You are on page 1of 3

MBAH JIPANG (NGAJINE GAMPANG)

Oleh: Akhid Nasrulloh

Di dusun Batokan Petok Mojo, pernah hidup seorang Kyai


yang dikenal kecerdasannya. Dialah Mbah Muhammad
Tholhah yang dikenal dengan Mbah Mad Jipang. Beliau lahir
sekitar awal tahun 1900-an dan wafat pada bulan Maret 1971
M di Batokan. Mbah Mad Jipang merupakan putra pertama dari
pasangan Kyai Fadil (Pengasuh
ke-3 Pesantren Batokan) dan
Nyai Anjar binti Kyai Sholeh Banjarmlati. Mbah
Mad Jipang memiliki 6 orang adik, diantaranya
adalah Mbah Jauhari (Ayah Gus Ma’shum
Lirboyo) dan Mbah Jamal (Pengasuh ke-4
Pesantren Batokan). Mbah Jipang menikah 4 kali Makam Mbah Jipang di Barat Pondok Batokan
dan dikaruniai 11 anak.

Kronologi Nama “Jipang”

Sebuah riwayat dari Kyai Mahsun, murid Mbah Ma’ruf Kedunglo, nama Jipang
ini adalah pemberian Mbah Ma’ruf. Beliau melihat kecerdasan Muhammad
Tolhah dalam mengaji kitab, sehingga beliau memberi nama “jipang” yang
merupakan akronim dari “Ngajine Gampang”. Sementara itu terdapat riwayat
lain yang bersumber dari putri Mbah Jipang, bahwa nama Jipang tersebut
diberikan oleh ayah beliau.

Sebutan Jipang itu mudah diterima jika melihat kecerdasan Mbah Jipang.
Menurut cerita yang dipopulerkan Gus Maksum Lirboyo, Mbah Jipang bisa
mahir membaca kitab gundul hanya bermodalkan teori kitab Jurumiyah dan
Tasrif saja. Bahkan menurut penuturan Mbah Manaf Pethuk, beliau Mbah
Jipang di masa muda bisa menghafalkan puluhan bait
alfiyah dalam waktu yang sangat singkat setara durasi
waktu menanak nasi dan hafalan itupun bisa membekas
hingga beliau sepuh tanpa lupa sedikitpun. Selain itu
beliau juga memiliki trik-trik perhitungan matematis,
disamping memiliki kebiasaan yang unik seperti: sering
membawa meteran kemana-mana, suka mengukur benda
di sekitar, mengukur putaran roda sepeda, mengisi waktu
luang dengan latihan menghitung angka-angka di atas
Salah satu buku tulis Mbah Jipang
sabak. Ketika ditanya untuk apa seperti itu? Mbah Jipang menjawab: untuk
mengasah otak.

Rihlah keilmuan

Meskipun terkenal memiliki kecerdasan intelektual, Mbah Mad Jipang juga


belajar ke beberapa kyai pesantren yang masyhur di zaman itu seperti Kyai
Abdul Karim Lirboyo, Kyai Ma’ruf
Kedunglo juga kepada Syaikhona Kholil
Bangkalan. Di pesantren tersebut Mbah
Mad Jipang belajar berbagai fan ilmu
hingga mengantarkan beliau menjadi
orang yang terkenal alim diantaranya
dalam ilmu faraidl (waris).
Ketelitian Mbah Jipang dalam membagi waris:
perabot rumah usangpun juga ikut dihitung
Berdakwah ke lereng gunung wilis

Beberapa wilayah di lereng gunung wilis seperti lemah jungkur, selopanggung,


kedak dan sekitarnya di zaman dahulu di kenal sebagai wilayah yang minim
syiar Islam, sehingga hal itu mendorong Mbah Jipang bersama adiknya (Mbah
Jamal) secara konsisten melakukan kegiatan dakwah di wilayah yang masih satu
kecamatan dengan desa petok saat itu. Beberapa tempat ibadah yang berdiri di
kawasan tersebut juga diinisiasi oleh Mbah Jipang dan Mbah Jamal. Bahkan tak
segan beliau berdua terlibat langsung dalam kegiatan pembangunan tempat
ibadah seperti mencetak batu bata sebagai bahan bangunan.

Mbah Jipang juga aktif mengajar masyarakat sekitar yang membutuhkan kajian
ilmu keislaman. Beliau mengajar di pondok Batokan yang saat itu belum
memiliki gedung memadai. Beliau juga mengajar di Langgar kecil yang beliau
dirikan disamping rumah beliau.

Ada satu cerita menarik yang sudah


masyhur tentang saling lempar
pengajian antara Mbah Jipang dan Mbah
Jamal. Di sekitar tahun 60-an seringkali
ada beberapa santri senior pondok
lirboyo yang meminta pengajian kepada Rumah peninggalan Mbah Jipang
Mbah Jipang. Namun Mbah Jipang menolak dan menyuruh para santri mengaji
ke Mbah Jamal. Setelah di rumah mbah Jamal, para santri disuruh kembali ke
Mbah Jipang. Terus menerus “diping-pong” seperti itu hingga akhirnya tidak
ada santri yang mengaji, meskipun di Batokan ada 2 Kyai yang alim nan
tawadlu’ tersebut. Hal itu juga disinyalir menjadi penyebab kosongnya tampuk
kepemimpinan pesantren Batokan selama 30 tahun sepeninggal Kyai Fadil.

Menyukai adu argumentasi dan tegas

Hal menarik dari Mbah Jipang selain kecerdasannya adalah ketegasan beliau.
Ada sebuah cerita bahwa di desa timur sungai terdapat musholla yang
mengumandangkan adzan sebelum waktunya, akhirnya Mbah Jipang
menyeberang sungai brantas hanya untuk mengingatkan kekeliruan muadzin. Di
lain waktu Mbah Jipang juga pernah mengingatkan seorang da’i yang salah
melafalkan dalil di atas podium. Dengan serta merta Mbah Jipang naik ke
podium dan mengatakan bahwa dalil tersebut salah. Ada juga kisah perdebatan
Mbah Jipang dengan Syekh Masduqi Lasem. Waktu itu syekh Masduqi
menyalahkan redaksi kitab Sirajut Thalibin karya Syekh Ihsan Jampes, sepupu
Mbah Jipang. Setelah Mbah Jipang mendengar cerita tersebut dari santri syekh
masduqi yang berasal dari desa mondo, Mbah Jipang berangkat ke Lasem
dengan menyamar sebagai penjual pisang, sebuah hal yang biasa bagi Mbah
Jipang yang sehari-harinya bekerja sebagai petani dan pedagang. Singkat cerita
terjadilah adu argumentasi yang berakhir dengan kemenangan Mbah Jipang.
Kepiawaian adu argumentasi ini juga ditunjukkan Mbah Jipang ketika berdebat
dengan Nur Hasan Ubaidah, pendiri Islam Jama’ah.

You might also like