Professional Documents
Culture Documents
OLEH:
KELOMPOK 9
Aswar Akbar (220013301017)
Besse Maqfirah Ramadhani (220013301018)
Bismillahirrohmanirrohim…
Segala puji bagi Allah SWT yang Maha Pengasih lagi maha Penyayang, kami
panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat,
hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas
kelompok untuk mata kuliah Kultur Jaringan dengan judul “Kultur Jaringan
Tanaman Hias Anthurium (Anthurium sp.)”.
Penulis menyampaikan terima kasih kepada Ibunda Dr. A. Mu’nisa, S.Si.,
M.Si. selaku dosen pengampu mata kuliah Kultur Jaringan yang senantiasa
memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis untuk dapat menyelesaikan tugas
makalah ini.
Namun dalam penulisan makalah ini, kami menyadari sepenuhnya bahwa ada
kekurangan baik dari segi penyusun bahasanya maupun segi lainnya. Oleh karena itu
kami mengharapkan kritik dan masukan dari pembaca demi kesempurnaan makalah
ini.
Pada akhirnya kami mengharapkan dengan adanya makalah ini, semoga dapat
memberi tambahan ilmu serta dapat diambil hikmah dan manfaatnya sehingga dapat
memberikan inspirasi terhadap pembaca dan mengaplikasikannya.
Penyusun
Kelompok 9
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Anthurium merupakan salah satu tanaman hias yang tidak pernah tertinggal
peminatnya, meskipun akhir-akhir ini banyak muncul tanaman hias yang semakin
popular. Penanamannya tidak hanya sebagai tanaman hias atau kegemaran saja tetapi
sudah merupakan komoditi sebagai sumber pendapatan cukup potensial. Harga jual
Anthurium mahal sebanding dengan keindahan dan keunikannya.
Tanaman Anthurium termasuk tanaman dari keluarga Aracea, tanaman
berdaun indah ini masih berkerabat dengan sejumlah tanaman hias popular semacam
Aglaonema, philodendron, keladi hias dan alokasia. Selain itu tanaman Anthurium ini
juga tergolong jenis tanaman hias yang mempunyai nilai ekonomis tinggi. Tanaman
ini termasuk jenis tanaman evergreen atau tidak mengenal masa dormansi di alam,
biasanya tanaman ini hidup secara epifit dengan menempel di batang pohon. Dapat
juga hidup secara teresterial di dasar hutan.
Daya tarik utama dari Anthurium adalah bentuk daunnya yang indah, unik,
dan bervariasi dengan beranekaragam bentuk dan corak warna yang sesui dengan
jenis Anthuriumnya. Dewasa ini, permintaan Anthurium dalam skala besar sering kali
tidak dapat terpenuhi karena kurangnya stok dan standarisasi yang tidak tercapai.
Sedangkan perbanyakan konvensional memiliki keterbatasan dalam bahan
perbanyakan. Solusi untuk mengatasi masalah ini dapat dilakukan dengan
menerapkan teknik kultur jaringan. Perkembangan awal dari teknik kultur jaringan
sendiri itu dilandasi dengan adanya teori totipotensi di mana pada prinsipnya sel
tumbuhan memiliki kemampuan otonom untuk tumbuh dan beregenerasi menjadi
suatu tanaman yang utuh.
Kultur tanaman sendiri ialah teknik yang dimanfaatkan untuk mengisolasi
bagian dari tanaman baik itu pada bagian protoplasma sel, kelompok sel, jaringan dan
1
2
1. Untuk mengetahui pengaruh penambahan zat pengatur tumbuh BAP dan NAA
terhadap pelengkungan eksplan daun Anthurium.
2. Untuk mengetahui pengaruh penambahan zat pengatur tumbuh BAP dan NAA
terhadap pertumbuhan tunas, daun, dan akar pada tanaman Anthurium.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kultur Jaringan
Kultur jaringan didefinisikan sebagai metode perbanyakan tanaman dengan
cara vegetatif dengan mengambil bagian dari tanaman seperti tunas, batang, dan daun
lalu ditanam pada media khusus, tentunya tujuan dari metode ini adalah
menghasilkan tanaman dalam jumlah yang melimpah sesuai yang diinginkan dalam
waktu yang sangat singkat, pemuliaan tanaman, rekayasa genetika dan pelestarian
plasma nutfah (Febriana dan Titta, 2022).
Penggandaan dengan cara mikro yakni penggandaan secara vegetatif pada
tanaman tentunya dalam keadaan yang aseptis. Hal ini mampu digunakan dalam
menghasilkan tanaman yang bebas dari jangkitan virus tentu dengan mengeluarkan
organisme penyebab penyakit selama proses penggandaan tersebut berlangsung,
keuntungan dari mikropropagasi sendiri tingkatan multiplikasinya tergolong tinggi.
Maka dari itu, teknik ini memiliki peluang yang sangat tinggi dalam perbanyakan
atau penggandaan genotipe secara cepat pada tanaman (Dipak, 2018).
Teknik ini sangat membantu dalam usaha mengeliminasi patogen (penyakit
sistemik). Dengan metode ini dapat dipilih bagian-bagian atau sel-sel yang tidak
mengandung patogen sistemik terutama virus, dan menumbuhkan sel-sel (bagian)
tanaman tersebut serta meregenerasikannya kembali menjadi tanaman sempurna dan
sehat. Dalam teknik kultur ada syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi dalam
pelaksanaannya. Syarat pokoknya adalah laboratorium dengan segala fasilitasnya
(Yan, 2021).
B. Jenis Kultur In Vitro
Menurut Fossard dalam buku Prasetyorini (2019) ia membedakan kultur in
vitro pada tumbuhan tingkat tinggi menjadi 3 tipe yaitu:
4
5
tunas, akar ataupun embrio dapat mengalami perkembangan dari struktur yang tidak
terorganisasi melalui manipulasi medium tumbuh yang tepat. Tanaman yang
dihasilkan pada kultur ini sering tidak identik dengan indukannya.
Perbanyakan tanaman melalui kultur in vitro dipengaruhi oleh faktor seperti
media dan zat pengatur tumbuh yang digunakan, serta kondisi lingkungan kulturnya.
Adapun media yang biasa digunakan dalam kultur adalah media Murashige and
Skoog (media MS-1962), mengandung vitamin, sumber karbon, dan garam anorganik
(Vindi et al, 2022).
C. ZPT (Zat Pengatur Tumbuh)
Zat pengatur tumbuh pada tanaman merupakan senyawa organik bukan hara,
yang dalam jumlah sedikit berfungsi mendukung, menghambat dan merubah proses
fisiologi tumbuhan. Zat pengatur tumbuh yang biasa dan sering digunakan adalah
golongan sitokinin dan auksin (Fathurrahman, 2011).
Keberhasilan dalam penggunaan metode kultur jaringan sangat bergantung
pada komposisi media yang digunakan. Media kultur jaringan tanaman menyediakan
tidak hanya unsur hara makro dan mikro, tetapi juga sumber karbohidrat yang
umumnya berupa sukrosa atau gula, untuk menggantikan karbon yang biasanya
didapat dari atmosfer melalui fotosintesis. Oleh karena itu, pertumbuhan dan hasil
tanaman yang lebih baik akan diperoleh apabila ke dalam media tersebut
ditambahkan vitamin, asam amino, dan zat pengatur tumbuh (Yan, 2021).
Zat pengatur tumbuh berperan besar dalam teknik kultur in vitro, terutama
dalam proses organogenesis. Auksin dan sitokinin merupakan dua golongan zat
pengatur tumbuh yang sering digunakan untuk memengaruhi pertumbuhan dan
morfogenesis dalam kultur sel, jaringan, dan organ. Dari segi fungsinya, auksin
berperan merangsang pertumbuhan kalus dan akar, sedangkan sitokinin bermanfaat
untuk merangsang pertumbuhan tunas dan pembelahan sel (Herlindah et al). selain itu
sitokinin juga berperan dalam memacu pembentukan organ, menunda penuaan,
meningkatkan aktivitas wadah penampung hara dan memicu perkembangan kuncup
hingga keluar (Fathurrahman, 2011).
7
Ada dua golongan ZPT penting yang sering digunakan dalam mempengaruhi
pertumbuhan dan morfogenesis dalam kultur sel, jaringan dan atau kultur organ yaitu
Hormon NAA adalah senyawa kimia yang termasuk dalam golongan auksin
sedangkan hormon BAP termasuk dalam golongan sitokinin. Zat pengatur tumbuh
auksin dan sitokinin tidak bekerja secara sendiri-sendiri, tetapi kedua ZPT ini bekerja
secara berinteraksi dalam mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan eksplan.
Sitokinin merangsang pembelahan sel tanaman dan berinteraksi dengan auksin dalam
menentukan arah diferensiasi sel. Apabila perbandingan konsentrasi sitokinin lebih
besar dari auksin, maka pertumbuhan tunas dan daun akan terstimulasi. Sebaliknya
apabila sitokinin lebih rendah dari auksin, maka mengakibatkan terstimulasinya pada
pertumbuhan akar. Apabila perbandingan sitokinin dan auksin seimbang, maka
pertumbuhan tunas, daun dan akar akan berimbang pula (Karjadi & Buchory, 2007).
1) ZPT NAA (Naphtaleine Acetic Acid)
Peranan NAA adalah mendorong pemanjangan sel, diferensiasi jaringan xilem
dan floem serta pembentukan akar. Pada kultur jaringan penambahan NAA berfungsi
untuk merangsang pertumbuhan kalus, akar, pembelahan dan pemanjangan sel dan
organ serta memacu dominansi apikal pada jaringan meristem. Tujuan penambahan
NAA mengakibatkan tumbuhnya kalus dari eksplan dan mempercepat pembentukan
akar (Zulkarnain, 2009).
Salah satu golongan auksin yang paling banyak digunakan pada teknik kultur
in vitro adalah Naphthaleine Acetic Acid (NAA). NAA merupakan zat pengatur
tumbuh sintetik yang mempunyai sifat lebih stabil daripada jenis auksin lainnya
seperti Indol Acetic Acid (IAA) hal ini dikarenakan IAA dapat mengalami degradasi
yang disebabkan adanya cahaya dan enzim oksidatif. Oleh karena sifatnya yang labil
IAA jarang digunakan dan hanya merupakan hormon alami yang ada pada jaringan
tanaman yang digunakan sebagai eksplan. Sedangkan NAA tidak mudah terurai oleh
enzim yang dikeluarkan sel atau pemanasan pada proses sterilisasi (Mardhiyetti et al,
2015).
8
2. Inisiasi
Inisiasi adalah pengambilan eksplan dari bagian tanaman yang akan
dikulturkan. Bagian tanaman yang sering digunakan untuk kegiatan kultur jaringan
adalah tunas. Ada beberapa tipe jaringan yang di gunakan sebagai eksplan dalam
pengerjaan kultur jaringan. Pertama adalah jaringan muda yang belum mengalami
diferensiasi dan masih aktif membelah (meristematik) sehingga memiliki kemampuan
regenerasi yang tinggi. Jaringan tipe pertama ini ditemukan pada tunas, tunas aksiler,
bagian tepi daun, ujung akar, maupun batang. Tipe jaringan kedua adalah jaringan
parenkim, yaitu jaringan penyusun tanaman muda yang sudah mengalami diferensiasi
dan menjalankan fungsinya. Contoh jaringan tersebut adalah jaringan daun yang
sudah berfotosistesis dan jaringan batang atau akar yang berfungsi sebagai tempat
cadangan makanan.
3. Sterilisasi
Sterilisasi adalah bahwa segala kegiatan dalam kultur jaringan harus
dilakukan di tempat yang steril, yaitu dilaminar flow dan menggunakan alat-alat yang
juga steril. Sterilisasi juga dilakukan terhadap peralatan, yaitu menggunakan etanol
yang disemprotkan secara merata pada peralatan yang digunakan. Teknisi yang
melakukan kultur jaringan juga harus steril.
4. Multiplikasi
Multiplikasi adalah kegiatan memperbanyak calon tanaman dengan menanam
eksplan pada media. Kegiatan ini dilakukan di laminar air flow untuk menghindari
adanya kontaminasi yang menyebabkan gagalnya pertumbuhan eksplan. Tabung
reaksi yang telah ditanami eksplan diletakkan pada rakrak dan ditempatkan di tempat
yang steril dengan suhu kamar.
5. Pengakaran
Pengakaran adalah fase di mana eksplan akan menunjukan adanya
pertumbuhan akar yang menandai bahwa proses kultur jaringan yang dilakukan mulai
berjalan dengan baik. Pengamatan dilakukan setiap hari untuk melihat pertumbuhan
dan perkembangan akar serta untuk melihat adanya kontaminasi oleh bakteri ataupun
10
jamur. Eksplan yang terkontaminasi menunjukkan gejala seperti berwarna putih atau
biru disebabkan oleh jamur atau busuk disebabkan bakteri.
6. Aklimatisasi
Aklimatisasi adalah kegiatan memindahkan eksplan keluar dari ruangan
aseptik ke bedeng. Pemindahan dilakukan secara hati-hati dan bertahap, yaitu dengan
memberikan sungkup. Sungkup digunakan untuk melindungi bibit dari udara luar dan
serangan hama penyakit karena bibit hasil kultur jaringan sangat rentan terhadap
serangan hama penyakit dan udara luar. Setelah bibit mampu beradaptasi dengan
lingkungan barunya maka secara bertahap sungkup dilepaskan dan pemeliharaan bibit
dilakukan dengan cara yang sama dengan pemeliharaan bibit.
E. Tanaman Anthurium
Anthurium adalah salah satu jenis tanaman hias yang telah lama
dibudidayakan dalam skala yang luas di lingkungan industri florikultura. Spesies
Anthurium andreanum memiliki ciri khas berupa seludang bunga (spathea) yang
tebal, licin dan mengkilap sehingga Anthurium ini dijuluki oil cloth flower (Lingga,
2007).
Menurut Badan Pusat Statistik dalam (Herlindah et al, 2019) menyatakan
bahwa Prospek pengembangan tanaman hias dan bunga-bungaan cukup cerah. Hal ini
dibuktikan dengan permintaan tanaman hias dan bunga-bungaan (florikultura) di
pasar dunia cenderung meningkat setiap tahunnya. Peningkatan tersebut juga terjadi
di Indonesia, dan jenis bunga potong non anggrek yang berpotensi di ekspor antara
lain Anthurium tahun 2017, sebagian besar produksi tanaman bunga potong
mengalami peningkatan. Peningkatan tertinggi dialami krisan dengan peningkatan
sebesar 47,58 juta tangkai (10,99%) diikuti oleh gerbera, mawar, Anthurium bunga,
gladiol, pisang-pisangan, dan anggrek. Produksi bunga potong Anthurium sendiri
sebanyak 896.953 tangkai.
Kelebihan bunga Anthurium adalah warna serta variasi bunga dan daun yang
beragam, bila berada di batang bunga Anthurium masih bisa tetap segar selama 25
hari, tetapi bila dipotong hanya bisa bertahan sekitar 14 hari (Julhendri et al, 2013).
11
A. Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan dua faktor, yaitu:
1. Faktor BAP + NAA terhadap pelengkungan eksplan daun Anthurium (terdiri dari
25 perlakuan):
1. A0B0 (0mg/l NAA + 0mg/l BAP)
2. A0B1 (0mg/l NAA + 1mg/l BAP)
3. A0B2(0mg/l NAA + 3mg/l BAP)
4. A0B3 (0mg/l NAA + 5mg/l BAP)
5. A0B4 (0mg/l NAA + 7mg/l BAP)
6. A1B0 (1mg/l NAA + 0mg/l BAP)
7. A1B1 (1mg/l NAA + 1mg/l BAP)
8. A1B2 (1mg/l NAA + 3mg/l BAP)
9. A1B3 (1mg/l NAA + 5mg/l BAP)
10. A1B4 (1mg/l NAA + 7mg/l BAP)
11. A2B0 (3mg/l NAA + 0mg/l BAP)
12. A2B1 (3mg/l NAA + 1mg/l BAP)
13. A2B2 (3mg/l NAA + 3mg/l BAP)
14. A2B3 (3mg/l NAA + 5mg/l BAP)
15. A2B4 (3mg/l NAA + 7mg/l BAP)
16. A3B0 (5mg/l NAA + 0mg/l BAP)
17. A3B1 (5mg/l NAA + 1mg/l BAP)
18. A3B2 (5mg/l NAA + 3mg/l BAP)
19. A3B3 (5mg/l NAA + 5mg/l BAP)
20. A3B4 (5mg/l NAA + 7mg/l BAP)
21. A4B0 (7mg/l NAA + 0mg/l BAP)
22. A4B1 (7mg/l NAA + 1mg/l BAP)
23. A4B2 (7mg/l NAA + 3mg/l BAP)
24. A4B3 (7mg/l NAA + 5mg/l BAP)
25. A4B4 (7mg/l NAA + 7mg/l BAP)
12
13
2. Faktor BAP + NAA terhadap pertumbuhan tunas, daun dan akar tanaman
Anthurium (terdiri dari 6 perlakuan):
1. A0B0 (0mg/l NAA+0mg/l BAP)
2. A0B4 (0mg/l NAA+7mg/l BAP)
3. A1B4 (1mg/l NAA+7mg/l BAP)
4. A3B2 (5mg/l NAA+3mg/l BAP)
5. A3B3 (5mg/l NAA+5mg/l BAP)
6. A4B4 (7mg/l NAA+7mg/l BAP)
B. Alat dan Bahan
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Sumber Daya Genetika dan
Biologi Molekuler, Fakultas Pertanian, Gedung Pascasarjana, Universitas Udayana di
Jalan PB Sudirman, Denpasar. Penelitian ini dilakukan pada bulan September 2018–
Februari 2019.
Alat yang digunakan adalah timbangan analitik, pengaduk magnetik, autoklaf,
mikropipet, scalpel, pisau bedah, Laminar Air Flow Cabinet (LAFC), lemari tumbuh
(inkubator), botol kultur (diameter 5,5 cm, tinggi 9 cm), cawan petri, gelas ukur, gelas
beaker, erlenmeyer, lampu bunsen, plastik wrap, aluminium foil, pinset, dan kertas
label.
Bahan yang digunakan adalah eksplan daun dan biji tanaman Anthurium
(diperoleh dari UPT. BBITPH Provinsi Bali). Bahan lain yang digunakan adalah
akuades, sukrosa, media MS (Murashige dan Skoog), alkohol 70%, benlate, natrium
hipoklorid, tween-20, asam sitrat, gellan gum, NAA (Naphthalene Acetid Acid) dan
BAP (6-Benzylaminopurin).
C. Pelaksanaan Penelitian
Alat yang digunakan dicuci menggunakan detergen kemudian dibilas air
mengalir sampai bersih. Setelah dikeringkan alat dibungkus alumunium foil lalu
disterilisasi dalam autoklaf dengan suhu 121oC, tekanan 15 psi selama 30 menit.
Media yang digunakan adalah media MS yang diberikan zat pengatur BAP dan NAA
sesuai perlakuan. Media yang digunakan terdiri dari 1 liter aquades, 34,43 g MS
(Mushirage & Skoog), 4 g gellun gum dan 30 g sukrosa yang dicampur dan diberi
14
ZPT sesuai perlakuan. Media diautoklaf kemudian diinkubasi selama 7 hari sebelum
digunakan. Kemudian sterilisasi laminar air flow cabinet dilakukan dengan
menyemprot alkohol 70% pada dinding dan alasnya setelah itu ultraviolet dinyalakan
selama 60 menit.
Sterilisasi eksplan daun dengan direndam benlate (fungisida) 10 menit,
natrium hipoklorid + tween-20 10 menit, kemudian dicelup alkohol 70%. Untuk
mencegah pencoklatan pada eksplan daun, eksplan direndam dalam larutan asam
sitrat. Kemudian sterilisasi eksplan biji sama dengan prosedur sterilisasi eksplan
daun, tetapi tidak direndam pada asam sitrat. Setelah 30 hst eksplan biji dalam media
kultur tunas adventif yang muncul dipisah dan ditanam kembali pada media baru
dengan perlakuan yang sama.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
15
16
A0B A0B
0
17
Gambar 1. Pelengkungan eksplan pada 45 hari setelah tanam eksplan yang melengkung
(→).
memperlihatkan perbedaan yang signifikan dengan perlakuan control (Tabel 2). Hasil
ini sesuai dengan teori Yuniastuti et al, (2010) bahwa auksin yang berinteraksi
dengan sitokinin dalam konsentrasi yang tepat dapat merangsang sel-sel pada
primordial tunas untuk berproliferasi dan memacu diferensiasi.
A0B0
A0B4 A1B4
Perlakuan A4B4 memiliki tunas 8,25 dimana jumlahnya lebih sedikit dari
perlakuan A3B3 yang jumlah tunasnya 8,92 (Gambar 5). Hal ini terjadi karena
konsentrasi BAP yang terlalu tinggi sehingga melampaui batas maksimum tanaman
dapat menyerap untuk berdiferensiasi menjadi tunas. Pemberian konsentrasi BAP
yang terlalu tinggi ini sedikit penghambat pertumbuhan tunas yang telah maksimum
pada perlakuan A3B3.
4. Pertumbuhan Daun dan Akar Planlet Anthurium
Daun merupakan tempat berlangsung fotosintesis, yaitu pembentukan
karbohidrat. Sitompul dan Bambang (1995) berpendapat bahwa pengamatan daun
sangat diperlukan sebagai indikator pertumbuhan sehingga menjelaskan proses
pertumbuhan yang terjadi seperti pada pembentukan biomassa tanaman.
Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan saat 30 hari setelah tanam, daun
muncul pada semua kombinasi perlakuan. Jumlah daun dipengaruhi oleh adanya
penambahan zat pengatur tumbuh ke dalam media. Eksplan yang memiliki jumlah
21
daun paling banyak secara berturut-turut terdapat pada perlakuan A4B4, A3B3, A1B4,
A3B2, A0B4 dan A0B0, yaitu sebanyak 3,73, 3,33, 3,25, 3,08, 2,91 dan 2,33 daun.
Berdasarkan hasil analisis statistik yang dilakukan terhadap variabel jumlah daun
tanaman anthutium menunjukkan bahwa pada perlakuan A4B4, A3B3, A1B4, A3B2, A0B4
menunjukkan pengaruh berbeda tidak nyata pada jumlah daun perlakuan kontrol
(Tabel 2).
Pada media yang mengandung 7 mg/l BAP yaitu A0B4, A1B4, A4B4, memiliki
tunas yang banyak tetapi terbentuk tunas-tunas yang pendek, berkumpul pada pangkal
batang dan daun belum terbentuk sempurna. Hal ini dimungkinkan karena adanya
penggunaan BAP dalam konsentrasi yang tinggi sehingga sel terus menerus membelah
membentuk tunas baru tetapi pemanjangan sel kurang terpacu. Hal ini juga terjadi pada
eksplan kunir putih (Arniputri et al., 2003). Penambahan BAP pada konsentrasi yang
tinggi menyebabkan tunasnya berbentuk roset dengan ruas-ruas pendek.
Akar merupakan organ vegetatif utama yang memasok air, mineral dan bahan-
bahan yang penting untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman (Gardner et al.,
1991). Pada penelitian ini, semua eksplan dapat memunculkan akar (Tabel 2). Terlihat
bahwa auksin yang ditambahkan dalam media dapat merangsang terbentuknya akar
pada eksplan. Sesuai dengan yang diungkapkan oleh Wetherel (1982) bahwa auksin
dapat merangsang pembentukan akar.
Hasil penelitian menunjukkan perbedaan jumlah akar yang terjadi disebabkan
perbedaan konsentrasi yang diberikan pada media tanam, terdapat beda nyata pada
jumlah akar pada perlakuan antara A3B2 dengan A3B3 dan A4B4 terhadap perlakuan
tanpa pemberian hormon eksternal (kontrol). Beda nyata tampak pada analisis
statistik yang telah dilakukan. Perbedaan terlihat signifikan pada perlakuan dengan
dosis NAA yang tinggi yaitu 5 dan 7 mg/l, hal ini dikarenakan konsentrasi NAA
yang sesuai dapat memicu pertumbuhan akar pada tanaman.
Perlakuan A4B4 memiliki jumlah akar 4,83 dimana jumlahnya lebih sedikit dari
perlakuan A3B3 yang jumlah akarnya 5,83. Hal ini terjadi karena konsentrasi NAA
22
yang terlalu tinggi sehingga melampaui batas maksimum tanaman dapat menyerap
untuk berdiferensiasi menjadi akar. Pemberian konsentrasi NAA yang terlalu tinggi
ini menjadi sedikit penghambat pertumbuhan akar yang telah maksimum pada
perlakuan A3B3.
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Terjadi respon pertumbuhan tanaman Anthurium (Anthurium andraeanum)
akibat penambahan BAP dan NAA secara in-vitro. Kombinasi perlakuan terbaik untuk
pelengkungan eksplan daun Anthurium adalah pada perlakuan A3B2 (5 mg/l NAA+3
mg/l BAP). Kemudian kombinasi perlakuan terbaik untuk pertumbuhan tunas, daun,
dan akar Anthurium secara in-vitro adalah perlakuan A3B3 (5 mg/l NAA+5 mg/l
BAP).
B. SARAN
Perlu dilakukan penelitian yang berkelanjutan terkait dengan kemampuan
multiplikasi tunas dari hasil subkultur Anthurium dengan perlakuan A3B3, untuk
menghasilkan planlet tanaman Anthurium dalam jumlah besar.
23
24
DAFTAR PUSTAKA
Arniputri, R. B., Praswanto, dan D. Purnomo. 2003. Pengaruh konsentrasi IAA dan
BAP terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman kunir putih. Jurnal
Agrosains. 5(2): 48-51.
Fauzy, F., Mansyur., dan A. Husni. 2016. Pengaruh penggunaan media Murashige dan
Skoog (MS) dan vitamin terhadap tekstur, warna, dan berat kalus rumput gajah
(Pennisetum purpureum) CV. Hawaii pasca radiasi sinar gamma pada dosis
Ld50 (In-Vitro). Skripsi. Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran. 22 P.
Purba, R. V. 2017. Induksi kalus eksplan daun tanaman anggur (Vitis vinivera L.)
dengan aplikasi 2,4-D secara in-vitro. E-Jurnal Agroekoteknologi Tropika. 6:
2301-6515.
Rosyidah, M., E. Ratnasari., dan Y. S. Rahayu. 2014. Induksi kalus daun melati
(Jasminum sambac) dengan penambahan berbagai konsentrasi
Dichlorophenoxyacetic Acid (2,4-D) dan 6-Benzylamino Purine (BAP) pada
media MS secara in-vitro. Lentera Bio 3(3): 147–153.
Seswita. 2006. Perbanyakan tanaman krisan melalui teknik kultur jaringan. Buletin
Peragi. Vol. 2 (1): 19-25.
26
Taiz, L. dan E. Zeiger. 1998. Plant physiology. Sunderland: Sinauer Associates. 34.
Yan. P. B. Z. 2021. Metode Perbanyakan Tanaman Ubi Jalar Ungu (Ipomea batatas
poiret) dengan Teknik Kultur Jaringan atau Stek Planlet. Jurnal Inovasi
Penelitian. Vol. 2 (3): 1037-1046.
Yusnita, 2003. Metode Perbanyakan Tanaman melalui Kultur Jaringan atau Stek
Planlet. Yogyakarta: Kanisius.