You are on page 1of 13

MAKALAH

FILSAFAT HUKUM KELUARGA ISLAM:


TELAAH FILOSOFIS HADHANAH ANAK YANG BELUM MUMAYYIZ

Makalah ini diajukan untuk tugas Mata Kuliah


Filsafat Hukum Keluarga
Dosen Pengampu:

Disusun Oleh:
Salwa Azyyati
2298235005

PROGRAM PASCASARJANA
HUKUM KELUARGA
UNIVERSITAS HASYIM ASY’ARI
JOMBANG
2023
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Secara historis, hukum Islam sudah lama menjadi hukum positif yang berlaku di
Indonesia. Diantara hukum Islam yang menjadi hukum positif di Indonesia adalah
dalam bidang hukum keluarga. Sejak zaman penjajahan sampai sekarang hukum
keluarga yang bersumber dari hukum Islam sudah diikuti dan hidup di tengah-tengah
mayoritas rakyat Indonesia. Dalam konteks saat ini, upaya pembaharuan hukum Islam
di Indonesia, khususnya hukum keluarga, adalah sebuah keharusan. Hal ini dikarenakan
adanya tuntutan perubahan zaman, tuntutan perkembangan ilmu pengetahuan, pengaruh
globalisasi ekonomi, pengaruh reformasi dalam berbagai bidang hukum, dan juga
pengaruh pembaruan pemikiran Islam yang mengharuskan pintu ijtihad selalu terbuka
untuk menemukan hukum baru terhadap persoalan baru. Misalnya hak asuh anak yang
dilahirkan di luar nikah serta dampak sosialnya di masyarakat.
Hukum keluarga yang dimaksud adalah hukum keluarga yang sudah menjadi
hukum positif atau menjadi peraturan perundang-undangan di Indonesia yang
terjelmakan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Pekawinan (UU No
1 Tahun 1974), Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU
No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Tiga
peraturan perundang-undangan tentang hukum keluarga tersebut sumber utama yang
mendominasinya adalah hukum Islam, hal ini bisa dilihat dari pasal-pasal yang ada di
dalamnya dan sejarah proses pembahasannya.
Pernikahan bertujuan mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah,
mawaddah, dan rahmah. Sedangkan tujuan lainnya adalah tercapainya tujuan
reproduksi, pemenuhan kebutuhan biologis, dan sebagai bentuk menjaga diri dari
maksiat, serta untuk menyempurnahkan ibadah. Untuk memperoleh anak yang shaleh
dan shalehah, tentu saja harus dimulai sejak sebelum perkawinan, yaitu sejak
menentukan pilihan pasangan hidup yang berkualitas dari segi bibit, bobot dan bebet
yang dilanjutkan dengan perkawinan yang sah sesuai dengan aturan hukum dan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan ketika sudah mempunyai
anak, kedua orang tua dengan penuh kasih sayang mengasuh dan mendidik anak sesuai
dengan ajaran Islam. Tujuannya adalah untuk membentuk rumah tangga yang sakinah,
mawaddah dan rahmah.

Kelahiran anak sebagai peristiwa hukum yang terjadi karena hubungan suami-
istri, membawa konsekuensi berupa hak dan kewajiban secara timbal balik antara orang
tua dan anak. Anak mempunyai hak-hak tertentu, baik hak yang menjadi kebutuhan
material anak, seperti sandang, pangan dan papan, maupun hak immateril anak, seperti
hak beribadah, hak mendapatkan perhatian dan kasih sayang sekaligus hak berinteraksi
sosial. Salah satu hak anak yang sangat penting untuk dipenuhi orang tuanya adalah hak
nafkah (alimentasi). Pemenuhan hak anak adalah tujuan dari pernikahan, sebagai media
ampuh yang berperan secara aktif-ofensif untuk melindungi keturunan (hifz an- nasl).
Pemeliharaan anak (hadhanah) pada dasarnya adalah tanggung jawab kedua
orang tua yang melahirkannya. Anak merupakan amanah dan karunia Allah SWT yang
harus senantiasa dijaga dan dilindungi karena dalam diri anak melekat harkat, martabat
dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Orang tua, keluarga dan
masyarakat bertanggung jawab untuk memelihara dan menjaga hak asasi tersebut
sesuai dengan kewajiban yang dibebankan oleh hukum. Perlindungan dan pemeliharaan
anak ini menjadi penting karena anak merupakan asset yang sangat berharga bagi masa
depan bangsa. Oleh karena itu anak harus memperoleh jaminan pemeliharaan dari
orang yang berhak dengan pola pengasuhan yang terbaik semata-mata untuk
kepentingan anak.
A. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka yang menjadi pembahasan dalam penelitian
ini adalah:
1. Mengapa Hak hadlanah itu wajib diberikan dan berapa batasan usia dalam persoalan
hadlanah?
2. Apa saja faktor hak Hadlanah anak yang belum mumayyiz apakah jatuh kepada
ayahnya ?
3. Bagaimana Nilai Filosofis terhadap persoalan hadhonah (Hak Asuh Anak) baik secara
epistemology dan Aksiologi ?
B. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin penulis capai dari penelitian tersebut ialah sebagai berikut:
a) Untuk mengetahui dan memahami Mengapa Hak hadlanah itu wajib diberikan dan
berapa batasan usia dalam persoalan hadlanah?
b) Untuk mengetahui dan memahami Apa saja faktor hak Hadlanah anak yang belum
mumayyiz apakah jatuh kepada ayahnya atau pada ibu nya ?
c) Untuk mengetahui dan memahami Bagaimana Nilai Filosofis terhadap persoalan
hadhonah (Hak Asuh Anak) baik secara epistemology dan Aksiologi ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Hadhanah
Dalam bahasa Arab, Istilah pengasuhan anak disebut dengan al- hadhanah ( ‫) الحضانة‬
yang berasal dari kata ((‫ حضن‬-‫ يحض?????ن‬-‫ حض?????نا‬yang berarti mengasuh, merawat,
memeluk.1Adapun secara syara’ hadhanah artinya pemeliharaan anak bagi orang yang
berhak untuk memeliharanya. Atau, bisa juga diartikan memeliharanya. Atau, bisa juga
diartikan memelihara atau menjaga orang yang tidak mampu mengurus kebutuhannya
sendiri karena tidak mumayyiz seperti anak-anak, orang dewasa tetapi gila.
Pemeliharaan di sini mencangkup urusan makanan, pakaian, urusan tidur,
membersihkan, memandikan, mencuci pakaian, dan lainnya. Pengasuhan anak
mempunyai arti merawat dan mendidik anak kecil, pengasuhan adalah hak mendidik
dan merawat. Sehingga “hadhanah” dijadikan istilah yang maksudnya “pendidikan dan
pemeliharaan anak sejak dari lahir sampai sanggup berdiri sendiri mengurus dirinya”.
Dari segi terminology, hadhanah memiliki definisi yang variatif, seperti yang
diutarakan para ahli fiqih:
1. Menurut para ahli Fiqh Menurut Muhammad Jawad Mughniyah, bahwa hadhanah itu
sama sekali tidak ada hubungannya dengan perwalian terhadap anak, baik yang
menyangkut dengan perkawinan maupun sesuatu yang menyangkut hartanya.
Hadhanah tersebut adalah semata-mata tentang perkara anak dalam arti mendidik dan
mengasuhnya sehingga memerlukan seorang wanita pengasuh untuk merawatnya
hingga ia dewasa.
2. Menurut Wahbah Az-Zuhaili dalam buku Fiqih Islam Waadillatuhu, hadhanah artinya
hak bersama antara kedua orang tua serta anak-anak, sehingga apabila nantinya timbul
permasalahan dalam ḥaḍānah, maka yang diutamakan adalah hak anak.2 Dalam meniti
kehidupannya di dunia seorang anak memiliki hak mutlak yang tidak dapat diganggu
gugat. Orang tua tidak boleh begitu saja mengabaikan lantaran hak-hak anak tersebut
termasuk kedalam salah satu kewajiban orang tua terhadap anak ang telah digariskan

1 Ahmad Warson Munawir, Kamus Arab-Indonesia Al Munawwir, (Surabaya, Pustaka Progresif, 1997), 274
2 Wahbah Zuhaili, al-Fiqhu Al-Islami Wa Adillatuhu Juz VII, (Damaskus: Daar Al Fikr, 1984), 279
dalam Islam, yakni al-Hadhanah, memelihara anak sebagai amanah Allah yang harus
dilaksanakan dengan baik.
3. Menurut Sayyid Sabiq mendifinisikan Hadhanah sebegai adalah Suatu sikap
pemeliharaan anak yang masih kecil, baik laki-laki atau perempuan, atau yang sudah
besar tetapi belum tamyiz tanpa perintah dari padanya, menyediakan sesuatu yang
menjadikan kebaikannya, mendidik jasmani, rohani dan akalnya agar mampu berdiri
sendiri menghadapi hidup dan memikul tanggung jawabnya.3
Dari beberapa pengertian diatas maka penulis dapat menyimpulkan bahwa hadhanah
ialah hak asuh anak atau pemeliharan anak baik laki-laki maupun perempuan yang
masih kecil karena belum bisa mebedakan antara yang baik dan yang buruk (belum
mumayiz) dan menyediakan sesuatu yang menjadikan kebaikannya, serta menjaganya
dari sesuatu yang menyakiti dan merusaknya.
B. Sumber Dalil
1. Al-Qur’an
a) QS. al-Baqarah: 233.
‫َّضا َع ۚةَ َو َعلَى ۡٱل َم ۡولُو ِد لَ ۥهُ ِر ۡزقُه َُّن‬ َ ‫ض ۡعنَ َأ ۡو ٰلَ َده َُّن َح ۡولَ ۡي ِن َكا ِملَ ۡي ۖ ِن لِ َم ۡن َأ َرا َد َأن يُتِ َّم ٱلر‬
ِ ‫ت ي ُۡر‬ ُ ‫َو ۡٱل ٰ َولِ ٰ َد‬
ٞ ُ‫ضٓا َّر ٰ َولِ َد ۢةُ بِ َولَ ِدهَا َواَل َم ۡول‬
‫ود لَّ ۥهُ بِ َولَ ِدۦۚ ِه َو َعلَى‬ َ ُ‫ُوف اَل تُ َكلَّفُ ن َۡفسٌ ِإاَّل ُو ۡس َعهَۚ?ا اَل ت‬ ِ ۚ ‫َو ِك ۡس َوتُه َُّن بِ ۡٱل َم ۡعر‬
‫َاح َعلَ ۡي ِه َم ۗا َوِإ ۡن َأ َردتُّمۡ َأن‬َ ‫اض ِّم ۡنهُ َما َوتَ َشا ُو ٖ?ر فَاَل ُجن‬ ٖ ‫صااًل عَن ت ََر‬ َ ِ‫ث ِم ۡث ُل ٰ َذلِ ۗكَ فَِإ ۡن َأ َرادَا ف‬ ِ ‫ار‬
ِ ‫ٱل َو‬
ۡ

‫ٱعلَ ُم ٓو ْا َأ َّن ٱهَّلل َ بِ َما‬ ِ ?ۗ ‫ضع ُٓو ْا َأ ۡو ٰلَ َد ُكمۡ فَاَل ُجنَا َح َعلَ ۡي ُكمۡ ِإ َذا َسلَّمۡ تُم َّمٓا َءات َۡيتُم بِ ۡٱل َم ۡعر‬
ْ ُ‫ُوف َوٱتَّق‬
ۡ ‫وا ٱهَّلل َ َو‬ ِ ‫ت َۡست َۡر‬
ِ َ‫ت َۡع َملُونَ ب‬
?ٞ ‫ص‬
٢٣٣ ‫ير‬
Artinya: Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh,
yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi
makan dan Pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani
melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita
kesengsaraan Karena anaknya dan seorang ayah Karena anaknya, dan warispun
berkewajiban demikian. apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan
kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika
kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila
kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah
dan Ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan. (QS. al-Baqarah:
233).
2. Hadist
3 Sayyid Sabiq, Fiqh Al-Sunnah, 216-217.
Hadist Rasulullah juga menyampaikan terntang asuh anak dalam hadits berikut ini:
ِ ‫يد عن َأيِب عم ٍرو يعيِن اَأْلوز‬ِ ُّ ‫ود بْ ُن َخالِ ٍد‬
 ‫َع ْن‬ ٍ ‫اع َّي َح َّدثَيِن َع ْمرو بْن ُش َعْي‬
‫ب‬ ُ ُ َ ْ ْ َ ْ َ ْ َ ُ ‫السلَ ِم ُّي َح َّدثَنَا الْ َول‬ ُ ‫َح َّدثَنَا حَمْ ُم‬
ِ َ ‫َأن امرَأةً قَالَت يا رس‬ ِ َّ ِ ِ ِِ
ُ‫ول اللَّه ِإ َّن ابْيِن َه َذا َكا َن بَطْيِن لَهُ ِو َعاءً َوثَ ْديِي لَه‬ َُ َ ْ ٍ
َ ْ َّ ‫َأبيه َع ْن َجدِّه َعْبد الله بْ ِن َع ْمرو‬
‫صلَّى اللَّهُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم‬ ِ ُ ‫ِس َقاء و ِحج ِري لَه ِحواء وِإ َّن َأباه طَلَّ َقيِن وَأراد َأ ْن يْنتَ ِزعه ِميِّن َف َق َال هَل ا رس‬
َ ‫ول اللَّه‬ ََُ َُ َ َ َ َ َُ ًَ َ ُ ْ َ ً
)‫َأح ُّق بِِه َما مَلْ َتْن ِك ِحي (رواه ابو داود‬ ِ
َ ‫َأنْت‬
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Mahmuud bin Khaalid As-Sulamiy, Telah
menceritakan kepada kami Al-Waliid, dari Abu ‘Amru – yaitu Al-Auza’iy, Telah
menceritakan kepadaku ‘Amru bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya ‘Abdullah bin
‘Amru: Bahwasannya ada seorang wanita berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya
anakku ini, perutku adalah tempatnya, dan puting susuku adalah tempat minumnya, dan
pangkuanku adalah rumahnya; sedangkan ayahnya telah menceraikanku dan ingin
memisahkanya dariku”. Lalu Kemudian Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam
berkata kepadanya: “Engkau lebih berhak terhadapnya selama engkau belum menikah”
(HR. Abu Dawud). 
Mengetahui dan memahami Mengapa Hak hadlanah itu wajib diberikan.
Karena akan berakibat buruk pada diri mereka, bahkan bisa menjurus kepada
kehilangan nyawa mereka. Oleh sebab itu, mereka wajib dipelihara, dirawat, dan didik
dengan baik. Sehingga Hukum hadhanah wajib apabila anak yang masih kecil, belum
mumayiz, tidak dirawat dan dididik dengan baik,
Para fuqaha terkadang mengedepankan salah satu diantara orang-orang yang
berhak mengurus hadhanah anak berdasarkan kemaslahatan anak yang dipelihara.
Dalam hal ini mereka lebih mengedepankan kaum wanita untuk mengurus hadhanah
anak karena mereka lebih lembut, kasih sayang, dan sabar dalam mendidik. Kemudian
dari mereka dipilih salah satu yang paling dekat dengan anak yang akan dipelihara.
Setelah itu baru memilih orang yang berhak memelihara dari kalangan laki-laki.
Ketentuan hadhanah akibat terjadi perceraian orang tuanya di atur dalam
Kompilasi Hukum Islam dalam Pasal 105 yaitu:4
1. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah
hak ibunya.

4 Pasal 105, KHI


2. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih
diantara ayah atau ibunya
3. Sebagai pemegang hak pemeliharaannya.sedangkan biaya pemeliharaan di
tanggung oleh ayahnya.
Hadhanah bagi anak yang belum Mumayyiz dan sudah Mumayyiz Pasal 156 (a) 5:
“akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah anak yang belum Mumayyiz
berhak mendapatkan Hadhanah dari ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal dunia,
maka kedudukannya digantikan oleh:
a. wanita-wanita dalam garis lurus keatas dari ibu;
b. ayah
c. wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah
d. saudara perempuan dari anak yang bersangkutan
e. wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah.

Pasal 156 (b) : Anak yang sudah Mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan
Hadhanah dari ayah maupun ibu.

Apabila seorang suami menceraikan istri sedangkan ia memiliki seorang anak


darinya, maka sang istri lebih berhak untuk memelihara anak tersebut sampai ia baligh
dan selama ia tidak menikah dengan lakilaki lain. Menurut riwayat Imam Malik dalam
kitab Muwaththa’ dari Yahya bin Sa’id berkata Qasim bin Muhammad bahwa Umar
bin Khatab mempunyai seorang anak, namanya ‘Ashim bin Umar, kemudian ia
bercerai, pada suatu waktu Umar pergi ke Quba dan menemui anaknya itu sedang
bermain-main diatas kudanya. Dalam pada itu datanglah nenek si anak. Umar berkata:
“anakku” wanita itu berkata pula “anakku”.

Sehingga Peran seorang ibu dalam mendidik anak tidak bisa di sejajarkan dengan
bapak oleh karena itu, ibu memiliki naluri yang kuat terhadap anaknya dibandingkan
bapaknya. Untuk itu, ibu memiliki keutamaankeutamaan dibandingkan bapak.
Keutamaan-keutamaan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Ibu lebih sabar dibandingkan bapak dalam hal mendidik anak.


2. Ibu memiliki insting alami yang tidak dimiliki oleh bapak.
3. Ibu lebih tahu karakter moral anak dibandingkan bapak.

5 Pasal 156, KHI


Begitu besarnya peran ibu dalam mendidik anak sangat perlu diapresiasi.

Batas Umur Hadhanah


Sebagaimana telah kita ketahui bahwa yang dimaksud dengan hadhanah adalah
kegiatan mengasuh, memelihara dan mendidik anak hingga dewasa dan mampu berdiri
sendiri. Dari pengertian hadhanah tersebut telah dapat dipahami bahwa masa atau batas
umur hadhanah adalah bermula dari saat ia lahir, yaitu saat dimana diri seorang anak
mulai memerlukan perawatan, pemeliharaan, maupun pendidikan, kemudian berakhir
bila si anak tersebut telah dewasa dan dapat berdiri sendiri, serta mampu mengurus
sendiri kebutuhan jasmani maupun rohaninya.
Ketentuan yang jelas mengenai batas berakhirnya masa hadhanah tidak ada, hanya
saja ukuran yang dipakai adalah tamyiz dan kemampuan untuk berdiri sendiri. Jika
anak telah dapat membedakan mana sebaik nya yang perlu dilaksanakan dan mana
yang perlu ditinggalkan, tidak membutuhkan pelayanan dan dapat memenuhi
kebutuhan pokoknya sendiri, maka masa hadhanah sudah habis atau selesai.6
Menurut pandangan Madzhab terkait Batasan masa Hadhanah :7
1. Imam Syafi’i
Masa hadhanah itu tujuh tahun bagi anak laki-laki dan Sembilan tahun bagi
anak perempuan.
2. Imam Maliki
Masa hadhanah itu mulai anak lahir sampai baligh dan bagi anak perempuan
sampai ia kawin.
3. Imam Hambali
Masa hadhanah itu tujuh tahun bagi anak laki-laki dan anak perempuan, dan
sesudahnya anak itu di suruh memilih di antara kedua orang tuanya. Maka ia bersama
orang yang ia pilih dari mereka.

6 Fuaduddin TM, Pengasuh Anak Dalam Keluarga Islam, (Jakarta Selatan: Lembaga Kajian Jender, Cet. I,
1999), 38.
7 Sayyid Sabiq, Fikih Al Sunnah, 174.
Nilai Filosofis Hadhanah
1. Dari aspek aksiologi
Himatu tasyrikh

Maqashid Syariah
Bahwa maqashid tidak hanya berarti tujuan syariat atau tujuan Allah menurunkan
syariat, melainkan juga diartikan makna-makna yang terkandung dari ajaranNya yang
perlu dipahami. Menurut al-Syatibi, secara umum maqhasid syariah (tujuantujuan
syariat) itu terbagi kepada dua bagian, yaitu: maqashid (tujuan) yang kembali kepada
tujuan sang pembuat syariat yaitu, Allah swt, dan maqashid yang kembali kepada
maksud atau tujuan para mukallaf (manusia)8
1. Dharuriyat
Dharuriyat yaitu kebutuhan yang harus dipenuhi. Yang jika tidak dipenuhi
akan membuat kehidupan menjadi rusak. Menurut Syatibi, dalam hal dharuriyat ada
lima sendi yang harus dijaga, yaitu: agama, jiwa, keturunan, harta dan akal.
2. Hijayat
Hijayat adalah segala sesuatu yang sangat dihajatkan oleh manusia untuk
menghilangkan kesulitan dan menolak segala halangan. Artinya, ketiadaan aspek
hijayat ini tidak akan sampai mengencam eksistensi kehidupan manusia menjadi
rusak, melainkan hanya sekedar menimbulkan kesulitan dan kesukaran saja.
3. Tahsiniyah Tahsiniyah yaitu kebutuhan pelengkap yang jika tidak dipenuhi akan
membuat kehidupan menjadi kurang nyaman. Tahsiniyah adalah tindakkan atau
sifat-sifat yang pada prinsipnya berhubungan dengan al-Mukarim al-Akhlaq, serta
pemeliharaan tindakkan-tindakkan utama dalam bidang ibadah, adat, muamalat.
Artinya, seandainya aspek ini tidak terwujud, maka kehidupan manusia tidak akan
terancam kekacauan, seperti kalau tidak terwujud aspek dharuriyat dan juga tidak
akan membawa kesusahan seperti tidak terpenuhinya aspek hijayat.
8 Abu Ishaq al-Syathibi, al-Muwafaqat Fi Ushul al-Syari‟ah (Beirut: Daar al-Kutub al- „Ilmiyah, 2004), hlm.219.
Pelaksanaan maqashid syari'ah
Yang bersifat tahsiniyyah ini dimaksudkan agar manusia dapat melakukan sesuatu
yang terbaik untuk penyempurnaan terhadap pemeliharaan dari lima prinsip yang
harus dipelihara, yaitu agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Teori maqhasid
syari‟ah, berikut ini akan dijelaskan kelima pokok kemashlahatan dengan
peringkatnya masing-masing, sebagai berikut:
1. Perlindungan Terhadap Agama (Hifdz Ad-Din)
Islam menjaga hak dan kebebasan, dan kebebasan yang pertama adalah
kebebasan berkeyakinan dan beribadah. Setiap pemeluk berhak atas agama dan
mazhabnya, ia tidak boleh dipaksa untuk meninggalkannya menuju agama atau
mazhab lain, juga tidak boleh ditekan untuk berpindah keyakinannya untuk
masuk islam.
2. Perlindungan Terhadap Jiwa (Hifdz An-Nafs)
Memelihara (menjaga) jiwa diri manusia (nyawa). Islam
mensyari’atkan agarmewujudkan dan melestarikan ras manusia dengan jalan
pernikahan dan melanjutkan keturunan. Agar dapat menjaga dan menjamin
kehidupan manusia, islam mewajibkan secarapasti untuk makan, minum,
pakaian dan lain-lain.
3. Perlindungan Terhadap Akal (Hifdz Al-Aql)
Akal merupakan sumber hikmah (pengetahuan), sinar hidayah, cahaya,
mata hati, dan media kebahagian manusia di dunia dan akhirat. Dengan akal,
surat perintah dari Allah Swt. disampaikan, dengannya pula manusia berhak
menjadi pemimpin di muka bumi, dan dengannya manusia menjadi sempurna,
mulia, dan berbeda dengan makhluk lainnya.
4. Perlindungan Terhadap Keturunan (Hifdz al-Nasl).
Untuk menjaga keberadaan manusia dan menyembah Allah untuk batas
yang dikehendak oleh Allah di dunia, Allah swt. menjadikan berketurunan
sebagai jalannya. Untuk memelihara keturunan, Islam mensyariatkan
pernikahan yang sesuai syariat,dan semua hukum-hukum yang berkaitan
dengan keluarga (ahwal al-syakhsiyah) bertujuan untuk memelihara dan
menjaga keturunan.
5. Perlindungan Terhadap Harta Benda (Hifdz Al-Mal)
Harta merupakan salah satu kebutuhan inti dalam kehidupan, dimana
manusia tidak akan bisa terpisah darinya. Manusia termotivasi untuk mencari
harta demi menjaga eksistensinya dan demi menambahkan kenikmatan materi
dan religi, dia tidak boleh berdiri sebagai pengahalang antara dirinya dengan
harta.
Sehingga Setelah dipahami, tujuan dari adanya syariah ini, pemberian
hak asuh seorang anak yang belum mumayyiz kepada ibunya sesuai dengan
kuliatul khamsah, terutama Perlindungan Terhadap Jiwa (Hifdz An-Nafs)
Karena seseorang yang dikategorikan sebagai anak hendaknya berada dibawah
kepengasuhan orang tua. Khusunya anak perempuan ada baikya pemeliharaan
dan hak asuh nya itu ada pada ibu ketika dia belum dianggap mumayyiz. Ini
sejalan dengan apa yang telah islam tetapkan mengenai hak pemeliharaan anak
sebelum mumayyiz ada pada ibu. Di lihat dari manfaatnya hukum islam yang
sudah di tetapkan di dalam KHI ini sudah sangat relevan dengan zaman
sekarang ini.

You might also like