Professional Documents
Culture Documents
Perspektif Pedagogik Tentang Landasan Ma
Perspektif Pedagogik Tentang Landasan Ma
LANDASAN PEDAGOGIK
PERSPEKTIF PEDAGOGIK
TENTANG LANDASAN MANAJEMEN PENDIDIKAN
April 25, 2014
Oleh :
Adhi Prasetio - 1303238
Arif Partono Prasetio - 1303193
Referensi............................................................................................................................................................20
1
PERSPEKTIF PEDAGOGIK TENTANG LANDASAN
MANAJEMEN PENDIDIKAN
Misi, yang akan memberikan motivasi kepada peserta didik dan tantangan yang harus
dicapai
Latar belakang, yang merupakan penjelasan mengenai pentingnya misi yang ditetapkan.
Di samping itu juga memberikan kesempatan kepada siswa untuk mempraktekkan
ketrampilannya dan mendapatkan pengetahuan yang dibutuhkan
Skenario, yang harus dibuat selaras dengan misi serta menandung banyak kegiatan
praktek
Sumberdaya, yang dapat digunakan oleh siswa untuk memperoleh ketrampilan yang
diharapkan
2
Umpan balik, yang harus diberikan tepat waktu, dalam bentuk bimbingan, penjelasan
akan akibat dari suatu tindakan, dan cerita pengalaman yang mirip dengan kondisi yang
sedang diajarkan. Kesemuanya itu dilakukan oleh pengajar yang memiliki latar
belakang cukup kuat di bidangnya.
Pada konsep aslinya, Schank (Hsu & Moore, 2011) mengemukakan adanya tujuh
elemen di dalam GBS yang akan penulis sajikan pada bagian presentasi. Berikut ke tujuh
elemen tersebut;
3
pembelajaran langsung dari native-speaker, dimana kita bisa mempelajari cara komunikasi
yang dilakukan.
Meski model GBS merupakan cara terbaik, akan tetapi masih banyak orang yang
tidak mau melakukannya. Salah satu alasannya adalah karena orang tidak mau
kesalahannya diungkapkan (Thomas, 2011). Untuk menjembatani kondisi ini
dikembangkan model pembelajaran berbasis komputer (simulasi). Kembali pada contoh
Bahasa Inggris tadi, siswa dapat mempelajarinya melalui program di komputer atau melalui
video. Cara ini memberikan privasi yang lebih besar kepada siswa sebelum yang
bersangkutan melakukan komunikasi langsung dengan native-speaker.
Thomas (2011) menyatakan bahwa Schank merasa yakin perlunya perkuliahan atau
model penyampaian materi untuk direvisi. Model baru yang disarankan adalah model yang
mengakomodasi kepentingan siswa untuk mengejar tujuan mereka. Siswa yang sudah
menentukan topik pilihannya dan menentukan sasaran pembelajaran, biasanya mereka akan
terlibat di dalam proses pembelajaran beragam topik dan ketrampilan yang dibutuhkan
mereka dalam upaya mencapai tujuan tersebut. Satu hal yang penting dan harus ada di
dalam proses GBS adalah ketersediaan pengajar atau pembimbing yang memiliki
pengetahuan dan pengalaman di bidang yang menjadi tanggung jawabnya.
4
adalah cara mengoperasi jantung, cara menjinakkan bom, megemudikan pesawat, dan cara
membuat senjata nuklir. Oleh karena itu, Schank (Thomas, 2011) menyarankan adanya
dukungan dari model digital (teknologi) atau lingkungan pembelajaran virtual (virtual
training environments). Dengan adanya model pendukung aktivitas pembelajarn berbasis
praktek masih dapat dijalankan dengan tingkat risiko yang bisa diminimalkan. Model
belajar dengan lingkungan yang terkondisikan (simulasi, virtual, in-basket) memiliki
kelemahan. Peserta didik hanya menghadapi masalah tertentu yang dirancang selama proses
pendidikan. Oleh karena itu sangat disarankan agar dalam merancang model pendukung ini,
pengajar bisa memasukkan sebanyak mungkin skenario kejadian yang mungkin akan
dihadapi oleh siswa ketika menjelankan pekerjaan pada kondisi aslinya. Sebagai contoh;
siswa penerbangan sebaiknya diberikan skenario yang beragam ketika belajar mendarat.
Misalnya pada kondisi jarak pandang terbatas, ketika hujan, kondisi malam dan siang,
bandara dengan landas pacu beragam, kekuatan angin yang bervariasi, bahkan perlu
dipersiapkan juga cara mendaratkan pesawat di luar landasan normal ketika terjadi bencana.
Kelengkapan skenario ini akan sangat bermanfaat bagi pilot untuk mengantisipasi kondisi-
kondisi yang kemungkinan terjadi.
Model GBS ini juga bisa dikatakan sebagai model pembelajaran yang berbasis
kinerja. Siswa yang menjalankan proses ini diharapkan akan memiliki serangkaian
pengetahuan dan ketrampilan yang akan membantu dia ketika menjalankan pekerjaan.
Dengan pengetahuan yang lengkap (know-how) maka individu yang bersangkutan
diharapkan dapat mencapai kinerja yang diharapkan organisasi. Untuk mencapai hal
tersebut siswa diharapkan bersikap aktif, tidak menunggu materi dari pengajar saja, tetapi
melengkapi dirinya dengan informasi lain yang unik sesuai kebutuhannya. Pada model ini
siswa diajarkan untuk memahami apa yang ada dibalik informasi atau pengetahuan yang
mereka dapatkan. Hal ini penting bagi mereka karena pengetahuan-pengetahuan tersebut
pada akhirnya akan mereka gunakan pada kehidupan nyata. Oleh karena itu sistem ini
sebaiknya dijalankan dengan metode kombinasi antara pembelajaran konseptual dengan
praktek langsung. Keberadaan pembimbing atau pengajar yang sangat berpengalaman
dibutuhkan dalam mendukung keberhasilan model ini. GBS membutuhkan pengajar yang
bisa menjadi pemandu, bukan sekedar mentransfer ilmu saja. Pengajar pada model GBS
harus dapat berinteraksi dengan siswa didik. Tanpa adanya interaksi, maka model GBS
tidak lebih dari sekedar belajar mandiri saja. Pada model pembimbingan ini, pengajar bisa
menyampaikan cerita-cerita positif dan keberhasilan terkait ketrampilan yang diajarkan.
5
Misalnya, kembali pada contoh pilot tadi, pengajar bisa menyajikan keberhasilan pilot
dalam melakukan pendaratan darurat. Ini akan memotivasi siswa bahwa apa yang
dipelajarinya akan bermanfaat bagi pekerjaannya kelak.
Terakhir, GBS berorientasi pada perubahan kinerja yang dialami oleh peserta didik,
bukan pada penambahan pegetahuan saja. Sekedar menambah pengetahuan belum tentu
dapat digunakan di tempat kerja. Penambahan pengetahuan adlah sasawan awal, siswa
harus mendapatkan pengetahuan baru. Akan tetapi yang lebih penting adalah apakah
pengetahuan baru tersebut diaplikasikan di dalam pekerjaan mereka.
6
KESIMPULAN
Model pembelajaran yang didasarkan pada transfer informasi saja dinilai sudah
tidak sesuai kebutuhan. Siswa didik membutuhkan pengetahuan dan ketrampilan yang bisa
digunakan mereka ketika bekerja atau memulai usaha sendiri (entrepreneur). Teori-teori
perlu disampaikan kepada siswa sebagai bekal dasar mereka untuk mengetahui
pengetahuan tersebut. Selanjutnya, siswa diarahkan untuk mempelajari dan menguasai
ketrampilan yang dibutuhkan ketika nanti mereka dihadapkan pada masalah. Menggunakan
contoh dari Schank (1992), teori mengenai cara pembuatan berita diperlukan siswa, akan
tetapi pembelajaran tidak berhenti disitu saja. Siswa perlu diarahkan untuk mengetahui juga
ketrampilan dan pengetahuan apa saja yang mereka butuhkan untuk menyusun satu berita
tersebut. Dengan demikian siswa didorong untuk tidak sekedar menerima informasi dari
pengajar, tetapi mereka mengkajinya dan membandingkan dengan kebutuhan mereka
nantinya. Ini sejalan dengan paham bahwa manusia belajar dari pengalaman.
Sasaran akhir dari GBS adalah memberikan motivasi, perasaan telah mencapai
sesuatu, adanya dukungan sistem, dan fokus pada ketrampilan bukan sekedar fakta. Fakta
seringkali menyesatkan, karena seolah-oleh memberitahu bahwa kita sudah menguasai
suatu pengetahuan. Akan tetapi seringkali kita hanya sekedar tahu saja, tetapi belum
7
memahami dengan benar. GBS yang dipadukan dengan interaksi dua arah dapat menjadi
kerangkan pembelajaran yang memberikan arti dan nilai lebih pada proses pendidikan,
apalagi jika interaksi tersebut dikuatkan lagi dengan kajian contoh-contoh aplikatif dari
lingkungan nyata.
Terakhir, pada model GBS, evaluasi dilakukan tidak mengukur pemahaman siswa
akan materi yang disampaikan, akan tetapi pada bagaimana mereka menyelesaikan masalah
yang dihadapi menggunakan rangkaian informasi yang diperoleh selama menjalani proses
pembelajara. Dengan demikian penggunaan sistem benar salah atau pilihan ganda untuk
mengukur model GBS adalah tidak tepat. Pengajar disarankan agar tidak melakukan cara
pengukuran demikian karena hal itu kurang bermanfaat. Tugas pengajar adalah
menyampaikan teori-teori sesuai dengan mata kuliah yang diajarkan, kemudian mereka
membimbing siswa agar dapat mengaplikasikan teori tersebut dalam menghadapi masalah.
Keberadaan buku teks diperlukan sebagai landangan teoritis, lebih penting lagi pengajar
mencari bahan kajian dari kejadian atau praktek yang terjadi di dunia nyata.
8
Process-oriented instruction (PBI) didefinisikan sebagai suatu instruksi yang
ditujukan untuk mengajarkan cara berpikir strategis dan penguasaan pengetahuan tertentu
secara terpadu (Vermunt, 1995). Konsep baru ini dihasilkan dari riset psikologi mengenai
cara belajar siswa dan kondisi saling mempengaruhi antara dorongan dari dalam diri
dengan dorongan dari luar terhadap pembelajaran. Sedangkan de Jong (1995) menyatakan
bahwa PBL mencoba mengubah proses pembelajaran dari bersifat perseptif (pasif dan
menerima) menjadi proses yang konstruktif. Pergerseran ini diakibatkan perubahan yang
ada dalam masyarakat yang menuntut kemampuan kognitif dari individu. PBL tidak
terbatas pada aktivitas untuk memproses informasi, tetapi juga aktivitas yang afektif atau
memahami lebih dalam informasi tersebut. Dengan kata lain, PBL berusaha meningkatkan
kompetensi belajar siswa dengan cara mengembangkan kemampuan kognitif dan meta
kognitifnya.
- Tahap awal
- Tahapan serangkaian proses kontinyu
- Tahap pemikiran atau meta kognitif
Tahapan di atas memperlihatkan adanya proses pemikiran reflektif. Hal yang juga
penting adalah PBL merupakan proses membangun pengetahuan oleh siswa. Siswa dilatih
agar bisa mandiri dalam mencari solusi dan menyelesaikan masalah. Proses pembelajaran
yang dapat dianggap sebagai PBL harus memenuhi keriteria sebagai berikut;
9
- Diselenggarakan di kelas dengan siswa yang beragam (siswa biasa dan yang
berbakat)
- Terintegrasi dengan kurikulum atau program
- Mengakomodasi pengajar dan siswa untuk menerapkan model pemecahan
masalah yang baru
- Mengijinkan siswa untuk beralih dari rangkaian pembelajaran pengajar dan
menggunakan rencana mereka sendiri
Di dalam proses PBL, siswa dapat bekerja secara individual ataupun kelompok
mereka juga bisa berbagi solusi untuk setiap masalah yang dihadapi. Beberapa situasi yang
dapat berlangsung antara lain; memberikan solusi, menjelaskan solusi, mengkaji solusi, dan
menggambarkan solusi. PBL tidak hanya mengajarkan siswa agar berpikir srategis,tetapi
juga membantu mereka dalam mencari solusi untuk menyelesaikan masalah (Kutama,
2002). Ashman, Wright, & Conway (Kutama, 2002) menyatakan bahwa siswa harus
diajarkan bagaimana mengelola dan menyaring pikiran mereka untuk menyelesaikan
masalah, baik di lingkungan akademik ataupun anti di lingkungan industri. Model meta
kognitif ini menjadikan PBL berbeda dengan model lain. Di dalam PBL, pengajar
bertanggung jawab untuk menentukan isi kurikulum, rangkaian aktivitas dan metode
pengajaran. Di dalam prosesnya, siswa diberikan kesempatan untuk bertanggung jawab atas
pembelajaran yang mereka lakukan. Hal ini dapat dilakukan dengan cara menyajikan ulang
dengan kata-kata sendiri masalah yang sedang dibahas atau melalui diskusi dalam
kelompok serta menjadi tutor bagi siswa lain.
Ashman, Wright & Conway (Kutama, 2002) juga menyampaikan adanya 4 tahap di
dalam PBL;
10
4. inkorporasi, tahapan ini merupakan evaluasi ketika pengajar mengukur efektivitas
dari model yang diterapkan dan mengukur kemampuan siswa melalui tugas-tugas
baru
SASARAN PBL
11
Tiberghien dan Megalakaki (Volet, 1995) menyajikan contoh yang jelas mengenai
proses permodelan tersebut membantu siswa untuk menghubungkan pengetahuan berbasis
pengalaman dan teori yang mereka miliki. PBL dapat membantu siswa untuk membiasakan
diri dengan proses berpikir relasional, sehingga mereka bisa mengkaitkan teori dengan
kondisi di dunia nyata. Model mental yang sesuai untuk memahami pegetahuan biasanya
mengandung penetahuan yang deklaratif, prosedural, dan kondisional untuk setiap ilmu.
PBL diarahkan pada penguatan kemampuan siswa dalam hal pengetahuan prosedural dan
kondisional, bukan pada deklaratif. Meski demikian, Falvell dan Weinstein, Goetz, &
Alexander (Volet, 1995) mengasumsikan model mental pembelajaran dari siswa yang
berhasil terdiri dari pengetahuan deklaratif dan pemahaman faktor penting dalam
pembelajaran serta pengetahuan prosedural dan kondisional yang terkait dengan seragaian
strategi pengelolaan pembelajaran.
FOKUS PBL
Mengacu pada penjelasan di atas, dapat dikatakan bahwa fokus di dalam PBL
adalah pada kegiatan siswa untuk memperoleh pengatahuan. Salah satu aspek penting di
dalam PBL adalah meningkatkan jumlah aktivitas mental selama proses belajar. Siswa
didorong untuk terlibat di dalam kegiatan belajar yang menuntut perhatian mereka seperti
berpikir, mengajukan jawaban, menganalisis, dan membandingkan teori. Pengembangan
model mental kontekstual juga dirangsang dalam bentuk dorongan agar siswa mempelajari
berbagai konten secara simultan dan menggunakannya sesuai kebutuhan. Aktivitas lain
yang mendorong berkembangnya model mental siswa adalah transfer tanggung jawab dari
pengajar ke siswa. Siswa juga harus bertanggung jawab atas apa yang dia pelajari. Peran
pengajar selanjutnya hanya sebagai pembimbing atau fasilitator. Dengan demikian
diharapkan siswa dapat mengalami peningkatan kemampuan berpikir strategis untuk
memecahkan masalah.
12
efisien, afektif, dan aktivtas mandiri serta strategi yang digunakan dalam pembentukan
pengetahuan (belajar dan mengkaji). Materi dari pengajar, buku komputer, panduan dan
lain-lain harus mendukung proses belajar mandiri.
13
KESIMPULAN
14
MANAJEMEN PENDIDIKAN BERORIENTASI PADA HASIL
Penekanan pada sistem pendidikan OBE lebih pada pengukuran hasil dan bukan
pada input seperti berapa banyak jam yang dihabiskan siswa dalam kelas, atau buku teks
apa yang disediakan. Hasil dapat berupa pencapaian ketrampilan dan pengetahuan pada
tingkat tertentu, penurunan jumlah angkatan muda yang tidak bekerja atau return-on-
investment (Wiki, 2014). Secara umum, hasil diharapkan untuk dapat diukur secara nyata,
sebagai contoh “seorang siswa dapat berenang sejauh 25 meter dalam waktu kurang dari 2
menit” dan bukan “siswa menikmati kelas pendidikan fisik”. Menentukan hasil dapat
menjadi proses yang sanga tdulit dan pemilihan hasil sering menjadi kontroversi dalam
institusi pendidikan. Setiap institusi pendidikan bertanggung jawab untuk menentukan hasil
mereka sendiri.
15
Sekolah menggunakan tes yang standar, biasanya berupa pilihan ganda dengan satu
jawaban yang benar untuk menentukan peringkat seorang siswa. Tes tersebut tidak
memberikan kriteria penilaian tentang apakah seorang siswa sudah memenuhi standar
tertentu atau belum. Pemeringkatan ini hanya untuk membandingkan antar siswa satu sama
lain. Meskipun sistem pendidikan dengan pendekatan OBE ini memiliki kelebihan jika
dibandingkan dengan pendekatan tradisional, di mana seorang siswa diharapkan dapat
memiliki tingkat pengetahuan atau ketrampilan tertentu, namun terdapat beberapa kritik
atas pendekatan OBE ini.
Kritik berikutnya adalah mengenai hasil tertentu yang tidak disukai. Banyak
keluhan yang ditujukan atas standar tertentu. Hal ini terjadi karena ada perbedaan
pandangan di masyarakat mengenai pengetahuan dan ketrampilan apa yang seharusnya
dimiliki oleh seorang siswa. Masalah ini sebenarnya lebih kepada kritik atas isi dan bukan
pada keberadaan standar itu sendiri. Pendekatan Outcome-based Education ini diterapkan
pada kurikulum yang berorientasi pada pencapaian kompetensi, seperti KBK. Kurikulum
berorientasi pada pencapaian kompetensi, merupakan upaya untuk mempersiapkan peserta
didik agar memiliki kemampuan intelektual, emosional, spiritual dan social yang bermutu
tinggi sesuai dengan kemampuan daerah masing-masing seperti yang digariskan dalam
undang-undang dan peraturan pemerintah (Saepudin, 2012).
16
Atas dasar hal tersebut, maka kurikulum memberikan keleluasaan pada guru untuk
berimprovisasi sesuai dengan karakteristik siswa dan kondisi daerah setempat. Dengan
demikian setiap guru di sekolah harus mampu menjabarkan kurikulum secara kreatif dan
inovatif ke dalam sistem instruksional sesuai dengan karakteristik siswa dan kondisi serta
kebutuhan daerah. Lebih lanjut, Saepudin (2012) menjelaskan bahwa kurikulum
berorientasi pada pencapaian kompetensi, memiliki perbedaan yang mendasar
dibandingkan dengan kurikulum sebelumnya. Secara filosofis kurikulum ini lebih
menekankan pada tujuan untuk membentuk manusia yang memiliki kemampuan dasar
(competency oriented) bukan manusia yang hanya menguasai bahan pelajaran (content
oriented). Dari pengertian di atas, dapat ditarik 2 mana tersirat. Yang pertama adalah
mengharapkan adanya hasil dan dampak yang diharapkan muncul pada diri peserta didik
melalui serangkaian pengalaman belajar yang bermakna. Makna tersirat kedua adalah
memberikan peluang pada siswa sesuai dengan keberagaman yang dimiliki masing-masing
(Saepudin, 2012).
17
berkualitas maka perlu adanya kesolidan dari para pengajar dengan diterapkannya aturan
yang jelas dan tegas, dengan orientasi keberhasilan menghasilkan output yang berkualitas.
Sistim pencatatan dan pengolahan data yang terintegrasi dalam pengambilan keputusan,
administrasi yang baik, organisasi yang efisien namun efektif untuk menjalankan misi dan
mencapai visi instansi pendidikan tersebut.
Setiap orang dalam lembaga pendidikan harus tumbuh motivasi bahwa hasil
kegiatannya mencapai mutu tertentu yang meningkat terus menerus, terutama sesuai dengan
kebutuhan dan harapan pengguna/langganan. Setiap pimpinan harus berorientasi pada
proses dan hasil jangka panjang. Penerapan manajemen mutu terpadu dalam pendidikan
bukanlah suatu proses perubahan jangka pendek, tetapi usaha jangka panjang yang
konsisten dan terus menerus. Kurikulum yang berkualitaspun menjadi faktor penting dalam
menghasilkan mutu pendidikan yang berkualitas, untuk itu perlu sinergi antara pengajar dan
yang diajar dalam mengoptimalkan kurikulum agar maksud dari kurikulum tersebut dapat
tersampaikan. Potensi perkembangan, dan keaktifan murid tentu saja merupakan yang
paling utama dalam peningkatan mutu pendidikan. Perkembangan fisik yang baik, baik
jasmani maupun otak, akan menentukan kemajuannya. Demikian pula dengan lainnya,
misalnya bakat, perkembangan mental, emosional, pibadi, sosial, sikap mental, nilai-nilai,
minat, pengertian, umur, dan kesehatan. Semuanya akan mempengaruhi hasil belajar dan
mutu seseorang. Untuk itu, maka perhatian terhadap paserta didik menjadi sangat penting.
18
perekrutan staf, pemberian arahan, penugasan, strukturisasi dan penyusunan anggaran.
Konsep manajemen ini kemudian berkembang dan membuka jalan menuju paradigma
berpikir baru yang mulai menekankan pada kepuasan pelanggan, inovasi, dan mutu
peningkatan pelayanan secara berkesinambungan.
Total Quality Management adalah suatu sistim perbaikan mutu kinerja yang
dilakukan secara berkelanjutan dan mencakup seluruh organisasi, melalui partisipasi aktif
dari masing-masing anggota, dengan menggunakan alat-alat dan teknik-teknik untuk
meraih mutu. Total Quality Management bukan suatu perangkat aturan ketentuan kerja
yang kaku dan ketat, melainkan prosedur dan proses kerja untuk perbaikan mutu. Dapat
19
pula diartikan sebagai cara lain dalam mengatur kerja tim, menyelaraskan kerja sedemikian
rupa hingga tugas-tugas dapat terselesaikan.
Tuntutan akan mutu dalam bidang pendidikan adalah suatu keniscayaan yang tak
bisa dihindari. Untuk mencapai mutu diperlukan metodologi yang tepat untuk
implementasinya, dan pilihan itu adalah manajemen mutu terpadu ( MMT ) atau dikenal
dengan Total Quality Management ( TQM) dalam bidang pendidikan. Untuk
implementasinya diperlukan kebijakan umum/strategis di tingkat nasional dan kebijakan
manajerial , baik untuk kalangan lembaga pendidikan maupun publik, yang kemudian bisa
ditindak lanjuti dengan pedoman sektoral bidang pendidikan ( sebagai kebijakan teknis)
tentang MMT atau TQM tersebut.
Untuk mencapai mutu pendidikan diperlukan pendekatan yang antara lain perlunya
penekanan perubahan cara pandang (mindset), penyuluhan, pendampingan dan
pemberdayaan unsur penyelenggara negara dan lembaga dalam bidang pendidikan, aplikasi
teknologi yang menunjang sistem manajemen pendidikan, serta pilihan-pilihan strategis
lainnya, sehingga semuanya itu dapat mendukung untuk mewujudkan pendidikan yang
berkualitas. Boiliu (2013) menyebutkan bahwa faktor rekayasa dan faktor motivasi harus
diperhatikan dalam penerapan TQM dalam dunia pendidikan. Rekayasa dalam konteks
pendidikan dapat dipahami berkaitan dengan tindakan perencanaan secara terstruktur,
komprehensif dan akurat melalui kurikulum dan mata ajar yang dapat diperhatikan dari
kompetensi pencapaian. Di sinilah makna dan maksud faktor rekayasa. Motivasi, di mana
mutu menjadi “subjek” yang diacu sehingga yang terlibat dalam institusi pendidikan paham
bahwa mutu menjadi hal penting. Sehingga peserta didik dapat berhasil baik dari segi hard
skill maupun soft skill.
REFERENSI
20
European Journal ofPsychology 01Education 1995. Vol. X No. 4, pp 317-323
21