadap BAP
dibandingkan terhadap kinetin sehingga BAP lebih efektif untuk produksi tunas in
vitro (Seswita 2006).
D. Tahapan Teknik Kultur
Menurut Yusnita (2003), tahapan yang dilakukan dalam perbanyakan tanaman
dengan teknik kultur jaringan adalah sebagai berikut:
1. Media
Media merupakan penentu dalam perbanyakan dengan kultur jaringan.
Komposisi media yang digunakan tergantung dengan jenis tanaman yang akan
diperbanyak. Media yang digunakan biasanya terdiri dari garam mineral, vitamin, dan
hormon serta bahan tambahan seperti agar, gula, dan lain-lain. Zat pengatur tumbuh
yang ditambahkan bervariasi, baik jenisnya maupun jumlahnya, tergantung dengan
tujuan dari kultur jaringan yang dilakukan. Media yang sudah jadi ditempatkan pada
tabung reaksi atau botol-botol kaca. Media yang digunakan juga harus disterilkan
dengan cara memanaskannya dengan autoklaf.
9

2. Inisiasi
Inisiasi adalah pengambilan eksplan dari bagian tanaman yang akan
dikulturkan. Bagian tanaman yang sering digunakan untuk kegiatan kultur jaringan
adalah tunas. Ada beberapa tipe jaringan yang di gunakan sebagai eksplan dalam
pengerjaan kultur jaringan. Pertama adalah jaringan muda yang belum mengalami
diferensiasi dan masih aktif membelah (meristematik) sehingga memiliki kemampuan
regenerasi yang tinggi. Jaringan tipe pertama ini ditemukan pada tunas, tunas aksiler,
bagian tepi daun, ujung akar, maupun batang. Tipe jaringan kedua adalah jaringan
parenkim, yaitu jaringan penyusun tanaman muda yang sudah mengalami diferensiasi
dan menjalankan fungsinya. Contoh jaringan tersebut adalah jaringan daun yang
sudah berfotosistesis dan jaringan batang atau akar yang berfungsi sebagai tempat
cadangan makanan.
3. Sterilisasi
Sterilisasi adalah bahwa segala kegiatan dalam kultur jaringan harus
dilakukan di tempat yang steril, yaitu dilaminar flow dan menggunakan alat-alat yang
juga steril. Sterilisasi juga dilakukan terhadap peralatan, yaitu menggunakan etanol
yang disemprotkan secara merata pada peralatan yang digunakan. Teknisi yang
melakukan kultur jaringan juga harus steril.
4. Multiplikasi
Multiplikasi adalah kegiatan memperbanyak calon tanaman dengan menanam
eksplan pada media. Kegiatan ini dilakukan di laminar air flow untuk menghindari
adanya kontaminasi yang menyebabkan gagalnya pertumbuhan eksplan. Tabung
reaksi yang telah ditanami eksplan diletakkan pada rakrak dan ditempatkan di tempat
yang steril dengan suhu kamar.
5. Pengakaran
Pengakaran adalah fase di mana eksplan akan menunjukan adanya
pertumbuhan akar yang menandai bahwa proses kultur jaringan yang dilakukan mulai
berjalan dengan baik. Pengamatan dilakukan setiap hari untuk melihat pertumbuhan
dan perkembangan akar serta untuk melihat adanya kontaminasi oleh bakteri ataupun
10

jamur. Eksplan yang terkontaminasi menunjukkan gejala seperti berwarna putih atau
biru disebabkan oleh jamur atau busuk disebabkan bakteri.
6. Aklimatisasi
Aklimatisasi adalah kegiatan memindahkan eksplan keluar dari ruangan
aseptik ke bedeng. Pemindahan dilakukan secara hati-hati dan bertahap, yaitu dengan
memberikan sungkup. Sungkup digunakan untuk melindungi bibit dari udara luar dan
serangan hama penyakit karena bibit hasil kultur jaringan sangat rentan terhadap
serangan hama penyakit dan udara luar. Setelah bibit mampu beradaptasi dengan
lingkungan barunya maka secara bertahap sungkup dilepaskan dan pemeliharaan bibit
dilakukan dengan cara yang sama dengan pemeliharaan bibit.
E. Tanaman Anthurium
Anthurium adalah salah satu jenis tanaman hias yang telah lama
dibudidayakan dalam skala yang luas di lingkungan industri florikultura. Spesies
Anthurium andreanum memiliki ciri khas berupa seludang bunga (spathea) yang
tebal, licin dan mengkilap sehingga Anthurium ini dijuluki oil cloth flower (Lingga,
2007).
Menurut Badan Pusat Statistik dalam (Herlindah et al, 2019) menyatakan
bahwa Prospek pengembangan tanaman hias dan bunga-bungaan cukup cerah. Hal ini
dibuktikan dengan permintaan tanaman hias dan bunga-bungaan (florikultura) di
pasar dunia cenderung meningkat setiap tahunnya. Peningkatan tersebut juga terjadi
di Indonesia, dan jenis bunga potong non anggrek yang berpotensi di ekspor antara
lain Anthurium tahun 2017, sebagian besar produksi tanaman bunga potong
mengalami peningkatan. Peningkatan tertinggi dialami krisan dengan peningkatan
sebesar 47,58 juta tangkai (10,99%) diikuti oleh gerbera, mawar, Anthurium bunga,
gladiol, pisang-pisangan, dan anggrek. Produksi bunga potong Anthurium sendiri
sebanyak 896.953 tangkai.
Kelebihan bunga Anthurium adalah warna serta variasi bunga dan daun yang
beragam, bila berada di batang bunga Anthurium masih bisa tetap segar selama 25
hari, tetapi bila dipotong hanya bisa bertahan sekitar 14 hari (Julhendri et al, 2013).
11

Anthurium adreanum merupakan tanaman hias dari keluarga Araceae,


tanaman ini telah dikembangkan secara komersial di negara tropis dan subtropics.
Tanaman ini dapat tumbuh pada suhu 160C-300C. pasar global dari Anthurium
merupakan kultivar kedua diantara semua bunga potong tropis setelah anggrek.
Bunga dari Anthurium adreanum digunakan sebagai bunga potong karena cukup tebal
dan tahan lama (Rizka et al).
Secara konvensional, Anthurium diperbanyak dengan cara biji. Perbanyakan
ini tergolong sulit karena kesediaan yang terbatas dan tingkat kecambahnya yang
buruk. Selain itu, penyerbukan silang dan mata air yang dihasilkan bersifat
heterozigot menyebabkan segregasi genetik dan produksi yang tidak merata.
Perbanyakan vegetatif ini membagi tanaman tua atau stek dan anakan dari rimpang
itu membutuhkan waktu dan tidak menguntungkan. Oleh karena itu, dikembangkan
cara perbanyakan yang cepat pada Anthurium ini (Ninnie & Staden, 1986). Untuk
budidaya komersial, perbanyakan skala besar melalui kultur jaringan pada umumnya,
dan perbanyakan mikro pada khususnya telah terbukti menjadi teknik yang lebih
baik. Meskipun mikropropagasi di Anthurium telah dipelajari secara ekstensif,
banyak metode yang dilaporkan tampaknya tidak produktif, beberapa membutuhkan
waktu lama untuk regenerasi dan yang lain hanya menghasilkan tunas adventif dalam
jumlah terbatas (Bhavana et al).
Perbanyakan tanaman Anthurium melalui kultur jaringan dipelopori oleh
Pierik (1987) yang berhasil menginduksi regenerasi dari embrio dan biji. Dari bagian
nonmeristematik pada tanaman dewasa, semua jenis eksplan tersebut membentuk
kalus dan setelah subkultur di dapat tunas adventif. Inisiasi eksplan dilakukan dengan
medium cair MS yang dimodifikasi dan ditambah air kelapa 15% pada tahap
selanjutnya yaitu induksi multiplikasi tunas medium padat MS dengan BAP (6-
Benzyl Amino Purine) 0.2-1mg/1 dapat meningkatkan prolifirasi (Dyah, 2004).
BAB III
METODE PENELITIAN

A. Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan dua faktor, yaitu:
1. Faktor BAP + NAA terhadap pelengkungan eksplan daun Anthurium (terdiri dari
25 perlakuan):
1. A0B0 (0mg/l NAA + 0mg/l BAP)
2. A0B1 (0mg/l NAA + 1mg/l BAP)
3. A0B2(0mg/l NAA + 3mg/l BAP)
4. A0B3 (0mg/l NAA + 5mg/l BAP)
5. A0B4 (0mg/l NAA + 7mg/l BAP)
6. A1B0 (1mg/l NAA + 0mg/l BAP)
7. A1B1 (1mg/l NAA + 1mg/l BAP)
8. A1B2 (1mg/l NAA + 3mg/l BAP)
9. A1B3 (1mg/l NAA + 5mg/l BAP)
10. A1B4 (1mg/l NAA + 7mg/l BAP)
11. A2B0 (3mg/l NAA + 0mg/l BAP)
12. A2B1 (3mg/l NAA + 1mg/l BAP)
13. A2B2 (3mg/l NAA + 3mg/l BAP)
14. A2B3 (3mg/l NAA + 5mg/l BAP)
15. A2B4 (3mg/l NAA + 7mg/l BAP)
16. A3B0 (5mg/l NAA + 0mg/l BAP)
17. A3B1 (5mg/l NAA + 1mg/l BAP)
18. A3B2 (5mg/l NAA + 3mg/l BAP)
19. A3B3 (5mg/l NAA + 5mg/l BAP)
20. A3B4 (5mg/l NAA + 7mg/l BAP)
21. A4B0 (7mg/l NAA + 0mg/l BAP)
22. A4B1 (7mg/l NAA + 1mg/l BAP)
23. A4B2 (7mg/l NAA + 3mg/l BAP)
24. A4B3 (7mg/l NAA + 5mg/l BAP)
25. A4B4 (7mg/l NAA + 7mg/l BAP)

12
13

2. Faktor BAP + NAA terhadap pertumbuhan tunas, daun dan akar tanaman
Anthurium (terdiri dari 6 perlakuan):
1. A0B0 (0mg/l NAA+0mg/l BAP)
2. A0B4 (0mg/l NAA+7mg/l BAP)
3. A1B4 (1mg/l NAA+7mg/l BAP)
4. A3B2 (5mg/l NAA+3mg/l BAP)
5. A3B3 (5mg/l NAA+5mg/l BAP)
6. A4B4 (7mg/l NAA+7mg/l BAP)
B. Alat dan Bahan
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Sumber Daya Genetika dan
Biologi Molekuler, Fakultas Pertanian, Gedung Pascasarjana, Universitas Udayana di
Jalan PB Sudirman, Denpasar. Penelitian ini dilakukan pada bulan September 2018–
Februari 2019.
Alat yang digunakan adalah timbangan analitik, pengaduk magnetik, autoklaf,
mikropipet, scalpel, pisau bedah, Laminar Air Flow Cabinet (LAFC), lemari tumbuh
(inkubator), botol kultur (diameter 5,5 cm, tinggi 9 cm), cawan petri, gelas ukur, gelas
beaker, erlenmeyer, lampu bunsen, plastik wrap, aluminium foil, pinset, dan kertas
label.
Bahan yang digunakan adalah eksplan daun dan biji tanaman Anthurium
(diperoleh dari UPT. BBITPH Provinsi Bali). Bahan lain yang digunakan adalah
akuades, sukrosa, media MS (Murashige dan Skoog), alkohol 70%, benlate, natrium
hipoklorid, tween-20, asam sitrat, gellan gum, NAA (Naphthalene Acetid Acid) dan
BAP (6-Benzylaminopurin).
C. Pelaksanaan Penelitian
Alat yang digunakan dicuci menggunakan detergen kemudian dibilas air
mengalir sampai bersih. Setelah dikeringkan alat dibungkus alumunium foil lalu
disterilisasi dalam autoklaf dengan suhu 121oC, tekanan 15 psi selama 30 menit.
Media yang digunakan adalah media MS yang diberikan zat pengatur BAP dan NAA
sesuai perlakuan. Media yang digunakan terdiri dari 1 liter aquades, 34,43 g MS
(Mushirage & Skoog), 4 g gellun gum dan 30 g sukrosa yang dicampur dan diberi
14

ZPT sesuai perlakuan. Media diautoklaf kemudian diinkubasi selama 7 hari sebelum
digunakan. Kemudian sterilisasi laminar air flow cabinet dilakukan dengan
menyemprot alkohol 70% pada dinding dan alasnya setelah itu ultraviolet dinyalakan
selama 60 menit.
Sterilisasi eksplan daun dengan direndam benlate (fungisida) 10 menit,
natrium hipoklorid + tween-20 10 menit, kemudian dicelup alkohol 70%. Untuk
mencegah pencoklatan pada eksplan daun, eksplan direndam dalam larutan asam
sitrat. Kemudian sterilisasi eksplan biji sama dengan prosedur sterilisasi eksplan
daun, tetapi tidak direndam pada asam sitrat. Setelah 30 hst eksplan biji dalam media
kultur tunas adventif yang muncul dipisah dan ditanam kembali pada media baru
dengan perlakuan yang sama.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Perlengkungan Eksplan Daun Tanaman Anthurium


Proses pembentukan kalus diawali dengan proses pelengkungan,
pembengkakan, dan dilanjutkan dengan pembentukan kalus (Rosyidah et al., 2014).
Eksplan daun yang melengkung disebabkan adanya pengaruh auksin dan tekanan
turgor. Adanya auksin menyebabkan dinding sel mengendur dan merenggang.
Pengenduran dinding sel ini terjadi karena adanya sekresi asam dengan mengaktifkan
suatu enzim pada pH tertentu. Merenggangnya sel akan menyebabkan pemanjangan
sel. Tekanan turgor terjadi apabila sel menyerap molekul air sebagai respon akan
meningkatnya konsentrasi zat terlarut yang terdapat dalam vakuola, sehingga akan
menyokong perluasan sel yang terjadi (Taiz dan Zieger 1998).
Media adalah faktor utama dalam perbanyakan secara kultur in vitro dan
berpengaruh sangat besar terhadap pertumbuhan dan perkembangan eksplan serta
bibit yang dihasilan (Tuhuteru et al., 2012). Purba (2017) menyatakan bahwa
keberhasilan dalam induksi kalus dipengaruhi oleh perbandingan konsentrasi ZPT
yang sesuai, sebab dalam tanaman ZPT dapat mendukung, menghambat dan dapat
merubah proses fisiologi tumbuhan. Perlakuan A3B2 menunjukkan waktu
pelengkungan tercepat 2,00 hst. Sedangkan pelengkungan paling lama terdapat pada
perlakuan A0B0 dengan waktu 8,00 hst (Tabel 1).

15
16

Tabel 1. Pelengkungan dan Kondisi Eksplan pada berbagai Konsentrasi NAA


dan BAP
Eksplan Daun Tanaman Anthurium

Perlakuan Melengkung Kontaminasi Pencoklatan


(hst) (%) (%)
A0B0 (0mg/l NAA + 0mg/l BAP) 8,00 g 90 80
A0B1 (0mg/l NAA + 1mg/l BAP) 4,66 e 75 75
A0B2 (0mg/l NAA + 3mg/l BAP) 4,33 de 85 70
A0B3 (0mg/l NAA + 5mg/l BAP) 4,66 e 85 65
A0B4 (0mg/l NAA + 7mg/l BAP) 2,66 ab 75 65
A1B0 (1mg/l NAA + 0mg/l BAP) 4,33 de 83 75
A1B1 (1mg/l NAA + 1mg/l BAP) 4,00 cde 83 85
A1B2 (1mg/l NAA + 3mg/l BAP) 4,66 e 75 85
A1B3 (1mg/l NAA + 5mg/l BAP) 4,66 e 85 85
A1B4 (1mg/l NAA + 7mg/l BAP) 2,66 ab 75 80
A2B0 (3mg/l NAA + 0mg/l BAP) 4,33 de 70 75
A2B1 (3mg/l NAA + 1mg/l BAP) 3,33 bcd 60 75
A2B2 (3mg/l NAA + 3mg/l BAP) 5,00 e 60 90
A2B3 (3mg/l NAA + 5mg/l BAP) 3,00 ab 65 65
A2B4 (3mg/l NAA + 7mg/l BAP) 4,00 cde 60 75
A3B0 (5mg/l NAA + 0mg/l BAP) 3,33 bcd 65 85
A3B1 (5mg/l NAA + 1mg/l BAP) 3,33 bcd 70 70
A3B2 (5mg/l NAA + 3mg/l BAP) 2,00 a 65 50
A3B3 (5mg/l NAA + 5mg/l BAP) 2,33 ab 55 75
A3B4 (5mg/l NAA + 7mg/l BAP) 4,00 cde 60 80
A4B0 (7mg/l NAA + 0mg/l BAP) 7,33 f 65 85
A4B1 (7mg/l NAA + 1mg/l BAP) 6,66 f 60 70
A4B2 (7mg/l NAA + 3mg/l BAP) 6,66 f 65 80
A4B3 (7mg/l NAA + 5mg/l BAP) 6,33 f 85 75
A4B4 (7mg/l NAA + 7mg/l BAP) 2,66 ab 85 70
Keterangan : Nilai yang diikuti huruf sama pada kolom yang sama menunjukkan
tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT 5%

A3B A3B A4B4

A0B A0B
0
17

Gambar 1. Pelengkungan eksplan pada 45 hari setelah tanam eksplan yang melengkung
(→).

2. Pencoklatan dan Kontaminasi pada Eksplan Daun Anthurium


Permasalahan yang sering muncul dalam kultur in vitro adalah adanya
kontaminasi oleh bakteri dan jamur serta pencoklatan (browning). Gambar 2 dan
Gambar 3 menunjukkan terjadinya kontaminasi dan pencoklatan pada penelitian ini.
Kontaminasi merupakan suatu kejadian tumbuhnya kontaminan berupa jamur bakteri
atau virus pada eksplan maupun media tanam sedangkan pencoklatan merupakan
kejadian berubahnya warna eksplan menjadi coklat (brown) atau hitam karena sel yang
terdegradasi atau rusak. Pencoklatan maupun kontaminasi sering kali menghambat
pertumbuhan dan perkembangan eksplan dan mengakibatkan kematian pada jaringan
(Purba, 2017).
Terdapat 24 perlakuan yang didominasi kontaminan berupa jamur, dengan ciri-
ciri terdapat spora dan hifa berwarna putih maupun hitam (Gambar 3). sedangkan dari
25 perlakuan terdapat 6 perlakuan yang didomiasi kontaminan berupa bakteri, dengan
ciri-ciri terdapat lendir berwarna putih (Gambar 3).

Gambar 2. Pencoklatan yang terjadi pada eksplan daun. Eksplan yang


mengalami pencoklatan (→)

Kontaminasi pada eksplan dapat dilihat pada gambar 3 berikut.

Gambar 3. Eksplan yang mengalami kontamninasi yang disebabkan oleh jamur


dan bakteri. Kontaminasi oleh bakteri (kiri), kontaminasi oleh jamur (tengah),
kontaminasi oleh bakteri dan jamur (kanan).
18

Persentase pencoklatan tertinggi terdapat pada perlakuan A2B2 (90%) dan


terendah pada A3B2 (50%). Pencoklatan terjadi karena adanya metabolit sekunder
berupa senyawa fenol, tersimpan dalam vakuola sel tanaman. Saat eksplan diiris
vakuola pecah sehingga senyawa fenol di dalam jaringan teroksidasi dan menyebabkan
pencoklatan (Dwiyani, 2015). Terjadinya pencoklatan dalam penelitian ini disebabkan
adanya penelitian ini disebabkan adanya pelukaan (irisan) sebelum eksplan ditanam.
Pelukaan dapat menyebabkan pencoklatan saat pemotongan eksplan kurang benar,
seperti penggunaan pinset atau pisau yang masih panas atau jarak subkultur yang
terlalu dekat dengan api Bunsen (Fauzy et al, 2016).
Persentase kontaminasi tertinggi terdapat pada perlakuan A0B0 (90%) dan
terendah pada A3B3 (55%). Menurut Zulkarnain (2011), kontaminasi yang terjadi
disebabkan oleh mikroorganisme berupa jamur dan bakteri. Mikroorganisme tersebut
pada umumnya terdapat pada permukaan dan dalam jaringan tanaman dan
mikroorganisme tersebut kebanyakan bukan merupakan pathogen. Kontaminasi pada
penelitian ini paling lambat terjadi saat 45 hst yaitu pada perlakuan A3B3. Kontaminasi
ini dapat terjadi karena agen kontaminan yang telah bertahan di dalam jaringan dan
tumbuh saat kondisi sudah menguntungkan untuk pertumbuhannya. Kontaminasi
dapat pula masuk melalui tutup wadah pada saat inkubasi tanaman berlangsung.
3. Pertumbuhan Planlet Tanaman Anthurium
Tunas merupakan ranting muda yang baru tumbuh atau calon tanaman baru
yang tumbuh dari bagian tanaman (Rahardja dan Wiryanta, 2003). Semakin cepat
muncul tunas maka semakin cepat dihasilkan bahan untuk perbanyakan tanaman.
Tunas yang terbentuk merupakan hasil diferensiasi dari eksplan.

A0B0 A0B4 A1B4


19

A3B2 A3B3 A4B4

Gambar 4. Tunas yang muncul pada eksplan biji. Tunas (→)


Tunas dapat muncul karena pada eksplan telah mempunyai bakal tanaman
(plumula) sehingga ketika eksplan ditanam dalam media kultur terjadi pemanjangan
plumula tersebut Hariyanti et al., (2004). Pada penelitian ini tunas muncul pada semua
perlakuan (Gambar 4), pada hari ke-7,33 tampak muncul tunas pada perlakuan A1B4
dan A3B3, pada hari ke-7,66 tampak muncul tunas pada perlakuan A0B4, pada hari ke
8,33 tampak muncul tunas pada perlakuan A3B2 dan tunas muncul pada hari ke 8,66
pada perlakuan A4B4 dan A0B0 (Tabel 2), muncul tunas pada eksplan biji dapat dilihat
pada Gambar 4.
Tabel 2. Pengaruh Konsentrasi BAP + NAA terhadap Multliplikasi Tunas
Tanaman Anthurium
Perlakuan Muncul Jumlah Jumlah Jumlah
Tunas (hst) tuna akar daun
A0B0 (0mg/l NAA+0mg/l BAP) 8,66 b 3,66 c 3,33 c 2,33 c
A0B4 (0mg/l NAA+7mg/l BAP) 7,66 ab 7,83ab 3,58 c 2,91bc
A1B4 (1mg/l NAA+7mg/l BAP) 7,33 a 7,75ab 3,83 c 3,25ab
A3B2 (5mg/l NAA+3mg/l BAP) 8,33 ab 6,75 b 4.58 b 3,08 b
A3B3 (5mg/l NAA+5mg/l BAP) 7,33 a 8,92 a 5,85 a 3,33 ab
A4B4 (7mg/l NAA+7mg/l BAP) 8.66 b 8,25 a 4,83 b 3,73 a
A0B0 (0mg/l NAA+0mg/l BAP) 8,66 b 3,66 c 3,33 c 2,33 c
Keterangan: Nilai yang diikuti huruf sama pada masing-masing perlakuan pada
kolom yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata berdasarkan uji
DMRT 5%.
Jumlah tunas terbanyak setelah disubkultur terdapat pada perlakuan A3B3
dengan jumlah tunas 8,92 (Tabel 2), sedangkan jumlah tunas terendah adalah 3,66
terdapat pada control (media MS tanpa penambahan BAP + NAA). Pengaruh
penambahan BAP + NAA terhadap jumlah tunas pada semua kombinasi perlakuan
20

memperlihatkan perbedaan yang signifikan dengan perlakuan control (Tabel 2). Hasil
ini sesuai dengan teori Yuniastuti et al, (2010) bahwa auksin yang berinteraksi
dengan sitokinin dalam konsentrasi yang tepat dapat merangsang sel-sel pada
primordial tunas untuk berproliferasi dan memacu diferensiasi.
A0B0
A0B4 A1B4

A3B2 A3B3 A4B4

Gambar 5. Planlet hasil kultur in vitro Anthurium 30 hari setelah subkultur.


Planlet 30 hari setelah subkultur (→)

Perlakuan A4B4 memiliki tunas 8,25 dimana jumlahnya lebih sedikit dari
perlakuan A3B3 yang jumlah tunasnya 8,92 (Gambar 5). Hal ini terjadi karena
konsentrasi BAP yang terlalu tinggi sehingga melampaui batas maksimum tanaman
dapat menyerap untuk berdiferensiasi menjadi tunas. Pemberian konsentrasi BAP
yang terlalu tinggi ini sedikit penghambat pertumbuhan tunas yang telah maksimum
pada perlakuan A3B3.
4. Pertumbuhan Daun dan Akar Planlet Anthurium
Daun merupakan tempat berlangsung fotosintesis, yaitu pembentukan
karbohidrat. Sitompul dan Bambang (1995) berpendapat bahwa pengamatan daun
sangat diperlukan sebagai indikator pertumbuhan sehingga menjelaskan proses
pertumbuhan yang terjadi seperti pada pembentukan biomassa tanaman.
Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan saat 30 hari setelah tanam, daun
muncul pada semua kombinasi perlakuan. Jumlah daun dipengaruhi oleh adanya
penambahan zat pengatur tumbuh ke dalam media. Eksplan yang memiliki jumlah
21

daun paling banyak secara berturut-turut terdapat pada perlakuan A4B4, A3B3, A1B4,
A3B2, A0B4 dan A0B0, yaitu sebanyak 3,73, 3,33, 3,25, 3,08, 2,91 dan 2,33 daun.
Berdasarkan hasil analisis statistik yang dilakukan terhadap variabel jumlah daun
tanaman anthutium menunjukkan bahwa pada perlakuan A4B4, A3B3, A1B4, A3B2, A0B4
menunjukkan pengaruh berbeda tidak nyata pada jumlah daun perlakuan kontrol
(Tabel 2).
Pada media yang mengandung 7 mg/l BAP yaitu A0B4, A1B4, A4B4, memiliki
tunas yang banyak tetapi terbentuk tunas-tunas yang pendek, berkumpul pada pangkal
batang dan daun belum terbentuk sempurna. Hal ini dimungkinkan karena adanya
penggunaan BAP dalam konsentrasi yang tinggi sehingga sel terus menerus membelah
membentuk tunas baru tetapi pemanjangan sel kurang terpacu. Hal ini juga terjadi pada
eksplan kunir putih (Arniputri et al., 2003). Penambahan BAP pada konsentrasi yang
tinggi menyebabkan tunasnya berbentuk roset dengan ruas-ruas pendek.
Akar merupakan organ vegetatif utama yang memasok air, mineral dan bahan-
bahan yang penting untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman (Gardner et al.,
1991). Pada penelitian ini, semua eksplan dapat memunculkan akar (Tabel 2). Terlihat
bahwa auksin yang ditambahkan dalam media dapat merangsang terbentuknya akar
pada eksplan. Sesuai dengan yang diungkapkan oleh Wetherel (1982) bahwa auksin
dapat merangsang pembentukan akar.
Hasil penelitian menunjukkan perbedaan jumlah akar yang terjadi disebabkan
perbedaan konsentrasi yang diberikan pada media tanam, terdapat beda nyata pada
jumlah akar pada perlakuan antara A3B2 dengan A3B3 dan A4B4 terhadap perlakuan
tanpa pemberian hormon eksternal (kontrol). Beda nyata tampak pada analisis
statistik yang telah dilakukan. Perbedaan terlihat signifikan pada perlakuan dengan
dosis NAA yang tinggi yaitu 5 dan 7 mg/l, hal ini dikarenakan konsentrasi NAA
yang sesuai dapat memicu pertumbuhan akar pada tanaman.
Perlakuan A4B4 memiliki jumlah akar 4,83 dimana jumlahnya lebih sedikit dari
perlakuan A3B3 yang jumlah akarnya 5,83. Hal ini terjadi karena konsentrasi NAA
22

yang terlalu tinggi sehingga melampaui batas maksimum tanaman dapat menyerap
untuk berdiferensiasi menjadi akar. Pemberian konsentrasi NAA yang terlalu tinggi
ini menjadi sedikit penghambat pertumbuhan akar yang telah maksimum pada
perlakuan A3B3.
BAB V
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Terjadi respon pertumbuhan tanaman Anthurium (Anthurium andraeanum)
akibat penambahan BAP dan NAA secara in-vitro. Kombinasi perlakuan terbaik untuk
pelengkungan eksplan daun Anthurium adalah pada perlakuan A3B2 (5 mg/l NAA+3
mg/l BAP). Kemudian kombinasi perlakuan terbaik untuk pertumbuhan tunas, daun,
dan akar Anthurium secara in-vitro adalah perlakuan A3B3 (5 mg/l NAA+5 mg/l
BAP).
B. SARAN
Perlu dilakukan penelitian yang berkelanjutan terkait dengan kemampuan
multiplikasi tunas dari hasil subkultur Anthurium dengan perlakuan A3B3, untuk
menghasilkan planlet tanaman Anthurium dalam jumlah besar.

23
24

DAFTAR PUSTAKA

Arniputri, R. B., Praswanto, dan D. Purnomo. 2003. Pengaruh konsentrasi IAA dan
BAP terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman kunir putih. Jurnal
Agrosains. 5(2): 48-51.

Bhavana. G. P, Belur. S. K, Aswath. C. 2018. Micropropagation of Anthurium


Through Suspension Culture Using In Vitro Shoots. Journal of Applied
Horticulture. Vol. 20 (3): 196-201.

Dipak. D. K, Chhatre. A. A, Shivaji. A. L and Nalini. A. S. 2018. Low-Cost


Alternatives for Conventional Tissue Culture Media. International Journal of
Current Microbiology and Applied Sciences. Vol. 7(4) : 2523-2529.

Dyah. P, Nurhayati. A. M. 2004. Penggunaan Zat Pengatur Tumbuh NAA


(Naphtaleine Acetic Acid) dan BAP (6-Benzyl Amino Purine) serta Air
Kelapa untuk Menginduksi Organogenesis Tanaman Anthurium (Anthurium
andraeanum Linden Ex Andre). Bul. Agron. Vol. 32 (1): 20-25.

Fathurrahman. 2011. Multiplikasi Eksplan Anthurium (Anthurium Sp.) dengan


Pemberian Benzil Amino Purin (BAP) dan Indole Acetic Acid (IAA) secara
Kultur Jaringan. Jurnal Agroteknologi. Vol. 2 (1): 25-33.

Fauzy, F., Mansyur., dan A. Husni. 2016. Pengaruh penggunaan media Murashige dan
Skoog (MS) dan vitamin terhadap tekstur, warna, dan berat kalus rumput gajah
(Pennisetum purpureum) CV. Hawaii pasca radiasi sinar gamma pada dosis
Ld50 (In-Vitro). Skripsi. Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran. 22 P.

Febriana. D. W, Titta. N. 2022. Peningkatan Pengetahuan Siswa SMA Negeri 1


Glagah Tentang Kultur Jaringan Melalui Edukasi Online. Jurnal Abdimas.
Vol. 8 (3): 272-276.

Finnie. J. F, Staden. J. V. 1986. In Vitro Culture of Anthurium andraeanum. S.-Afr.


Tydskr. Plantk. Vol. 52 (4): 343-346.

Gardner, F. P., R. B. Pearce., dan R. L. Mitchell. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya.


Penerjemah: Universitas Indonesia. Jakarta.
25

Herlindah. C, Ketut. S, Wayan. A. 2019. Kultur Jaringan Tanaman Anthurium


(Anthurium andraeanum var. tropical) pada Media MS dengan Penambahan
Zat Pengatur Tumbuh BAP dan NAA. Jurnal Agroekoteknologi Tropika. Vol.
8 (3): 284-293.

Julhendri, Hercules. G, Fathurrahman. 2013. Aklimatisasi Tanaman Anthurium


(Athurium Sp.) dengan Berbagai Media Tumbuh dan Pupuk Daun Growquick.
Jurnal Dinamika Pertanian. Vol. 28 (2): 103-112.

Karjadi. A. K, Buchory. A. 2007. Pengaruh NAA dan BAP terhadap Pertumbuhan


Jaringan Meristem Bawang Putih pada Media B5. J. Hort. Vol. 17 (3): 217-
223.

Lingga. L. 2007. Anthurium. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Mardhiyetti, Zulfadli. S, Novirman. J, Irfan. S. 2015. Pengaruh BAP (Benzil Adenin


Purin) dan NAA (Naphthalen Acetic Acid) terhadap Eksplan Tanaman Turi
(Sesbania grandiflora) dalam Media Multiplikasi In Vitro. Pastura. Vol. 5
(1): 35-38.

Prasetyorini. 2019. Kultur Jaringan. Bogor: Lembaga Penelitian dan Pengabdian


Masyarakat Universitas Pakuan.

Purba, R. V. 2017. Induksi kalus eksplan daun tanaman anggur (Vitis vinivera L.)
dengan aplikasi 2,4-D secara in-vitro. E-Jurnal Agroekoteknologi Tropika. 6:
2301-6515.

Rahardja. dan W. Wiryanta. 2003. Aneka Cara memperbanyak Tanaman. Jakarta:


Agromedia Pustaka. Hal 23.

Rizka. T. S, Masna. M. S, Asmini. B. 2017. In Vitro Propagation of Anthurium


adreanum Cv. Nitta Through Organogenesis. AGRIVITA, Vol. 39 (2): 192-
200.

Rosyidah, M., E. Ratnasari., dan Y. S. Rahayu. 2014. Induksi kalus daun melati
(Jasminum sambac) dengan penambahan berbagai konsentrasi
Dichlorophenoxyacetic Acid (2,4-D) dan 6-Benzylamino Purine (BAP) pada
media MS secara in-vitro. Lentera Bio 3(3): 147–153.
Seswita. 2006. Perbanyakan tanaman krisan melalui teknik kultur jaringan. Buletin
Peragi. Vol. 2 (1): 19-25.
26

Sitompul, S. M., dan G. Bambang. 1995. Analisis Pertumbuhan Tanaman. Yogyakar


ta: UGM Press. 412 P.

Taiz, L. dan E. Zeiger. 1998. Plant physiology. Sunderland: Sinauer Associates. 34.

Tuhuteru, S., M. L. Hehanussa. dan S. H. T. Raharjo. 2012. Pertumbuhan dan


perkembangan anggrek Dendrobium anosmum pada media kultur in-vitro
dengan beberapa konsentrasi air kelapa. Jurnal Agrologia 1(1): 1-12.
Vindi. A. P, Sugiyono, Lucky. P, Rendie. P, Sharon. H. 2022. The Application of
Two Steps Culture in Agarwood, Aquilaria malaccensis, In Vitro Culture
Improves Microshoots Induction and Development. Scripta Biologica. Vol. 9
(1): 1-5

Warnita, Netti. H. 2018. Respons Pertumbuhan Tanaman Hias Anthurium


“Gelombang Cinta” (Anthurium plowmanii) pada Beberapa Konsentrasi BAP
dan Frekuensi Pemberian Pupuk Daun. Jur. Agroekotek. Vol. 10 (2): 10-18.

Wetherel, D. F. 1982. Pengantar Propagasi Tanaman secara In vitro. Avery


Publishing Group, Inc: New Jersey.

Yan. P. B. Z. 2021. Metode Perbanyakan Tanaman Ubi Jalar Ungu (Ipomea batatas
poiret) dengan Teknik Kultur Jaringan atau Stek Planlet. Jurnal Inovasi
Penelitian. Vol. 2 (3): 1037-1046.

Yuniastuti, E. P. dan I. Harminingsih. 2010. Pengaruh konsentrasi BAP terhadap


multipikasi tunas Anthurium (Anthurium andraeanum Linden) pada beberapa
media dasar secara in-vitro. Jurnal Caraka Tani. XXV(1): 2-7.

Yusnita, 2003. Metode Perbanyakan Tanaman melalui Kultur Jaringan atau Stek
Planlet. Yogyakarta: Kanisius.

Zulkarnain. H. 2009. Kultur Jaringan Tanaman. Bumi Aksara. Jakarta.


Zulkarnain. 2011. Kultur Jaringan Tanaman. Jakarta: PT Bumi Aksara. 51 P.

You might also like