You are on page 1of 8

MAKALAH FILSAFAT SEJARAH

Filsafat Sejarah Islam

Dosen Pengampuh : Bapak Rifal S.Pd.,M.Hum

Oleh

Aninda Thesa Pamangin

210602500016

Prodi Pendidikan Sejarah

Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum

Universitas Negeri Makassar

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Penamaan filsafat Islam, malahirkan argumentasi yang berbeda-beda seperti ada yang mengatakan
nama yang tepat adalah filsafat Muslim, karena yang terjadi adalah filsafat Yunani yang kemudian
dipelajari dan dikembangkan oleh para filosof Muslim. Ada lagi yang mengatakan bahwa nama yang
lebih tepat adalah filsafat Arab, dengan alasan bahwa bahasa yang digunakan dalam karya-karya filosofis
mereka adalah bahasa Arab, sekalipun para penulisnya banyak berasal dari Persia, dan nama-nama
lainnya seperti filsafat dalam dunia Islam. Penamaan filsafat Islam, malahirkan argumentasi yang
berbeda-beda seperti ada yang mengatakan nama yang tepat adalah filsafat Muslim, karena yang terjadi
adalah filsafat Yunani yang kemudian dipelajari dan dikembangkan oleh para filosof Muslim. Ada lagi
yang mengatakan bahwa nama yang lebih tepat adalah filsafat Arab, dengan alasan bahwa bahasa yang
digunakan dalam karya-karya filosofis mereka adalah bahasa Arab.

Pada awal perkembangan pemikiran di dunia Islam, teologi telah mendominasi hampir di seluruh
bangunan pemikiran Islam. Akan tetapi, pada perkembangan berikutnya, tampillah corak pemikiran
filsafat yang berupaya memberikan pencerahan pada pola perkembangan pemikiran Islam. Hubungan
filsafat dan agama, sejak masa kemunculan dan perkembangan filsafat di dunia Islam telah menjadi
topik sentral paradoksal atau isu yang utama yang telah menghasut para teolog untuk menyerang para
filosof dan telah menciptakan bayangan hitam di atas seluruh upaya pemfilsafatan di negara-negara
Muslim.

Terkait dengan hal diatas maka perlu di ungkapkan pengertian dari filsafat islam, kemudian sejarah
kemunculan filsafat islam.

B. RUMUSAN MASALAH

1. Apa pengertian filsafat islam?

Bagaimana sejarah munculnya filsafat islam?

C. TUJUAN

D. Mengetahui pengertian filsafat islam.

Mengetahui sejarah munculnya filsafat islam.

BAB II

PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN FILSAFAT ISLAM

Para penulis sejarah filsafat berasumsi bahwa orang yang pertama memakai kata filsafat adalah
Pytahagoras (497 SM), sebagai reaksi terhadap orang-orang cendekiawan pada masanya yang
menamakan dirinya “ahli pengetahuan”.”[1]

Filsafat islam merupakan gabungan dari dua kata , yaitu filsafat dan islam. Secara etimologi, filsafat
filsafat berasal dari bahasa yunani yaitu kata philein dan philos dan shopia. Kata philein atau philos
berarti cinta (love), tapi dalam makna yang luas yakni berupa hasrat ingin tau sseseorang terhadap
kebijaksanaan, ilmu pengetahuan atau kebenaran. Sedangkan kata shopia berarti kebijaksanaan
(wisdom). Sehinga secara sederhana filasaat adalah mencintai kebijaksanaan (the love of wisdom).[2]

Orang yang cinta kepada pengetahuan disebut “philosophos” atau “failosuf” dalam ucapan Arab-nya.
Pecinta pengetahuan adalah orang yang menjadikan pengetahuan sebagai usaha dan tujuan hidupnya,
atau dengan perkataan lain, orang yang mengabdikan dirinya kepada pengetahuan. [3]

Kemudian, orang Arab memindahkan kata yunani philosphia ke dalam bahasa Arab menjadi falsafa. Hal
ini sesuai dengan tabian susunan kata-kata Arab dengan pola fa ‘alala dan fi’lal. Karena itu, kata benda
dari kata kerja falsafa seharusnya falsafah dan filsfat.[4]

Secara terminologi, filsafat merupakan kontemplasi atau mempelajari pertayaan penting – penting
mengenai eksistensi kehidupan yang berakhir dengan pencerahan dan pemahaman (illumination and
understanding) sebuah fisi yang mengenai keseluruhan.

Dengan begitu, kata filsafat mengisaratkan dua kutub yaitu kutub aktivitas ( ditunjuk kata kerja philein )
yang mengungkapkan aspirasi keterarahan kepada sasaran yang belum dimiliki secara utuh dan kutub
yang objek yang ada padanya pikiran manusia mengarahkan diri, yaitu kebijaksanaan, atau kenenaran
( yang ditunjuk kata benda shopia ).

Sementara itu, kata Islam secara semantik berasal dari akar kata salima yang berarti menyerah, tunduk,
dan selamat. Islam artinya menyerahan diri kepada Allah swt, dengan menyerahkan diri kepadanya
maka akan memperoleh keselamatan dan kedamaian. Dalam pengertian menyerah, maka semua
makhluk ciptaan Allah swt, gunung, udara, air, cahaya, dan bahkan setan pada hakikatnya adalah Islam.
Dalam artian tunduk dan menyerahkan kepada penciptanya, pada hukum-hukum yang sudah di
tetapkan dan berlaku pada dirinya, sebagai sunnatullah (termasuk hukum alam).

Jadi filsafat Islam, islamic philoshopy, pada hakikatnya adalah filsafat yang bercorak Islam. Islam
menempati sebagi sifat, corak, dan karakter dari filsafat. Filsafat Islam bukan tentang islam bukan the
philoshophy of Islam. Filsafat Islam artinya berpikir dengan bebas dan radikal namun tetap berada pada
taraf makna, yang mempunyai sifat, corak, serta karakter yang menyelamatkan dan memberi kedamaian
hati..[5]
Filsafat Islam dapat diketahuui melalui lima cirinya sebagai berikut. Pertama, dilihat dari segi sifat dan
coraknya, filsafat Islam berdasar pada ajaran Islam yang bersumberkan Al-quran dan Hadis. Dengan sifat
dan coraknya yang demikian itu, filsafat Islam bededa dengan filsafat Yunani atau Filsafat Barat pada
umummra yang semata-mata mengandalkan akal pikiran (rasio). Kedua, dilihat dari segi ruang lingkup
pembahasannya, filsafat Islam mencakup pembahasan bidang fisika atau alam raya yang selanjutnya
disebut bidang kosmologi; masalah ketuhanan dan hal-hal lain yang bersifat non materi, yang
selanjumya disebut bidang metafisika; masalah kehidupan di dunia, kehidupan di akhirat; masalah ilmu
pengetahuan, kebudayaan dan lain sebagainya; kecuali masalah zat Tuhan. Ketiga, dilihat dari segi
datangnya, filsafat Islam sejalan dengan perkembangan ajaran Islam itu sendiri, tepatnya ketika bagian
dari ajaran Islam memerlukan penjelasan secara rasional dan filosofis; Keempat, dilihat dari segi yang
mengembangkannya, filsafat Islam dalam arti materi pemikiran filsafatnya, bukan kajian sejarahnya,
disajikan oleh orang-orang yang beragama Islam, seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibn Sina, Al-Ghazali, Ibn
Rusyd, Ibn Tufail, lbn Bajjah. Kelima, dilihat dari segi kedudukannya, filsafat Islam sejajar dengan bidang
studi keislaman lainnya seperti fiqih, ilmu kalam, tasawuf, sejarah kebudayaan Islam dan pendidikan
Islam.

B. SEJARAH MUNCULNYA FILSAFAT ISLAM

Awal mula ilmu-ilmu datang dari luar teristimewa ilmu pengetahuan dari Yunani, baru terjadi pada
masa-masa Abbasyah, sedangkan ilmu yang dinamakan filsafat baru muncul pada masa tenggang waktu
setelah abad sesudah itu, kemungkinan sekali masa itu adalah sejak harun ar-Rasyid menjadi Khalifah.[6]

Berbagai teori telah dikemukakan mengenai asal mula filsafat Islam oleh orang orang-orang yang tahu
maupun sebaliknya, atau bahkan menganggap tidak perlu mempelajari sumber aslinya. Satu diantara
teori-teori tersebut menyatakan bahwa filsafat Islam lahir berkat masuknya pemikiran Yunani kedalam
pemikiran Arab. Dikatakan hanya melalui melalui penerjemahan buku-buku ilmu pengetahuan yang
berbahasa Yunani kedalam bahasa Arablah kaum muslimin dirangsang dan dipaksa untuk berpikir, oleh
karena banyak ajaran dan kepercayaan yang sampai kepada bangsa Arab melalui karya-karya itu yang
bertentangan dengan dasar-dasar agama Islam. Tidak dapat disangkal bahwa ajaran yang dianut oleh
Plato dan muridnya Aristoteles bertentangan dengan al-Qur’an dan tidak dapat diterima oleh umat
Islam.[7]

Terdapat beberapa pandangan berbeda mengenai matriks filsafat Islam. Pandangan pertama
menyatakan bahwa filsafat Islam adalah kelanjutan dari filsafat Yunani kuno: “It is Greek philosophy in
Arabic garb”, kata Renan, De Boer, Gutas, dan lain-lain. Artinya, menurut mereka tidak ada yang baru,
istimewa atau hebat sama sekali dari filsafat Islam karena seluruhnya berasal dari Yunani mulai sistem
ontologi, epistemologi, psikologi, hingga kosmologinya.

Pandangan kedua mengatakan filsafat Islam memang lahir dari dalam, hasil ijtihad intelektual Muslim
sendiri. Akan tetapi pemicunya datang dari luar, sehingga filsafat Islam itu dikatakan muncul sebagai
reaksi terhadap doktrin-doktrin agama lain yang telah berkembang pada waktu itu. Pandangan ini
disuarakan oleh Maimonides, seorang padri Yahudi asal Andalusia: “Ketahuilah olehmu bahwa semua
yang dilontarkan oleh orang Islam –pemikir Mutazilah maupun Asyariyah mengenai masalah-masalah
[teologi] ini adalah pandangan-pandangan yang didasari pada sejumlah proposisi, yaitu proposisi-
proposisi yang sumbernya buku-buku orang Yunani dan Syria yang berusaha menyanggah pendapat-
pendapat para filsuf dan berusaha mematahkan pernyataan-pernyataan mereka.”

Ketiga adalah pandangan revisionis yang melihat filsafat Islam sebagai hasil kegiatan intelektual yang
wujud sejak kurun pertama Islam. Perbincangan tentang kemahakuasaan dan keadilan Tuhan serta
kaitannya dengan kebebasan dan tanggung jawab manusia merupakan cikal bakal tumbuhnya filsafat
Islam yang ketika itu masih disebut kalâm. Pandangan revisionis ini diwakili antara lain oleh M.M. Sharif
dan Alparslan Acikgenc. Menurut mereka, filsafat Islam tidak bermula dengan al-Kindi dan berhenti
dengan kematian Ibnu Rusyd. Sebagai produk dialektika unsur-unsur internal umat Islam itu sendiri,
bangunan filsafat Islam dapat ditemukan fondasinya dalam kitab suci al-Qur’an yang menduduki posisi
sentral dalam kehidupan spiritual-intelektual kaum Muslim.[8]

Merupakan suatu kesalahan besar jika menganggap bahwa filsafat Islam bermula dari proses
penerjemahan teks-teks Yunani tersebut.[9]

Dari sumber yang berbeda dijelaskan Munculnya filsafat Islam jika ditilik dari sejarahnya, maka akan
ditemukan dua faktor pendorong, baik yang dari Islam sendiri (internal) maupun yang dari luar
(eksternal).

faktor internal yang mendorong munculnya filsafat Islam tak lain dan tak bukan adalah al-Qur’an, yang
di dalamnya terdapat ayat yang menyuruh manusia untuk berpikir.[10]

Dalam upaya untuk memahami ajaran al-Qur’an tersebut, minimal ada tiga model kajian resmi yang
nyatanya mempunyai relevansi filosofis. Antara lain, (1) penggunaan takwîl. Makna takwil diperlukan
untuk mengungkap atau menjelaskan masalah-masalah yang sedang dibahas. Meski model ini diawasi
secara ketat dan terbatas, tapi pelaksanaannya. (2) Pembedaan antara istilah-istilah atau pengertian
yang mengandung lebih dari satu makna (musytarak) dengan istilah-istilah yang hanya mengandung satu
arti. Di sini justru lebih mendekati model pemecahan filosofis dibanding yang pertama. (3) Penggunaan
qiyâs (analogi) atas persoalan-persoalan yang tidak ada penyelesaian-nya secara langsung dalam teks.
[11]

Adapun faktor eksternal yang mendorong munculnya filsafat Islam adalah adanya penerjemahan buku-
buku bahasa Yunani ke bahasa Arab.[12]

Yang berawal dari persentuhan dunia Islam dengan peadaban-peradaban dari luar. Persentuhan dengan
peradaban luar tersebut dimulai sejak Alexander Agung mengalahkan Darius pada tahun 331 sebelum
Kristus di Arbela, sebelah timur Tigris. Alexander Agung memiliki kebijakan politik untuk menyatukan
peradaban Yunani dan Persia. Ini dibuktikan dengan pakaian yang dipakainya model Persia dan
pengiring-pengiringnya dari orang-orang Persia. Ia juga kawin dengan puteri Darius, Statira, dan
menganjurkan para jenderal dan prajuritnya kawin dengan orang-orang Persia. Sebagai hasilnya, 24
orang jenderal dan 10.000 prajurit kawin dengan wanita-wanita Persia di Susa. Ia juga menata
pemukiman sedemikian rupa, di mana orang Yunani dan Persia bisa berinteraksi.16 Setelah Alexander
meninggal, kerajaannya terpecah menjadi tiga, yaitu Kerajaaan Macedonia di Eropa, Kerjaaan Ptolemeus
di Mesir dengan Alexandria (Iskandariah) sebagai ibukotanya, dan Kerajaaan Seleucid (Seleucus) di Asia
dengan kota-kota penting di Antioch (Antakia) di Siria (Suriah), Seleucia (Selopsia) di Mesopotamia, dan
Bactra (sekarang: Balkh) di Persia di sebelah timur. Dua kerajaan terakhir ini (Ptolemeus dan Seleucus)
meneruskan kebijakan politik Alexander untuk menyatukan peradaban Yunani dan Persia. Upaya ini
tidak berhasil. Namun, kebijakan politik tersebut sempat berpengaruh terhadap beberapa di daerah. Di
Mesir dan Syria, bahasa Yunani masih digunakan sesudahnya masuknya Islam. Penggunaan bahasa
Yunani diganti dengan bahasa Arab pada abad ke-7 M pada masa ‘Abd al-Mâlik bin Marwân (685-705
M), khalifah Dinasti Umayyah ke-5. Kota Alexandria (Iskandariah), Antioch (Antakia), dan Bactra (Balkh)
kemudian menjadi pusat perkembangan ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani. Pada abad ke-3 M, kota-
kota ini memainkan peranan penting perkembangan filsafat Yunani bersama dengan kota Jundishapur
yang letaknya tidak jauh dari Baghdad, Irak. Di kota Jundishapur ini ketika Islam berkuasa masih
ditemukan suatu akademi dan rumah sakit.17 Ketika Dinasti ‘Abbasiyyah dipimpin oleh Hârûn al-Rasyîd,
kontak dunia Islam dengan filsafat tetap berlangsung. Ia belajar di Persia di bawah asuhan Yahyâ bin
Khâlid ibn Barmak. Keluarga Barmak adalah keluarga yang gemar dengan filsafat. Pada masa
pemerintahannya, penerjemahan buku-buku ilmu pengetahuan Yunani mulai dilakukan. Yang berawal
dari persentuhan dunia Islam dengan peadaban-peradaban dari luar. Persentuhan dengan peradaban
luar tersebut dimulai sejak Alexander Agung mengalahkan Darius pada tahun 331 sebelum Kristus di
Arbela, sebelah timur Tigris. Alexander Agung memiliki kebijakan politik untuk menyatukan peradaban
Yunani dan Persia. Ini dibuktikan dengan pakaian yang dipakainya model Persia dan pengiring-
pengiringnya dari orang-orang Persia. Ia juga kawin dengan puteri Darius, Statira, dan menganjurkan
para jenderal dan prajuritnya kawin dengan orang-orang Persia. Sebagai hasilnya, 24 orang jenderal dan
10.000 prajurit kawin dengan wanita-wanita Persia di Susa. Ia juga menata pemukiman sedemikian rupa,
di mana orang Yunani dan Persia bisa berinteraksi.16 Setelah Alexander meninggal, kerajaannya
terpecah menjadi tiga, yaitu Kerajaaan Macedonia di Eropa, Kerjaaan Ptolemeus di Mesir dengan
Alexandria (Iskandariah) sebagai ibukotanya, dan Kerajaaan Seleucid (Seleucus) di Asia dengan kota-kota
penting di Antioch (Antakia) di Siria (Suriah), Seleucia (Selopsia) di Mesopotamia, dan Bactra (sekarang:
Balkh) di Persia di sebelah timur. Dua kerajaan terakhir ini (Ptolemeus dan Seleucus) meneruskan
kebijakan politik Alexander untuk menyatukan peradaban Yunani dan Persia. Upaya ini tidak berhasil.
Namun, kebijakan politik tersebut sempat berpengaruh terhadap beberapa di daerah. Di Mesir dan
Syria, bahasa Yunani masih digunakan sesudahnya masuknya Islam. Penggunaan bahasa Yunani diganti
dengan bahasa Arab pada abad ke-7 M pada masa ‘Abd al-Mâlik bin Marwân (685-705 M), khalifah
Dinasti Umayyah ke-5. Kota Alexandria (Iskandariah), Antioch (Antakia), dan Bactra (Balkh) kemudian
menjadi pusat perkembangan ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani. Pada abad ke-3 M, kota-kota ini
memainkan peranan penting perkembangan filsafat Yunani bersama dengan kota Jundishapur yang
letaknya tidak jauh dari Baghdad, Irak. Di kota Jundishapur ini ketika Islam berkuasa masih ditemukan
suatu akademi dan rumah sakit.17 Ketika Dinasti ‘Abbasiyyah dipimpin oleh Hârûn al-Rasyîd, kontak
dunia Islam dengan filsafat tetap berlangsung. Ia belajar di Persia di bawah asuhan Yahyâ bin Khâlid ibn
Barmak. Keluarga Barmak adalah keluarga yang gemar dengan filsafat. Pada masa pemerintahannya,
penerjemahan buku-buku ilmu pengetahuan Yunani mulai dilakukan. Orang-orang dikirim ke Kerajaan
Romawi untuk membeli manuskrip.[13]
Proses penerjemahannya awal dimulai pada masa kekhalifahan Bani Ummayah (661-750 M), khususnya
masa kekhalifahan Abd al-Malik (685-705 M). Namun, pada masa ini buku-buku yang diterjemahkan
lebih berkaitan dengan persoalan administrasi, laporan-laporan, dan dokumentasi dokumentasi
pemerintahan, demi untuk mengimbangi dan melepaskan diri dari pengaruh model administrasi
Bizantium-Persia. Setelah itu, kemudian buku-buku yang berkaitan dengan ilmu- ilmu pragmatis seperti
kedokteran, kimia, dan antropologi.

Proses penerjemahan atas pemikiran filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab kemudian baru benar-benar
dilakukan secara serius setelah masa pemerintahan Bani Abbas, khususnya pada masa kekuasaan
khalifah al-Makmun (811-833 M). Di antara mereka yang dikenal berjasa dalam usaha-usaha
penerjemahan ini, antara lain, adalah oleh orang-orang seperti Ja’far ibn Yahya al-Barmaki (767-803 M),
Yuhana ibn Masawaih (777-857 M), dan Hunain ibn Ishaq (809-873 M).[14]

Masuknya filsafat ke dunia Islam berkaitan dengan keinginan umat Islam untuk membekali argumen-
argumen keagamaan mereka dengan basis rasional. Kaum Muslim ketika itu menghadapi kalangan non-
Muslim di daerah-daerah kekuasaan baru yang menyerang Islam dengan argumenargumen rasional
filosofis. Untuk kepentingan itu, mereka mempelajari filsafat dan ilmu pengetahuan Yunani. Kedudukan
akal yang tinggi dalam pemikiran Yunani dinilai oleh mereka memiliki titik-temu dengan penghargaan
yang juga tinggi oleh Islam terhadap akal.[15]

Program penerjemahan atas buku-buku filsafat Yunani tersebut dilakukan secara masal dan gencar
karena memang adanya kebutuhan akan hal itu

Ada beberapa hal yang harus diperhatian. Pertama, bahwa belajar atau berguru tidak berarti hanya
meniru atau mengikuti semata. Harus dipahami bahwa suatu ide dapat dibahas oleh banyak orang dan
akan tampil dalam berbagai macam fenomena. Seseorang berhak mengambil sebagian gagasan orang
lain tetapi itu semua tidak menghalanginya untuk menampilkan teori atau filsafatnya sendiri. Aristoteles
misalnya, jelas murid Plato tetapi ia mempunyai pandangan sendiri yang tidak dikatakan gurunya. Hal
seperti itulah yang juga terjadi pada para filsuf Muslim. Al-Farabi dan Ibnu Rusyd misalnya, walau
banyak dilhami oleh pemikiran filsafat Yunani, tetapi itu tidak menghalanginya untuk mempunyai
pandangannya sendiri yang tidak sama dengan filsafat Yunani.

Kedua, bahwa ide, gagasan, atau pemikiran adalah ekspresi dan hasil dari proses komunikasi sang tokoh
dengan kondisi sosial lingkungannya.[16] Artinya, sebuah ide, gagasan, atau pengetahuan tidak bisa
lepas dari akar sosial, tradisi, dan keberadaan seseorang yang melahirkan ide atau pemikiran tersebut.
Pemikiran filsafat Yunani dan Islam lahir dari keyakinan, budaya dan kondisi sosial yang berbeda.

Ketiga, kenyataan sejarah menunjukkan bahwa pemikiran rasional telah lebih dahulu ada dan mapan
dalam tradisi keilmuan muslim sebelum kedatangan filsafat Yunani. Meski karya-karya Yunani mulai
diterjemahkan sejak masa kekuasaan Bani Umaiyah (661-750 M), tapi baru diterjemahkan secara massal
pada masa dinasti Abbasiyah (750-1258 M), khususnya pada masa khalifah al-Makmun (811-833 M).
Pada masa-masa ini, sistem berpikir rasional telah berkembang pesat dalam masyarakat intelektual
Arab-Islam, yakni dalam fiqh (yurisprudensi) dan kalâm (teologi)Seperti bidang fiqh Penggunaan nalar
rasional dalam penggalian hukum (istinbât}) dengan istilah-istilah seperti istihsân, istihlâh, qiyâs, dan
lainnya telah lazim digunakan. Tokoh-tokoh mazhab fikih yang melahirkan metode istinbât dengan
menggunakan rasio seperti itu, seperti Abu Hanifah (699-767 M), Malik (716-796 M), Syafi’i (767 -820 M)
dan Ibnu Hanbal (780-855 M), hidup sebelum kedatangan filsafat Yunani.[17]

BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

1. Secara etimologi, filsafat filsafat berasal dari bahasa yunani yaitu kata philein dan philos dan
shopia. Kata philein atau philos berarti cinta (love), Sedangkan kata shopia berarti kebijaksanaan
(wisdom). Sehinga secara sederhana filasaat adalah mencintai kebijaksanaan (the love of wisdom).

Secara terminologi, filsafat merupakan kontemplasi atau mempelajari pertayaan penting – penting
mengenai eksistensi kehidupan yang berakhir dengan pencerahan dan pemahaman (illumination and
understanding) sebuah fisi yang mengenai keseluruhan.

Filsafat islam artinya berpikir dengan bebas dan radikal namun tetap berada pada taraf makna, yang
mempunyai sifat, corak, serta karakter yang menyelamatkan dan memberi kedamaian hati.

2. Meski diakui bahwa filsafat Yunani memberikan pengaruh besar pada perkembangan filsafat Islam,
tetapi filsafat Islam tidak didasarkan atas filsafat Yunani, sebab; (1) berguru tidak berarti menunjukkan
pengulangan, (2) setiap pemikiran tidak lepas dari konteks budaya masing-masing, dan (3) kenyataan
yang ada menunjukkan bahwa pemikiran rasional Islam telah lebih dahulu mapan sebelum datangnya
filsafat Yunani.

faktor internal yang mendorong munculnya filsafat Islam tak lain dan tak bukan adalah al-Qur’an, yang
di dalamnya terdapat ayat yang menyuruh manusia untuk berpikir. Adapun faktor eksternal yang
mendorong munculnya filsafat Islam adalah adanya penerjemahan buku-buku bahasa Yunani ke bahasa
Arab

Dari sumber yang berbeda dijelaskan Munculnya filsafat Islam jika ditilik dari sejarahnya, maka akan
ditemukan dua faktor pendorong,yaitu faktor internal tak lain dan tak bukan adalah al-Qur’an, Adapun
faktor eksternal yang mendorong munculnya filsafat Islam adalah adanya penerjemahan buku-buku
bahasa Yunani ke bahasa Arab.

You might also like