You are on page 1of 21

PETUNJUK PELAKSANAAN DAN PETUNJUK TEKNIS

LOMBA BACA PUISI ENTREPRENEUR DAY FUTURE X TIC


SEKOLAH MITRA KASIH
KATEGORI UMUM
SE-KALIMANTAN SELATAN

A. SYARAT DAN KETENTUAN

1. Lomba Baca Puisi adalah bagian dari rangkaian lomba pada kegiatan Entrepreneur
Day Future x Tic 2023.
2. Lomba Baca Puisi terbuka untuk masyarakat umum se-Kalimantan Selatan.
3. Peserta Lomba Baca Puisi adalah warga negara Indonesia (dibuktikan dengan
menggunakan Kartu Tanda Penduduk).
4. Dewan juri adalah pihak yang berkompetensi untuk memberikan penilaian sesuai
dengan kriteria yang telah ditetapkan.

B. PENDAFTARAN

1. Pendaftaran dibuka pada tanggal 10-27 Februari 2023.


2. Pendaftaran dibuka untuk masyarakat umum se-Kalimantan Selatan.
3. Peserta lomba wajib membayar biaya pendaftaran sebesar Rp30.000,00/ satu peserta.
4. Pendaftaran dan Persyaratan Lomba:
1) Pendaftaran dapat melalui link berikut:
https://forms.gle/uqihJ6yofts418uR6
2) Persyaratan Mengikuti Lomba :
a. Membayar biaya pendaftaran sebesar Rp30.000,00/peserta;
b. Pembayaran biaya pendaftaran dilakukan secara tunai ke bagian
administrasi sekolah Middle-High Sekolah Mitra Kasih atau diserahkan
pada saat pertemuan teknis pada tanggal 27 Februari 2023.
c. Menyertakan fotokopi KTP atau kartu tanda pengenal lainnya.
d. Menghadiri pertemuan teknis yang diadakan di gedung Middle-High
Sekolah Mitra Kasih pada hari Senin, 27 Februari 2023 pada pukul 16.00
WITA.

C. PERATURAN LOMBA

1. Perlombaan dilaksanakan di lounge gedung Middle-High Sekolah Mitra Kasih pada hari
Selasa, 28 Februari 2023 pada pukul 15.00- selesai.
2. Peserta wajib datang ke tempat acara 15 menit sebelum acara dimulai.
3. Peserta wajib membacakan salah satu puisi yang ada dari daftar yang disediakan panitia.
Puisi-puisi tersebut dapat dilihat pada lampiran akhir juknis.
4. Peserta tidak diperbolehkan untuk menggunakan musik latar atau properti tambahan di
luar dari teks puisi.
2. Peserta memakai pakaian bebas, pantas, dan sopan.
3. Peserta hanya diperbolehkan membacakan satu judul puisi.
4. Peserta wajib memakai kartu nomor peserta saat tampil. Kartu nomor peserta akan
dibagikan saat pertemuan teknis.
5. Penjurian menggunakan sistem gugur atau tanpa sistem penyisihan.
6. Apabila peserta tidak hadir setelah dipanggil untuk tampil sebanyak tiga kali tanpa
keterangan apapun, maka, peseta dinyatakan didiskualifikasi.
7. Keputusan juri mutlak dan tidak dapat diganggu gugat.
8. Pemenang diumumkan pada acara puncak Entrepreneur Day Future x Tic pada hari
Sabtu, 4 Februari 2023.

D. ASPEK PENILAIAN
1. Penghayatan ketepatan/takaran rasa, totalitas emosi,dan ekspresi fisik.
2. Vokal penyajian secara lisan, meliputi :
a) Kenyaringan
b) Ketepatan artikulasi
c) Dan intonasi
3. Penampilan keharmonisan keseluruhan ekspresi lisan dan ekspresi fisik (wajah dan
anggota tubuh), sikap (cara membawakan diri di depan pemirsa), teknik muncul.

E. JADWAL PENTING

No. Tanggal Kegiatan

1. 10-27 Februari 2023 Pendaftaran lomba


2. 27 Februari 2023 Pertemuan teknis lomba
3. 28 Februari 2023 Hari-H Perlombaan
4. 4 Maret 2023 Pengumuman pemenang

F. PENGHARGAAN UNTUK PESERTA

Pemenang terdiri dari juara 1, 2, dan 3. Setiap pemenang akan mendapatkan trofi, sertifikat,
dan uang pembinaan

G. KETENTUAN PENUTUP
Keputusan juri tidak dapat diganggu gugat. Peraturan lain yang tidak tertulis dalam
petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis lomba baca puisi menjadi kebijakan panitia.

H. INFORMASI LEBIH LANJUT

Untuk informasi lebih lanjut silakan menghubungi narahubung di nomor Whatsapp


081253112000 pada jam kerja (08.00-16.00).
DAFTAR PUISI
BOCAH YANG TERCATAT DI MALAM LEGIAN
Karya: Ni Ketut Sudiani

Apa yang dibayangkan


Daun-daun di pinggir tanjung
Ketika tubuhku menolak hujan
Tak ingin jadi kerikil
Atau pena yang mencatat nama seorang bocah

Sepanjang tikungan di Legian


Lampu-lampu lupa tidur
Dinding jalanan punya warna lain
untuk balon-balon pesta
dalam remang caffe

Katak melompat
Suara air di pasang gelombang
Di kolam
Kata-kata muncul lalu tenggelam
Seperti bibir pucat anak itu,
terkatup warna awan
kehilangan kawan

Anak itu masih menunggu di bangku kayu


Ia kira sebentar gerimis jadi salju
Kota-kota jadi putih
Dinding kuta galleria jadi jembatan megah kota Paris
Atau dirinya jadi burung-burung
Riang terbang di menara katedral Notredame
Wangi magnolia dalam aroma anggur
tak sampai kesini
Anak itu tak juga bergegas
tak merasa cemas
Seolah hujan yang berpendar bersama warna pagi
Adalah anggur kiriman ayahnya dari polandia

Ujung topi merah gincu pudar


Bukan karena rumput atau salju di angan
Namun api pengganti balon penghias pesta
Jalanan sepanjang Legian tertidur
Juga lampu-lampu

Sebentar lagi
Anak itu tercatat
dalam sajak-sajak Legian
MEREKA MEMBANGUN SUNGAI
Karya: Dorothea Rosa Herliany

mereka membangun sungai pada kepalanya, kata


seseorang, agar hanyut kalimat-kalimat dalam
fikirannya menuju bendungan-bendungan yang
ditunggui orang-orang kosong. untuk memperebutkan
rumus-rumus dan kesimpulan yang mengasingkannya
dari kemanusiaan, kata yang lain. agar tercipta
makhluk-makhluk baru yang pongah dengan
huruf-huruf dan angka-angka membungkus
hati nurani. sehingga bumi yang purba membangun
kepompongnya pada kanvas sunyi, kata seseorang.

agar orang-orang meninggalkan arti debu, kata yang


lain. agar orang-orang meninggalkan arti hujan dan
matahari. agar orang-orang tak paham bunyi angin.
agar orang-orang tak tahu kediaman batu. agar
orang-orang ...

mereka membangun sungai, membangun


bendungan-bendungan,
membangun orang-orang kosong, muara, air, dan
kebisuan suara halus dari mulut-mulutnya, kata
seseorang yang menamakan dirinya nabi. Orang-orang
telah meninggalkan kefanaan, desahnya.
mereka membangun sungai dalam fikirannya. dalam
hati nuraninya. agar orang-orang tak paham kediaman
ayat-ayat yang terbaca. agar orang-orang ...

1991
NEW YORK, 1971
Karya: Sapardi Djoko Damono

Hafalkan namamu baik-baik di sini. Setelah baja


dan semen yang mengatur langkah kita, lampu-lampu
dan kaca. Langit hanya dalam batin kita,
tersimpan setia dari lembah-lembah di mana kau dan aku
lahir, semakin biru dalam dahaga.
Hafalkan namamu. Tikungan demi tikungan,
warna demi warna tanda-tanda jalanan yang menunjuk
ke arah kita, yang kemudian menjanjikan
arah yang kabur
ke tempat-tempat yang dulu pernah ada
dalam mimpi kanak-kanak kita. Berjalanlah merapat tembok
sambil mengulang-ulang menyebut nama tempat
dan tanggal lahirmu sendiri, sampai persimpangan
ujung jalan itu, yang menjurus ke segala arah
sambil menolak arah, ketika semakin banyak juga
orang-orang di sekitar kita, dan terasa bahwa
sepenuhnya sendiri. Kemudian bersiaplah
dengan jawaban-jawaban itu.
Tetapi kaudengarkah swara-swara itu?
KANGEN
Karya: W.S. Rendra

Kau tak akan mengerti bagaimana kesepianku


menghadapi kemerdekaan tanpa cinta
kau tak akan mengerti segala lukaku
kerna luka telah sembunyikan pisaunya.
Membayangkan wajahmu adalah siksa.
Kesepian adalah ketakutan dalam kelumpuhan.
Engkau telah menjadi racun bagi darahku.
Apabila aku dalam kangen dan sepi
itulah berarti
aku tungku tanpa api..
Kenangan dan Kesepian

Rumah tua
dan pagar batu.
Langit di desa
sawah dan bambu.

Berkenalan dengan sepi


pada kejemuan disandarkan dirinya.
Jalanan berdebu tak berhati
lewat nasib menatapnya.

Cinta yang datang


burung tak tergenggam.
Batang baja waktu lengang
dari belakang menikam.

Rumah tua
dan pagar batu.
Kenangan lama
dan sepi yang syahdu
JIKA IA DAUN
Karya: Ajamuddin Tifani

jika ia daun, berilah gugur, berilah


agar tanah dapat menghimpunkan humusnya
restu bagi luka-riangnya ibu pohonnya

jika ia darah, sempurnakanlah perih lukanya,


sempurnakanlah
liang-lukanya, koyak-kelupasnya
agar kucur-nyerinya menyungaikan aduh padamu saja

jika ia rahim, suburkanlah indung-telurnya, suburkanlah


janin apabila ia mengasuhnya, suburkanlah ia bagai tanah
yang subur, agar menggeliat benih rindunya
menjangkau sang surya

jika ia airmata, puisikanlah asinnya, puisikanlah


derainya, puisikanlah sedu-sedannya, ratap raungnya,
gelepar-rentanya, lapar rindunya, hidup matinya
agar semesta memahami
bahwa ia hanya
sebaris puisi
TIBA-TIBA MALAM
Karya: Ariffin Noor Hasby

Tiba-tiba malam membuka halaman-halaman


hati: ada sederet rumah dan lampu-lampu
menyalakan sejarah. Ada bulan paling purnama
mengantar burung-burung pulang dari musim purba.
Di bawah desau angin, kau membaca langkah-langkah
bunga, dan di depan pintu orang-orang
menangisi rumah-rumah tanpa jendela. Anak-anak
waktu yang menunggu, belum memahami ketakutan
pada kutukan-kutukan dingin matamu.

“Bacalah ayat-ayat Tuhan”. Tiba-tiba malam


menderas dalam perjalan. Orang-orang
mendengar beduk semakin jauh. Orang-orang
melihat kota-kota mengayuh hati di luar tubuh.
Kapanpun diam-diam mencari makna lampu-lampu
padam. Huruf-huruf melompat dalam gelap
mencari matamu yang terakhir
menulis puisi dengan dzikir.

Padahal, sehabis malam, lampu-lampu itu


akan bernasib buruk. Tapi kau begitu takut:
halaman-halaman hatimu tak lagi terbaca setelah
sunyi rumah-rumah melepas hati nurani, anak-anak
waktu membuka jendela, tapi di luar gelap nyaris
sempurna. “Bacalah ayat-ayat Tuhan”, sehabis
suara, kau tertidur dan bermimpi: lampu-lampu
pulang menemui terang cahaya!

Banjarbaru, November 1994


COCKTAIL PARTY
Karya: Toety Heraty

meluruskan kain-baju dahulu


meletakkan lekat sanggul rapi
lembut ikal rambut di dahi
pertarungan dapat dimulai
berlomba dengan waktu
dengan kebosanan, apa lagi
pertaruhan ilusi
seutas benang dalam taufan
amuk badai antara insan

taufan? ah, siapa


yang masih peduli
tertawa kecil, menggigit jari adalah
perasaan yang dikebiri
kedahsyatan hanya untuk dewa-dewa
tapi deru api unggun atas
tanah tandus kering
angin liar, cambukan halilintar
mengiringi

perempuan seram yang kuhadapi, dengan


garis alis dan cemooh tajam
tertawa lantang –
aku terjebak, gelas anggur di tangan
tersenyum sabar pengecut menyamar –
ruang menggema
dengan gumam hormat, sapa-menyapa
dengan mengibas pelangi perempuan
itu pergi, hadirin mengagumi

mengapa tergoncang oleh cemas


dalam-dalam menghela napas, lemas
hadapi saingan dalam arena?
kata orang hanya maut pisahkan cinta
tapi hidup merenggut, malahan maut
harapan semu tempat bertemu

itu pun hanya kalau kau setuju


keasingan yang mempesona, segala
tersayang yang telah hilang –
penenggelaman
dalam akrab dan lelap
kepanjangan mimpi tanpa derita
dan amuk badai antara insan?
gumam, senyum dan berjabatan tangan
DAN KEMATIAN MAKIN AKRAB
Karya: Subagio Sastrowardojo

(Sebuah Nyanyian Kabung)

Di muka pintu masih


bergantung tanda kabung
Seakan ia tak akan kembali
Memang ia tak kembali
tapi ada yang mereka tak
mengerti - mengapa ia tinggal diam
waktu berpisah. Bahkan tak
ada kesan kesedihan
pada muka
dan mata itu, yang terus
memandang, seakan mau bilang
dengan bangga : - Matiku muda -
Ada baiknya
mati muda dan mengikut
mereka yang gugur sebelum waktunya
Di ujung musim yang mati dulu
bukan yang dirongrong penyakit
tua, melainkan dia
yang berdiri menentang angin
di atas bukit atau dekat pantai
di mana badai mengancam nyawa.
Sebelum umur pahlawan ditanam
di gigir gunung atau di taman-taman
di kota
tempat anak-anak main
layang-layang. Di jam larut
daun ketapang makin lebat berguguran
di luar rencana
Dan kematian jadi akrab, seakan kawan berkelakar
yang mengajak
tertawa - itu bahasa
semesta yang dimengerti -
Berhadapan muka
seperti lewat kaca
bening
Masih dikenal raut muka,
bahkan kelihatan bekas luka
dekat kening
Ia menggapai tangan
di jari melekat cincin
- Lihat, tak ada batas
antara kita. Aku masih
terikat kepada dunia
karena janji karena kenangan
Kematian hanya selaput
gagasan yang gampang diseberangi
Tak ada yang hilang dalam
perpisahan, semua
pulih
juga angan-angan dan selera
keisengan -
Di ujung musim
dinding batas bertumbangan
dan
kematian makin akrab.
Sekali waktu bocah
cilik tak lagi
sedih karena layang-layangnya
robek atau hilang
-Lihat, bu, aku tak menangis
sebab aku bisa terbang sendiri
dengan sayap
ke langit –
ALMAMATER
Karya: Taufiq Ismail

Di depan gerbangmu tua pada hari ini


Kami menyilangkan tangan ke dada kiri
Tegak tengadah menatap bangunanmu
Genteng hitam dan dinding kusam. Berlumut waktu
Untuk kali penghabisan

Marilah kita kenangkan tahun-tahun dahulu


Hari-hari kuliah di ruang fisika
Mengantuk pada pagi cericit burung gereja
Praktikum. Padang percobaan. Praktek daerah
Corong anastesi dan kilau skalpel di kamar bedah
Suara-suara menjalar sepanjang gang
Suara pasien yang pertama kali kujamah

Di aula ini, aula yang semakin kecil


Kita beragitasi, berpesta dan berkencan
Melupakan sengitnya ujian, tekanan gurubesar
Melepaskannya pada hari-hari perpeloncoan
Pada filem dan musik yang murahan

Ya, kita sesekali butuh juga konser yang baik


Drama Sophocles, Chekov atau ‘Jas Panjang Pesanan’
Memperdebatkan politik, Tuhan dan para negarawan
Tentang filsafat, perempuan serta peperangan
Bayang benua abad dahulu lewat abad yang kini

Di manakah kau sekarang berdiri? Di abad ini


Dan bersyukurlah karena lewat gerbangmu tua
Kau telah dilantik jadi warga Republik Berpikir Bebas
Setelah bertahun diuji kesetiaan dan keberanianmu
Dalam berpikir dan menyatakan kebebasan suara hati
Berpijak di tanah air nusantara
Dan menggarap tahun-tahun kemerdekaan
Dengan penuh kecintaan

Dan kami bersyukur pada Tuhan


Yang telah melebarkan gerbang tua ini
Dan kami bersyukur pada ibu bapa
Yang sepanjang malam
Selalu berdoa tulus dan terbungkuk membiayai kami
Dorongan kekasih sepenuh hati
Dan kami berhutang pada manusia
Yang telah menjadi guru-guru kami
Yang membayar pajak selama ini
Serta menjaga sepeda-sepeda kami

Pada hari ini di depan gerbangmu tua


Kami kenangkan cemara halamanmu dalam bau formalin
Mikroskop. Kamar obat. Perpustakaan
Gulungan layar di kampung nelayan
Nyanyi pohon-pohon perkebunan
Angin hijau di padang-padang peternakan
Deru kemarau di padang-padang penggembalaan
Dalam mimpi teknologi, kami kini dipanggil
Untuk menggarap tahun-tahun kemerdekaan
Dan mencintai manusianya
Mencintai kebebasannya.

1963
JENDELA
Karya: Joko Pinurbo

Di jendela tercinta ia duduk-duduk


bersama anaknya yang sedang beranjak dewasa.
Mereka ayun-ayunkan kaki, berbincang, bernyanyi
dan setiap mereka ayunkan kaki
tubuh kenangan serasa bergoyang ke kanan dan kiri.

Mereka memandang takjub ke seberang,


melihat bulan menggelinding di gigir tebing,
meluncur ke jeram sungai yang dalam, byuuurrr....

Sesaat mereka membisu.


Gigil malam mencengkeram bahu.
“Rasanya pernah kudengar suara byuuurrr
dalam tidurmu yang pasrah, Bu.”
“Pasti hatimulah yang tercebur ke jeram hatiku,”
timpal si ibu sembari memungut sehelai angin
yang terselip di leher baju.

Di rumah itu mereka tinggal berdua.


Bertiga dengan waktu. Berempat dengan buku.
Berlima dengan televisi. Bersendiri dengan puisi.

“Suatu hari aku dan Ibu pasti tak bisa bersama.”


“Tapi kita tak akan pernah berpisah, bukan?
Kita adalah cinta yang berjihad melawan trauma.”

Selepas tengah malam mereka pulang ke ranjang


dan membiarkan jendela tetap terbuka.
Siapa tahu bulan akan melompat ke dalam,
menerangi tidur mereka yang bersahaja
seperti doa yang tak banyak meminta.

You might also like