You are on page 1of 50

JUDUL 

Bab I Pendahuluan
A. Umum
B. Dasar
C. Maksud dan Tujuan

Bab II Situasi dan Kondisi Saat ini (harus ada data)


A. Situasi dan Kondisi Internal Kesatuan (Personel, Materiil Logistik, Dukungan Anggaran)
B. Situasi dan Kondisi Eksternal Kesatuan (Situasi Kamtibmas yang Dipengaruhi Dinamika
Ipoleksosbudhankam)

Bab III Peran Fungsi (tugas pokok)  (harus ada data) 


A. Peran Fungsi (tugas pokok) Secara Mandiri dalam Menciptakan Kamtibmas
B. Peran Fungsi (tugas pokok) dalam Mendukung Operasional Kesatuan

Bab IV Hambatan Kesatuan  (harus ada data) 


A. Faktor Internal
B. Faktor Eksternal

Bab V Situasi dan Kondisi yang Diharapkan 

Bab VI Saran dan Rekomendasi


A. Saran/Ide
B. Rekomendasi

Bab VII Penutup

Naskah Karya Perorangan, atau sering disebut dengan NKP, adalah salah satu syarat bagi anggota
POLRI untuk masuk ke Sekolah Staf dan Pimpinan Polri di Lembang. SESPIM sering kali disebut
sebagai gerbang kesuksesan untuk anggota Polri Perwira menengah, karena merupakan syarat
mutlak dan sebagi gerbang kesuksesan tentunya bukan sebuah proses yang mudah. Polri kini
merupakan sebuah lembaga yang cerdas, anggotanya dididik memiliki pemikiran yang kreatif dan
membangun untuk negara, tentunya dari sisi Kepolisian. kembali ke LEPTOP! disini penulis ingin
memberkan gambaran menyusun NKP, yang harus ada lakukan adalah :

1. mulailah mencari tahu seperti apa menyusun NKP tersebut.


2. tuliskan dan gambarkan tugas anda, 
3. mulailah dengan yang anda tahu dan anda pahami
4. mulailah mencari masalah, atau inovasi-inovasi pada tugas anda, karena itu yang akan anda
angkat
5. setelah tahu latar belakang dan dasarnya, perlahan buatlah alur pikir dan pola pikir, yang
digambarkan dngan flowchart
6. cari data, catat, susun, kondisi yang terjadi saat ini pada pekerjaan anda, atau divisi anda.
7. coba kelompokan kepada analisa SWOT, apa itu swot  ? silahkan googling atau datang ke
toko buku banyak disana
8. setelah anda tahu kondisi saat ini yang real, anda tentunya memiliki mimpi atau inovasi atau
temuan yang ingin anda terapkan dalam divisi anda, tuliskan disana. dengan nama Kondisi
Yang Diharapkan.
9. nah untuk menuju kondisi yang diharapkan tadi tentunya harus dengan strategi, tuliskan
strategi anda, apa strategi anda, kapan dilaksanakannya, oleh siapa, dengan cara apa ?
berapa lama ? dan bagaimana cara mencapainya ?
10. setelah kondisi ideal yang diharapkan terwujud dalam tulisan anda, kini saatnya anda
membuat, kesimpulan dari masalah anda.
11. kemudian apa yang anda rekomendasikan setelah anda memaparkan semua masalah dan
temuan anda. rekomendasi ini biasanya ke tingkat pimpinan tertinggi melalui direktur
tertentu. 
12. jreng-jreng.... maka jadilah naskah karya perorangan yang mengalir.

oya dalam pembuatan NKP pastikan data yang anda butuhkan semua sudah siap, biasanya apa
saja sih,
biasanya kembali ke teori 4M, yakni manusianya, uangnya dari mana, materialnya, metodenya
gimana.

Polisi secara garis besar di seluruh dunia, mempunyai tugas yang relative sama yaitu
maintance order dan fight crime. Polisi dibentuk dalam rangka mengatur atau
menjaga agar kepentingan individu atau pemenuhan hak-hak individu dalam
pelaksanaannya  tidak bertentangan atau merugikan hak atau kepentingan orang
lain. Polisi dilengkapi dengan kewenangan yang diatur oleh undang-undang. 
Kewenangan adalah kewajiban dan tanggung jawab yang bukan sekedar bagian dari
profesi melainkan bagian dari moralitas aparat yang pendekatannya adalah untuk
menjembatani, melayani, melindungi sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas
hidup masyarakat. Pendekatan ini sangat sesuai dengan tugas pokok Polri yang 
menurut UU No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pasal
13  menyatakan dengan tegas bahwa tugas pokok Polri adalah memelihara
keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum dan memberikan
perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
Masyarakat menuntut Polri bekerja secara professional dalam pelaksanaan tugas
pokoknya. Profesional dalam arti mampu melaksanakan penegakan hukum dengan
memperhatikan aspek keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum, mampu
memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat dengan
baik, sehingga tercipta ketertiban dan ketentraman dalam masyarakat. Produk dari
polisi adalah rasa aman, dan keamanan warga masyarakat yang terwujud dan
terpelihara sehingga mereka dapat melakukan berbagai aktivitasnya. Kondisi dan
situasi yang aman dan tertib akan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat,
karena dapat bekerja dengan tenang dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
Polisi bukan pekerjaan, polisi adalah sebuah profesi yang melekat pada setiap
tindakan kapanpun dan dimanapun, yang bersumber dari hati nurani. Polri membuat
kode etik profesi yang bertujuan untuk membentuk suatu budaya organisasi Polri,
yang berdasarkan pada nilai-nilai kehidupan dalam rangka mencapai visi dan misi
organisasi. Nilai-nilai tersebut tertuang dalam pedoman hidup Polri yaitu
Tribrata.Tribrata  memuat nilai-nilai etika profesi yang dijadikan pedoman bagi
anggota Polri dalam melaksanakan tugasnya, sehingga polisi bertindak sesuai
dengan jati dirinya sebagai pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat bukan
bertindak sebaliknya.
Polri adalah suatu institusi yang mempunyai potensi atau kemampuan yang sangat
besar dalam berpartisipasi menunjang keberhasilan pembangunan nasional.
Pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan bagi rakyat
Indonesia. Rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap Polri menjadi suatu
permasalahan dalam mendorong pembangunan nasional. Kepercayaan terhadap
Polri yang rendah disebabkan oleh kinerja Polri yang belum profesional dan perilaku
anggota Polri yang masih belum sesuai dengan masyarakat. Sikap dan perilaku
tersebut memperlukan suatu perubahan yang cepat (Revolusi) agar Polri dapat
menjadi bagian dari masyarakat dan bekerja sama mewujudkan tujuan pembangunan
nasional.
Menyingkapi persoalan tersebut, penulis akan membahas dari segi mentalitas atau
nilai-nilai kepribadian personil Polri yang saat ini masih jauh dari karakter yang
sepatutnya dimiliki oleh Polri. Karakter personel Polri yang diharapkan adalah
karakter sebagaimana yang tertuang dalam kode etik profesi Polri yang mampu
memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan masyarakat.
 
 
Karakter Polri karakter bangsa Indonesia
Perkembangan etika suatu bangsa tidak dapat terlepas sejarah dan budaya suatu
bangsa tersebut. Budaya adalah cermin sebuah kepribadian bangsa.Dengan melihat
kebiasaan atau perilaku yang tumbuh dan berkembang dalam aktifitas kehidupan
sehari-hari masyarakat suatu bangsa maka dapat disimpulkan bagaimana nilai-nilai
yang dianut dan berkembang dalam masyarakat bangsa tersebut. Menurut Parsudi
Suparlan (2004) kebudayaan adalah keseluruhan pengetahuan manusia sebagai
makhluk sosial yang digunakannya untuk memahami dan menginterprestasikan
lingkungan dan pengalamannya, serta menjadi landasan bagi tingkah lakunya.
Dengan demikian kebudayaan merupakan serangkaian aturan-aturan, petunjuk-
petunjuk, rencana-rencana, dan strategi-strategi yang terdiri atas serangkaian
model-model kognitif. Para pendukung kebudayaan tersebut menggunakan secara
selektif apa yang dirasakan sebagai yang terbaik atau paling cocok untuk dijadikan
pedoman dalam menginterprestasi gejala-gejala yang penuh makna. Dan untuk
mewujudkan tindakan dalam menghadapi lingkungannya dan memanfaatkan sumber
daya yang terkandung didalamnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup sebagaimana
layaknya manusia ataupun sebagai tanggapan-tanggapan atas stimuli atau
rangsangan-rangsangan yang berasal dari lingkungannya.
Pada dasarnya budaya suatu bangsa merupakan hasil interprestasi nilai-nilai para
leluhur pendiri bangsa yang senantiasa mencari kebenaran, keselarasan dan
keseimbangan kehidupan antara manusia, alam dan makhluk hidup lainnya. Nilai-
nilai tersebut  bersendikan pada kebenaran yang menjadi landasan kehidupan bagi
masyarakatnya dalam tumbuh dan berkembang menyingkapi lingkungannya. Nilai-
nilai tersebut bila sudah diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari maka
dinamakan sebagai  kepribadian  suatu bangsa. Dalam perkembangan selanjutnya 
kepribadian ini perkembangan sesuai dengan kemajuan peradaan suatu bangsa.
Kepribadian bangsa Indonesia yang terlihat saat ini sebenarnya berbeda dengan
kepribadian manusia asli Indonesia. Menurut Muctar Lubis (2001)  ciri-ciri manusia
Indonesia adalah:
1. Hipokritis alias munafik. Berpura-pura, lain di muka lain dibelakang, merupakan
sebuah ciri utama manusia Indonesia sudah sejak lama, sejak mereka dipaksa
kekuatan-kekuatan dari luar untuk menyembunyikan apa yang sebenarnya
dirasakannya atau dipikirkannya ataupun yang sebenarnya dikehendakinya,
karena takut akan mendapatkan ganjaran yang membawa bencana bagi dirinya.
2. Segan dan enggan bertanggung jawab atas perbuatannya, putusannya,
kelakuannya, pikirannya dan sebagainya. “ Bukan saya” adalah kalimat yang
cukup popular di mulut manusia Indonesia. Atasan menggeser tanggung jawab
tentang suatu kesalahan, sesuatu yang tidak beres, sesuatu yang tidak baik, satu
kegagalan pada bawahannya menggesernya ke yang lebih bawah lagi, dan 
demikian seterusnya.
3. Berjiwa feodal, meskipun salah satu tujuan revolusi kemerdekaan Indonesia
adalah membebaskan manusia Indonesia dari feodalisme, tetapi feodalisme dalam
bentuk-bentuk baru makin berkembang dalam diri dan masyarakat Indonesia..
4. Masih percaya takhayul. Dulu dan sekarang juga, masih ada yang demikian,
manusia Indonesia percaya bahwa batu, gunung, pantai, sungai, danau, karang,
pohon, patung, bangunan, keris, pisau, pedang, itu punya kekuatan gaib, keramat,
dan manusia harus mengatur hubungan khusus dengan ini semua.
5. Karena sikapnya yang memasang roh, sukma, jiwa, tuah dan kekuasaan pada
segala benda alam di sekelilingnya, maka manusia Indonesia dekat pada alam.
Dia hidup lebih banyak dengan naluri, dengan perasaannya, dengan perasaan-
perasaan sensualnya, dan semua ini mengembangkan daya artistic yang besar
dalam dirinya yang dituangkan dalam segala rupa ciptaan artistic dan kerajinan
yang indah-indah dan serba aneka macamnya, variasinya, warna-warninya.
6. Watak yang lemah, manusia Indonesia berkarakter kurang kuat karena lemah
mempertahankan dan memperjuangkan keyakinannya. Dia mudah, apalagi jika
dipaksa, dan demi untuk “survive” bersedia mengubah keyakinannya.
7. Boros, manusia Indonesia sekarang itu tidak hemat, dia bukan “economic
animal” .malahan dia pandai mengeluarkan terlebih dahulu penghasilan yang
belum diterimanya, atau yang tidak pernah akan diterimanya.
8. Manusia Indonesia lebih suka tidak bekerja keras, kecuali kalau terpaksa.
Gejalanya hari ini adalah cara-cara banyak orang ingin menjadi “miliuner
seketika” atau dengan mudah mendapat gelar sarjana, sampai memalsukan atau
membeli gelar sarjana, supaya segera dapat pangkat, dan dari ke-dudukannya
berpangkat cepat bias menjadi kaya.
9. Manusia Indonesia kini sudah jadi orang kurang sabar, tukang menggerutu.
Tetapi menggerutunya tidak berani secara terbuka, hanya jika dalam rumahnya,
antara kawan-kawannya yang sepaham atau sama perasaannya dengan dia.
10.Manusia Indonesia juga cepat cemburu dan dengki terhadap orang lain yang
dilihatnya lebih dari dia. Orang kurang senang melihat orang lebih maju, lebih
kaya, lebih berpangkat, lebih berkuasa, lebih pintar, lebih terkenal dari dirinya,
akibatnya spion melayu jadi laku, laporan-laporan mereka gunakan untuk
menjatuhkan orang yang tidak disukai atau disenangi.
11.Manusia Indonesia dapat dikatakan sebagai manusia yang sok, kalau berkuasa
mudah mabuk kuasa, kalau kaya mudah mabuk harta. Pepatah Jawa mengatakan
“kacang lali kulite” maksudnya adalah seseorang yang lupa asal-usulnya setelah
mendapatkan keinginannya, apa yang diperolehnya adalah miliknya sendiri
karena hasil kerja kerasnya padahal untuk memperoleh apa yang diraihnya
tersebut karena mendapatkan bantuan dari orang lain, pendeknya lupa budi.
12.Manusia Indonesia juga tukang tiru. Kepribadian kita sudah terlalu lemah. Kita
tiru kulit –kulit luar yang mempesonakan kita. Meniru adalah sifat dasar
manusia , namun bila mata telah terbutakan bahwa apa yang ditiru tidak
sepantasnya dilakukan namun tetap di contoh itulah yang tidak benar.
13.Manusia Indonesia cenderung bermalas-malasan, akibat alam kita yang begitu
murah hati, untuk hidup dan memperhitungkan hidup hanya dari hari ke hari. Kita
masih kurang rajin menyimpan untuk hari depan dan berhitung jauh ke depan.
Kondisi alam Indonesia yang kaya raya seharusnya sebagai anugerah dari Tuhan
untuk bangsa Indonesia sehingga kita dapat hidup sejahtera, namun ketika
kekayaan alam yang begitu melimpah dibiarkan saja atau diambil tanpa
perhitungan, yang terjadi adalah kemiskinan didalam negara yang kaya, bagaikan
“tikus mati dilumbung padi”
14.Manusia Indonesia adalah sikap tidak atau kurang peduli dengan nasib orang
selama tidak mengenai dirinya sendiri atau orang yang dekat padanya. Maka
orang merasa dirinya tidak tersangkut dan berkepentingan terhadap orang lain.
Kita seakan tidak punya hati nurani mengenai nasib orang lain.
Berbagai karakteristik bangsa Indonesia tersebut berpengaruh pada budaya
organisasi yang dianut di Polri. Sebuah Adegium menyebutkan bahwa perilaku
personel kepolisian adalah cermin dari budaya masyarakatnya. Apabila karakter
masyarakat nya baik maka begitu pula karakter personel kepolisian, hal ini berlaku
juga sebaliknya.
Perilaku dalam suatu organisasi ditentukan oleh nilai-nilai yang di anut dan
dipedomani oleh anggota organisasi.Perilaku yang berulang-ulang ini yang di sebut
dengan budaya. Budaya yang ada dalam organisasi kepolisian tidak akan jauh
berbeda dengan budaya yang ada dalam masyarakat karena faktor hubungan yang
salaing mempengaruhi. Menurut Cushway dan Lodge (2000) budaya organisasi
merupakan sistem nilai organisasi dan akan mempengaruhi cara pekerjaan dilakukan
dan cara para karyawan berperilaku. Dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud
dengan budaya organisasi di sini adalah sistem nilai organisasi yang dianut oleh
anggota organisasi, yang kemudian mempengaruhi cara bekerja dan berperilaku dari
para anggota organisasi. Sedangkan menurut Reiner  (2000) budaya polisi adalah
sebagai berikut : Cop culture – that is, the value, norms, attitudes and informal
professional rules that guide plice behavior –  is seen neither as monolithic nor
universal, there is a concensus among researchers that certain similaritiesin cop
culture are discernible in widely-differing police forces throughout the world. The
culture of the police – the values, norms, perspectives and craft rules that inform their
conduct – is neither monolithic , universal nor unchanging. There are differences of
outlook within police forces, according to such individual variables as personality,
generation, or career trajectory and structured variations according to rank,
assignment and specialization.
Kepribadian organisasi Polri yang terbentuk dalam pengaruh budaya masyarakat
Indonesia yang ada saat ini tentunya tidak jauh berbeda, karena budaya kepolisian
sendiri adalah produk dari masyarakat.Merubah nilai-nilai yang sudah mengakar
dalam masing-masing individu yang menjadi budaya kolektif tentu tidak mudah,
namun berarti tidak mungkin. Perubahan kultur ke  arah yang lebih baik akan bisa
terjadi bila sudah terbentuk motivasi untuk berubah ada dan dengan sendirinya
dengan motifvasi perubahan itu akan  terbentuk sistem perubahan. Perubahan
budaya ke arah yang lebih baik secara nyata berbentuk pada perilaku
yangbemoral.Moral merupakan landasan dasar dalam menjalankan atau
melahirkan profesi.Di dalam menjalankan profesi agar tetap berada pada kerangka
nilai-nilai moral diperlukan aturan perilaku (code of conduct) berupa etika.
Membicarakan moral tidak terlepas dari masalah etika, bahkan kebanyakan orang
mengidentikkan kedua hal tersebut sebagai satu rangkaian pengertian, maksudnya
etika berarti moral atau sebaliknya,karena memang keduanya tidak bisa dipisahkan. 
Etika adalah nilai-nilai dalam norma moral yang menjadi pegangan bagi manusia
secara individu maupun kelompok dalam berperilaku. Dengan pengertian ini maka
lebih jelasnya bahwa etika lebih spesifik dari pada moral karena moral berarti
membuat batas yaitu  baik dan buruk atau bermoral dan immoral.Etika terdiri dari
nilai-nilai moral yang bisa terlihat dalam berperilaku yang dapat terlihat dalam
kehidupan sehari-hari misalnya jujur, rendah hati, dan berbagai sifat kepribadian
lainnya.
Pengaturan bagi para pemegang profesi agar berperilaku sesuai dengan harapan
organisasi dan  untuk mengetahui apa yang harus dikerjakan atau larangan dalam
melakukan satu profesi tersebut maka di buat kode etik profesi.  Kode etik profesi 
adalah suatu tuntunan , bimbingan  atau pedoman moral atau kesusilaan untuk suatu
profesi tertentu atau merupakan daftar kewajiban dalam menjalankan suatu profesi
yang disususn oleh para anggota profesi itu sendiri dan mengikat mereka dalam
mempraktekannya (Liliana : 2003). Sehingga dalam organisasi kepolisian, kode etik
profesi polri digunakan sebagai code of conduct pertama-tama digunakan sebagai
sarana untuk pedoman dan penuntun perilaku anggota Polridalam menjalankan
profesi kepolisian, dan kedua untuk menentukan apakah terjadi maadministrasi
(pelanggaran etika) dalam menjalankan profesi. (Sadjijono: 2003)
Kepolisian Negara Republik Indonesia, dalam mengatur para anggotanya
merumuskan  Kode etik profesi polri dalam Peraturan Kapolri No 14 Tahun 2011
Tentang Kode Etik Profesi Polri. Kode etik profesi kepolisian meliputi 4 kelompok
moral yakni : pertama, etika kepribadian adalah sikap moral anggota Polri terhadap
profesinya di dasarkan pada panggilan ibadah sebagai umat beragama; kedua,etika
kenegaraan adalah sikap moral anggota Polri yang menjujung tinggi landasan dan
konstitusional Negara Republik Indonesia yaitu Pancasila dan Undang-undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; ketiga , etika kelembagaan adalah
sikap moral anggota Polri terhadap institusi  yang menjadi wadah pengabdian dan
patut di junjung tinggi sebagai ikatan lahir dan batin dari semua insan Bhayangkara
dengan segala martabat dan kehormatannya; dan keempat, etika dalam hubungan
dengan masyarakat adalah sikap moral anggota Polri yang senantiasa memberikan
pelayanan terbaik kepada masyarakat.
Kode etik profesi Polri digunakan dalam rangka menunjang tercapainya visi
organisasi Polri.Tujuan penyelenggaraan kepolisian di Indonesia adalah untuk
mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan
ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hokum, terselenggaranya perlindungan,
pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat serta terbinanya ketentraman
masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.Perumusan kode etik
profesi Polri berpedoman pada pedoman hidup Polri yaitu Tribrata.Tribrata
menjiwai kode etik profesi Polri maknanya adalah nilai-nilai moral yang ada dalam
Tribrata tertuang dalam kode etik profesi polri tersebut. Tribrata sendiri masih
berupa falsafah hidup atau mengandung nilai-nilai yang berisi kebaikan yang
sepatutnya dijlakukan oleh segenap anggota Polri dalam mengemban profesi
kepolisian di Indonesia, namun belum mampu memberikan suatu keterikatan secara
lahiriah, atau lebih mudahnya bila ada anggota tidak mengamalkan falsafah yang
terkandung dalam Tribrata maka tidak ada konsekuensi tindakan dari organisasi.
Agar mampu mengikat secara lahiriah dalam menjalankan profesi kepolisian maka
dirumuskan kode etik profesi Polri yang mengandung nilai-nilai Tribrata, apabila
ada anggota yang tidak menjalankan ketentuan-ketentuan yang ada dalam kode etik
profesi Polri tersebut maka akan menerima konsekuensi yang terdapat dalam kode
etik yang tertuang dalam Peraturan Kapolri No Pol : 14 Tahun 2011 Tentang Kode
Etik Profesi Polri.
Pembinaan Karakter sebagai revolusi mental Polri
        Upaya pembinaan karakter Polri sesuai yang sesuai dengan Tri Brata dan
Catur Prasetya sehingga dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap
institusi Polri dapat dilaksanakan dalam berbagai tahapan sebagai berikut:
1. Proses Rekruitment Personil Polri
Anggota polisi diambil dari pribadi-pribadi terpilih dari warga masyarakat itu
sendiri, dengan proses seleksi yang ketat. Seleksi ini mengisyaratkan bahwa para
anggota polisi mempunyai kepribadian, kemampuan dan nilai lebih dibandingkan
warga masyarakat kebanyakan sehingga diharapkan para personel polisi nantinya
dapat dipercaya oleh masyarakat. Kebijakan awal yang di ambil dalam proses
rekruitment anggota polisi pada awal pembentukan kepolisian modern di Inggris in
perlu diperhatikan, karena personil setelah di terima akan bertugas kembali ke dalam
masyarakat semula.
Dalam pemolisian modern dikenal suatu program  istilah pemolisian masyarakat,
dalam program ini menekankan kepada kemitraaan polisi dengan masyarakat dalam
membangun keamanan dan ketertiban dalam wilayahnya.Kebijakan penempatan
personel kepolisian dalam program pemolisian masyarakat di atas adalah local job
for local boy, maksudnya adalah penempatan personil kepolisian yang
mengutamakan anggota kepolisian dari asal daerah personil tersebut berasal.
Kebijakan ini didasari pemikiran bahwa dengan menempatkan personil kepolisian
dari asal daerahnya diharapkan personil tersebut telah menguasai kondisi dan situasi
daerah tersebut, mengerti budaya yang berkembang dalam masyarakatnya sehingga
mampu menjalin kerjasama dengan baik dengan warga masyarakat dan tercapai
tujuan dari program tersebut.
Ketika kebijakan local job for local boy  dilaksanakan,  terjadi  sebuah sirkulasi atau
perputaran pada personel kepolisian dari warga masyarakat biasa, masuk menjadi
anggota kepolisian dan kembali lagi ke warga masyarakat semula. Dalam kehidupan
masyarakat yang masih erat hubungan sosialnya, masing-masing warga mempunyai
reputasi yang terbentuk dalam kebiasaan perilaku yang nampak dalam individu
tersebut, reputasi inilah yang menjadi brand untukmembedakan individu yang satu
dengan yang lain. Ketika suatu saat warga masyarakat yang mempunyai label
sebagai warga yang mempunyai reputasi buruk dalam masyarakatnya diterima
menjadi polisi dan kembali ke warganya dengan status sosial sebagai seorang yang
dijadikan panutan tentu tidak sepenuhnya berjalan dengan baik. Persepsi masyarakat
yang sudah terbentuk kepada seseorang seringkali akan melekat lama, bahkan ketika
seseorang sudah berubah pandangan masyarakat belum juga mengalami perubahan.
Berdasarkan analisa diatas maka perlunya pengecekan ulang reputasi etika di mata
masyarakat sekitarnya bagi seorang calon personil  pada saat akan masuk dalam
pendidikan Polri sebagai syarat  kelulusannya. Pada saat era Orde Baru kegiatan
pengecekan terhadap personil yang akan masuk menjadi angggota ABRI ini adalah
hal yang lumrah dilakukan namun berbeda fokusnya yaitu pengecekan yang
dilakukan oleh intelijen ABRI melalui aparat Koramil kepada calon yang akan masuk
atau keluarganya tersangkut benang merah organisasi terlarang apakah tidak,
sedangkan yang dimaksud penulis di sini adalah reputasi calon dalam masyarakat
sehingga nantinya setelah dikembalikan ke dalam masyarakat mendapatkan
apresiasi  warga, sehingga didapatkan calon personil Polri yang dapat dijadikan
panutan warga. Pengecekan ini dilakukan oleh Bhabinkamtibmas setempat dengan
mewancarai warga sekitar tempat tinggalnya.
Menyangkut penerimaan personel Polri agar mendapatkan calon yang baik maka,
sosialisasi kepada siswa-siswa terbaik dalam sekolah agar lebih digalakkan.
Kebijakan penerimaan personel Polri saat ini yang mengedepankan penerimaan yang
transparan, dengan melibatkan berbagai lembaga independent, perlu mendapatkan
apresiasi karena merupakan komitmen Polri dalam reformasi birokrasi menuju good
governance. Sosialisasi yang baik dan proses yang transparan akan menghilangkan
fenomena “menembak diatas kuda” dalam proses rekruitmen personel Polri.
1. Lembaga Pendidikan Polri
Fungsi pendidikan adalah membentuk pola pikir, keahlian, kekuatan dan kemampuan
yang diperlukan sesuai dengan kebutuhan organisasi.Ketika Polri mendidik para
calon anggota polisi materi yang diajarkan adalah materi yang mendukung
pelaksanaan tugas daripada profesiPolri.Kode etik profesi Polri pertama kali
diperkenalkan kepada para siswa dalam materi pelajaran etika
kepolisian.Berdasarkan pengalaman penulis etika kepolisian yang diajarkan dalam
pendidikan hanya sebatas sebagai pengetahuan saja, bukan mendalami atau
membudayakan nilai-nilai etika kepolisian tersebut dalam kehidupan sehari-hari di
lembaga pendidikan.
Lembaga Pendidikan Polri  adalah sebuah lembaga yang diharapkan mampu
mencetak calon-calon polisi yang professional sehingga mampu menjalankan tugas
kepolisian nanti pada saat bertugas, yang didasari etika kepolisian dengan
berlandaskan  kepada Tribrata. Lembaga Pendidikan Polri adalah pintu pertama
membentuk karakter peserta didiknya. Sudah sepantasnya sebagai “kawah
candradimuka” proses penanaman karakter menjadi prioritas yang tentunya ada
perimbangan antara kompetensi pengetahuan yang dimilikinya. Tradisi buruk dunia
pendidikan Polri yang merupakan suatu bentuk aplikasi sistem militer selama 32
tahun sangat terasa.Bukan menjadi rahasia umum lagi di Indonesia pada lembaga
pendidikan kedinasan mempunyai tradisi kekerasan antar senior-yunior atau
pengasuh-peserta didik ketika kekerasan ini menjadi sebuah tradisi maka nilai yang
timbul adalah budaya feodal yang mengisyaratkan kekuasaan sebagai nomer satu.
Setelah lulus pendidikan maka jiwa feodal ini yang menjiwai kinerjanya, yang pada
akhirnya menjadi pejabat pemerintahan yang minta dilayani bukan menjadi pelayan
masyarakatnya.
Sudah sepantasnya Polri me- reinfenting kembali lembaga pendidikan yang ada saat
ini dengan kurikulum yang menyeimbangkan karakter yang berisi 13 (tiga belas) nilai
luhur yang terkandung dalam Tribrata. Proses penanaman nilai-nilai luhur tribrata
harus dimulai dari dunia pendidikan, karena lembaga pendidikan mempunyai
otoritas untuk menyeleksi peserta didik, apabila tidak sesuai dengan kebutuhan
organisasi maka dapat dikeluarkan. Otoritas ini sudah sepantasnya lebih
dimanfaatkan karena apabila nanti setelah lulus baru di pecat proses dan biayanya
akan lebih mahal. Penanaman nilai-nilai luhur  menjadi sebuah budaya ada
beberapa tahap yang harus dilewati yaitu dipaksakan, terpaksa, bisa, biasa dan
menjadi budaya. Mengacu pada hal ini maka peserta didik dipaksakan menjalankan
nilai-nilai yang ada dalam Tribrata dengan didukung sistem pembelajaran yang
sapantasnya harus dilakukan, nantinya akan merasa terpaksa daripada kehilangan
kesempatan menjadi polisi, selebihnya peserta didik akan bisa menjalankan nilai-
nilai luhur dan kemudian menjadi biasa melaksanakannya yang pada akhirnya
menjadi budaya.
1. Peran Pemimpin Polri
Kepemimpinan Polri mempunyai pengaruh yang besar dalam implementasi etika
para anggotanya. Unsur-unsur dasar kepemimpinan  menurut Kunarto (1997) adalah
1). Kemampuan mempengaruhi orang lain, 2). Dalam  kepemimpinan harus ada
posisi yang memimpin (atasan) dan yang di pimpin (bawahan), 3). Upaya untuk
mempengaruhi dilaksanakan dengan proses komunikasi, 4). Upaya untuk
mempengaruhi bertujuan untuk memotivasi dan menggerakkan orang lain, dan 5).
Menggerakkan orang lain berkepentingan langsung dengan tujuan yang harus di
capai oleh sekelompok atau organisasi. Berdasarkan unsur-unsur kepemimpinan di
atas, serasa mudah dipahami,  begitu mudah dihafalkan, tetapi pada kenyataannya
organisasi kepolisian pada saat ini mengalami krisis kepemimpinan, sehingga tujuan
organisasi sulit terwujud,  gerak dan langkah yang tidak seirama,  banyak
permasalahan internal yang menjadi beban dalam melaksanakan tugas pokoknya.
Ketika organisasi polri yang mengalami krisis kepemimpinan seperti saat ini,
tentunya tidak mudah terlaksana personil kepolisian yang beretika karena figure
yang dijadikan teladan dan contoh tidak ada.Organisasi Polri saat ini membutuhkan
lebih dari sekedar pemimpin, melainkan pemimpin yang efektif.Pemimpin yang efektif
menyumbangkan dan mewariskan hasil, pemimpin yang tidak efektif menyedot
hasil.Pemimpin yang efektif memfokuskan pikirannya untuk kegiatan-kegiatan
produktif dan mendapatkan respek dari bawahan serta pengikut-
pengikutnya.Sebaliknya, pemimpin yang tidak efektif kehilangan respek dan setiap
hari hanya disibukkan mengurus konflik dan kekuasaannya. Ketika Pimpinan Polri
sudah tidak efektif lagi dan sudah kehilangan respek dari anggotanya, sehingga
organisasi tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan, dalam organisasi
kepolisian yang masih kental sifat kemiliterannya adalah mustahil bila anggotanya
“menggulingkan” dalam arti nyata, berdemo minta Kapolres turun yang tentunya
juga sangat tidak elegan apabila dilihat oleh masyarakat. Disinilah perlunya kearifan
seorang pimpinan ketika merasa kepemimpinannya sudah tidak efektif untuk mundur
dengan baik-baik daripada terkena seleksi alam dengan mendapatkan “kasus”.
Sayangnya budaya mundur dari jabatan di Indonesia belum ada, karena masih
menghubungkan jabatan dengan materi,  bukan dengan kehormatan seperti di negara
Jepang.
Para pemimpin di setiap level di kepolisian harus menyadari bahwa mereka adalah
sebagai rolemodel bagi anggotanya. Kemajuan Polri di masa yang akan datang tidak
terlepas dari langkah apa yang di ambil para pimpinan pada saat ini, sebagai
rolemodel pemimpin harus bisa menjaga kepemimpinannya efektif. Kepemimpinan
efektif adalah pemimpin yang kata-kata dan perintahnya diikuti oleh banyak orang. 
Dalam budaya organisasi kepolisian saat ini banyak anggota yang dalam bahasa
gaul di kenal “dramaqueen” yang artinya sebagai sosok anggota yang penjilat,
mengatakan didepan pimpinan baik, dibelakang ngomong sebaliknya, kerja kalau
dilihat oleh pimpinan pada saat tidak dilihat maka kerja semaunya, dalam kondisi
seperti ini tentunya menanyakan keefektifan kepemimpinan secara langsung akan
sulit, sehingga perlu penelitian lebih lanjut tentang kepemipinannya agar
mendapatkan fakta yang sebenarnya.
Untuk menjadi seorang pemimpin yang hebat dan efektif tidak harus bekerja terlalu
keras, cukup beri arahan yang strategis yang bermutu, dan kawal dengan segala
kerendahan hati, integritas, dan tata kelola yang baik.Selebihnya  semua elemen
akan bekerja secara otomatis. Eishenhower pada saat ditanya tentang
keberhasilannya memenangkan perang di Eropa mengatakan bahwa memberikan
tujuan yang jelas dan ingin dicapai adalah lebih penting daripada memberikan cara-
cara untuk mencapai tujuan, biarkan para komandan berinovasidi lapangan yang
untuk mencapai tujuan tersebut. Di sini dapat kita lihat bahwa pemimpin harus
percaya pada anak buahnya dalam melakukan pekerjaan yang kita berikan, dengan
kepercayaan yang tumbuh antara pimpinan dan bawahan akan timbul teamwork yang
kuat. Teamwork  adalah kekuatan utama dalam organisasi untuk mencapai tujuan
organisasi.
Pemimpin yang efektif perlu mempunyai otoritas yang kuat sebagai modal untuk
membuat perubahan dalam organisasi Polri, 2 (dua) hal yang harus dibangun oleh
seorang pemimpin yaitu  karakter dan kompetensi. Bahkan Stephen Covey
menyebutkan, leadership is nothing than what a person is andwhat a person does.
What a person isterlihat dari karakter yang dimiliki orang tersebut yang hanya bisa
didapat dari pengalaman dan didikan keluarga di masa kecil. Karakter tidak bisa
dibohongi karena itulah jati diri manusia yang sebenarnya.Sedangkan what a person
does tercermin dari kompetensi yang dimilikinya. Kompetensi ini didapat dari orang
lain, dari guru, buku, dan sekolah. Ia dapat dipelajari dan dilatih agar terus
berkembang menjadi suatu kekuatan. Kompetensi akan tampak pada hasil atau
output suatu kegiatan.Kompetensi dan karakter adalah sebuah kesatuan yang tidak
dapat dipisahkan. Orang berkompetensi tanpa karakter adalah penipu.Sedangkan
karakter tanpa kompetensi adalah penggerutu.Gabungan keduanya melahirkan
manusia yang unggul, dicintai dan menjadi modal besar bagi perubahan.
Pemimpin  yang efektif bukanlah orang  yang semata-mata dicintai atau dihormati.
Pemimpin yang efektif adalah pemimpin yang mampu membuat pengikut-pengikutnya
do the right things.  Pemimpin efektif adalah pemimpin yang
bertanggungjawab .Bertanggung jawab adalah karakter seorang pemimipin yang
efektif. Ketika seorang pimpinan akan melakukan suatu perubahan dalam
organisasinya, ada dua kemungkinan resiko berhasil dan resiko gagal, seringkali
dalam kepolisian ketika kerjanya berhasil maka dengan lantang akan mengatakan
bahwa ini adalah hasil kerjanya ketika gagal bahwa itu kesalahan orang lain. Berani
mengambil resiko terhadap apa yang dilakukan serta bertanggung jawab terhadap
apa yang akan terjadi adalah modal untuk melakukan sebuah perubahan.
Joseph White mengatakan bahwa pemimpin besar, bukanlah seorang pekerja tekun.
Ia adalah seorang besar yang memiliki kemampuan  “helicopter view”. Tugas
seorang pemimpin bukanlah mengerjakan hal-hal teknis, melainkan menciptakan tiga
kondisi.Pertama, bangun aspirasi yang mungkin mendukung.Kedua, dapatkan orang-
orang bagus (great leader).Dan ketiga, bawa energi besar ke tengah-tengah mereka
dan bangun antusiasme untuk bergerak.Seringkali dalam organisasi kepolisian
seorang pimpinan masih membicarakan hal yang bersifat teknis, bukan sebuah
strategi untuk melakukan sebuah perubahan.Perubahan hanya bisa di awali oleh
dukungan anak buah yang mempunyai motivasi untuk berubah, agar mempunyai
motivasi inilah peranan seorang pemimpin untuk membangunnya. Pembahasan
kepemimpinan efektif di atas adalah sebagai acuan model kepemimpinan yang
mampu menanamkan nilai-nilai Tribrata dalam pembinaan etika profesi Polri
dikewilayahan. Tanpa figure kepemimpinan yang efektif proses implementasi etika
profesi etika Polri tidak akan tercapai, karena pimpinan adalah sebagai central dan
motor penggerak praktik etika profesi kepolisian.
1. Pembinaan Etika kepolisian
Penggambaran kepemimpinan yang disampaikan penulis diatas sebagai tokoh central
dan motor penggerak praktik etika kepolisian dalam konteks sebagai teladan dan
contoh perilaku anggotanya, tidak akan oprimal tanpa progress yang nyata pimpinan
untuk membudayakan praktik etika kepolisian di kesatuan kewilayahan. Progress
yang jelas adalah progress yang mengaplikasikan dengan manajemen yang jelas.
Dalam merubah dan membudayakan sesuatu yang berbeda dari sebelumnya
mengharuskan standar nyata yang terukur, maksudnya pada dibuat terlebih dahulu
indikator yang jelas etika yang harus dilaksanakan dan etika yang
dijalankan.Menurut Deming sebuah program hendaknya terdapat PDCA (Plan-Do-
Check-Action).
Aplikasi PDCA dalam membudayakan praktik etika profesi adalah perencanaan
sejauh mana target etika profesi dijalankan, praktik etika itu di dalam menjalankan
tugas pokok kepolisian, pengawasan sejauh mana perilaku anggota dilapangan
dilaksanakan evaluasi dan perubahan bila ada permasalahan yang terakhir
laksanakan evaluasi tersebut, secara berkesinambungan karena merubah budaya
bukan sesuatu yang mudah memperlukan waktu bertahun-tahun. Inti dari suksesnya
manajemen ini adalah konsistensi pelaksanaannya, tanpa konsistensi program
membudayakan praktik etika profesi ini tidak berjalan sebagai mana mestinya.
Penjelasan ini masih terasa begitu umum untuk lebih mudahnya, penulis gambarkan
dalam praktik kepolisian  sehari-hari sebagai  berikut;
1. Pimpinan kewilayahan dan perwira staf merumuskan sejauh mana nilai-nilai
luhur Tribrata yang akan di tanamkan kepada anggota, hal ini adalah membuat
sebuah perencanaan yang didalamnya meliputi stadar nilai-nilai etika dalam
tugas masing-masing fungsi disesuaikan dengan bidang atau tugas pokoknya
secara khusus dan secara umum nilai-nilai etika yang harus dilaksanakan semua
anggota
2. Setelah rencana dibuat tanamkan nilai-nilai luhur Tribrata sebagai pedoman
etika Polri dalam setiap kesempatan para perwira bertemu dengan anak-buahnya,
mulai dari apel pagi maupun rapat-rapat yang dilaksanakan baik rutin maupun
insidentil. Proses pemahaman anggota terhadap nilai-nilai ini sangat penting
agar mereka memahami apa yang boleh dikerjakan dan apa yang tidak boleh
dikerjakan, yang tentunya para pimpinan atau perwira staf ini terlebih dahulu
memberikan contoh praktik etika profesi kepolisian tersebut.
3. Pengawasan dan evaluasi pelaksanaan praktik etika profesi dapat dilaksanakan
dengan cara melihat langsung perilaku anggota dalam melaksanakan tugasnya
dan dengan melakukan wawancara langsung terhadap masyarakat yang
bersentuhan langsung dengan petugas tersebut. Apabila terjadi kendala dicari
permasalahan apa yang mejadi hambatan pelaksanaan praktik etika profesi Polri
tersebut, di ambil solusi agar dapat di aplikasikan.
4. Melaksanakan kembali evaluasi yang sudah ditetapkan hal ini dilakukan secara
berulang-ulang dan konsisten sehingga semakin lama terjadi peningkatan dalam
praktik etika profesi ini. Pada dasarnya perilaku dipengaruhi oleh psikologis
seseorang yang berkaitan dengan watak maka lebih bagusnya dalam setiap
evaluasi sebelum menaikkan target pada proses selanjutnya dilakukan pengetesan
psikologis bagi para anggota yang tidaak mampu menjalankan standar etika yang
sudah ditetapkan, hasil pengetesan psikologi ini dijadikan acuan untuk
mengumpulkan secara khusus anggota yang “bermasalah” dengan proses
penanaman nilai-nilai etika profesi secara berbeda dan mendapatkan perhatian
secara lebih khusus dari yang lainnya karena mempunyai akar permasalahan
yang lebih kompleks. Akr permasalahan ini yang dijadikan diskusi bimbingan
agar bisa diambil solusinya oleh para perwira sehingga pada nantinya akan
terlepas dari masalah yang dialaminya dan mampu menjalankan praktik etika
profesi yang telah disepakati.
Pembinaan etika kepolisian di tingkat kewilayahan tentunya sangat tidak mudah
karena nilai-nilai yang budaya organisasi yang ada saat ini (sudah dijelaskan penulis
di atas) sudah sedemikian mengakar, nilai-nilai keduniawian telah tertanam dalam
sanubari personil kepolisian yang ada saat ini, namun praktik etika profesi ini bukan
tidak mungkin dilaksanakan apabila para pimpinan mempunyai komitmen yang sama,
karena persoalan saat ini adalah para pimpinan dengan kondisi budaya organisasi
seperti saat ini merasa di untungkan sehingga tidak mau melakukan perubahan,
namun kita harus memahami kemajuan teknologi yang disertai kebebasan
memperoleh informasi akan menuntut perubahan itu untuk dilaksanakan, apabila
tidak melakukan perubahan maka akan tergilas oleh perubahan itu sendiri
1. Penegakan Etika Profesi Polri
Penegakan etika profesi adalah mekanisme terakhir pembinaan etika profesi
kepolisian. Pada prinsipnya pemberian hukuman adalah sarana yang seyogyanya
tidak ingin dilaksanakan, karena penghukuman akan terjadi bila adanya
pelanggaran  kode etik prefesi kepolisian, padahal pelanggaran bukan menjadi
sebuah harapan. Harapannya adalah semua anggota melaksanakan etika profesi
secara benar sehingga dapat melaksanakan tugasnya secara professional sesuai
dengan harapan masyarakat.
Dari segi keadilan hendaknya penegakan etika profesi polri harus dapat
mengakomodir keadilan bagi pelanggar, korban akibat pelanggaran etika profesi
anggota tersebut (bila ada), serta keadilan bagi masyarakat (organisasi Polri).
Keadilan di sini diartikan bahwa penghukuman bagi pelanggar etika profesi
mempertimbangkan keadilan pada semua pihak yang terkait, contohnya bila ada
anggota polisi melakukan penyimpangan di jalan dengan bentuk penyuapan uang
damai tilang dari seorang pelanggar lalulintas, dalam proses penegakan etika profesi
hukuman yang diberikan tentunya memperhatikan: pertama, keadilan bagi pelanggar
etika profesi apakah pada kasus tersebut antara anggota polisi dengan pelanggar
lalulintas menghendaki penyelesaian semacam itu atau tidak, sehingga anggota
tersebut tidak disudutkan sebagai pelaku tunggal. Kedua, keadilan bagi korban
pungli oleh oknum anggota tersebut apakah hukuman yang diberikan kepada anggota
tersebut sesuai dengan harapan si pelapor karena berbagai pertimbangan si pelapor
juga mempunyai andil proses penyuapan atau pungli itu terjadi dan tentunya dalam
hal ini si pelapor juga salah dalam hukum positif. Ketiga, keadilan dalam masyarakat
(organisasi Polri) yang dimaksud disini adalah bahwa hukuman yang diberikan
dengan penyimpangan pungli dijalan misalnya dengan jumlah uang yang di dapat
apakah wajar si pelanggar mendapatkan hukuman tersebut.
Dari segi kemanfaatan adalah penegakan hukum etika profesi tersebut bermanfaat
bagi pelanggar agar tidak mengulangi perbuatan yang dilakukan dan menjadi contoh
bagi yang lain agar tidak melakukan pelanggaran etika profesi yang sama. Dalam
bidang kemanfaatan ini adalah dengan melihat sejauh mana tindakan pelanggaran
oleh oknum anggota tersebut merugikan organisasi pada khususnya dan kerugian
masyarakat pada umumnya, dengan melihat sejauh mana dampak yang ditimbulkan
sebuah perbuatan pelanggaran tersebut maka menjadi berat-ringannya hukuman
yang diberikan.
Dari segi kepastian hukum, penegakan hukum etika profesi kepolisian hendaknya
mencerminkan kapabilitas organisasi Polri. Kapabilitas di sini dimaksudkan bahwa
sebagai sebuah organisasi, Polri tidak membiarkan  terjadinya sebuah pelanggaran
etika profesi yang sudah ditetapkan sehingga setiap pelanggaran yang terjadi
mendapatkan hukuman yang jelas. Di mata masyarakat kapabilitas ini juga menjadi
tolok ukur kepercayaan masyarakat terhadap Polri. Saat ini masyarakat tidak
percaya kepada pada kapabilitas Polri hal ini ditandai dengan siding kode etik yang
dilaksanakan oleh Polri terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh anggota, persepsi
masyarakat adalah bahwa terjadi “perlindungan”  kepada pelanggar etika profesi
Polri.Kepastian hukum juga menjadi pedoman kepada pelanggar etika profesi Polri
apakah dirinya masih mempunyai kesempatan berkarir di kepolisian atau tidak.
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan terkait revolusi mental melaui implementasi etika profesi
Polri di atas maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Kepribadian personil Polri saat ini di pengaruhi oleh budaya organisasi dan
budaya masyarakat yang ada, sehingga satu sama lain saling keterkaitan saling
mempengaruhi, budaya organisasi Polri adalah produk dari budaya masyarakat
yang mengalami perubahan sesuai dengan dinamika masyarakat indonesia
2. Pembinaan dan penanaman nilai-nilai moral etika profesi kepolisian sehingga
dapat diparaktikkan oleh para personil kepolisian dimulai dari proses rekruitment
personil Polri dengan mencari calon personil Polri yang terbaik di masyarakat,
Lembaga Pendidikan Polri sebagai tempat pengemblengan karakter yang
mencerminkan nilai-nilai moral etika kepolisian, peran pemimpin sebagai
tauladan dan mampu melaksanakan pembinaan etika kepolisian  di kewilayahan
serta penegakan etika profesi Polri dengan prinsip keadilan, kemanfaatan dan
kepastian hokum
Saran
Reformasi birokrasi dalam bidang kultural kearah yang lebih baik bukan suatu yang
mudah, memperlukan waktu bertahun-tahun dan memperlukan tindakan nyata bukan
sekedar wacana. Tindakan nyata ini walaupun kecil apabila dilakukan secara terarah
dan terukur akan membawa perubahan yang besar. Berberapa saran yang perlu
dipertimbangkan dalam rangka revolusi mental melalui implementasi nilai-nilai etika
profesi adalah sebagai berikut :
1. Kesediaan Pimpinan Polri untuk memulai perubahan, diawali mengubah gaya
hidup ke yang lebih sederhana, dapat dijadikan teladan bagi anak buahnya,
karena saat ini Polri mengalami krisis kepemimpinan untuk dijadikan figure
2. Me-reinventing peran Lembaga Pendidikan Polri sabagai penanaman budaya
organisasi kepolisian dengan nilai-nilai luhur Tribrata sebagai sendinya,.
3. Merubah standar penerimaan calon personil kepolisian dengan melihat segi latar
belakang karakter dalam bermasyarakat bukan hanya mengutamakan postur fisik
dan pengetahuan, karena pengetahuan tanpa karakter akan membawa kepada
kehancuran profesi kepolisian.
4. Penegakan etika profesi Kepolisian dengan menggunakan prinsip keadilan,
kemanfaatan dan kepastian hukum yang dilakukan oleh para personil yang
memang bersih dan capable di bidang pengamanan profesi Kepolisian.

Disampaikan oleh:
KOMJEN POL Drs. TIMUR PRADOPO

PADA UJI KEPATUTAN DAN KELAYAKAN CALON KAPOLRI


DIHADAPAN KOMISI III DPR RI TANGGAL 14 OKTOBER 2010
Ysh. – Ketua Komisi III DPR RI
– Para Wakil Ketua Komisi III DPR RI
– Bapak/Ibu Anggota Komisi III DPR RI Yang Saya Muliakan,

Assalamualaikum Wr. Wb.


Salam Sejahtera Bagi Kita Semua

Pada kesempatan ini perkenankan saya mengajak Bapak/Ibu anggota dewan yang terhormat untuk
bersama-sama memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT Tuhan Yang Maha Kuasa, karena
atas perkenannya jualah kita dapat berkumpul dan bersilaturahmi di ruangan ini untuk
menjalankan amanah konstitusional dalam rangka estafet kepemimpinan Polri guna kemaslahatan
masyarakat, bangsa dan negara Republik Indonesia.

Selanjutnya saya haturkan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada
Bapak/Ibu anggota dewan yang terhormat, atas perkenannya memberikan kesempatan kepada
saya untuk menyampaikan pokok-pokok pikiran melalui uji kelayakan dan kepatutan (fit and
proper test) di hadapan para anggota dewan yang terhormat.

Ucapan terima kasih juga kami haturkan kepada Jenderal Polisi Drs. H. Bambang Hendarso Danuri,
MM yang telah meletakkan landasan pembenahan Polri dalam kerangka reformasi birokrasi Polri,
sehingga menjadi kewajiban kami beserta seluruh generasi penerus Polri untuk melanjutkan
pembenahan Polri yang telah dirintis selama periode kepemimpinan beliau, agar Polri dapat
memantapkan dirinya dalam menyongsong tugas-tugas yang semakin berat dan kompleks.

Kemajuan yang dicapai oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia saat ini saya rasakan sangat
membanggakan, hal tersebut tidak terlepas dari peran dan dukungan dari Bapak/Ibu anggota
dewan yang terhormat, serta hasil kerja keras dari para senior pendahulu Polri yang telah
meletakkan pondasi yang kokoh bagi organisasi Polri, sehingga memungkinkan terlaksananya
pembangunan Polri hingga saat ini. Selanjutnya menjadi kewajiban saya sebagai generasi penerus
Polri untuk memelihara, meneruskan dan memperkuat organisasi Polri ke depan guna mampu
menyesuaikan dengan perkembangan lingkungan strategis dan tantangan tugas Polri.

Dalam uji kelayakan dan kepatutan ini, ijinkanlah saya memaparkan pokok-pokok pikiran tentang
“revitalisasi Polri menuju pelayanan prima guna meningkatkan kepercayaan masyarakat”.
Pelayanan prima harus diwujudkan pada seluruh lingkup tugas pokok, fungsi dan peran Polri
sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri.

Selanjutnya dalam penyampaian pokok-pokok pikiran, saya menggunakan alur pikir yang
berlandaskan pada kebijakan dan program yaitu visi dan misi Polri, Grand Strategy Polri Tahun
2005-2025, Renstra Polri Tahun 2010-2014, reformasi birokrasi Polri dan struktur organisasi Polri
yang baru. Selanjutnya menetapkan program revitalisasi Polri yang terangkum dalam road map
berikut program revitalisasinya serta komitmen yang akan diwujudkan guna menuju Polri yang
melayani, proaktif, transparan dan akuntabel, sehingga kepercayaan masyarakat terhadap Polri
semakin meningkat.

Alur pikir yang saya sampaikan berawal dari Renstra Polri Tahap II Tahun 2010-2014 yang telah
menetapkan visi Polri yaitu “Terwujudnya Pelayanan Kamtibmas Prima, Tegaknya Hukum dan
Kamdagri Mantap serta Terjalinnya Sinergi Polisional yang Proaktif”, secara subtansi visi tersebut
mengandung makna:
1. “Terwujudnya pelayanan kamtibmas prima” adalah keadaan dalam masyarakat yang tumbuh
rasa bebas dari gangguan dan ketakutan;
2. “Tegaknya hukum” adalah suatu keadaan dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat yang
teratur, tertib dan adil;
3. “Kamdagri mantap” adalah suatu keadaan di wilayah hukum NKRI yang bebas dari konflik sosial
baik vertikal maupun horizontal dan bebas dari gangguan keamanan dan ketertiban umum;
4. “Sinergi polisional yang proaktif” adalah kebersamaan antar unsur dan komponen negara dan
masyarakat dalam mengambil langkah mengatasi potensi gangguan keamanan.

Dengan mempedomani visi Polri tersebut, maka langkah pencapaian sasaran strategis dirumuskan
ke dalam misi Polri sebagai berikut:
1. Melaksanakan deteksi dini dan peringatan dini melalui kegiatan operasi penyelidikan,
pengamanan dan penggalangan;
2. Memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan secara mudah, responsif dan tidak
diskriminatif;
3. Menjaga keamanan, ketertiban dan kelancaran lalu-lintas untuk menjamin keselamatan dan
kelancaran arus barang dan orang;
4. Menjamin keberhasilan penanggulangan gangguan keamanan dalam negeri;
5. Mengembangkan perpolisian masyarakat yang berbasis pada masyarakat patuh hukum;
6. Menegakkan hukum secara profesional, proporsional, transparan dan akuntabel untuk menjamin
kepastian hukum dan rasa keadilan;
7. Mengelola secara profesional, transparan, akuntabel dan modern seluruh sumber daya Polri
guna mendukung operasional tugas Polri;
8. Membangun sistem sinergi polisional interdepartemen dan lembaga internasional maupun
komponen masyarakat dalam rangka membangun kemitraan dan jejaring kerja.

Bapak/ibu anggota dewan yang saya muliakan,

Selaras dengan undang-undang nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Panjang Nasional (RPJPN) Tahun 2005-2025, Polri telah menjabarkannya ke dalam bingkai besar
Grand Strategy Polri Tahun 2005-2025 yang mencakup 3 (tiga) tahapan waktu yaitu: Tahap I Tahun
2005-2009 membangun kepercayaan (trust building), Tahap II Tahun 2010-2014 membangun
kemitraan (partnership building) dan Tahap III Tahun 2015-2025 menuju organisasi unggulan (strive
for excellence).

Bahwa tingkat kepercayaan masyarakat terhadap Polri menjadi prioritas pertama pada Renstra
Polri Tahap I yang harus diwujudkan sebagai pondasi pelaksanaan Renstra Polri Tahap II Tahun
2010-2014, selanjutnya perjalanan pembangunan Polri saat ini telah memasuki Renstra Polri Tahap
II Tahun 2010-2014, dengan sasaran membangun sinergi dengan seluruh komponen dan masyarakat
yang disebut dengan partnership building, dan telah dijabarkan dalam program dan anggaran Polri
yang selaras dengan arah kebijakan nasional Kabinet Indonesia Bersatu II di bidang Keamanan
yaitu:
1. Peningkatan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga kepolisian;
2. Penerapan Quick Wins di seluruh wilayah NKRI;
3. Peningkatan kapasitas sumber daya manusia (SDM);
4. Modernisasi teknologi kepolisian sebagai bagian dari reformasi birokrasi Polri;
5. Pemantapan tata kelola pencegahan dan penanggulangan tindak terorisme, serta pemberdayaan
masyarakat dalam pencegahan tindak terorisme;
6. Peningkatan profesionalisme yang diiringi kesejahteraan anggota Polri.

Sesuai dengan ketentuan Undang-Undang No 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Panjang Nasional (RPJPN) Tahun 2005-2025 yang mengamanatkan bahwa kelembagaan dan
kementerian harus melaksanakan reformasi birokrasi pemerintah yang bertujuan untuk
menciptakan aparatur negara yang bersih, profesional, transparan dan akuntabel guna
menciptakan birokrasi yang efektif dan efisien sehingga dapat memberikan pelayanan publik yang
baik.

Berkenaan dengan hal itu, Polri telah merumuskan reformasi birokrasi Polri yang dilaksanakan
secara bertahap dan terencana sejak bulan Desember tahun 2008, dan hingga saat ini reformasi
birokrasi Polri dimaksud terus berjalan. Hal ini merupakan wujud dari keseriusan Polri untuk
melakukan perubahan sebagai upaya peningkatan kualitas kinerja dalam menjalankan tugas pokok
Polri.

Esensi reformasi birokrasi adalah bagaimana menerapkan prinsip-prinsip transparansi dan


akuntabilitas yang merupakan bagian dari good governance. Berdasarkan hal tersebut, maka
reformasi birokrasi Polri telah menetapkan 5 (lima) agenda utama, yaitu:
1. Evaluasi kinerja dan postur Polri 2025;
2. Restrukturisasi organisasi Polri;
3. Quick wins;
4. Manajemen perubahan budaya;
5. Manajemen sumber daya manusia dan remunerasi.

Restrukturisasi organisasi Polri bertujuan membangun organisasi Polri yang efektif, efisien,
akuntabel dan transparan sesuai dengan dinamika perubahan lingkungan strategis dan tantangan
tugas yang dihadapi. Hasilnya adalah disahkannya Peraturan Presiden Nomor 52 tahun 2010
tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kepolisian Negara Republik Indonesia dan disahkannya
Peraturan KaPolri Nomor 21, 22 dan 23 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja
Polri pada Tingkat Mabes Polri, Polda, Polres dan Polsek.
Dalam struktur organisasi Polri yang baru terdapat beberapa perubahan mendasar yaitu penguatan
fungsi utama kepolisian, memperbanyak sebaran pelayanan Polri ke titik pelayanan terdepan, dan
mengintegrasikan seluruh lembaga pendidikan/sekolah Polri dalam satu sistem. Selain itu terdapat
perubahan lain yang terkait dengan model dan tipe organisasi, nomenklatur dan titelatur, unsur-
unsur tataran struktur organisasi, pengelompokan fungsi utama dan pendukung, serta eselonisasi.

Seperti yang telah saya sampaikan bahwa 5 (lima) agenda utama reformasi birokrasi Polri telah
dijabarkan dalam program-program yang lebih detail, yaitu:
1. Evaluasi kinerja dan profil Polri 2025, melalui:
– Evaluasi kinerja Polri (kuantitatif dan kualitatif);
– Perumusan profil Polri 2025;
2. Restrukturisasi organisasi dan tata laksana, melalui:
– Perancangan ulang struktur organisasi Polri;
– Analisis beban kerja;
– Identifikasi, inventarisasi Standar Operasional Prosedur (SOP) atau Prosedur Tetap (PROTAP);
3. Program Quick Wins, melalui:
– Identifikasi bidang kerja yang dirasakan langsung oleh masyarakat;
– Rencana aksi Quick Wins;
– Pemantauan pelaksanaan Quick Wins;
4. Manajemen perubahan dan transformasi budaya, melalui:
– Internalisasi dan sosialisasi reformasi birokrasi Polri;
– Transformasi budaya organisasi;
5. Manajemen sumber daya manusia dan remunerasi, melalui:
– Review penyempurnaan strategi, kebijakan, dan sistem manajemen sumber daya manusia;
– Perumusan remunerasi.

Bapak/ibu anggota dewan yang saya muliakan,

Sebelum saya menyampaikan kerangka revitalisasi Polri, pada kesempatan ini akan saya uraikan
kondisi Polri secara umum sebagai berikut:
1. Pemeliharaan situasi kamtibmas serta penanganan daerah rawan kontinjensi telah dapat
dikelola secara kondusif dengan kegiatan rutin dan operasi kepolisian yang ditandai dengan
pelaksanaan pengamanan pemilukada dan pemilu tahun 2009 dapat berjalan dengan aman dan
lancar.
2. Penanganan 4 (empat) jenis tindak pidana (kejahatan konvensional, transnational crime,
kejahatan terhadap kekayaan negara, kejahatan yang berimplikasi kontinjensi), khususnya
penanganan transnational crime telah dapat membentuk opini bahwa Polri mampu mengatasi
terorisme di indonesia;
3. Berkembangnya fenomena dalam kehidupan masyarakat yang menganggap kurangnya respon
Polri, sehingga menimbulkan tindakan masyarakat yang bersifat massive dan anarkis;
4. Melalui dukungan dan perhatian dari bapak/ibu anggota dewan yang terhormat dengan telah
mengupayakan penyediaan anggaran Polri yang setiap tahunnya mengalami kenaikan sehingga
dapat meningkatkan kinerja dan profesionalisme Polri;
5. Hasil penilaian BPK RI pada pemeriksaan tahun buku 2009 atas laporan keuangan Polri T.A. 2009
yang sudah mendapatkan opini penilaian “wajar tanpa pengecualian (WTP)”;
6. Hasil penilaian tim independen reformasi birokrasi nasional terhadap pelaksanaan program
reformasi birokrasi Polri pada pertengahan Juli tahun 2010 yang memberikan nilai 3,51 dalam
skala 1 sampai dengan 4 (setara dengan nilai 87,5);
7. Beberapa satuan kerja Polri telah memperoleh Sertifikasi ISO yang menggambarkan kualitas
proses kerja.

Saya menyadari bahwa pelaksanaan tugas dan kinerja Polri sampai dengan saat ini masih belum
sepenuhnya dapat memenuhi harapan dan tuntutan masyarakat. Dari berbagai masukan
diharapkan personel Polri mampu mewujudkan :
1. Peningkatan kinerja dan akuntabilitas Polri yang lebih baik, khususnya pada pelayanan Polri di
wilayah terpencil termasuk wilayah perairan timur indonesia;
2. Peningkatan kecepatan pelayanan, perlindungan dan bantuan pertolongan kepada masyarakat
dalam rangka pemeliharaan situasi keamanan dan ketertiban masyarakat, serta menjamin
keselamatan dan keamanan umum;
3. Penegakkan hukum yang tegas, tidak diskriminatif, memenuhi rasa keadilan masyarakat,
terjaminnya transparansi dalam proses penyidikan perkara, dan adanya kepastian hukum bagi para
pencari keadilan;
4. Peningkatan kapasitas peran dan fungsi intelijen kepolisian yang lebih mampu memberikan
early detection dan analisis intelijen dalam rangka langkah antisipasi untuk tidak semakin
berkembangnya situasi kamtibmas menjadi semakin destruktif;
5. Kemudahan masyarakat untuk mengakses informasi publik atas pelayanan publik yang berkaitan
dengan pelaksana-an tugas dan kinerja Polri;
6. Selain harapan dan tuntutan masyarakat tersebut di atas, dari hasil evaluasi internal atas
kinerja Polri diperoleh rincian harapan masyarakat, kementerian/ lembaga pemerintah sebagai
berikut :
a. Keberadaan Polri di tengah-tengah masyarakat dapat memberikan rasa aman dan tenteram;
b. Polri mampu memberikan pelayanan yang prima, tidak mempersulit, cepat dan tuntas dalam
menyelesaikan masalah;
c. Penampilan personel Polri yang simpatik, humanis tapi tegas;
d. Keterbukaan dan tanggung jawab Polri dari setiap tindakan dan perbuatan yang dilakukan;
e. Terwujudnya postur Polri yang bersih, mandiri dan profesional;
f. Mendambakan penampilan Polri yang santun, bermoral dan modern.

Mengacu kepada tuntutan dan harapan tersebut, saya berpendapat bahwa perlu adanya semangat
untuk melakukan revitalisasi Polri guna menjawab perkembangan lingkungan strategis dan
kompleksitas tantangan tugas Polri. Revitalisasi mengandung arti menjadikan sesuatu menjadi
vital, bermanfaat atau penting kembali dengan memberikan sentuhan-sentuhan baru. Saya
memandang revitalisasi dalam tubuh Polri sebagai langkah untuk menghidup-kan, membangun dan
memberdayakan kembali nilai-nilai kemampuan yang telah dimiliki Polri di segala bidang, yang
selama ini belum dapat diwujudkan secara maksimal untuk menghadapi tantangan tugas Polri.

Adapun paradigma dari proses revitalisasi tersebut adalah sikap yang melayani, proaktif,
transparan dan akuntabel, dimana paradigma tersebut dapat mendorong terwujudnya pelayanan
prima, yang pada gilirannya di satu sisi dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat, dan di sisi
lain juga dapat meneguhkan soliditas internal Polri.

Jika saya memperoleh amanah mengemban tanggung jawab jabatan sebagai kaPolri pada periode
berikutnya, maka saya akan melakukan program revitalisasi Polri yang terangkum dalam road map
atau peta jalan, yang saya targetkan akan terealisasi pada masa jabatan saya sebagai kaPolri.
Adapun kerangka Road Map tersebut terdiri dari:
1. Penguatan institusi (institution strengthening).
Merupakan langkah penguatan institusional yang berkelanjutan dari seluruh kebijakan dan program
yang telah dirintis dan berjalan selama ini, guna menjamin kesinambungan organisasi Polri dalam
mencapai visi dan misinya.
2. Terobosan kreatif (creative breakthrough).
Adalah program-program terobosan kreatif untuk lebih meningkatkan kinerja Polri secara
signifikan agar dapat segera terlihat dan dirasakan secara nyata manfaatnya oleh masyarakat dan
stakeholder lainnya.
3. Peningkatan integritas (integrity improvement).
Merupakan peneguhan dedikasi dan loyalitas seluruh personel Polri dalam menjalankan tugas
pokok, fungsi dan perannya dengan sebaik-baiknya disertai peningkatan peran pengawasan guna
memelihara akuntabilitas kinerja baik perorangan maupun organisasi.

Bahwa ketiga kerangka road map revitalisasi Polri tersebut merupakan satu kesatuan yang saya
yakini mampu merevitalisasi peran Polri untuk menjadikan Polri lebih melayani, proaktif,
transparan dan akuntabel, sehingga lebih meningkatkan kepercayaan masyarakat dan soliditas
internal.

Selanjutnya dalam mengimplementasikan ketiga kerangka revitalisasi Polri tersebut di atas, telah
ditetapkan sasaran revitalisasi Polri untuk mewujudkan pelayanan prima dengan indikator sebagai
berikut:
1. “Polri yang melayani”, adalah memberikan pelayanan kepolisian yang lebih cepat, lebih mudah,
lebih baik dan lebih nyaman bagi masyarakat dengan memenuhi standar mutu pelayanan dan
tingkat kepuasan masyarakat. Secara eksternal menjadikan Polri sebagai public service
organization (pso), dan secara internal menerapkan budaya atasan melayani bawahan (servant
leadership);
2. “Polri yang proaktif”, adalah mengetahui secara dini kondisi yang apabila tidak segera
mendapat respon berpotensi menimbulkan gangguan keamanan dan ketertiban, serta menjalin
kerjasama yang sinergis dengan pemangku kepentingan untuk dapat mengatasi dengan solusi yang
tepat. Secara eksternal diharapkan dapat meningkatkan kepekaan, responsif, inisiatif dan tegas
mengatasi pelanggar hukum dan secara internal bertindak proaktif mencegah pelanggaran dan
penyimpangan serta mengambil tindakan tegas terhadap personel Polri yang melanggar hukum.
3. “Polri yang transparan”, adalah memberikan informasi yang diperlukan masyarakat secara
proporsional. Secara eksternal dengan membuka akses informasi kepada pemangku kepentingan,
dan secara internal bersikap terbuka, bersedia menerima komplin dan dapat memberikan respon
yang baik;
4. “Polri yang akuntabel”, adalah pertanggungjawaban pelaksanaan tugas pokok dengan selalu
mengikuti kaidah hukum dan prosedur baku, serta bertindak sesuai norma dan etika. Secara
eksternal melakukan penanganan perkara secara tegas dan tuntas, tidak diskriminatif, memenuhi
rasa keadilan dan kepastian hukum, dan secara Internal menekankan agar personel Polri dalam
mengemban tugas selalu dengan penuh rasa tanggung jawab;

Kerangka road map revitalisasi tersebut akan menjadi pedoman saya untuk mewujudkan Polri yang
melayani, proaktif, transparan dan akuntabel serta mengimplemen-tasikan program revitalisasi,
yang diikuti dengan pemenuhan kaidah taat hukum, taat prosedur dan taat etika, sehingga
kepercayaan masyarakat terhadap Polri meningkat.

Bapak/ibu anggota dewan yang saya muliakan,

Penguatan yang berkesinambungan adalah merupakan ciri suatu organisasi yang baik, proses ini
menunjukkan penguatan dan pengembangan secara terus menerus serta perbaikan yang tak
kunjung usai sepanjang waktu. Banyak hal yang telah dilakukan dan dihasilkan namun saya
memandang perlu dilakukan penguatan dan optimalisasi demi tercapainya tujuan organisasi Polri
sesuai dengan harapan masyarakat.

Rasanya kita sependapat perlunya mengembangkan budaya untuk melanjutkan upaya penguatan
tersebut secara terus menerus guna mewujudkan implementasi yang lebih baik dari waktu ke
waktu. Dalam kerangka road map revitalisasi Polri yang pertama “penguatan Polri secara
berkelanjutan” terdapat 2 (dua) hal yang menjadi pokok program revitalisasi yaitu melanjutkan
visi dan misi Polri, serta melakukan peningkatan kinerja melalui akselerasi program prioritas yang
sedang berjalan.

Selain penguatan institusi sebagai peneguhan langkah untuk mencapai visi dan misi Polri, aspek
lain yang perlu diperkuat dan dioptimalkan adalah pelaksanaan program reformasi birokrasi Polri
sebagaimana ketentuan peraturan menteri pendayagunaan aparatur negara dan refor-masi
birokrasi nomor 15 tahun 2008, terutama terhadap hal-hal yang sangat mendasar berkaitan dengan
peningkatan kinerja yang diikuti dengan memacu perubahan budaya yang mencakup perubahan
pola pikir (mind set), dan budaya kerja (culture set).

Untuk mengatasi program-program yang stagnan di beberapa bidang, terutama bidang pelayanan,
pengembangan sumber daya manusia dan pengembangan institusi secara menyeluruh, diperlukan
program terobosan kreatif untuk memecah kebuntuan dan kemandegan.

Untuk itulah dalam kerangka road map revitalisasi Polri yang kedua “solusi inovatif untuk
peningkatan kinerja” terdapat 4 (empat) hal yang menjadi pokok program revitalisasi yaitu
program terobosan kreatif berupa; pengembangan infrastruktur pelayanan, penataan sistem
manajemen berbasis kompetensi, penataan sistem manajemen kinerja, dan pengembangan
informasi dan teknologi kepolisian.

Sedangkan dalam kerangka road map revitalisasi Polri yang ketiga “peningkatan integritas”, saya
menggagas pemikiran untuk melakukan penguatan integritas yang disertai peningkatan
pengawasan ke dalam institusi Polri, hal ini dikarenakan selama ini pengawasan lebih banyak
datang dan dilakukan oleh pihak eksternal, padahal secara esensi pengawasan yang paling hakiki
adalah pengawasan yang dilakukan sejak dini oleh diri sendiri. Sehingga integritas pribadi menjadi
benteng pertama dan terakhir untuk mencegah terjadinya penyimpangan. Dengan penguatan
integritas, maka pengawasan akan lebih mudah, demikian pula sebaliknya. Kerangka road map
ketiga ini merupakan penyeimbang sekaligus pendorong keberhasilan road map pertama dan
kedua, dimana perbaikan kesejahteraan harus disertai mekanisme pengawasan yang lebih baik dan
akuntabel, dengan demikian akan tercipta keseimbangan antara reward and punishment.

Untuk itulah saya akan mewajibkan semua anggota Polri menandatangani “kontrak kinerja”, serta
pemberian penghargaan kepada personel Polri yang berintegritas terbaik, dan memberi sanksi
tegas bagi yang melakukan pelanggaran. Sedangkan peningkatan pengawasan juga bertujuan untuk
mewujudkan kepuasan publik serta kepuasan anggota Polri sendiri dan mewujudkan sinergi antara
pengawasan internal dan eksternal dengan prinsip internal mendukung eksternal (ime) dan
eksternal memanfaatkan internal (emi). Pelibatan peran pengawas eksternal dalam kemitraan
yang harmonis akan mendorong tercapainya akuntabilitas Polri.

Bapak/ibu anggota dewan yang saya muliakan,

Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa program quick wins Polri yang telah di launching oleh
bapak presiden republik indonesia pada tanggal 30 januari 2009, yang meliputi 4 (empat) program
unggulan yaitu; quick response patroli sabhara, transparansi penyidikan melalui sp2hp,
transparansi pelayanan penerbitan sim, stnk, bpkb, dan transparansi rekrutmen personel Polri,
tetap ditindaklanjuti dengan inovasi dan dikembangkan untuk lebih meningkatkan
implementasinya.

Untuk kedepan, saya merencanakan 10 (sepuluh) program prioritas yang dimaksudkan untuk
mendorong terwujudnya pelayanan prima yang dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat
dalam rangka meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap Polri. Adapun kesepuluh program
prioritas tersebut meliputi:
1. Pengungkapan dan penyelesaian kasus-kasus menonjol;
2. Meningkatkan pemberantasan preman, kejahatan jalanan, perjudian, narkoba, illegal logging,
illegal fishing, illegal mining, human trafficking dan korupsi;
3. Penguatan kemampuan densus 88 anti teror, melalui peningkatan kerjasama dengan satuan anti
teror tni dan badan nasional penanggulangan terorisme (bnpt);
4. Pembenahan kinerja reserse dengan program “keroyok reserse” melalui peningkatan
kompetensi penyidik;
5. Implementasi struktur organisasi Polri yang baru;
6. Membangun kerja sama melalui sinergi polisional yang proaktif dalam rangka penegakan hukum
dan ham;
7. Memacu perubahan mind set dan culture set Polri;
8. Menggelar sentra pelayanan kepolisian (spk) di berbagai sentra kegiatan publik;
9. Mengembangkan layanan pengadaan sistem elektronik (lpse);
10. Membangun dan mengembangkan sistem informasi terpadu serta persiapan pengamanan
pemilu 2014;

Agar pelaksanaan 10 (sepuluh) program prioritas berjalan dengan efektif dan mencapai sasaran
yang diinginkan, maka pelaksanaannya dibagi ke dalam pentahapan kurun waktu tahun 2010
sampai dengan tahun 2013. Pentahapan tersebut sesuai dengan tingkat prioritas berdasarkan
tingkatan manfaat dan perhatian masyarakat.

Pentahapan 10 (sepuluh) program prioritas tersebut dibagi dalam 4 (empat) periode waktu secara
berlanjut dan berkesinambungan dengan rincian sebagai berikut:
1. Tahap kesatu, 100 hari pertama (November 2010 s/d Januari 2011) meliputi:
– Pengungkapan dan penyelesaian kasus-kasus menonjol;
– Meningkatkan pemberantasan terhadap kejahatan yang meresahkan masyarakat, yaitu preman,
kejahatan jalanan, perjudian dan narkoba, serta kejahatan yang merugikan kekayaan negara yaitu
illegal logging, illegal fishing, illegal mining, human trafficking dan korupsi;

2. Tahap kedua, Februari-Desember 2011, meliputi:


– Penguatan kemampuan densus 88 anti teror melalui peningkatan kerja sama dengan satuan anti
teror tni dan bnpt;
– Pembenahan reserse melalui program “keroyok reserse”;
– Implementasi struktur organisasi Polri yg baru;
– Membangun kerja sama melalui sinergi polisional yang proaktif dalam rangka penegakan hukum
& ham.

3. Tahap ketiga, Januari-Desember 2012, meliputi:


– Memacu perubahan mind set dan culture set Polri;
– Menggelar spk di berbagai sentra kegiatan publik;
– Layanan pengadaan sistem elektronik (lpse);

4. Tahap keempat, Januari-Desember 2013, yaitu:


– Membangun dan mengembangkan sistem informasi terpadu persiapan pengamanan pemilu 2014.

Bapak/ibu anggota dewan yang saya muliakan,

Saya menyadari bahwa komitmen kepemimpinan merupakan faktor yang penting di dalam
menentukan perjalanan organisasi Polri kedepan. Komitmen adalah “janji hati untuk membawa
kepemimpinan secara bersama-sama mencapai keberhasilan yang didambakan”. Bagi saya,
komitmen terhadap Polri adalah sebuah janji kesetiaan hidup, di dalam mendedikasikan
kepemimpinan bagi kepentingan masyarakat, bangsa dan negara.

Oleh karenanya, pada kesempatan ini dihadapan bapak/ibu anggota dewan yang terhormat,
perkenankanlah saya untuk menyampaikan komitmen saya apabila mendapat kepercayaan dan
amanah untuk melanjutkan kepemimpinan Polri mendatang.

Bahwa saya berjanji akan melaksanakan 10 (sepuluh) komitmen revitalisasi sebagai berikut:
1. Menjunjung tinggi supremasi hukum dengan menegakkan hukum dan selalu bertindak sesuai
dengan ketentuan hukum, memenuhi rasa keadilan dan kepastian hukum;
2. Memastikan penuntasan penanganan perkara yang memenuhi rasa keadilan dan kepastian
hukum, serta diinformasikan penanganannya secara transparan kepada masyarakat;
3. Memberikan pelayanan publik yang lebih baik, lebih mudah, lebih cepat, lebih berkualitas,
lebih nyaman dan memuaskan bagi masyarakat;
4. Membangun kerjasama dengan seluruh stakeholder dalam berbagai bidang yang terkait dengan
tugas pokok, fungsi dan peran Polri, termasuk bentuk kerjasama dalam bidang keamanan,
pelayanan, pengembangan sumber daya manusia, penelitian dan pengembangan, serta
pengawasan;
5. Menjaga integritas dengan bersikap menyalahgunakan wewenang, bertanggung jawab,
transparan dan menjunjung tinggi ham, etika dan moral serta bersikap netral, jujur dan adil
dalam penegakan hukum dan kegiatan politik;
6. Menunjukkan sikap kepemimpinan tauladan yang melayani dan memberdayakan bawahan;
7. Bekerja dengan hati, tulus ikhlas dalam tugas dan pengabdian serta mencurahkan segenap
kemampuan, pemikiran, waktu dan tenaga untuk keberhasilan Polri;
8. Menerapkan prinsip reward and punishment dengan memberikan penghargaan terhadap anggota
yang berprestasi serta memberi sanksi yang tegas bagi personel Polri yang melanggar hukum, kode
etik dan disiplin Polri;
9. Menjamin keberlanjutan kebijakan dan program yang telah dilaksanakan oleh pejabat kaPolri
sebelumnya, sebagaimana yang tertuang pada grand strategi Polri 2005-2025, rencana strategis
Polri 2010-2014, reformasi birokrasi Polri, dan akselerasi transformasi Polri;
10. Taat asas dan berlaku adil, dengan bersikap dan berperilaku sesuai etika, prosedur, hukum dan
ham yang dilandasi rasa keadilan.

Saya menyadari bahwa seorang kaPolri adalah manusia biasa yang mempunyai banyak
keterbatasan. Dengan semakin kompleksnya permasalahan di bidang keamanan dan ketertiban
masyarakat, untuk itulah semakin pentingnya meningkatkan sinergi dan dukungan dari masyarakat
dan seluruh stakeholder, terutama dukungan dari bapak/ibu anggota dewan yang terhormat.

Demikianlah pokok-pokok pikiran yang dapat saya sampaikan dihadapan bapak/ibu anggota dewan
yang terhormat pada uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) kali ini, sebagai arah
rencana yang akan saya lakukan dan komitmen yang akan saya wujudkan bilamana diberikan
kepercayaan untuk mengemban amanah tugas mulia sebagai kaPolri.

Secara pribadi sebagai manusia biasa, dengan tidak bermaksud berlindung pada segala
keterbatasan diri saya, maka saya mengharapkan arahan, koreksi, dukungan bapak/ibu anggota
dewan yang terhormat, dalam rangka menentukan pemimpin Polri yang akan membawa
keberlangsungan perjalanan institusi kepolisian negara republik indonesia ke depan yang lebih baik
sebagaimana harapan masyarakat, bangsa dan negara.

Sekian dan terima kasih,


Wassalamualaikum wr. Wb.

Apa Itu Profesionalisme Polisi?


Orang mudah mengatakan profesionalisme tetapi tak tahu ma’rifat dan
hakekat profesionalisme. Merujuk pada pengertian dasar saja,
profesionalisme sudah membentuk spektrum luas, yang terbaik tentunya
adalah berada pada titik equilibrium, keseimbangan ma’rifat dan hakekat.
Dalam Kamus besar bahasa Indonesia, profesionalisme berasal dari kata
dasar profesi yang berarti sebagai pekerjaan dengan pendidikan dan keahlian
tertentu yang memerlukan kepandaian khusus dengan sistem penggajian
terukur

Dalam praktek, banyak pekerjaan yang sekarang mengklaim dirinya sebagai


profesi . Padahal , diuji dan dikaji dengan menggunakan standar profesi, tidak
semua pekerjaan boleh disebut profesi dalam artian sesungguhnya. Profesi
menuntut penguasaan suatu pengetahuan yang diperoleh melalui pelatihan
yang panjang. Menurut Albert J. Reiss Jr, profesi pada dasarnya memiliki
karakteristik yang tidak cukup dicerminkan melalui penguasaan pengetahuan,
akan tetapi juga dipengaruhi pada hubungan pelaku profesi dan kliennya yang
merupakan konsep inti (core conception) suatu profesi. Oleh karena itu,
berdasarkan pada hubungan pelaku profesi dan kliennya, Albert J. Reiss
mengatakan bahwa berbagai pekerjaan yang benar-benar berkualitas profesi
yaitu seperti hukum, dokter, dan polisi. sedangkan yang lainnya hanyalah
berupa status.

Jika disimpulkan bahwa polisi merupakan profesi maka profesi polisi tersebut
haruslah dilaksanakan secara profesionalisme. Dalam artian bahwa sebagai
profesi dibutuhkan upaya pemolisian profesi, karena polisi merupakan suatu
pekerjaan yang memiliki status sosial yang tinggi dan bergengsi. Seorang
polisi yang profesionalisme digambarkan sebagai seorang ahli yang memiliki
pengetahuan khusus dalam suatu bidang tertentu yang dianggap penting
dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, profesionalisme bagi Polisi
sangat penting untuk ditingkatkan dan dimantapkan dalam rangka
mewujudkan harapan masyarakat terhadap sosok-sosok polisi yang ideal.

Standardisasi Profesionalisme Polisi


Sebelum profesionalisme muncul sebagai standar yang diterima luas, terlebih
dahulu akan diuraikan kualifikasi polisi yang menunjukkan betapa pekerjaan
polisi banyak berkaitan dengan predeposisi individu para polisi. Coates
membedakan 3 (tiga) tipe (kualifikasi) polisi yaitu:
1. The legalistic abusive officer, yaitu mereka yang menyadari perannya sebagai
penjaga pelindung masyarakat serta nilai-nilai masyarakat, dan dengan cepat
menggunakan kekuatan dan sangat otoriter;
2. The task officer, yang menjalankan tugasnya tanpa menggunakan nilai-nilainya
sendiri dan hanya menjalankan hukum; dan
3. The community service officer, yang tidak menerapkan hukum dan bertindak
sebagai penegak hukum, melainkan berusaha membantu masyarakat dan
memecahkan persoalan.
Pengkualifikasian polisi sebagaimana diungkapkan oleh Coates, secara
perlahan mengalami erosi sehingga dibutuhkan suatu gagasan baru menuju
pada profesionalisme polisi yang tentunya menawarkan berbagai manfaat
yang dapat dirasakan langsung oleh masyarakat. Gagasan perubahan
tersebut timbul akibat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
(IPTEK) yang cepat. Perkembangan IPTEK yang tak dapat dihindarkan,
berimplikasi pada pekerjaan polisi itu sendiri dimana polisi dituntut untuk
bersikap profesionalisme dibidangnya (tidak amatir).
Pemanfaatan IPTEK oleh polisi dalam melaksanakan tugasnya, menimbulkan
suatu konsekuensi tersendiri bahwa IPTEK menjadi salah satu standar bagi
penetapan profesionalisme polisi.

Oleh karena itu, standar tersebut mensyaratkan, bahwa: Pertama, dibutuhkan


latihan, ketrampilan, dan kemampuan khusus; Kedua, anggota kepolisian
harus mempunyai komitmen terhadap pekerjaannya; Ketiga, dalam
menjalankan pekerjaannya, polisi membutuhkan suatu tingkat otonomi
tertentu.

Penetapan IPTEK sebagai salah satu standardisasi profesionalisme polisi,


lebih ditekankan pada kaidah bahwa modus operandi kejahatan semakin
beragam sehingga dibutuhkan langkah-langkah pencegahan yang “mumpuni”.
IPTEK yang terus berkembang pada babakan abad ke-20 dan ke-21 haruslah
secara signifikan dapat diselaraskan dengan kaidah-kaidah teoritik dalam ilmu
kepolisian dimana konsep pelayan masyarakat juga harus disinkronkan.
Disamping IPTEK, standardisasi profesionelisme polisi dapat dilihat pada tiga
parameter sebagaimana yang dikemukan oleh Sullivan, sebagai berikut:

1. Well Motivation, yaitu seorang polisi harus memiliki motivasi yang baik dalam
menjalankan tugasnya;
2. Well Education, yaitu seorang polisi harsu memiliki jenjang pendidikan yang baik
seperti, Diploma, Sarjana (S1, S2, dan S3);
3. Well Salary, seorang polisi harus lah digaji dengan bayaran yang memadai untuk
menunjang pekerjaanya sehingga tidak cenderung untuk korupsi.
Well Motivation
Motivasi menjadi elemen penting yang tidak boleh dikesampingkan. Motivasi
yang baik dari seseorang sebelum mengeluti pekerjaanya akan menentukan
apa yang akan dilakukan oleh tersebut di masa yang akan datang. Oleh
karena itu, seorang polisi haruslah memiliki motivasi untuk mengabdikan
dirinya sebagai polisi dengan tantangan dan tugas yang berat. Sebagai polisi,
seseorang dituntut kesiapan mental dan fisik baik dalam konteks melayani
masyarakat maupun dalam konteks penanganan kerusuhan dan tindakan
criminal lainnya.

Well Education
Jenjang pendidikan memainkan peranan yang sangat vital dalam membentuk
kualitas seseorang. Idealnya seseorang yang berkualifikasi pendidikan yang
baik akan tergambar melalui prilaku orang tersebut. Dalam konteks ini,
seorang polisi dituntut untuk dapat memahami modus operandi kejahatan
yang terus berkembang dan mengetahui perangkat hukum yang hendak
diancamkan kepada penjahatnya (accussed). Untuk melakukannya maka
kualifikasi pendidikan sangat dibutuhkan

Well Salary
Gaji selalu menjadi isu sensitif ketika menuntut suatu hasil yang maksimal.
Fakta menunjukkan bahwa gaji polisi masih sangat kecil dibanding dengan
penegak hukum lainnya seperti hakim dan jaksa.

Disamping 3 (tiga) hal yang merupakan standardisasi profesionalisme polisi


sebagaimana dikemukan oleh Sullivan di atas, Anton Tabah menambahkan 2
(dua) standardisasi lain yaitu well trained dan well equipments. Well Trained
diartikan sebagai seorang polisi harus dibekali dengan pelatihan secara terus
menerus melalui proses managerial yang ketat agar pendidikan dan pelatihan
yang sinkron mampu menjawab tantangan kepolisian yang actual dan
tantangan di masa depan

Well Equipments diartikan sebagai tersediannya sarana dan prasarana yang


cukup bagi institusi kepolisian serta penyediaan sistem dan sarana teknologi
kepolisian yang baik agar seorang polisi dapat menjalankan tugas dengan
baik.

Penetapan standardisasi profesionalisme polisi sebagaimana disepakati para


pakar dan berlaku dalam praktek, telah menjadi acuan bagi penetapan ukuran
profesionalisme di hampir seluruh negara-negara di dunia. Amerika Serikat
misalnya, menetapkan standardisasi profesionalisme polisinya dengan
mengemukan 4 (empat) kriteria seperti pelaksanaan tugas kepolisian secara
ilmiah, petugas polisi haruslah terpelajar, mempunyai integritas profesionali,
dan pemusatan pelayanan kepolisian dan konsilidasi satuan kepolisian
sebagai unsur utama peningkatan efektifitas.

Uraian ke-4 standardisasi profesionalisme polisi di Amerika Serikat pada


dasarnya selaras dengan apa yang dikemukan Sullivan dan Anton Tabah,
hanya dalam redaksional yang berbeda. Fungsi polisi disini dititikberatkan
pada upaya untuk menjalankan kontrol sosial dalam masyarakat baik yang
bersifat pre-emtif, preventif, maupun refresif. yang tentunya fungsi ini
terwadahi dalam kerangka sistem peradilan pidana (criminal justice system).
Oleh karena itu, profesionalisme polisi sebagai penegak hukum diarahkan
secara ketat oleh hukum, dimana ia menjalankan perintah undang-undang
dan dalam fungsi sebagai penjaga ketertiban, polisi bertanggung jawab pada
masyarakat.

Profesionalisme Kepolisian Republik Indonesia (POLRI)


Menakar standardisasi profesionalisme Polri tentunya berkiblat pada
standardisasi yang sama sebagaimana telah diuraikan pada bagian
sebelumnya. Akan tetapi, penjabaran kriteria-kriteria tersebut tidaklah
semudah yang tertulis. bentrok aparat kepolisian dengan mahasiswa di
kampus UNAS, insiden kekerasan di Monas yang ditengarai sebagai akibat
politik pembiaran dari kepolisian, serta hasil survei persepsi korupsi dari
Tranparansi Internasional Indonesia (TII) yang menempatkan Polri sebagai
institusi terkorup di Indonesia setelah DPR, Lembaga Peradilan dan Partai
Politik adalah fakta yang tidak dapat dielakkan betapa standardisasi
profesionalisme Polri masih terus berproses untuk menemukan strategi yang
tepat dalam pengimplementasiaannya.
Perumusan strategi pelaksanaan standardisasi profesionalisme Polri yang
terus dilakukan Polri, dimaksudkan untuk memenuhi harapan masyarakat
yang membutuhkan polisi yang ramah dan lemah lembut dalam pelayanan
serta tegas dalam penegakan hukum dapat tercapai. Oleh karena itu,
langkah-langkah konkrit terus dilakukan oleh Polri untuk mencapai out-put
sebagaimana yang diamanahkan oleh UU Nomor 2 Tahun 2002, termasuk
dengan menekankan pada perlunya aspek pembinaan profesi Polri.
Ketentuan pembinaan profesi Polri dapat ditemukan pada Pasal 34 UU No.2
Tahun 2002, yaitu:

1. Sikap dan prilaku pejabat Polri terikat pada Kode Etik Profesi Polri.
2. Kode Etik Profesi Polri dapat menjadi pedoman bagi pengemban fungsi
kepolisian lainnya dalam melaksanakan tugas sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku dilingkungannya.
3. Ketentuan tentang Kode Etik Profesi Polri lebih lanjut diatur dengan Keputusan
Kapolri.
Penegasan pembinaan profesi Polri adalah sebuah “sinyal” bahwa Polri terus
berbenah terhadap kinerja Polri yang berfluktuasi dalam pencapaian prestasi
kerja. Memahami bahwa profesi Polisi harus diselenggarakan professional,
tuntutan mendasar yang harus terpenuhi agar profesionalisme Polri dapat
terwujud maka dapat dimulai dari proses rekrutmen anggota polisi yang baik
(professional), yang kemudiaan anggota polisi tersebut dilengkapi dengan
pendidikan dan pelatihan yang memadai serta ditunjang dengan sistem
promosi dan analisis jabatan dalam tubuh Polri yang juga baik.

Persoalan rekrutmen anggota Polri disadari merupakan masalah pokok yang


harus selalu mendapat perhatian serius dalam melaksanakan profesionalisme
Polri. rekrutmen anggota Polri pada dasarnya telah dilakukan analisis jabatan
yang berupa syarat administrasi, pendidikan, kesehatan, psikotes, dan
berbagai tes lainnya. Akan tetapi dalam proses penentuan kelulusan dan
tahap-tahap ujian yang dilalui masih terbuka peluang bagi adanya intervensi
oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab.

Prilaku oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab tersebut dapat


disebabkan oleh lemahnya pengawasan yang dilakukan selama proses
rekrutmen baik yang dilakukan oleh pejabat yang berwenang maupun
masyarakat. Hal ini mengakibatkan check dan balance dalam konteks
melaksanakan fungsi kontrol tidak berjalan optimal.

Disamping faktor pengawasan yang rendah dalam pencapaian


profesionalisme Polri, hal lain yang tidak kalah pentingnya untuk ditekankan
dalam optimalisasi profesionalisme Polri yaitu komitmen moral. Menurut Pudi
Rahardi, komitmen moral tersebut dapat ditemukan pada perumusan ciri-ciri
profesionalisme Polri, sebagai berikut:

1. Jujur, taat terhadap kewajiban dan senantiasa menghormati hak-hak orang lain.
2. Tekad dalam jiwanya, setiap amal perbuatan dilandasi oleh niat untuk beribadah
dan merupakan pengabdian dirinya kepada dan bagi kepentingan orang lain
sebagai bukti adanya kepedulian terhadap lingkungan sekitarnya.
3. Memiliki sifat, watak dan akhlak serta kepribadiaan dengan baik yang
berlandaskan pada Taqwa dan beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa.
4. Amal perbuatannya senantiasa diawali dengan niat dan itikad baik dan untuk
mencapai tujuan dilakukan dengan cara yang baik dan benar.
5. Tidak akan bernat jelek terhadap tugas yang dipercayakan kepadanya, baik yang
diamanahkan oleh masyarakat maupun amanah bangsa dan negara sesuai dengan
hukum yang berlaku.
6. Memiliki kebanggaan pada profesinya dengan mendahulukan kepentingan umum
daripada kepentingan pribadinya.
Berdasarkan uraian di atas, maka jelaslah bahwa komitmen moral memegang
peranan penting yang hakekatnya bukan hanya mengikat anggota Polri akan
tetapi juga mengikat para pimpinan Polri. Dalam hal ini, pimpinan Polri
menetapkan bahwa pejabat Polri harus memenuhi langkah-langkah sebagai
berikut:

1. Upaya penertiban setiap pejabat Polri yang mengemban fungsi reserse, dengan
cara memberikan tanda pengenal sebagai pejabat penyidik yang dimaksudkan
untuk memberikan jaminan kepastian kepada masyarakat bahwa dirinya
berhadapan petugas resmi.
2. Penataran pengawasan melekat (waskat) kepada eselon pimpinan di lingkungan
Polri dengan tujuan terciptanya mekanisme pengawasan di lingkungan kerjanya.
Oleh karena itu, berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bawa
standardisasi profesionalisme Polri yaitu: Well Motivation; well Education;Well
Salary; Well Trained; Well Equipments; Fungsi Pengawasan; dan Komitmen
Moral.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Profesionalisme Polri
Seusai membingkai standardisasi profesionalisme Polri, hal terpenting yang
menarik untuk didiskusikan adalah faktor-faktor yang mempengaruhi
profesionalisme Polri baik yang berasal dari eksternal maupun internal Polri.
Faktor-faktor tersebut adalah:
Integritas Institusi
Lahirnya Tap MPR Nomor VI/2000 Tentang Pemisahan TNI dan Polri
merupakan momentum institusional yang menunjukkan eksistensi Polri
sebagai penegak hukum yang mandiri atau otonom. Akan tetapi, 10 tahun
pasca pemisahan secara institusional dampak atau pengaruh pengabungan
TNI dan Polri masih sangat terasa. Hal ini dapat ditemukan pada proses
penanganan kasus-kasus kamtibmas yang dilakukan Polri yang masih
cenderung mengadopsi sisi desktrutifitas dalam penegakan hukum
dibandingkan mengedepankan fungsi pengayom, pelindung, dan pelayan
masyarakat.

Oleh karena itu, secara institusi (birokrasi) Polri harus terus melakukan
reorganisasi dalam tubuh Polri mulai dari tingkat markas besar (MABES)
hingga tingkat wilayah. Sehingga secara institusi Polri perlahan tapi pasti
dapat mensterilkan diri dari bias penggabungan TNI dan Polri yang pernah
terjadi di masa lampau. Sebagai langkah nyata komitmen tersebut dapat
dilihat pada upaya Polri di bidang instrumental, untuk melakukan
penyempurnaan berbagai petunjuk pelaksanaan tugas dan pedoman kerja
Polri sampai pada tataran operasional taktik dan teknik profesi kepolisian.

Reformasi institusi Polri tersebut diupayakan akan mempercepat pencapaian


profesionalisme Polri, apalagi tuntutan zaman yang mengharuskan Polri dapat
mengikuti dinamika masyarakat yang dalam setiap perubahan mengusung
tema-tema HAM dan demokrasi. Tentunya, kompleksitas tema-tema HAM
dan demokrasi, tidak hanya menjadi urusan lembaga kepolisian dalam
konstelasi politik, akan tetapi juga terletak pada strategis penglibatan personil
polisi yang bertugas sehari-hari sehingga para personil tersebut sanggup
menjabarkan dan mempertanggungjawabkan implementasi HAM dan
demokrasi secara rasional, argumentatif, dan sesuai dengan hukum yang
berlaku.

Jika disepakati bahwa integritas kelembagaan Polri sangatlah penting untuk


mendukung profesionalisme Polri secara organisasi, maka pekerjaan dan
organisasi Polri harus berubah menuju pekerjaan yang berbasis pengetahuan
(knowledge based works), dan sumber daya manusia (SDM) yang juga turut
berubah kearah pekerja yang berpengetahuan (knowledge workers) serta
ditunjang dengan tugas pekerjaan yang bersifat inovasi dan
perhatian (innovation and caring).
Netralitas
Profesionalisme Polri harus dapat memberi jawaban terhadap tantangan dan
tuntutan masyarakat abad ke-21 yang mendasarkan aktifitasnya pada IPTEK.
Sejalan dengan perubahan tersebut, bidang dan atau sektor kehidupan dalam
masyarakat juga bergerak menyesuaikan diri secara signifikan baik dalam
bidang ekonomi, sosial, politik, dan lainnya. sehingga out-put pekerjaan yang
harapkan berbasis pada rasionalitas dan efisiensi.
Oleh karena itu, merunut sejarah kepolisian bahwa sukses awal dalam rangka
menciptakan profesionalisme adalah dengan melepaskan diri dari pengaruh
politik dan partisian politik, atau dengan kata lain netral. Netralitas dalam hal
ini diartikan sebagai penempatan Polri sebagai pelayan publik bagi semua
golongan masyarakat, bukan lagi terkait dengan satu atau lain golongan
dalam masyarakat.
Terkait dengan netralitas Polri, ujian telah menanti di tahun 2009 ketika
perhelatan Pemilihan Umum (pemilu) digelar. sorotan tajam sekaligus sinis
akan kembali dialamatkan pada Polri apakah Polri akan mampu
menetralitaskan dirinya atau kemudian sebaliknya. Tentunya disadari bahwa
Polri pada hakekatnya adalah institusi penegak hukum dan pelayan publik
yang netral, akan tetapi realitas menunjukkan bahwa banyak kendala yang
timbul ketika netralitas Polri dari dimensi politik akan diwujudkan khususnya
dalam menghadapi daya tahan , tekanan dan intervensi politik kekuasaan.

Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN)


Tema KKN masih menjadi momok yang menakutkan dalam mengusung
profesionalisme Polri. Erlyn Indarti, salah seorang anggota Komisi Kepolisian
Nasional, menilai Polri cenderung memosisikan profesional secara
mengambang, bahkan lepas dari esensiâ. Ada tiga tugas pokok Polri, yaitu
memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, melakukan penegakan
hukum, serta melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat. Sering kali
jika penegakan hukum tak jalan, polisi dicap tidak profesional. Demikian pula
sebaliknya, polisi sering mengklaim profesional jika dapat menekan laju
kejahatan. Erlyn melihat keprofesionalan polisi tidak seperti itu.

Hubungan antara profesionalisme dengan segala komponen utama


perpolisian Indonesia merupakan hubungan resiprokal sehingga tidak bisa
serta-merta disebutkan jika polisi mampu menekan jumlah kejahatan, mereka
pasti profesional sebab ini akan berakibat pada polisi hanya mengejar
turunnya angka kejahatan agar dianggap profesional.

Erlyn lebih lanjut menyoroti legitimasi Polri yang merupakan interface untuk
bisa melihat benang merah antara profesionalisme Polri dan tiga tugas pokok
Polri tersebut. Tuntutan masyarakat kepada Polri sangat tinggi. Masyarakat
berharap Polri harus bersih dan bebas KKN. Polri harus dekat dengan
masyarakat dan Polri harus punya wibawa.
Kenyataannya, Polri belum terbebas dari KKN dan masih banyak anggota
Polri yang tidak dekat dengan masyarakat. Juga cukup banyak anggota Polri
yang tidak dihormati, dilempari saat terjadi peristiwa di berbagai daerah. Ini
menunjukkan bahwa Polri masih dianggap belum profesional. Polisi dianggap
belum memiliki kepakaran atau intelektual dan teoritika yang memadai. Polisi
juga belum mendapatkan pendidikan dan pelatihan sesuai harapan. Polri
belum menghasilkan anggota yang memiliki legitimasi. Kompetensi polisi
belum sepadan dengan tantangan tugas. Dari sisi kode etik dan disiplin, Polri
masih dianggap belum berdisiplin dan berpegang pada kode etik kepolisian.
Ada banyak fakta yang menunjukkan hal itu.

Sehubungan dengan pernyataan Erlyn, Mabes Polri menyatakan bahwa salah


satu kelemahan yang dihadapi dalam mewujudkan profesionalisme Polri dari
optik praktek KKN yaitu masih ditemukannya budaya “setor” dari bawahan
kepada pimpinan dan prilaku fungli yang banyak dilakukan oleh anggota Polri.

Contoh lain yang dapat dikemukan untuk melihat bahwa praktek KKN masih
terjadi di tubuh Polri yaitu sebagaimana dirilis oleh PTIK dan Kemitraan
dengan merujuk pada penelitian skripsi seorang mahasiswa PTIK angkatan
XXXIX-A, yang menyatakan bahwa praktek KKN terjadi pada satuan
organisasi Polri seperti reserse kriminal, intelijen keamanan, samapta, lalu-
lintas, personil, dan logistik.

Fakta-fakta di atas, tentunya, merupakan realitas yang tidak dapat dielakkan.


Tetapi yang terpenting bahwa bagaimana budaya KKN ini secara perlahan
dieliminasi dan kemudian ditiadakan sehingga ide profesionalisme Polri dapat
sesegera mungkin tercapai.

Pengaruh Internasional
Perkembangan masyarakat internasional yang berkembang begitu pesat,
mengharuskan Polri tanggap melihat dan mengikuti perkembangan tersebut.
Beberapa agenda internasional seperti isu-isu demokrasi, lingkungan hidup,
HAM, kejahatan computer, dan terrorisme menjadi sesuatu (pengetahuan)
yang harus diketahui oleh Polri dalam menunjang tugas kesehariannya
khususnya ketika menanggani kasus-kasus demokrasi, lingkungan hidup,
HAM, dan terrorisme.

Oleh karena itu, penerapan dan pelaksanaan mekanisme pelaksanaan tugas


Polri harus segera diselaraskan dengan baik dan benar dalam rangka untuk
memperoleh legitimasi baik dalam lingkup nasional maupun internasional.
Contoh profesionalisme Polri yang baik untuk dikutip pada kesempatan ini
adalah penanganan teorisme di Indonesia yang menggunakan sains dan
teknologi (Scientific crime investigation) rumit untuk mengungkapnya, seperti
pengungkapan Bom Bali yang goncang dunia Oktober 2002 dengan teknologi
re-exting, pengungkapan bom Marriot Agustus 2004 dengan DVI (Disaster
Victims Identi vication). Pengungkapan bom Kedubes Australia 9 September
2004 dengan kombinasi keduanya. Demikian pula kasus bom lainnya yang
menggunakan teknologi komunikasi super canggih untuk menditeksi
keberadaan tersangka sehingga Polri berhasil menangkap pelaku-pelaku
penting, membongkar.

Contoh penerapan dan pelaksanaan mekanisme tugas Polri yang jelas


sebagaimana terungkap pada kasus-kasus bom, haruslah dapat digunakan
(applied) diseluruh lapisan kamtibmas.

Strategi Memantapkan Profesionalisme Polri


Seusai mengurai dan menganalisis standardisasi profesionalisme Polri dan
faktor-faktor yang mempengaruhinya, maka dibagian akhir tulisan ini akan
menawarkan strategi yang dibutuhkan dalam mengokohkan standardisasi
profesionalsime Polri yang telah ditetapkan.
Beberapa strategi yang digunakan yaitu dengan melakukan pergeseran
paradigma Polri menuju kultur polisi sipil. Paradigma kultur polisi sipil
ditetapkan dengan menggunakan indikator sebagai berikut:

1. Transparansi, bahwa semua kinerja Polri bersifat open manajemen dan dapat
dilakukan audit baik oleh masyarakat maupun oleh lembaga independent dan
profesionalisme lainnya.
2. Akuntabilitas, bahwa dalam setiap pelaksanaan tugas dapat
dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang
kedaulatan tertinggi.
3. Demokratis, bahwa segala bentuk tugas kepolisian mencerminkan pemahaman
yang mendalam atas nilai-nilai demokratis.
4. Memiliki komitmen untuk mewujudkan supremasi hukum.
5. Menjunjung tinggi HAM.
6. Bersifat protagonist, bahwa setiap tindakan yang dilakukan berorientasi kepada
kepentingan masyarakat.
7. bersifat responsif, adil, tidak diskriminatif,dan profesionalisme modern.
Oleh karena itu, jika paradigma kultur polisi sipil itu dapat terwujud maka
profesionalisme Polri akan berujung pada lahirnya sikap dan prilaku polisi sipil
sebagai pelayan masyarakat yang transparan, tidak diskriminnatif dan
menjunjung tinggi standar pelayanan prima.

Tentunya, disadari bahwa perubahan paradigma Polri ini akan membutuhkan


waktu dalam pengimplementasiaan. Mind-set Polri sebagai the strong hand of
society yang telah tertanam kokoh selama ini harus diubah menuju the soft
hand of society The soft hand of society mengedepankan program kemitraan
antara Polri dan masyarakat. Dalam konteks ini, Polri dan rakyat berada
dalam level yang sama dan berhubungan secara horizontal, dimana Polri
mengemban tugas untuk mengayomi, melindungi, membimbing, dan melayani
masyarakat. Sehingga, jika kaidah the soft hand of society dapat diwujudkan
maka sorotan tajam terhadap kinerja Polri yang selama ini ditujukan ke
institusi Polri akan tereliminasi dengan sendirinya.

Penutup
Perubahan paradigma Polri menuju polisi sipil yang profesionalis, modern dan
demokratis adalah sesuatu kebutuhan yang harus segera dipenuhi oleh Polri
dalam rangka mewujudkan fungsi penegakan hukum dan pelayanan
masyarakat. Oleh karena itu, profesionalisme Polri diarahkan melalui
pendekatan multi-dimensional dalam meningkatkan kualitas personil Polri
dengan menekankan pada well motivation; well education; well salary; well
trained; well equipments; fungsi pengawasan; dan komitmen moral.

Penulis : AKP.Andika T Purba


Mahasiswa : STIK – PTIK /72 Tahun 2016
Tanggal 13 Juli 2016 Jenderal Polisi Tito Karnavian resmi dilantik menjadi Kapolri oleh
Presiden Joko Widodo menggantikan Jenderal Baadrodin Haiti. Meskipun dengan masa
jabatan yang relatif singkat, beliau mampu menorehkan berbagai prestasi. Tugas berat kini
berada di pundak Jenderal Tito untuk melanjutkan dan menyempurnakan apa yang telah
dimulai Jenderal Badrodin Haiti.
Menjawab tantangan tersebut, Jenderal Tito langsung tancap gas , meluncurkan program
kerja melalui Commander wish, dan Kapolri menekankan semoboyan PROMOTER
(Profesional, Modern, Terpercaya). PROMOTER ini sejalan dengan misisi Presiden Jokowi
tentang peningkatan kepercayaan (trust) publik terhadap Institusi Polri.
Penjabaran “Promoter” tersebut yaitu :

1. Profesional: Meningkatkan kompetensi SDM Polri yang semakin berkualitas melalui


peningkatan kapasitas pendidikan dan pelatihan, serta melakukan pola-pola pemolisian
berdasarkan prosedur baku yang sudah dipahami, dilaksanakan, dan dapat diukur
keberhasilannya.
2. Modern: Melakukan modernisasi dalam layanan publik yang didukung teknologi sehingga
semakin mudah dan cepat diakses oleh masyarakat, termasuk pemenuhan kebutuhan
Almatsus dan Alpakam yang makin modern.
3. Terpercaya: Melakukan reformasi internal menuju Polri yang bersih dan bebas dari KKN,
guna terwujudnya penegakan hukum yang obyektif, transparan, akuntabel, dan berkeadilan.

 
Ketiga pokok pikiran tersebut adalah untuk menjawab tantangan masa kini, di mana pola-
pola pendekatan Polisi yang dulu diterapkan pada masa-masa sebelum reformasi sudah
tidak relevan lagi dan perlu lebih ditingkatkan dengan pola baru yang tetap dalam roh
tujuan Reformasi Birokrasi Polri (RBP) untuk diterapkan pada masa sekarang.
Hal ini dikarenakan saat ini perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah
membawa arus perubahan yang sangat deras.
Sementara itu untuk menunjang dalam mewujudkan Tiga dasar pemikiran tersebut,Kapolri
Jenderal Polisi Tito Karnavian menyusun pola strategi yang dikenal dengan Delapan
Misi,Sebelas Program dan Sepuluh Komitmen (8-11-10).
Delapan Misi yang dimaksud yaitu :

1. Berupaya melanjutkan reformasi internal Polri.


2. Mewujudkan organisasi dan postur Polri yang ideal dengan didukung sarana dan prasara
Kepolisian yang modern
3. Mewujudkan pemberdayaan kualitas sumber daya manusia Polri yang profesional dan
kompeten, yang menjunjung etika dan HAM.
4. Peningkatan kesejahteraan anggota Polri.
5. Meningkatkan kualitas pelayanan prima dan kepercayaan publik kepada Kepolisian RI.
6. Memperkuat kemampuan pencegahan kejahatan dan deteksi dini berlandaskan prinsip
pemolisian proaktif dan pemolisian yang berorientasi pada penyelesaian akar masalah.
7. Meningkatkan Harkamtibmas dengan mengikutsertakan publik melalui sinergitas polisional.
8. Mewujudkan penegakan hukum yang profesional, berkeadilan, menjunjung tinggi HAM dan
anti KKN.

Sedangkan Sebelas Program Prioritas adalah:


1. Pemantapan reformasi internal Polri.
2. Peningkatan pelayanan publik yang lebih mudah bagi masyarakat dan berbasis TI
3. Penanganan kelompok radikal prokekerasan dan intoleransi yang lebih optimal.
4. Peningkatan profesionalisme Polri menuju keunggulan.
5. Peningkatan kesejahteraan anggota Polri.
6. Tata kelembagaan, pemenuhan proporsionalitas anggaran dan kebutuhan Min
Sarpras.
7. Bangun kesadaran dan partisipasi masyarakat terhadap Kamtibmas.
8. Penguatan Harkamtibmas (Pemeliharaan Keamanan dan Ketertiban Masyarakat).
9. Penegakan hukum yang lebih profesional dan berkeadilan.
10. Penguatan pengawasan.
11. Quick Wins Polri.
Dan sebagai kunci suksesnya dalam pelaksanaan Delapan Misi dan Sebelas Program
Prioritas yang berdasar Tiga pokok pemikiran adalah dengan Sepuluh Komitmen,yaitu :
1. Melakukan konsolidasi internal dan menyiapkan langkah langkah strategis untuk
mewujudkan organisasi Polri yang semakin solid dan profesional.
2. Melanjutkan program-program yang telah dilaksanakan oleh Kapolri sebelumnya.
3. Mewujudkan insan bhayangkara dan organisasi Polri yang bersih, bebas dari korupsi,
kolusi dan nepotisme serta menjunjung etika dan moral.
4. Selalu mengembangkan sistem diklat Polri dalam rangka meningkatkan kompetensi dan
integritas SDM Polri.
5. Melakukan koordinasi dengan stake holder terkait guna memudahkan dan
memperlancar program program yang telah direncanakan dan ditetapkan.
6. Menunjukan teladan pemimpin yang memiliki Kompetensi, Proaktif, Tegas, tidak ragu
ragu dan bertanggung jawab, serta melayani dan memberdayakan anggota serta antisipatif
terhadap perubahan.
7. mewujudkan pelayanan prima Polri kepada masyarakat dengan lebih mudah, cepat,
nyaman dan humanis.
8. Menerapkan pemberian penghargaan bagi yang berprestasi dan menindak bagi yang
melakukan pelanggaran.
9. Mengamankan program prioritas nasional dan kebijakan Pemerintah.
10. Melaksanakan dengan sungguh-sungguh reformasi internal Polri, peningkatan
pelayanan publik menjadi lebih prima.
Semua program yang dijadwalkan akan dilaksanakan dalam tiga tahapan waktu
tersebut,diharapkan akan mampu membangun Polri yang ideal di hati masyarakat,tentu
dengan penerapannya yang konsisten. Sehingga masyarakat ke depan mau bekerja sama
dengan Polri untuk dalam rangka memelihara keamanan, ketertiban masyarakat.
Adapan Tahap Pertama berada di 100 hari semenjak Jenderal Polisi Tito Karnavian
dilantik.Dan Tahap kedua akan ditargetkan mulai bulan November 2016 hingga bulan
Desember 2019,serta Tahap ketiga ditargetkan mulai bulan  Januari 2020 hingga bulan
Desember 2021.
Tiga tahapan inilah yang akan menentukan kinerja Polri yang menjadi nilai penting dalam
mewujudkan jati diri Polri sebagai Abdi Negara. (*)

You might also like