You are on page 1of 10

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah


Rumah merupakan kebutuhan dasar manusia yang harus dipenuhi untuk
keberlanjutan hidup. Namun, di Indonesia mengalami kondisi backlog atau kesenjangan antara
jumlah rumah yang dibutuhkan dengan jumlah rumah yang tersedia.
Berdasarkan Statistik Indonesia yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik,
backlog rumah di Indonesia pada tahun 2017 mencapai 13.696.656 unit atau sebesar 20.39%
dari jumlah rumah tangga nasional. Sedangkan, pada tahun 2016 angka backlog berada di
angka 11.567.337 unit. Berarti, backlog di Indonesia mengalami kenaikan sejumlah 2.132.320
unit dari tahun 2016 sampai dengan tahun 2017. Di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
(Selanjutnya ditulis Provinsi DIY), backlog rumah pada tahun 2017 mencapai 279.809 unit
atau sebesar 24,74% dari jumlah rumah tangga.
279.809
273.528

254.175 254.422 252.758

2013 2014 2015 2016 2017


Grafik 1.1: Backlog rumah di Provinsi DIY
Sumber: Badan Pusat Statistik (diolah Penulis, 2018)

Dari grafik 1.1, dapat menjelaskan backlog rumah di Provinsi DIY terhitung dari
tahun 2013 sampai dengan tahun 2017. Pada tahun 2013 sampai dengan tahun 2014, backlog
rumah mengalami kenaikan sejumlah 19.353 unit. Sedangkan, pada tahun 2014, 2015, sampai
2016 mengalami penurunan. Masing-masing penurunan sejumlah 19.106 unit (2014/2015) dan
1.663 unit (2015/2016). Namun, backlog rumah pada tahun 2017 mengalami peningkatan yang
signifikan dan merupakan angka tertinggi dalam kurun waktu lima tahun dengan jumlah
kenaikan mencapai 27.051 unit.

1
KOTA YOGYAKARTA 53.552 91.930

KAB. SLEMAN 256.488 114.964

KAB. GUNUNG KIDUL 197.808 10.126

KAB. BANTUL 238.313 48.535

KAB. KULON PROGO 105.984 13.341

Kepemilikan Rumah Backlog Rumah

Grafik 1.2: Backlog rumah di Provinsi DIY tahun 2017 berdasarkan demografi
Sumber: Badan Pusat Statistik (diolah Penulis, 2018)

Secara demografi, backlog rumah tahun 2017 yang terbesar terdapat di Kabupaten
Sleman sebesar 114.964 unit dengan persentase 30.95%. Backlog rumah terbesar kedua yaitu
Kota Yogyakarta dengan jumlah 91.930 unit dengan persentase 63.19%. Sedangkan, backlog
rumah terendah terdapat di Kabupaten Gunung Kidul sebesar 13.341 unit dengan persentase
4.87%.
Dilihat dari kepadatan penduduk berdasarkan demografi di Provinsi DIY pada
tahun 2017, Kabupaten Gunung Kidul merupakan wilayah terendah dengan kepadatan 491
Jiwa/km². Sedangkan, kepadatan penduduk tertinggi berada di Kota Yogyakarta dengan
kepadatan 13.007 Jiwa/km². Kepadatan penduduk tertinggi kedua yaitu Kabupaten Sleman
dengan kepadatan 2.076 Jiwa/km².

Tabel 1.1: Backlog rumah dan Kepadatan penduduk di Provinsi D.I. Yogyakarta tahun 2017
Kabupaten/Kota Backlog Rumah Kepadatan Penduduk
Kabupaten Kulon Progo 13.341 Unit 11,18% 719 Jiwa/km²
Kabupaten Bantul 48.535 Unit 16,92% 1.964 Jiwa/km²
Kabupaten Gunung Kidul 10.126 Unit 4,87% 491 Jiwa/km²
Kabupaten Sleman 114.964 Unit 30,95% 2.076 Jiwa/km²
Kota Yogyakarta 91.931 Unit 63,19% 13.007 Jiwa/km²
Sumber: Badan Pusat Statistik (diolah Penulis, 2018)

Berdasarkan dua variabel berupa angka, dapat diketahui bahwa backlog rumah dan
kepadatan penduduk terpusat di wilayah perkotaan. Di Provinsi DIY, backlog rumah di Kota
Yogyakarta merupakan tertinggi kedua apabila dilihat dari angka. Namun, jika dilihat dari
persentase backlog rumah di Kota Yogyakarta merupakan tertinggi dengan persentase 63.19%.
Hal ini berbanding lurus dengan padatnya penduduk di Kota Yogyakarta. Begitu juga pada

2
kabupaten-kabupaten lainnya yang berada di Provinsi DIY bahwah banyaknya backlog rumah
berbanding lurus dengan kepadatan penduduk.
Backlog rumah dan kepadatan penduduk di perkotaan berakibat pada kebutuhan
lahan permukiman menjadi tinggi. Dilain sisi, lahan yang berada di Provinsi DIY sangatlah
terbatas. Berdasarkan data dari Bappeda Provinsi DIY, tata ruang yang diperuntukan bagi
permukiman (dalam hal ini permukiman perkotaan) hanya 15.644,04 ha. Maka dari itu,
keterbatasan lahan merupakan masalah dari Backlog rumah dan kepadatan penduduk.
Pembangunan permukiman vertikal merupakan solusi untuk menyikapi
permasalahan diatas. Menurut Sutaryono (2016), dosen tata ruang di Sekolah Tinggi
Pertanahan Nasional Yogyakarta menyatakan bahwa pengembangan hunian di Kota
Yogyakarta (perkotaan) perlu diarahkan kepada permukiman vertikal guna meminimalisir
penggunaan lahan yang kian terbatas (Sumber: tataruangpertanahan.com diakses 29/8/2018).
Namun, permukiman vertikal yang menjadi solusi dari backlog rumah, kepadatan
penduduk, dan keterbatasan lahan tidak luput dari berbagai macam masalah. Dalam penelitian
ini, permasalahan permukiman vertikal ditinjau melalui empat aspek, yaitu: aspek ekonomi
mikro, hukum, teknis, dan finansial.

1.1.1. Aspek Ekonomi Mikro


Angka backlog rumah yang tinggi dan keterbatasan lahan merupakan permasalahan
supply hunian di Provinsi DIY. Rama Adyaksa Pradipta (2018) selaku Ketua DPD REI DIY
mengungkapkan bahwa supply hunian (horizontal) dengan segmentasi pasar menengah bawah
sangat sulit dibangun karena keterbatasan lahan yang berakibat pada tingginya harga dasar
tanah. Daya beli masyarakat menengah bawah berkisar diantara harga Rp 300.000.000 sampai
dengan Rp 400.000.000 untuk rumah kecil tipe sederhana (tipe 36 dan tipe 45) dengan sasaran
pembeli yaitu pegawai swasta, PNS, dan keluarga muda. Sedangkan, harga rumah diatas Rp
500.000.000 diperuntukan bagi segmentasi pasar menengah atas. Pasar menengah atas yang
dapat merespon tingginya harga dasar tanah.
Sementara itu, terdapat delapan belas tower hunian vertikal yang berada di provinsi
DIY. Namun, jumlah tersebut belum dapat menyelesaikan permasalahan backlog. Hal ini
dikarenakan para Pengembang memasarkan tower untuk investasi dengan konsep apartemen
model studio yang diperuntukan bagi pelajar atau mahasiswa. Sedangkan, hunian vertikal yang
dibutuhkan yaitu diperuntukan bagi segmentasi pasar menengah bawah (Sumber:
ekbis.harianjogja.com diakses 30/8/2018)

3
Berdasarkan data dari Rumah.com Property Index harga rata-rata apartemen
(hunian vertikal) berada diangka Rp 21.430.000 per meter persegi. Angka tersebut merupakan
harga rata-rata di Provinsi DIY pada tahun 2017 dari kuartal satu sampai dengan kuartal empat
(Sumber: rumah.com diakses 2/9/2018).
Sehingga, diperlukan pengujian data-data diatas dengan analisa ekonomi mikro.
Analisa tersebut sangat diperlukan untuk mengetahui permintaan, penawaran, harga, dan
mekanisme pasar yang berlaku di Provinsi DIY. Hasil dari analisa ekonomi mikro yaitu
menjadi rujukan dalam menganalisa aspek hukum, teknis, dan finansial dengan segmentasi
pasar menengah bawah guna mengetahui kelayakan proyek.

1.1.2. Aspek Hukum


Berdasarkan informasi melalui website Badan Kerjasama dan Penanaman Modal
(BKPM) Provinsi DIY tentang panduan investasi di bidang izin lahan dan bangunan
(konstruksi) bahwa terdapat tiga acuan hukum untuk perizinan yang harus dilalui. Panduan
investasi tersebut bersifat umum untuk regional Provinsi DIY. Ketiga acuan hukum untuk
perizinan tersebut, diantaranya: Rencana Tata Ruang dan Wilayah (selanjutnya ditulis RTRW);
Izin Peruntukan Penggunaan Tanah (selanjutnya ditulis IPPT); dan Izin Mendirikan Bangunan
(selanjutnya ditulis IMB). Selain itu, terdapat juga izin lingkungan yang terdiri dari Izin
Undang-Undang Gangguan; Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (selanjutnya ditulis
AMDAL); dan Izin Pengambilan/Pemanfaatan Air Bawah Tanah (Sumber:
jogjainvest.jogjaprov.go.id diakses 3/8/2018).

1.1.3. Aspek Teknis


Ntan cantik, bantuin si yang aspek hukum sama teknis dong. hehehe....

1.1.4. Aspek Finansial


Persoalan dari pembangunan hunian vertikal berdasarkan aspek finansial adalah
besarnya modal yang dikeluarkan. Diperlukan perhitungan yang matang dan studi yang
mendalam tentang ekonomi teknik untuk mengambil keputusan bahwa pembangunan hunian
vertikal dapat dikerjakan atau tidak.
Maka dari itu, perlunya menentukan harga jual unit dengan berdasarkan beberapa
kriteria pada aspek teknis dan melakukan penilaian tentang biaya-biaya yang akan dikeluarkan
sebagai modal pembangunan hunian vertikal. Setelah mendapatkan nilai-nilai tersebut,
selanjutnya adalah analisa ekonomi teknik. Metode perhitungan ekonomi teknik yang
4
digunakan, diantaranya: Net Present Value (NPV), Return On Investment (ROI), Internal Rate
of Return (IRR), Profitability Index (PI), Break Even Point (BEP), Payback Period (PP),
Benefit Cost Ratio (B/C).

1.2. Rumusan Masalah


Berdasarkan dari latar belakang yang telah dipaparkan, maka dapat dirumuskan
beberapa permasalahan penelitian secara umum maupun khusus seperti berikut:
A. Permasalahan Umum
Bagaimana pembangunan hunian vertikal di Provinsi DIY yang ditinjau dari aspek
ekonomi mikro; hukum; teknis; dan finansial?
B. Permasalahan Khusus
 Bagaimana pembangunan hunian vertikal di Provinsi DIY dengan tinjauan aspek
ekonomi mikro yang terdiri dari permintaan dan penawaran (pasar); tingkah laku
konsumen; penentuan harga; dan mekanisme pasar?
 Bagaimana pembangunan hunian vertikal di Provinsi DIY dengan tinjauan aspek
hukum tentang rumah susun?
 Bagaimana pembangunan hunian vertikal di Provinsi DIY dengan tinjauan aspek
hukum tentang izin lahan dan bangunan yang terdiri dari kesesuaian RTRW, IPPT,
dan IMB?
 Bagaimana pembangunan hunian vertikal di Provinsi DIY dengan tinjauan aspek
hukum tentang izin lingkungan yang terdiri dari izin undang-undang gangguan,
AMDAL, dan izin pengambilan/pemanfaatan air bawah tanah?
 Bagaimana pembangunan hunian vertikal di Provinsi DIY dengan tinjauan aspek
teknis yang terdiri dari akses lokasi; spesifikasi, fasilitas, dan luas Bangunan; serta
berapa biaya konstruksi pembangunannya?
 Bagaimana pembangunan hunian vertikal di Provinsi DIY dengan tinjauan aspek
finansial yang terdiri dari perhitungan NPV, ROI, IRR, PI, BEP, PP, dan B/C?

1.3. Tujuan dan Sasaran


Dari rumusan masalah yang telah diuraikan, maka tujuan dan sasaran pada
penelitian ini adalah:
A. Tujuan Penelitian
Mengetahui pembangunan hunian vertikal di Provinsi DIY yang ditinjau dari aspek
ekonomi mikro; hukum; teknis; dan finansial.
5
B. Sasaran Penelitian
 Mengetahui pembangunan hunian vertikal di Provinsi DIY dengan tinjauan aspek
ekonomi mikro yang terdiri dari permintaan dan penawaran (pasar); tingkah laku
konsumen; penentuan harga; dan mekanisme pasar.
 Mengetahui pembangunan hunian vertikal di Provinsi DIY dengan tinjauan aspek
hukum tentang rumah susun.
 Mengetahui pembangunan hunian vertikal di Provinsi DIY dengan tinjauan aspek
hukum tentang izin lahan dan bangunan yang terdiri dari kesesuaian RTRW, IPPT,
dan IMB.
 Mengetahui pembangunan hunian vertikal di Provinsi DIY dengan tinjauan aspek
hukum tentang izin lingkungan yang terdiri dari izin undang-undang gangguan,
AMDAL, dan izin pengambilan/pemanfaatan air bawah tanah.
 Mengetahui pembangunan hunian vertikal di Provinsi DIY dengan tinjauan aspek
teknis yang terdiri dari akses lokasi; spesifikasi, fasilitas, dan luas Bangunan; serta
berapa biaya konstruksi pembangunannya.
 Mengetahui pembangunan hunian vertikal di Provinsi DIY dengan tinjauan aspek
finansial yang terdiri dari perhitungan NPV, ROI, IRR, PI, BEP, PP, dan B/C.

1.4. Batasan Penelitian


Penelitian ini memiliki batasan pembahasan pada setiap aspeknya. Batasan-batasan
penelitian pada setiap aspeknya, yaitu:
 Aspek ekonomi mikro membatasi pembahasan tentang permintaan dan penawaran
(pasar); tingkah laku konsumen; penentuan harga; dan mekanisme pasar untuk
pembangunan hunian vertikal di Provinsi DIY.
 Aspek hukum membatasi pembahasan tentang peraturan rumah susun, RTRW,
IPPT, IMB, izin undang-undang gangguan, AMDAL, dan izin
pengambilan/pemanfaatan air bawah tanah untuk pembangunan hunian vertikal di
Provinsi DIY.
 Aspek teknis membatasi pembahasan tentang akses lokasi; spesifikasi, fasilitas, dan
luas Bangunan; serta biaya konstruksi untuk pembangunan hunian vertikal di
Provinsi DIY.
 Aspek finansial membatasi pembahasan tentang perhitungan ekonomi teknik
dengan metode NPV, ROI, IRR, PI, BEP, PP, dan B/C.

6
1.5. Manfaat Penelitian

1.6. Hipotesis Penelitian


Hipotesis dari penelitian ini adalah pembangunan hunian vertikal atau rumah susun
diperuntukan bagi segmentasi pasar menengah bawah dengan harga jual per unit antara Rp
300.000.000 sampai dengan Rp 400.000.000. Adapun sasaran pembeli bagi segmentasi pasar
menengah bawah yaitu pegawai swasta, PNS, dan keluarga baru.
Pengujian awal dari hipotesis ini dengan mengkaji dan menganalisa menggunakan
aspek ekonomi mikro. Pengujian akhir hipotesis dengan perhitungan ekonomi teknik yang akan
mengetahui kelayakan secara finansial dari pembangunan rumah susun. Untuk lebih jelas alur
pengujian hipotesis dijelaskan pada sub-bab kerangka berpikir penelitian.

1.7. Kerangka Berpikir Penelitian


Kerangka berpikir pada penelitian ini membahas tentang peta pemecahan
permasalahan dan kerangka pola pikir. Untuk memahami alur kerangka berpikir, dapat dilihat
pada gambar 1.1 dan gambar 1.2.

7
Gambar 1.1: Peta pemecahan permasalahan
Sumber: Penulis, 2018

8
Gambar 1.2: Kerangka pola pikir
Sumber: Penulis, 2018

9
Dari gambar 1.1 dapat dijelaskan bahwa terdapat dua kali pengujian hipotesis.
Pengujian hipotesis awal menggunakan analisa ekonomi mikro. Analisa ekonomi mikro
digunakan untuk mencari tahu kondisi permintaan dan penawaran (pasar); tingkah laku
konsumen; penentuan harga; dan mekanisme pasar untuk pembangunan rumah susun yang
berada di wilayah Provinsi DIY. Hasil dari pengujian hipotesis awal dengan analisa ekonomi
mikro digunakan untuk menjadi pedoman mengklasifikasi dan menentukan jenis rumah susun
serta sebagai acuan dalam menganalisa aspek hukum dan teknis. Selain itu, analisa ekonomi
mikro juga menentukan harga jual per unit dari rumah susun yang digunakan untuk perhitungan
ekonomi teknik.
Setelah pengujian awal dengan analisa ekonomi mikro, selanjutnya adalah
membahas aspek hukum dan teknis. Aspek hukum diperlukan sebagai pedoman secara
normatif untuk pembangunan rumah susun di Provinsi DIY. Adapun pembahasan pada aspek
hukum yaitu untuk mengetahui peraturan tentang rumah susun, kesesuaian peruntukan lahan
berdasarkan RTRW, proses IMB, izin gangguan, AMDAL, dan izin pengambilan/pemanfaatan
air bawah tanah. Sedangkan, pembahasan aspek teknis terkait dengan akses lokasi, fasilitas,
dan luas bangunan rumah susun yang mengacu pada hasil dari pengujian hipotesis awal.
Dari hasil analisa pada aspek hukum dan teknis, terdapat biaya-biaya yang akan
dikeluarkan. Biaya tersebut diantaranya untuk perizinan, dana untuk mengalokasi lahan, dan
biaya konstruksi. Dana untuk alokasi lahan dan biaya kontruksi pada penelitian ini
menggunakan harga taksir. Biaya-biaya dari aspek hukum dan teknis akan dikomparasi dengan
pendapatan yang didapatkan dari analisa ekonomi mikro.
Guna mengetahui kelayakan secara finansial, analisa ekonomi teknik akan
menghitung dengan metode-metode yang telah ditentukan. Pada penelitian ini, kelayakan
finansial merupakan langkah akkhir dari penelitian ini sekaligus digunakan sebagai uji
hipotesis akhir. Jika penelitian ini menghasilkan kesimpulan bahwa pembangunan rumah susun
di wilayah Provinsi DIY dapat dikatakan layak secara finansial, maka penelitian ini dapat
direkomendasikan untuk ditindaklanjuti dengan segmentasi pasar menengah bawah.

10

You might also like