You are on page 1of 28

BAB I

UNDANG UNDANG
DASAR 1945
A. SEJARAH UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIATAHUN
1945
Sebagai negara yang berdasarkan atas hukum, tentu saja Indonesia memiliki suatu
konstitusi yang dikenal di Indonesia dikenal dengan Undang-Undang Dasar 1945. Eksistensi
Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi di Indonesia mengalami sejarah yang sangat
panjang hingga akhirnya diterima oleh seluruh rakyat sebagai landasan hukum bagi pelaksanaan
kenegaraan Indonesia.

Undang-Undang Dasar 1945 dirancang sejak 29 Mei 1945 sampai 16 juni 1945 oleh
Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdkaan Inddonesia (BPUPKI) atau dalam
bahasa jepang dikenal dengan Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai yang beranggotakan 21 orang.
Diketahui Ir. Soekarno, Drs. Moh, Hatta sebagai wakil ketua dengan 19 orang anggota yang
terdiri dari 11 orang wakil dari jawa, 3 orang dari Sumatera dan masingmasing 1 wakil dari
Kalimantan, Maluku, dan sunda kecil.

Badan ini kemudian menetapkan tim khusus yang bertugas menyusun konstitusi bagi
Indonesia Merdeka yang kemudian dikenal dengan nama Undang-Undang Dasar 1945 (UUD
1945). Para tokoh perumus itu adalah antara lain Dr. Radjiman

Widiodiningrat, Ki Bagus Hadikoesoemo, Oto Iskandardinata, Pangeran Purboyo, Pangeran


Soerjohamidjojo, Soetarjo Kartohamidjojo, Prof. Dr. Mr. Soepomo, Abdul Kadir, Drs Yap
Tjwan Bing, Dr. Mohammad Amir (Sumatra), Mr. Abdul Abdul Abbas (Sumatra), Dr.
Ratulangi, Andi Pangerang, Mr. Latuharhari, Mr. Pudja, AH. Hamidan, R.P. Soeroso, Abdul
Wachid Hasyim dan Mr. Muhammad Hasan.

(ABDUL GHOFAR,2009;2)

Latar belakang terbentuknya konstitusi (UUD 1945) bermula dari janji jepang untuk
memberikan kemerdekaan bagi bangsa Indonesia dikemudian hari. Setelah kemerdekaan diraih,
kebutuhan akan sebuah konstitusi resmi nampaknya tidak bisa ditawar-tawar lagi, dan segera
harus dirumuskan. Sehingga lengkaplah Indonesia menjadi sebuah Negara yang berdaulat. Pada
tanggal 18 Agustus 1945 atau sehari setelah ikrar kemerdekaan, Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengadakan sidangnya Yang pertama kali dan menghasilkan
beberapa keputusan sebagai berikut:

1. Menetapkan dan mengesahkan pembukaan UUD 1945 yang bahannnya diambil dari
rancangan undang-undang yang disusun oleh panitia perumus pada tanggal 22 juni 1945
2. Menetapkan dan mengesahkan UUD 1945 yang bahannya hamper seluruhnya diambil dari
RUU yang disusun oleh panitia perancang UUD tanggal 16 juni 1945
3. Memilih ketua persiapan kemerdekaan Indonesia Ir.Soekarno sebagai presiden dan wakil
ketua Drs.Muhammad Hatta sebagai wakil presiden. Pekerjaan presiden untuk sementara
waktu dibantu oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang menjadi komite
nasional.1
Pada tanggal 22 juni 1945, disahkan Piagam Jakarta yang menjadi naskah Pembukaan
UUD 1945 setelah dihilangkannya anak kalimat dengan kewajiban menjalankan syariat
Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Naskah rancangan UUD 1945 Indonesia disusun pada
masa siding kedua Badan Penyelidik Usaaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI).
Masa siding kedua tanggal 10-17 juli 1945, sedangkan tanggal 18 Agustus PPKI
mengesahkan UUD 1945 sebagai Undang-Undang Dasar Republik Indonesia.

(ABDUL GHOFAR,2009;2)

Desy: “Saya setuju dengan teks ini karena, sebagai negara yang berdasar atas hukum (rechtsstaat,
etat de droit), tentu saja eksistensi UUD 1945 sebagai konstitusi di Indonesia mengalami sejarah
yang panjang hingga akhirnya dapat diterima (acceptable) sebagai landasan hukum (juridische
gelding) bagi implementasi ketatanegaraan di Indonesia”.

Nazwa: “menurut saya bisa di simpulkan dari sejarah Undang Undang Dasar 1945 merupakan
konstitusi dan sumber hukum tertinggi yang ada di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Seluruh
peraturan perundang-undangan yang berlaku bersumber dari UUD 1945 ini”.

B. PENGERTIAN UNDANG UNDANG DASAR 1945


Sebagai negara yang berdasarkan atas hukum, tentu saja Indonesia memiliki suatu konstitusi
yang dikenal di Indonesia dikenal dengan Undang-Undang Dasar 1945. Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau disingkat dengan
UUD 1945 adalah Hukum dasar tertulis, dan juga konstitusi pemerintahan Negara Republik
Indonesia saat ini. Undang-Undang Dasar 1945 adalah hukum dasar lembaga Negara yang
mengikat pemerintah, lembaga-lembaga Negara, lembaga masyarakat, dan juga mengikat setiap
penduduk yang berada diwilayah Negara Republik Indonesia.

(ABDUL GHOFAR,2009;3)

Desy: “Saya setuju dengan pernyataan tersebut, pentingnya UUD 1945 adalah sumber hukum
dasar tertulis yang mengikat dan mengatur pemerintah, lembaga negara, dan juga mengikat seluruh
warga negara Indonesia. Undang-Undang dasar merupakan keseluruhan naskah hukum yang berisi
pembukaan dan pasal-pasal”.

Nazwa: “menurut saya pengertian undang undang dasar ini juga bisa di katakan sumber hukum
dasar tertulis yang mengikat dan mengatur pemerintah, lembaga negara, dan juga mengikat seluruh
warga negara Indonesia. Undang-Undang dasar merupakan keseluruhan naskah hukum yang berisi
pembukaan dan pasal-pasal”.

C. FUNGSI UNDANG UNDANG DASAR 1945


Telah dijelaskan bahwa UUD 1945 adalah hukum dasar tertulis yang mengikat pemerintah,
lembaga-lembaga Negara, lembaga masyarakat, dan juga mengikat setiap warga Negara

1
Indonesia dimanapun mereka berada dan juga mengikat setiap penduduk yang berada diwilayah
Negara Republik Indonesia.
Sebagai hukum dasar, UUD 1945 berisi norma-norma dan aturan-aturan yang harus ditaati dan
dilaksanakan oleh semua komponen tersebut diatas. UUD 1945 bukanlah hukum biasa,
melainkan hukum dasar, yaitu hukum dasar tertulis. Sebagai hukum dasar, UUD 1945
merupakan sumber hukum tertulis. Dengan demikian, setiap hukum seperti Undang-Undang,
peraturan pemerintah, peraturan presiden, ataupun bahkan setiap tindakan atau kebijakan
pemerintah haruslah berlandaskan dan bersumber pada peraturan yang lebih tinggi, yang pada
akhirnya bersumber pada aturan perundangundangan tersebut harus dapat
dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan UUD 1945, dan Pedomannya adalah Pancasila
sebagai sumber dari segala sumber hukum Negara.
Dalam kedudukan yang demikian itu, UUD 1945 dalam kerangka tata urutan perundangan atau
hirarki peraturan perundangan di Indonesia menempati kedudukan yang tertinggi. Dalam
hubungan ini, UUD 1945 juga mempunyai fungsi sebagai alat control, dalam pengertian UUD
1945 mengontrol apakah norma hukum yang lebih rendah sesuai atau tidak dengan norma
hukum yang lebih tinggi. UUD juga berperan sebagai pengatur bagaimana kekuasaan Negara
disusun, dibagi, dan dilaksanakan. Selain itu UUD 1945 juga berfungsi sebagai penentu hak dan
kewajiban Negara, aparat Negara, dan warga Negara.

(ABDUL GHOFAR,2009;3-4)

Desy: “Menurut saya pendapat tersebut sudah bener tentang UUD 1945 berisi norma-norma,
kaidah-kaidah, aturan-aturan atau ketentuan-ketentuan yang harus dilaksanakan dan ditaati oleh
semua komponen negara. UUD 1945 berfungsi sebagai hukum yang tertinggi sehingga menjadi
sumber dan pedoman hukum bagi setiap peraturan perundangan yang ada di bawahnya”.

Nazwa: “Menurut saya fungsi UUD 1945 bukan merupakan hukum biasa, namun ia merupakan
hukum dasar tertulis, yang berfungsi sebagai alat kontrol, yaitu mengontrol apakah ketentuan
yang lebih rendah bertentangan atau tidak dengan peraturan yang lebih tinggi, yang pada
akhirnya harus dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan kententuan UUD 1945”.

D. Perubahan (Amandemen) UUD 1945


UUD 1945 memiliki kedudukan yang tetap, dan melekat bagi Negara Republik
Indonesia. Oleh sebab itu, pembukaan UUD 1945 tidak dapat diubah oleh siapapun, termasuk
DPR dan MPR sesuai dengan sifat konstitusinya pasal 3 dan pasal 37 UUD 1945 berarti
meniadakan Negara Republik Indonesia. Hal ini disebabkan Pembukaan UUD 1945 merupakan

1.Sumber dari motivasi dan inspirasi perjuangan dan tekad bangsa Indonesia.

2.Sumber dari cita-cita hukum dan cita-cita moral yang ingin ditegakkan dalam lingkungan
Internasional dan Nasional.
Pada tahun 1999-2002 UUD 1945 mengalami perubahan amandemen yang keempat, perubahan dalam
bentuk amandemen, yaitu penambahan dan pengurangan beberapa hal yang selama ini belum dimuat
dalam UUD 1945, perubahan difokuskan pada batang tubuh UUD 1945 dan bukan pada pembukaan
UUD 1945. Maka dari itu UUD 1945 sudah tidak bisa lagi dirubah, jikalau ada suatu permasalahan
yang berkembang sesuai perubahan zaman, jalan satu-satunya ialah revisi UUD 1945.
Salah satu tuntutan Reformasi 1998 ialah dilakukannya perubahan (amandemen) terhadap UUD 1945.
Latar belakang tuntutan perubahan UUD 1945, yakni:

1.Pada masa Orde Baru kekuasaan tertinggi ditangan MPR dan bukan terletak pada rakyat,
2.Kekuasaan yang sangat besar pada Presiden

3.Adanya Pasal-pasal yang terlalu luwes (dapat menimbulkan multitafsir).2

Tujuan Perubahan UUD 1945 sebagai penyempurnaan aturan dasar seperti tatanan Negara, kedaulatan
rakyat, Hak Asasi Manusia, Pembagian kekuasaan, eksistensi Negara demokrasi dan Negara hukum,
serta hal-hal lain yang sesuai dengan perkembangan aspirasi dan kebutuhan bangsa. Pada saat UUD
1945 diamandemen dengan kesepakatan diantaranya tidak mengubah pembukaan UUD 1945, akan
tetapi mempertahankan susunan kenegaraan kesatuan atau selanjutnya lebih dikenal sebagai Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), serta mempertegas system pemerintahan Presidensial. Berikut
amandemen UUD 1945 yang ditetapkan dalam siding Umum dan Sidang Tahunan MPR:

A.Sidang Umum MPR 1999, tanggal 14-21 Oktober 1999 (Amandemen Pertama UUD 1945)
B.Sidang Tahunan MPR 2000, tanggal 7-18 Agustus 2000 (Amandemen Kedua UUD 1945)
C.Sidang Tahunan MPR 2001, tanggal 1-9 November 2001 (Amandemen Ketiga UUD 1945)
D.Sidang Tahunan MPR 2002, tanggal 1-11 Agustus 2002 (Amandemen Keempat UUD 1945).

Selain itu ada beberapa yang menjadi tujuan bangsa Indonesia merubah Amandemen UUD 1945,
yakni:

E.Untuk mengembalikan UUD 1945 berderajat tinggi dan menjiwai konstitusionalisme serta Negara
berdasarkan atas hukum dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
F.Menyempurnakan UUD 1945

G.Menciptakan era baru dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, lebih berkeadilan sosial dan lebih
berkemanusiaan sesuai dengan komitmen bangsa Indonesia.

Disamping itu amandemen UUD 1945 memiliki alas an yang diharuskan, yaitu:

1.Secara Historis

Pada mulanys UUD 1945 disusun oleh BPUPKI dan PPKI sebagai Undang-Undang yang bersifat
sementara karena dibuat dan ditetapkan dalam keadaan dan suasan tergesa-gesa sehingga dianggap
tidak lengkap.

2.Secara Fisolofis

Materi-materi yang terdapat didalam UUD 1945 tercampur aduk dari berbagai gagasan yang kadang-
kadang saling bertentangan. Hal ini disebabkan para pembuat UUD 1945 (anggota BPUPKI dan PPKI)
berasal dari latar belakang macam gagasan yang berbeda pula dan mengakibatkan timbulnya berbagai
perbedaan.

3.Secara Teoritis

Secara Konstitusionalisme, kebebasan konstitusi suatu Negara pada hakikatnya ialah membatasi
kekuasaan Negara agar tidaksewenangwenang tetapi didalam UUD 1945 kurang menonjolkan
pembatasan kekuasaan melainkan lebih menonjolkan prinsip totaliterisme.
2
4.Secara Yuridis

Sebagaimana lazimnya setiap konstitusi, maka UUD 1945 juga telah mencantumkan klausul perubahan
UUD 1945 itu sendiri seperti yang terdapat dalam pasal 37

5.Secara Praktis Politis

Bahwa sadar atau tidak sadar, langsung atau tidak langsung dalam praktiknya UUD 1945 sering
mengalami perubahan dan penyimpangan dari teks aslinya. Baik pada masa 1945-1949 dan 1959-1998.
Bahkan praktik politik sejak 1959-1994 UUD 1945 yang kurang membatasi kekuasaan eksekutif dan
pasal-pasalnya yang bisa menimbulkan multi interpretasi yang telah dimanipulasi oleh pemerintah yang
ingin berkuasa.
(ABDUL GHOFAR,2009;4-7)

Desy: “Menurut saya, baik adanya perubahan selama perubahan itu mengarah kedalam perbaikan-
perbaikan yang seharusnya harus dilakukan tanpa mengurangi sesuatu yang baik dan yang sudah ada”.

Nazwa: “Menurut saya Contoh sikap positif terhadap UUD 1945 hasil amandemen dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara, kita harus Sanggup melaksanakan UUD 1945 dan Pancasia secara murni dan
konsekwen. Dan Tidak melakukan perbuatan yang merugikan kepentingan bangsa dan negara”.

E. Tujuan Amandemen UUD 1945


1. Untuk menyempurnakan aturan dasar mengenai tatanan Negara agar dapat lebih mantap dan
mencapai tujuan nasional serta menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan dan
pelaksanaan kekuatan rakyat.
2. Memperluas partisipasi rakyat agar sesuai dengan perkembangan paham demokrasi.

3. Menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan dan perlindungan hak agar sesuai dengan
perkembangan HAM dan Peradaban umat manusia yang menjadi syarat Negara hukum.
4. Melengkapi aturan dasar dalam penyelenggaraan Negara yang sanagt penting bagi eksistensi
Negara dan perjuangan Negara mewujudkan demokrasi.
5. Menyempurnakan aturan dasar mengenai kehidupan bernegara dan berbangsa sesuai dengan
perkembangan aspirasi kebutuhan dan kepentingan bangsa dan Negara Indonesia sekaligus
mengakomodasi kecenderungannya untuk kurun waktu yang akan datang

(ABDUL GHOFAR,2009;7)

Desy: “Saya setuju dengan pernyataan tersebut, tujuan Amandemen UUD 1945 yang paling
utama tentunya adalah untuk memperjelas hukum-hukum yang terkandung di dalamnya.
Amandemen juga bertujuan untuk membentuk hukum yang belum dijelaskan sebagai
penyempurna UUD 1945”.

Nazwa: “Jadi menurut saya Tujuan Amandemen UUD 1945 yaitu untuk mengubah atau
memperbarui redaksi dan substansi konstitusi (sebagian atau seluruhnya), agar sesuai dengan
kondisi ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, serta kondisi pertahanan dan keamanan
bangsa sesuai pada zamannya”.
BAB II
A. Konsep Negara Kesejahteraan menurut UUD 1945
Ketika Indonesia hendak didesain oleh bapak-ibu bangsa (the founding father and mother)
menjadi sebuah negara-bangsa (nation-state) telah terjadi pergulatan pemikiran yang tajam diantara
mereka. Seperti dilukiskan oleh Dawam Rahardjo, penolakan terhadap sistem kapitalisme, tidak
dengan sendirinya setuju terhadap apa yang dianggap sebagai alternatifnya yaitu sosialisme. Kala itu,
hampir semua aliran termasuk yang nasional maupun agama, mengajukan sosialisme sebagai cita-cita
masyarakat ekonomi yang diidamkan untuk Indonesia merdeka. Bahkan melalui Serikat Islam (SI)
Tjokroaminoto dan Haji Agus Salim telah lantang menolak kapitalisme dengan mengajukan gagasan
sosialisme Islam sebagai alternatif. Bahkan hingga awal tahun 1960-an Moh. Hatta masih
menggaungkan cita-cita Sosialisme Indonesia dalam berbagai tulisannya.
Namun kemudian pergulatan panjang antar para pendiri bangsa berakhir dengan diterimanya
gagasan Soekarno dan Moh. Hatta yakni negara kesejahteraan (state welfare). Sebagaimana dilukiskan
oleh Djauhari, Soekarno menyebut dengan istilah Sosio-demokrasi, suatu demokrasi politik dan
demokrasi ekonomi. Hal yang demikian tidak lazim bagi demokrasi yang dikembangkan di dunia Barat
dan Eropa yang hanya bercorak demokrasi politik. Moh. Hatta memberikan bentuk negara Indonesia
dengan sebutan ”Negara Pengurus”, yang dimaksudkan adalah membangun masyarakat baru yang
berdasarkan gotong royong, usaha bersama, bercorak kekeluargaan yang tidak lain adalah negara
kesejahteraan.
(agus riwanto,2017;7)
Pemikiran orisinal para pendiri bangsa inilah yang kemudian mengilhami fondasi utama negara
Indonesia (state fundamental norm) yakni UUD 1945. Fondasi awal dari konsep negara kesejahteraan
Indonesia adalah yang tertuang dalam Mukadimah UUD 1945 yakni “melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial dengan berdasar kepada: Ketuhanan Yang Maha
Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” Gagasan dalam UUD 1945 ini kemudian dijadikan spirit dasar
penyelenggaraan negara yang tujuan utamanya adalah adanya menjamin kemakmuran pada semua
warga negara tanpa terkecuali (nondiskriminasi). Gagasan dalam UUD 1945 ini lalu diterjemahkan
melalui batang tubuhnya sebagaimana dinyatakan dalam pasal-pasalnya, terutama Pasal 33, Pasal 34,
dan Pasal 27 Ayat (2). Dengan dasar inilah negara dituntut untuk bertanggungjawab dalam pemenuhan
kebutuhan dasar hidup (basic need), mengatasi kemiskinan dan jaminan pekerjaan bagi rakyatnya.
Pemikiran ini merupakan penolakan atas teori Adam Smith yang mendasarkan perumpamaan ”homo
economicus” yang melahirkan sistem liberalisme dengan bentuk ”laissez faire laissez aller” yang oleh
para pendiri bangsa tak sesuai nilai luhur budaya Indonesia.
Menurut Adi Sulistiyono, secara normatif ketentuan Pasal 33 UUD 1945 sering dipahami sebagai
sistem ekonomi yang layak dipakai oleh bangsa Indonesia. Pada Pasal 33 Ayat (1), disebutkan bahwa
perekonomian nasional disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan. Asas ini dapat
dipandang sebagai asas bersama (kolektif) yang bermakna dalam konteks sekarang yaitu, persaudaraan,
humanisme dan kemanusiaan. Artinya ekonomi tidak dipandang sebagai wujud sistem persaingan
liberal ala barat, tetapi ada nuansa moral dan kebersamaan sebagai refleksi dari tanggung jawab sosial.
Bentuk yang ideal terlihat, seperti wujud sistem ekonomi pasar sosial (the social market economy)
yang cukup berkembang di negara-negara Eropa Barat. Pasal ini dianggap sebagai dasar ekonomi
kerakyatan.
(agus riwanto,2017;8)
Adi Sulistiyono memberi catatan khusus bahwa Pasal ini pulalah yang mengilhami sistem ekonomi
Indonesia adalah ekonomi Pancasila. Selanjutnya Adi menyatakan: ”Dalam konteks implementasi
demokrasi ekonomi Pancasila harus dihindari tiga hal: Pertama, sistem ”free fight liberalism” yang
menumbuhkan eksploitasi terhadap manusia dan bangsa lain yang dalam sejarahnya di Indonesia telah
menimbulkan dan mempertahankan kelemahan struktur ekonomi nasional dan posisi Indonesia dalam
perekonomian dan posisi Indonesia dalam perekonomian dunia. Kedua, sistem etatisme dalam arti
bahwa negara beserta aparatus ekonomi negara bersifat dominan, mendesak dan mematikan potensi
serta daya kreasi unit-unit ekonomi di luar sektor negara. Ketiga, persaingan tidak sehat serta
pemusatan kekuatan ekonomi pada satu kelompok dalam berbagai bentuk monopoli dan monopsoni
yang merugikan masyarakat dan cita-cita keadilan sosial.”16 Pasal 33 Ayat (2) dan Ayat (3),
menunjukkan bahwa negara masih mempunyai peranan dalam perekonomian. Peranan yang dimaksud
setidaknya dalam dua hal, yaitu: sebagai regulator dan aktor.
Ayat (2) menekankan peran negara sebagai aktor yang berupa Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Sedangkan peran negara sebagai regulator tidak dijelaskan dalam rumusan yang ada, kecuali jika istilah
”dikuasai” diinterpretasikan sebagai diatur tetapi yang diatur di sini adalah sumber daya alam yang
diarahkan sebesarbesarnya bagi kemakmuran rakyat.
(agus riwanto,2017;9)

B.TAFSIR MAKNA NEGARA HUKUM DALAM PERSPEKTIF UUD 1945


1.Makna Negara Hukum Menurut UUD NRI Tahun 1945;
Pengaturan mengenai negara hukum dalam UUD NRI Tahun 1945 ditempatkan melalui
Pasal 1 ayat (3), yang menentukan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Setidaknya, terdapat
dua makna besar yang dapat dipahami dari pemindahan ketentuan ini dari
yang sebelumnya ditempatkan di dalam bagian“Penjelasan” UUD 1945 sebelum perubahan,
kemudian diletakkan dalam bagian “Pasal-Pasal” dalam UUD NRI Tahun 1945. Makna per-tama
adalah bahwa pemindahan ketentuan mengenai negara hukum ke dalam bagian “PasalPasal”
menunjukkan adanya upaya penegasanterhadap konsep negara hukum bagi Indonesia.Dengan
pemindahan dimaksud ke dalam bagian
“Pasal-Pasal”, maka diharapkan daya ikat mengenai ketentuan negara hukum bagi Indonesia akan
semakin kuat. Kedua, pemindahan dimaksud juga dapat dimaknai sebagai upaya untukmenegaskan
kembali bahwa bangsa Indonesiasecara sungguh-sungguh akan melandaskan seluruh aktivitas
kehidupan berbangsa dan bernegara pada ketentuan hukum yang ada. Hukum
akan menjadi panglima sekaligus rambu pembatas bagi setiap tindakan pemerintah dan rakyat dalam
mengelola bangsa dan negara.
(JANPATAR SIMAMORA,2014;10)

Langkah pengaturan ketentuan mengenai negara hukum dimaksud dengan menghilangkanistilah


rechtsstaat setidaknya mengandung dua konsekuensi tersendiri yang saling bertolak belakang.
Pertama, bentuk dan pola pengaturan yang demikian akan memudahkan bangsa Indonesia dalam
menerjemahkan apa sesungguhnyayang dimaksud dengan negara hukum sesuai dengan keinginan dan
kehendak bangsa Indonesia. Dengan dihilangkannya istilah rechtsstaat, hal ini menunjukkan bahwa
Indonesia tidak terikat pada konsep negara hukum sesuaidengan syarat-syarat yang dijalankan dalam
konsep negara hukum dalam arti rechtsstaat.
Konsekuensi pertama ini dapat dikategorikan sebagai konsekuensi yang bersifat negatif. Konsekuensi
kedua dari penghilangan istilah rechtsstaat dari UUD adalah bahwa negara hukumyang dimaksud
dalam UUD menjadi sulit untuk ditafsirkan secara konkret, apakah negara hukum dalam arti rule of law
atau negara hukum
dalam arti rechtsstaat atau kedua-duanya. Konsekuensi kedua ini barangkali lebih tepat disebut sebagai
konsekuensi yang bersifat negatif.
Hal tersebut menimbulkan pertanyaan,apakah sesungguhnya makna dari negara hukum
sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1ayat (3) UUD NRI Tahun 1945. Apakah negara hukum
dalam arti rechtsstaat atau negara hukum dalam pemaknaan the rule of law, ataukah ada makna lain
yang tidak termasuk ke dalam dua aliran utama negara hukum itu. Persoalan ini masih menjadi bahan
perdebatan banyak pihak, khususnya para pegiat Hukum Tata Negara di tanah air.
(JANPATAR SIMAMORA,2014;11)
Indonesia Legal Rountable menjelaskan bahwa setidaknya terdapat lima prinsip dan indikator
negara hukum. Pertama, pemerintahan berdasarkan hukum, dengan indikator adanya keseimbangan di
antara cabang-cabang kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatir serta performa eksekutif dan
legislatif; kedua, independensi kekuasaan kehakiman, dengan indikator pelaksana dan organisasi
kekuasaan kehakiman itu sendiri; ketiga, penghormatan, pengakuan dan perlindungan hak asasi
manusia, dengan indikator kebebasan untuk berserikat,
berkumpul serta menyatakan pendapat, kebebasan beragam dan berkeyakinan, perlakuan yang tidak
diskriminatif, hak untuk hidup dan bebas dari penyiksaan, hak atas pekerjaan,
upah yang layak dan pendidikan; keempat, akses terhadap keadilan, dengan indikator peradilan yang
mudah, cepat dan berbiaya ringan,bantuan hukum kepada warga yang tidak mampu, perlindungan
kepada korban, pelapor dan kompensasi kepada yang dinyatakan bersalah
secara keliru; dan kelima, peraturan yang terbuka dan jelas, dengan indikator mengikutsertakan publik
dalam pembuatan peraturan, kejelasan materi peraturan dan akses terhadap peraturan perundang-
undangan itu sendiri.
Harus diakui bahwa penegasan negara hukum Indonesia menurut UUD NRI Tahun 1945
tidak harus dilihat sebagai suatu bangunan yang final, tetapi merupakan suatu bangunan yang
secara terus menerus harus dibenahi untuk mencapai Indonesia yang sesungguhnya. Misalnya, perlu
dipertimbangkan sejauhmana harmonisasi hubungan hukum adat dan hukum nasional dalam proses
membangun negara hukum Indonesia. Namun demikian, bersamaan dengan menjalankan roda
pembangunan hukum di tanah air, haruslah dimaknai setiap perubahan yang terkandung dalam
konstitusi secara jelas dan tegas, agar kemudian dalam implementasinya tidak menimbulkan persoalan.
(JANPATAR SIMAMORA,2014;11)
Rujukan yang paling tepat dijadikan sebagai landasan berpikir dalam rangka menjawab tafsir
makna negara hukum dalam perspektif UUD NRI Tahun 1945 adalah dengan memahami kembali
secara utuh substansi pembukaan UUD itu sendiri, khususnya alinea keempat. Adapun bunyi alinea
keempat Pembukaan UUD 1945
adalah sebagai berikut:Kemudian daripada itu untuk membentuksuatu Pemerintah Negara Indonesia
yang
melindungi segenap bangsa Indonesia danseluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum,mencerdaskan kehidupan bangsa, danikut melaksanakan ketertiban dunia
yangberdasarkan kemerdekaan, perdamaianabadi dan keadilan sosial, maka disusun-[lah Kemerdekaan
Kebangsaan Indonesia
itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara
Republik Indonesia
yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil
dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia.
(JANPATAR SIMAMORA,2014;11-12)

C.Jaminan UUD 1945 Dalam Proses Hukum Yang Adil

Kepastian Hukum dan Keadilan Patut dikemukakan bahwa melalui hukum manusia hendak
mencapai kepastian hukum dan keadilan. Meskipun demikian, harus disadari bahwa kepastian hukum
dan kemudian keadilan yang hendak dicapai melalui penyelenggara hukum itu hanya bisa dicapai dan
dipertahankan secara dinamis sebagai penyelenggaraan hukum dalam suatu proses hukum yang adil.
Dalam penyelenggaraan, hukum itu bisa (atau tidak bisa) memperoleh kepercayaan dari masyarakat
akan memberikan kepastian hukum dan keadilan kepada kehidupan bersama. Konsekuensinya adalah,
hukum itu sendiri harus memiliki suatu kredibilitas, dan kredibilitas itu hanya bisa dimilikinya, bila
penyelenggara hukum mampu memperlihatkan suatu alur kinerja yang konsisten. Penyelenggaraan
hukum yang tidak konsisten tidak akan membuat masyarakat mau mengandalkannya sebagai perangkat
norma yang mengatur kehidupan bersama. Karena itu konsistensi dalam penyelenggaraan hukum lalu
menjadi sangat potensial untuk menghasilkan kepastian hukum.
Kendati demikian, dapat dibayangkan bahwa konsistensi dalam penyelenggaraan hukum itu
bukanlah sesuatu yang terjadi dengan sendirinya, sehingga bisa saja terdapat risiko bahwa Jaminan
UUD 1945 Dalam Proses Hukum Yang Adil penyelenggaraan hukum itu menjadi tidak konsisten.
John Rawls berpendapat bahwa bahkan penyelenggaraan hukum yang tidak konsisten harus tetap
konsisten dalam inkonsistensinya itu: “… even where laws and institutions are unjust, it is aften better
that they should be consistently applied. In this way those subject to them at least know what is
demanded and they can try to protect themselves accordingly…” Walaupun pernyataan Rawls ini
sebenarnya absurd, konotasinya adalah, setiap orang lalu bisa paham akan keadaan yang tidak
konsisten dari hukum dan institusi masyarakat, sehingga setiap orang boleh dikata secara tidak
langsung dianjurkan untuk tidak mengharapkan terlalu banyak dari penyelenggaraan hukum dan
membela dirinya masing-masing.
(ABDUL LATIF,2009;4-5)

D.Proses Hukum Yang Adil


Seperti telah diketahui bahwa cita-cita atau ideologi negara hukum yang beradab tercakup dalam
kalimat“proses hukum yang adil”. Lawan dari proses ini adalah “proses yang sewenangwenang”
(arbitrary process) sebagaimana disebutkan di atas. Proses yang sewenang-wenang ini dilaksanakan
semata-mata berdasarkan kekuasaan penegak hukum.14 Kesewenangan ini lebih besar lagi, apabila
aparat penegak hukum seperti Polisi, Jaksa, dan Hakim dapat dipengaruhi oleh Pemerintah, karena
akan terjadi kesewenangwenangan di mana proses penegakan hukum dan keadilan merupakan
“sandiwara” untuk melaksanakan ketidakadilan.
Gustav Radbruch dalam Magnis Suseno mengatakan bahwa hukum bisa saja tidak adil…, tetapi
hukum hanyalah hukum karena maunya adil. Meskipun demikian, hubungan antara hukum dan
keadilan seperti yang dirumuskan oleh Radbruch itu belum menjelaskan mengenai hakikat dari
keadilan itu sendiri, dan dengan demikian juga mengenai kapankah hukum itu ditegakkan menuju
keadilan. Sekalipun pandangan ahli hukum terdapat perbedaan antara hukum dan keadilan meletakkan
keduanya dalam hubungan fungsional, keadilan yang hendak dicapai melalui hukum itu adalah esensial
bagi negara hukum manapun.
Secara keliru arti dari “proses hukum yang adil” ini, oleh penegak hukum (polisi dan jaksa) dan
pengadilan (hakim), sering diartikan dengan hanya penerapan secara harfiah hukum acara pidana yang
berlaku. Padahal makna yang seharusnya dipergunakan adalah sebagai sikap batin penghormatan
terhadap hak-hak yang dipunyai warga negara, meskipun ia adalah pelaku kejahatan. Pada kasus Bibit-
Chandra yang lalu kita telah melihat dan mendengar (atau membaca) tentang kasus-kasus semangat
anti korupsi yang secara menyolok telah mengabaikan semangat (sikap batin) proses hukum yang adil
ini. Seorang warga negara (Bibit-Chandra, Anggoro-Anggodo) yang dituduh telah melakukan
perbuatan tindak pidana suap atau korupsi yang sangat tercela, sering dianggap telah kehilangan hak-
hak konstitusionalnya sebagai warga negara untuk memperoleh perlindungan hukum. Di sinilah esensi
Putusan Sela MK untuk melindungi hak-hak konstitusional warga negara dalam rangka jaminan proses
hukum yang adil.
(ABDUL LATIF,2009;9-10)

E.ALASAN DILAKUKANNYA 4 KALI AMANDEMEN UUD 1945 TUJUAN DAN SEJARAH


PERKEMBANGAN

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) dalam Proses
sejarah, telah melalui 4 tahapan perubahan yakni adalah: UndangUndang Dasar 1945 (Periode 18
Agustus 1945 – 27 Desember 1949); UndangUndang Dasar RIS (Periode 27 Desember 1949 – 17
Agustus 1950); UndangUndang Dasar Sementara 1950 (Periode 17 Agustus 1950 – 5 Juli 1959);
Kembali ke UUD 1945 (Periode 5 Juli 1959 – sekarang)Mengamandemen konstitusi (undang-undang
dasar) jelas bukan urusan sederhana. Sebab undang-undang dasar merupakan desains untama negara
untuk mengatur berbagai hal fundamental dan strategis, dari soal struktur kekuasaan dan hubungan
antar kekuasaan organ negara sampai hak asasi manusia. Sistem ketatanegaraan dalam UUD akan
menentukan nasib bangsa dan negara. Proses amandemen UUD 1945 terjadi secara bertahap selama
empat kali yaitu tahun 1999, tahun 2000, tahun 2001 dan tahun 2002.
(Firmansyah, Diki Saputra, Fira Kumala, dan Yoga Firmansyah,2021;9)
Adanya kekurangan dalam amandemen UUD 1945 adalah merupakan hal yang manusiawi karena
banyaknya materi yang diubah, dikurangi, atau ditambah dengan amandemen pertama sampai keempat.
Bertolak dari kekurangan inilah, memunculkan ide perlunya dibentuk Komisi Konstitusi yang akan
membantu melakukan koreksi dan mengatasi kekurangan-kekurangan itu untuk amandemen mendatang
(Firmansyah, Diki Saputra, Fira Kumala, dan Yoga Firmansyah,2021;9)
F. PANCASILA SEBAGAI SUMBER HUKUM DAN PENJABARANNYA DALAM UNDANG-
UNDANG DASAR 1945

Pancasila diletakkan sebagai sumber dari segala sumber hukum, maka setiap aturan hukum yang
memiliki posisi di bawah Pancasila sebagai groundnorm harus mendasarkan rasio logisnya pada
Pancasila dan tidak boleh bertentangan dengannya. Makna substansial Pancasila sebagai dasar negara
berarti Pancasila menjadi sumber dari segala sumber hukum, adalah bahwa Pancasila merupakan
hukum tertinggi di dijadikan sumber dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.

(MUHAMMAD TAUFIQ1,2022;4)

Notonagoro menegaskan bahwa Undang-Undang Dasar tidak merupakan peraturan hukum yang
tertinggi. Di atasnya, masih ada dasar-dasar pokok bagi Undang-Undang Dasar, yang dinamakan pokok
kaidah negara yang fundamental (staatsfundamentalnorm). Lebih lanjut, Notonagoro menjelaskan
bahwa secara ilmiah kaidah negara yang fundamental mengandung beberapa unsur mutlak, yang dapat
dilihat dari dua segi. Pandangan Notonagoro tentang unsur mutlak tersebut dapat dijabarkan sebagai
berikut:

1. Pembukaan UUD 1945 memenuhi syarat unsur mutlak sebagai staatsfundamentalnorm. Oleh karena
itu, kedudukan Pembukaan merupakan peraturan hukum yang tertinggi di atas Undang-Undang Dasar.
Implikasinya, semua peraturan perundang-undangan dimulai dari pasal-pasal dalam UUD 1945 sampai
dengan Peraturan Daerah harus sesuai dengan Pembukaan UUD 1945.

2. Pancasila merupakan asas kerohanian dari Pembukaan UUD 1945 sebagai staats fundamental norm.
Secara ilmiah-akademis, Pembukaan UUD 1945 sebagai staatsfundamentalnorm mempunyai hakikat
kedudukan yang tetap, kuat, dan tak berubah bagi negara yang dibentuk, dengan perkataan lain, jalan
hukum tidak lagi dapat diubah.

(MUHAMMAD TAUFIQ1,2022;5)

Penempatan Pancasila sebagai staatsfundamentalnorm pertama kali disampaikan oleh Notonagoro.


Pancasila dilihat sebagai cita hukum (recht side) merupakan bintang pemandu. Posisi ini mengharuskan
pembentukan hukum positif adalah untuk mencapai ide-ide dalam pancasila, serta dapat untuk menguji
hukum positif. Sebagai norma dasar (gruondnorm) secara implisit telah mendasari berbagai norma
positif di Indonesia dengan berbagai karakter produk hukum.9 Pancasila merupakan asas kerohanian
dari Pembukaan UUD 1945 sebagai staatsfundamentalnorm. Apabila disederhanakan, maka pola
pemikiran tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Pancasila merupakan asas kerohanian dari Pembukaan UUD

2. Pembukaan UUD 1945 dikristalisasikan dalam wujud Pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar. 3. Pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam Pembukaan UUD
1945 terjelma dalam pasal-pasal UUD 1945. Negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila itu,
tentunya sumber hukum nasional bersumber dari hukum-hukum yang berasal dari Pembukaan UUD
1945.
Oleh karena itu, kewajiban bagi setiap penyelenggaraan negara untuk menegakkan keadilan dan
kebenaran berdasarkan Pancasila yang selanjutnya melakukan pedoman peraturan peraturan
pelaksanaan merupakan sebuah keniscayaan dan kewajiban oleh aparat penegak hukum. Di samping
itu, sifat hukum berakar pada kepribadian bangsa dan bagi Indonesia sebagai negara hukum yang
berdasarkan Pancasila, hukum mempunyai fungsi pengayoman agar cita-cita luhur bangsa Indonesia
tercapai dan terpelihara.

Dalam kaitan itu, silakan disimak ketentuan dalam Pasal 37 ayat (1) sampai ayat (5) UUD 1945
amandemen ke-4, dalam Pasal 37 tersebut hanya memuat ketentuan perubahan pasal-pasal dalam UUD
1945, tidak memuat ketentuan untuk mengubah Pembukaan UUD 1945. Hal ini dapat dipahami karena
wakil-wakil bangsa Indonesia yang tergabung dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat memahami
kaidah ilmiah, terkait kedudukan Pembukaan UUD 1945 yang sifatnya permanen sehingga mereka
mengartikulasikan kehendak rakyat yang tidak berkehendak mengubah Pembukaan UUD 1945.
Pengaturan lebih tegas yang menetapkan Pancasila sebagai sumber hukum diatur dalam Pasal 2 UU
Nomor 12 Tahun 2011 tentang pembentukan Peraturan perundang-undangan bahwa “Pancasila
merupakan sumber dari segala sumber hukum”. Ketentuan tersebut sebagai implementasi dari Pasal 1
ayat (3) UUD 1945 sebagai landasan Konstitusional dalam bernegara, bahwa “Negara Indonesia adalah
negara hukum”.

(MUHAMMAD TAUFIQ1,2022;4-6)

G. PERGESERAN KEKUASAAN LEMBAGA NEGARA PASCA AMANDEMEN UUD 1945

Pergeseran Kekuasaan Lembaga Negara. a. Lembaga Negara dan Sistem Penyelenggaraan Kekuasaan
Negara Sebelum Perubahan UUD 1945. Deskripsi singkat struktur ketatanegaraan

Negara Indonesia sebelum amandemen UUD 1945 sebagai berikut : Undang-Undang Dasar merupakan
hukum tertinggi, kemudian kedaulatan rakyat diberikan seluruhnya kepada MPR (Lembaga Tertinggi).
MPR mendistribusikan kekuasaannya (distribution of power) kepada 5 Lembaga Tinggi yang sejajar
kedudukannya, yaitu Mahkamah Agung (MA), Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan
Pertimbangan Agung (DPA) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

( Sri Nur Hari Susanto,2014;6)

1). MPR

a) Sebagai Lembaga Tertinggi Negara diberi kekuasaan tak terbatas (super power) karena
“kekuasaan ada di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR” dan MPR adalah “penjelmaan
dari seluruh rakyat Indonesia ” yang berwenang menetapkan UUD, GBHN, mengangkat presiden dan
wakil presiden.

b) Susunan keanggotaannya terdiri dari anggota DPR dan utusan daerah serta utusan golongan
yang diangkat. Dalam praktek ketatanegaraan,

MPR pernah menetapkan antara lain:


a) Presiden, sebagai presiden seumur hidup.

b) Presiden yang dipilih secara terus menerus sampai 7 (tujuh) kali berturut turut.

c) Memberhentikan sebagai pejabat presiden.

d) Meminta presiden untuk mundur dari jabatannya.

e) Tidak memperpanjang masa jabatan sebagai presiden.

f) Lembaga Negara yang paling mungkin menandingi MPR adalah Presiden, yaitu dengan
memanfaatkan kekuatan partai politik yang paling banyak menduduki kursi di MPR.

2). Presiden

a) Presiden memegang posisi sentral dan dominan sebagai mandataris MPR, meskipun
kedudukannya tidak “neben” akan tetapi “untergeordnet”.

b) Presiden menjalankan kekuasaan pemerintahan negara tertinggi (consentration of power and


responsiblity upon the president).

c) Presiden selain memegang kekuasaan eksekutif (executive power), juga memegang


kekuasaan legislative (legislative power) dan kekuasaan yudikatif (judicative power).

d) Presiden mempunyai hak prerogatif yang sangat besar.

e) Tidak ada aturan mengenai batasan periode seseorang dapat menjabat sebagai presiden serta
mekanisme pemberhentian presiden dalam masa jabatannya.

3). DPR

a) Memberikan persetujuan atas RUU yang diusulkan presiden.

b) Memberikan persetujuan atas PERPU.

c) Memberikan persetujuan atas Anggaran.

d) Meminta MPR untuk mengadakan sidang istimewa guna meminta pertanggungjawaban


presiden.

4). DPA dan BPK Di samping itu, UUD 1945 tidak banyak mengintrodusir lembaga-lembaga negara
lain seperti DPA dan BPK dengan memberikan kewenangan yang sangat minim.

( Sri Nur Hari Susanto,2014;6-7)

H. Perubahan UUD 1945


Setelah terjadi gelombang unjuk rasa besar-besaran, pada 21 Mei 1998 Presiden Soeharto menyatakan
berhenti dari jabatan Presiden Republik Indonesia. Menyusul pernyataan berhenti tersebut muncul
sejumlah tuntutan yaitu:

1. Amandemen UUD 1945;

2. Penghapusan Dwifungsi ABRI;

3. Penegakan supremasi hukum, penghormatan hak asasi manusia (HAM), dan pemberantasan korupsi,
kolusi dan nepotisme (KKN);

4. Desentralisasi dan hubungan yang adil antara pusat dan daerah (otonomi daerah)

; 5. Mewujudkan kebebasan pers; dan

6. Mewujudkan kehidupan demokrasi;

(Dr. Tundjung Herning Sitabuana, 2020;38)

yang didasarkan pada pandangan, ”UUD 1945 belum cukup memuat landasan bagi kehidupan yang
demokratis, pemberdayaan rakyat, penghormatan terhadap HAM, dan adanya pasal-pasal yang
menimbulkan multitafsir dan membuka peluang bagi penyelenggaraan negara yang otoriter,
sentralistik, tertutup, dan KKN yang menimbulkan kemerosotan kehidupan nasional di berbagai bidang
kehidupan.” Tuntutan amandemen UUD 1945 muncul karena UUD 1945 dianggap mengandung
kelemahan utama (berupa tidak adanya jaminan konstitusional untuk mencegah penyalahgunaan
kekuasaan dan pelanggaran HAM) yang disebabkan oleh kelemahan-kelemahan berikut ini, yaitu:

1. UUD 1945 menempatkan dan memberikan kekuasaan yang sangat besar kepada presiden
(executive heavy) karena presiden tidak hanya sebagai pemegang kekuasaan eksekutif tetapi
juga mempunyai kekuasaan untuk membentuk undang-undang, di samping hak-hak
konstitusional khusus (hak prerogatif) untuk memberi grasi, amnesti, abolisi dan lain-lain;
2. UUD 1945 tidak memuat sistem checks and balances (saling mengawasi dan saling
mengimbangi) antarcabang kekuasaan negara untuk menghindari penyalahgunaan kekuasaan
atau tindakan melampaui wewenang. Akibatnya kekuasaan presiden yang besar semakin
menguat;
3. Dalam UUD 1945 terdapat berbagai ketentuan yang tidak jelas yang membuka peluang
penafsiran yang bertentangan dengan prinsip negara berdasarkan konstitusi. Sebagai contoh
adalah:
a. Ungkapan “dan sesudahnya dapat dipilih kembali” yang terdapat dalam Pasal 7 UUD 1945
yang mengatur masa jabatan presiden, telah menumbuhkan praktik presiden yang sama dipilih
terus menerus tanpa mengindahkan sistem pembatasan kekuasaan berdasarkan prinsip
konstitusionalisme;
b. Ungkapan “dilakukan sepenuhnya” yang terdapat pada Pasal 1 ayat (2) UUD 1945
ditafsirkan bahwa yang melakukan kedaulatan rakyat hanya MPR sedangkan DPR yang
merupakan wakil rakyat dipandang tidak melakukan kedaulatan rakyat;
c. Ketidakjelasan Pasal 28 UUD 1945 telah menimbulkan pendapat bahwa selama undang-
undangnya belum terbit maka hak-hak tersebut belum efektif.

4. Dalam UUD 1945 terdapat 14 pasal yang menyerahkan pengaturan lebih lanjut dengan
undang-undang organik tetapi tidak disertai arahan mengenai materi muatan yang harus dipedomani.
Segala sesuatunya diserahkan pada pembentuk undang-undang yang dapat mengakibatkan terjadinya
perbedaan antar undang-undang organik serupa yang mengatur objek yang sama. Sebagai contoh,
terdapat perbedaan antara Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 dengan Undang-Undang Nomor 18
Tahun 1965, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 dan undang-undang lain yang mengatur
pemerintahan daerah padahal semuanya dibuat berdasarkan Pasal 18 UUD 1945.

5. Berkaitan dengan Penjelasan UUD 1945 UUD tidak lazim memiliki penjelasan resmi. Apalagi
kemudian baik secara yuridis maupun kenyataan, Penjelasan UUD 1945 tersebut diperlakukan dan
mempunyai kekuatan hukum seperti Batang Tubuh UUD 1945.Padahal, Penjelasan UUD 1945 bukan
hasil kerja badan yang menyusun dan menetapkan UUD 1945 yaitu BPUPKI dan PPKI, melainkan
hasil kerja pribadi Soepomo yang kemudian dimasukkan bersama-sama batang tubuh ke dalam Berita
Negara RI Tahun II Nomor 7 Tahun 1946, dan kemudian dalam Lembaran Negara RI Tahun 1959
(diundangkan dengan Keppres Nomor 150 Tahun 1959 yang berisi Dekrit Presiden 5 Juli 1959). Selain
itu, dalam beberapa hal, Penjelasan UUD 1945 mengandung muatan yang tidak konsisten dengan
Batang Tubuh UUD 1945, dan juga memuat keterangan-keterangan yang semestinya menjadi materi
muatan batang tubuh.

(Dr. Tundjung Herning Sitabuana, 2020;40)

Menurut MPR, dasar pemikiran yang melatarbelakangi dilakukannya Perubahan UUD 1945 adalah
sebagai berikut:

1. UUD 1945 membentuk struktur ketatanegaraan yang bertumpu pada kekuasaan tertinggi di
tangan MPR yang berakibat pada tidak terjadinya checks and balances di antara lembaga-lembaga
negara;

2. Sistem yang dianut oleh UUD 1945 adalah executive heavy yang memberikan kekuasaan
yang terlalu besar kepada pemegang kekuasaan eksekutif yang tidak hanya menjalankan kekuasaan
eksekutif tetapi juga menjadi pembentuk undang-undang. Keberadaan dua macam kekuasaan di satu
tangan menyebabkan tidak bekerjanya prinsip checks and balances. Ditambah lagi dengan diberikannya
sejumlah hak prerogatif pada pemegang kekuasaan eksekutif;

3. UUD 1945 mengandung pasal-pasal yang terlalu “luwes” sehingga menimbulkan multitafsir.
Sebagai contoh adalah rumusan Pasal 6 ayat (1) yang berbunyi. “Presiden ialah orang Indonesia asli,”
dan rumusan Pasal 7 yang berbunyi, “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama lima
tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali;”

4. UUD 1945 terlalu banyak memberi kewenangan kepada presiden untuk mengatur hal-hal
yang penting dengan undang-undang. Oleh karena presiden diberi kekuasaan membentuk undang-
undang, presiden dapat merumuskan hal-hal penting (seperti pengaturan MPR, DPR, BPK, MA, HAM,
dan pemerintah daerah) sesuai kehendaknya dalam undang-undang;

5. Rumusan UUD 1945 tentang semangat penyelenggara negara belum cukup didukung
ketentuan konstitusi yang memuat aturan dasar tentang kehidupan yang demokratis, supremasi hukum,
pemberdayaan rakyat, penghormatan HAM, dan otonomi daerah.

(Dr. Tundjung Herning Sitabuana, 2020;41)

Hal ini membuka peluang bagi berkembangnya praktik penyelenggaraan negara yang tidak
sesuai dengan Pembukaan UUD 1945, antara lain sebagai berikut:
a. Tidak adanya checks and balances antarlembaga negara, dan kekuasaan terpusat pada
presiden;
b. Infrastruktur politik yang dibentuk (antara lain partai politik dan organisasi
masyarakat) kurang mempunyai kebebasan berekspresi sehingga tidak dapat berfungsi
sebagaimana mestinya;
c. Pemilihan umum diselenggarakan untuk memenuhi persyaratan demokrasi formal
karena seluruh proses dan tahapan pelaksanaannya dikuasai oleh pemerintah; dan
d. Kesejahteraan sosial berdasarkan Pasal 33 UUD 1945 tidak tercapai, dan yang
berkembang justru sistem monopoli, oligopoli, dan monopsoni.

(Dr. Tundjung Herning Sitabuana, 2020;41)

Sebelum melakukan perubahan UUD 1945, untuk mencegah kemungkinan terjadinya


perubahan tanpa arah, pada Sidang Umum MPR Tahun 1999 seluruh fraksi di MPR membuat
“Kesepakatan Dasar tentang Arah Perubahan UUD 1945” sebagai koridor dan platform bagi
setiap anggota MPR, yaitu:
1. Tidak mengubah Pembukaan UUD 1945;
2. Tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
3. Mempertegas sistem pemerintahan presidensial;
4. Penjelasan UUD 1945 ditiadakan serta hal-hal normatif dalam penjelasan
dimasukkan ke dalam pasal-pasal; dan
5. Perubahan dilakukan dengan cara “adendum”.

(Dr. Tundjung Herning Sitabuana, 2020;42)

Adapun dasar yuridis perubahan UUD 1945 adalah Pasal 37 UUD 1945 yang mengatur
prosedur perubahan UUD 1945 namun sebelumnya dengan Ketetapan MPR Nomor
VIII/MPR/1998 tentang Pencabutan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia Nomor IV/MPR/1983 tentang Referendum (yang ditetapkan dalam Sidang Istimewa
MPR Tahun 1998), MPR mencabut Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1983 tentang Referendum
yang mengharuskan untuk menggelar referendum terlebih dahulu sebelum melakukan
perubahan UUD 1945. Ini merupakan langkah awal untuk melakukan perubahan UUD 1945.
Selain itu, sebagai langkah awal untuk melakukan perubahan UUD 1945, MPR juga
menetapkan Ketetapan MPR Nomor XIII/MPR/1998 tentang Pembatasan Masa Jabatan
Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia, dan Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998
tentang Hak Asasi Manusia.
Perubahan UUD 1945 berlangsung dalam satu rangkaian yang terdiri dari empat tahapan
yaitu: 1. Perubahan Pertama dilakukan dalam Sidang Umum MPR Tahun 1999 (tanggal
14 – 21 Oktober 1999);
2. Perubahan Kedua dilakukan pada Sidang Tahunan MPR Tahun 2000 (tanggal 7 – 18
Agustus 2000);
3. Perubahan Ketiga dilakukan Sidang Tahunan MPR Tahun 2001 (tanggal 1 – 9
November 2001); dan 4. Perubahan Keempat dilakukan pada Sidang Tahunan MPR Tahun
2002 (tanggal 1 – 11 Agustus 2002)
. Dengan mengingat bahwa perubahan UUD 1945 dilakukan dengan cara adendum,
maka UUD 1945 setelah perubahan mempunyai susunan sebagai berikut:
1. UUD 1945 naskah asli;
2. Perubahan Pertama UUD 1945;
3. Perubahan Kedua UUD 1945;
4. Perubahan Ketiga UUD 1945;

(Dr. Tundjung Herning Sitabuana, 2020;42)

Perubahan Keempat UUD 1945;


namun untuk memudahkan pemahaman secara sistematis, holistik, dan komprehensif,
UUD 1945 juga disusun dalam satu naskah yang di dalamnya mencakup naskah asli dan naskah
hasil perubahan pertama, kedua, ketiga dan keempat sesuai penomoran bab, pasal, atau ayat.22
Berbeda dengan UUD 1945 yang disahkan pada 18 Agustus 1945 yang terdiri dari tiga bagian
yaitu:
(1) Pembukaan;
(2) Batang Tubuh; dan
(3) Penjelasan;
UUD 1945 setelah perubahan terdiri dari dua bagian, yaitu:
(1) Pembukaan; dan
(2) Pasal-pasal. Terlihat adanya perubahan besar pada naskah UUD, yaitu
semula terdiri dari 16 bab, 37 pasal, 49 ayat, 4 pasal Aturan Peralihan dan 2 ayat Aturan
Tambahan dan setelah perubahan menjadi 21 bab, 73 pasal, 170 ayat, 3 pasal Aturan
Peralihan, dan 2 pasal Aturan Tambahan.
Setelah perubahan, UUD 1945 disebut Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945). Hal ini dapat dilihat dalam ketentuan Pasal II
Aturan Tambahan UUD NRI Tahun 1945). Selain itu juga terjadi perubahan sebagai berikut:
prinsip negara hukum yang sebelumnya terdapat dalam Penjelasan UUD 1945 dijadikan
ketentuan normatif dalam Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945, perubahan dalam susunan
dan kedudukan MPR, dihapuskannya kewenangan MPR untuk menetapkan GBHN,
ditambahkannya pasal-pasal yang mengatur pemilihan presiden dan wakil presiden, anggota
DPD, dan anggota DPRD secara langsung, pengaturan impeachment presiden dan wakil
presiden, tidak dimungkinkannya perubahan bentuk NKRI, ditambahkannya pasal yang
mengatur mengenai anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20%, hak asasi manusia
dirumuskan secara lengkap dan terinci, ditambahkannya pasal yang menjadi landasan
pelaksanaan pemilihan umum, diaturnya wilayah negara, dipertahankannya Pasal 29, diaturnya
lambang negara, ditetapkannya sistem perekonomian nasional, otonomi daerah yang diperluas,
dan penyempurnaan prosedur perubahan Undang-Undang Dasar

(Dr. Tundjung Herning Sitabuana, 2020;43-44)

BAB III
HUKUM DAN FUNGSI NEGARA
MENURUT UNDANG-UNDANG DASAR
NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

A. Hukum Negara dan Fungsi Negara Dalam UUD 1945


Oemar Senoadji berpendapat bahwa Negara Hukum Indonesia memiliki ciri-ciri khas Indonesia.
Karena Pancasila harus diangkat sebagai dasar pokok dan sumber hukum, maka Negara Hukum
Indonesia dapat pula dinamakan Negara Hukum Pancasila. salah satu ciri pokok dalam negara hukum
Pancasila adanya jaminan terhadap Freedom of religion atau kebebasan beragama. Ciri lainnya dari
Negara Hukum Indonesia menurut Senoadji ialah tiada pemisahan yang rigid dan mutlak antara
agama dan negara karena agama dan negara berada dalam hubungan yang harmonis.(Senoadji 1980)
Negara hukum pancasila adalah asas kerukunan untuk menciptakan terpeliharanya dan terlindunginya
kepentingan warga masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang berlandasan pada tertib
hukum, sebagaimana yang dikatakan oleh Abdoel Gani asas kerukunan diperlukan karena warga
masyarakat dalam usahanya memelihara dan melindungi kepentingan-kepentingannya disatu pihak,
usaha memenuhi kepentingan dan kebutuhan dasarnya dipihak lain, perlu dilaksanakan batas-batas
persatuan dan kesatuan dengan rangkuman kerukunan. Kesemuanya itu diarahkan pada usaha
berjalannya tertib kehidupan bernegara berlandasakan tertib hukum.

(ADE FARTINI,2018;4)

Setiap bangsa dan peradaban memiliki karakter yang unik, bahkan setiap bangsa memiliki karakter dan
kualitas tersendiri tidak ada yang bersifat superior satu diantara yang lainnya. Dalam hubungannya
dengan pembentukan sistem hukum, Von Savigny menyatakan bahwa suatu sistem hukum adalah
bagian dari budaya masyarakat. Hukum tidak lahir dari suatu tindakan bebas (arbitrary act of a
legislator), tetapi dibangun dan dapat ditemukan di dalam jiwa masyarakat. Hukum secara hipotetis
dapat dikatakan berasal dari kebiasaan dan selanjutnya dibuat melalui suatu aktivitas hukum (juristic
activity).
Hukum nasional harus mampu mengayomi dan memayungi seluruh bangsa dan negara dalam
segala aspek kehidupannya. Maka harus digunakan satu wawasan yang sama dalam usaha membangun
sistem hukum nasional. Ini berarti bahwa dalam merencanakan pembangunan hukum nasional, wajib
digunakan satu wawasan nasional meliputi wawasan nusantara, wawasan kebangsaan dan wawasan
bhineka tunggal ika yang mendukung kehidupan berbangsa dan bernegara di dalam Republik Indonesia
yang berdasarkan pada Pancasila dan UUD 1945.
Negara adalah merupakan organisasi kekuasaan atau ketentuan-ketentuan hukum yang tersusun
didalam suatu tatanan hukum, berdirinya negara akan bersamaan pula dengan saat berdirinya sistem
hukum negara tersebut. Keberadaan hukum dan peranannya dalam masyarakat,yaitu: Keinginan untuk
secepatnya menghapuskan peninggalan kolonial, dan harapan-harapan yang ditimbulkan pada
masyarakat dengan tercapainya kemerdekaan.(Mochtar Kusumaatmadja dalam C.F.G Sunaryati
Hartono 2006)
(ADE FARTINI,2018;5)

Hukum (sama dengan ekonomi atau politik atau masyarakat) merupakan suatu sistem, yang terdiri
dari sekian banyak unsur yang saling berkaitan dan saling mempengaruhi, sedemikian rupa sehingga
apabila satu unsur tidak berfungsi (bekerja sebagaimana mestinya. Demikian pula, apabila salah satu
bagiannya (misalnya peraturannya) diubah, semua unsur hukum lainnya harus diubah juga.
Sistem adalah keseluruhan yang terdiri dari banyak bagian atau komponen yang terjalin dalam
hubungan antara komponen yang satu dengan yang lain secara teratur.(Elias M. Awad 1979)
Sedangkan hukum nasional adalah hukum atau peraturan perundang-undangan yang dibentuk dan
dilaksanakan untuk mencapai tujuan, dasar, dan cita hukum suatu negara. Dalam konteks ini hukum
nasional Indonesia adalah kesatuan hukum atau peraturan perundang-undangan yang dibangun untuk
mencapai tujuan negara yang bersumber pada Pembukaan dan Pasal-pasal UUD 1945. Sebab, di dalam
Pembukaan dan Pasal-pasal UUD 1945 itulah terkandung tujuan, dasar, dan cita hukum negara
Indonesia.
(ADE FARTINI,2018;6)

Dengan demikian, sistem hukum nasional Indonesia adalah sistem hukum yang berlaku di seluruh
Indonesia yang meliputi semua unsur hukum (seperti isi, struktur, budaya, sarana, peraturan perundang-
undangan, dan semua sub unsurnya) yang antara yang satu dengan yang lain saling bergantung dan
yang bersumber dari Pembukaan dan Pasal-pasal UUD 1945.
Asas hukum nasional (Indonesia) ditarik dari kekayaan kultural serta pengalaman bangsa Indonesia
sendiri. Konsep negara hukum pancasila dengan ciri kerukunan dikemukakan juga oleh Philipus M.
Hadjon bahwa yang menjadi titik sentral negara Indonesia adalah keserasian hubungan antara
pemerintah dan rakyat berdasarkan asas kerukunan.(Philipus M.Hadjon 1987)
Padmo Wahyono memahami hukum adalah suatu alat atau wahana untuk menyelenggarakan
kehidupan kesejahteraan sosial, tercermin pada rumusan penjelasan UUD 1945: “Undang-undang dasar
hanya memuat aturan-aturan pokok, hanya memuat garis-garis besar sebagai intruksi kepada
pemerintah pusat dan lain-lain penyelengaraan negara untuk menyeleggarakan kehidupan negara,
kesejahteraan sosial”.
(ADE FARTINI,2018;7)

B. MEMAKNAKAN FUNGSI UNDANG-UNDANG DASAR SECARA IDEAL DALAM


PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG
1. Konstitusi Dalam Konstelasi Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia
Seperti telah diketahui sebelumnya, bahwa konstitusi merupakan kerangka bangunan pemerintahan
dan dokumen yang menjamin hak-hak asasi manusia serta wujud dari kesepakatan masyarakat untuk
membina dan mengatur masyarakat. Konstitusi dapat saja diartikan sebagai Undang-Undang Dasar
(Rumokoy, 2011). Sri Soemantri bahkan menyatakan bahwa konstitusi atau Undang-Undang Dasar
pada umumnya berisi 3 (tiga) hal pokok, yaitu:
(1) Jaminan terhadap hak asasi manusia dan warga Negara;
(2) Ditetapkannya susunan ketatanegaraan suatu negara yang bersifat fundamental; dan
(3) Adanya pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan yang juga bersifat fundamental
(Rumokoy, 2011).
Dari pemahaman mengenai konstitusi dan isinya, dapat dinyatakan bahwa memang konstitusi atau
Undang-Undang Dasar memuat aturan-aturan pokok tentang penyelenggaraan negara. Melalui itulah
dirumuskan berbagai aturan, kaidah yang membangun sistem ketatanegaraan suatu negara.
Berdasarkan hal tersebut, artinya, dari Undang-Undang Dasarlah dapat diketahui konstelasi sistem
ketatanegaraan Republik Indonesia. Menyebut Undang-Undang Dasar, sudah harus diketahui bahwa itu
merupakan sebagian dari hukum dasarnya Indonesia, karena di samping itu, masih ada hukum dasar
lain yang tidak tertulis yang disebut dengan konvensi ketatanegaraan. Dengan kata lain, Undang-
Undang Dasar merupakan sumber hukum formil suatu negara yang di dalamnya mengatur tentang
masalah ketatanegaraan dan hukum dasar bagi pengembangan peraturan, seperti di Undang-Undang,
dan peraturan perundang-undangan lain di bawahnya, bahkan sampai pengambilan kebijakan yang
berkaitan dengan kepentingan negara dan masyarakat.
(RICCA ANGGRAENI,2019;4)
Sebagai sumber bagi ketatanegaraan Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar menjamin
perlindungan hukum atas hak-hak asasi anggota masyarakatnya, dan landasan struktural
penyelenggaraan pemerintahan untuk mengatur tentang pengelolaan kekuasaan pemerintahan. Ini dapat
dilihat dari konstruksi sistematika Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Sebelumnya, dapat digunakan pendekatan sejarah dari perubahan Undang-Undang Dasar 1945. Pada
tahun 1999 sampai dengan tahun 2002, Undang-Undang Dasar telah mengalami empat tahap
perubahan. Empat tahap itu telah mengubah hampir keseluruhan materi muatan Undang-Undang Dasar.
Dari catatannya Jimly Asshiddiqie, perubahan terhadap naskah asli UUD 1945 telah menghasilkan 199
butir ketentuan dari sebelumnya 71 butir ketentuan. Dari 199 butir ketentuan yang ada dalam UUD
1945, hanya 25 (12%) butir ketentuan yang tidak mengalami perubahan. Selebihnya, sebanyak 174
(88%) butir ketentuan merupakan materi yang baru atau mengalami perubahan.
Perubahan yang terjadi secara mendasar tentu membawa perubahan bagi konstelasi sistem
ketatanegaraan Republik Indonesia. Pengaruh yang luar biasa terjadi, seperti pada munculnya lembaga-
lembaga yang memegang kekuasaan baru, perubahan kewenangan pada Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR), dan menghapus lembaga pemegang kekuasaan yang telah ada, yaitu Dewan
Pertimbangan Agung (DPA).
Pengaruh tersebut, misalnya pada lembaga yang memiliki kewenangan di bidang legislasi yaitu
Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Munculnya DPD dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia
tentu mengubah konstelasi pembentukan Undang-Undang di Indonesia. Semula kekuasaan membentuk
Undang-Undang dipegang oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, berubah
menjadi dipegang oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden. DPD sebagai
lembaga baru memiliki kewenangan untuk mengajukan ke DPR RUU yang berkaitan dengan otonomi
daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah,
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan
perimbangan keuangan pusat dan daerah. Selain mengajukan RUU, DPD juga memiliki kewenangan
untuk membahas dan melakukan pengawasan atas pelaksanaan RUU tersebut.
(RICCA ANGGRAENI,2019;4)
Pengaruh lainnya ialah pada kekuasaan kehakiman di dalam sistem ketatanegaraan Republik
Indonesia. Munculnya, lembaga baru seperti Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial mengubah
pelaksana kekuasaan kehakiman dari yang semula dilakukan oleh Mahkamah Agung dan badan-badan
lain kehakiman menurut Undang-Undang, menjadi dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan
badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama,
peradilan militer, peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Sedangkan
Komisi Yudisial hadir dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia untuk menjaga dan
menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
Pengaruh pereduksian dari kewenangan MPR ialah bahwa MPR tidak lagi berkedudukan
sebagai lembaga tertinggi negara, melainkan hanya sebagai lembaga negara, yang menjadi wadah dari
anggota DPR dan DPD. MPR hanya memiliki kewenangan untuk mengubah dan menetapkan Undang-
Undang Dasar, melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden, dan hanya dapat memberhentikan Presiden
dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut Undang-Undang Dasar. Dari yang semula
MPR memiliki kewenangan untuk menetapkan Undang-Undang Dasar dan garis-garis besar ada haluan
negara, memilih Presiden dan Wakil Presiden. (RICCA ANGGRAENI,2019;4)

C. Sistem Hukum Nasional Kaitannya Dengan Sistem Peraturan Perundang-Undangan Di


Indonesia
Berbicara sistem hukum nasional tidak bisa jauh dari berbagai sub sistem yang saling
mempengaruhi dan terkait sehingga membentuk satu kesatuan yang utuh dan teratur (Atmadja, 1984).
Sebagai suatu sistem yang mengalir dalam negara bertradisi civil law, tidak dapat dipungkiri bahwa
yang menjadi sub sistem paling berpengaruh ialah norma hukum yang tertulis dalam suatu peraturan
perundang-undangan. Mengingat, karena memang sumber hukum utama di negara bertradisi civil law
ialah Undang-Undang (aturan formal).
Berpijak dari deskripsi tersebut, di dalam pembentukan sub-sub sistem yang saling
mempengaruhi di dalam sistem hukum nasional, tidak boleh mangkir dari Pancasila yang menjadi
Staatsfundamentalnorm (norma dasar) di dalam konsep negara Indonesia. Hal ini penting, agar
penyusunan sistem hukum nasional menjadi searah dengan cita dan jiwa bangsa Indonesia. Dengan
demikian, pembangunan hukum nasional pun akan memainkan perannya untuk mencapai tujuan
negara, seperti yang sudah dirumuskan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
(RICCA ANGGRAENI,2019;6)
Menggunakan pendapatnya Lawrence M. Friedmann mengenai sistem hukum,aturan hukum
merupakan salah satu dari tiga unsur sistem hukum lainnya yaitu struktur dan budaya (Yuliandri,
2013). Aturan hukum atau legal substance dalam pemahamannya Satjipto Rahardjo ialah “produk” dari
sistem hukum itu sendiri yang diwujudkan dalam norma-norma hukum yang tertuang dalam peraturan
dan putusan hakim. Bahkan doktrin pun dapat dikategorikan sebagai legal substance dalam
pemahamannya Satjipto Rahardjo (Rahardjo, 1980). Agak mirip dengan yang dikatakan oleh Satjipto
Rahardjo mengenai substansi hukum yaitu yang diungkapkan oleh Laica Marzuki, bahwa “substansi
hukum merupakan seperangkat kaidah hukum yang lazim disebut dengan peraturan perundang-
undangan.” Tetapi, substansi hukum tidak hanya meliputi pengertian kaidah hukum tertulis tetapi juga
kaidah hukum kebiasaan atau tidak tertulis.
(RICCA ANGGRAENI,2019;7)
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025 pun telah menyebutkan
bahwa sistem hukum nasional dapat diwujudkan dengan pembangunan substansi hukum yang sesuai
dengan aspirasi masyarakat dan kebutuhan pembangunan, penyempurnaan struktur hukum dan
pelibatan seluruh komponen masyarakat yang berkesadaran hokum (Rohi, 2013).
Dengan demikian, seperti telah dinyatakan di awal bahwa dalam civil law system, substansi hukum
menjadi sub-sub dari sistem hukum yang menonjol dibandingkan dengan sub-sub sistem yang lain.
Pengembangan aturan hukum dalam peraturan perundang-undangan di civil law system menjadi arus
utama. Dikarenakan menjadi arus utama, pembentukan peraturan perundang-undangan menjadi
pekerjaan yang sulit bagi lembaga legislatif di Indonesia. Unger pun memperingatkan tentang
pembentukan norma hukum dalam peraturan perundang-undangan di suatu sistem hukum. Menurut
Unger, setiap sistem pembuat hukum akan mencerminkan nilai-nilai sosial-politik tertentu sebagai
akibat dari pilihan hukum tertentu dalam menentukan metode hukum tertentu. Dengan kata lain pilihan
terhadap metode hukum tertentu akan menghasilkan keputusan hukum yang tertentu pula.
Menurut Unger, hukum tak terpisahkan dari politik dan berbagai norma non-hukum lainnya. Hukum
dibentuk oleh berbagai faktor non-hukum seperti kepentingan ekonomi, ras, gender, atau politik dengan
mengandaikan interaksi dan negosiasi antar berbagai kelompok masyarakat. Akibatnya hukum akan
terisolasi dari konteks sosial-politiknya, jika pendekatannya hanya doktrinal. Ketika hukum terisolasi,
maka hukum tidak bisa mengatasi berbagai masalah sosial politik (Danardono, 2015).
Pembentukan hukum dalam konteks peraturan perundang-undangan memegang peranan penting
di dalam pembangunan sistem hukum nasional. Mewujudkan sistem hukum nasional yang mampu
membawa bangsa Indonesia mencapai cita dan tujuan negaranya diperlukan pembentukan peraturan
perundang-undangan yang sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila sebagai norma
fundamental negara dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai aturan
dasar atau aturan pokok negara. Meskipun dalam realitas empiriknya, interaksi dan negoisasi untuk
mencapai kesepakatan dalam menentukan nilai di suatu norma hukum dalam peraturan perundang-
undangan.
Melihat sub-sub sistem yang mendukung dan saling terkait di dalam sistem hukum nasional,
substansi hukum yang merupakan salah satu sub sistem dapat diartikan sebagai norma hukum peraturan
perundang-undangan. Dengan demikian, sistem hukum nasional sangat terkait dengan sistem peraturan
perundang-undangan, karena ini yang membentuk satu kesatuan yang utuh di dalam siklus legal
substance peraturan perundang-undangan di Indonesia. Melalui sistem peraturan perundang-undangan
dapat dilihat nilai yang hidup dan konsisten dari perwujudan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai upaya untuk mewujudkan cita dan tujuan negara dari
bangsa Indonesia.

(RICCA ANGGRAENI,2019;7)

D. Ideal Memaknakan Fungsi Undang-Undang Dasar Di Dalam Pembentukan Undang-Undang


Seperti yang dinyatakan oleh Mahfud Md, bahwa peraturan perundang-undangan merupakan
dokumen peraturan negara yang berada di bawah Undang-Undang Dasar (Mahfud Md, 2010). Ini
artinya, termasuk Undang-Undang.Dari berbagai jenis peraturan perundang-undangan, dengan
mengingat Pasal 7 dan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, Undang-Undang merupakan jenis peraturan perundang-undangan yang memiliki
kelebihan di atas peraturan perundang-undangan yang lain. Hal itu dikarenakan Undang-Undang
dibentuk langsung oleh perwakilan rakyat Indonesia yang termanifestasi dalam lembaga Dewan
Perwakilan Rakyat, dan dalam pembentukannya memerlukan persetujuan bersama dari Presiden.
Undang-Undang juga merupakan pengaturan lebih lanjut dari berbagai ketentuan yang terdapat dalam
Undang-Undang Dasar. Artinya, Undang-Undang merupakan landasan operasional yang menjadi
penentu bagi pelaksanaan penyelenggaraan negara dan pedoman bagi perilaku masyarakat dalam
pergaulan berbangsa dan bernegara.
(RICCA ANGGRAENI,2019;8)
Seperti diketahui, Undang-Undang Dasar yang merupakan aturan dasar atau aturan pokok
negara berbagai aturan yang membangun sistem ketatanegaraan suatu negara. Sebagai aturan dasar atau
pokok negara, pun, Undang-Undang Dasar berisi aturan-aturan umum yang masih merupakan norma
hukum tunggal, dan berfungsi sebagai landasan bagi pembentukan Undang-Undang dan peraturan lain
yang lebih rendah.
Undang-Undang Dasar sebagai bagian dari hukum dasarnya negara, juga dianggap sebagai
kerangka kehidupan politik suatu negara atau suatu aturan untuk menjalankan suatu organisasi negara.
Dengan pemahaman itu, disadari betul bahwa Undang-Undang Dasar memiliki peranan sentral di
dalam penyelenggaraan negara. Bahkan, Undang-Undang Dasar menjadi titik pijak bagi politik hukum
yang akan bertanggung jawab melahirkan sistem hukum nasional untuk mencapai tujuan negara,
karena di dalam Undang-Undang Dasar, tidak hanya terdiri dari pasal-pasal batang tubuh, melainkan
juga pembukaan yang di dalamnya tertuang tujuan dan cita negara, bahkan landasan filosofis negara
Indonesia, yaitu Pancasila.
(RICCA ANGGRAENI,2019;8)
Sebagai negara yang lebih mengkonsepkan hukum sebagai norma yang tertuang dalam
bentuknya yang pasti yaitu peraturan perundang-undangan, aliran positivisme hukum atau legisme
tentu sudah mendarah daging dalam pembentukan sistem hukum di Indonesia. Oleh karena itu, ajaran
hukum sebagai kehendak yang dikemukakan oleh John Austin dan Stufenttheorie yang dikemukakan
oleh Hans Kelsen sangat dimaknai dalam sistem perundang-undangan di Indonesia, sehingga norma
hukum yang lebih tinggi menjadi dasar dan sumber bagi pembentukan norma hukum di
bawahnya.Artinya, norma hukum yang lebih rendah hierarkinya mendapatkan aliran dari norma hukum
yang lebih tinggi.
Kembali apabila merujuk pada Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 yang telah
menentukan jenis dan hierarki peraturan perundang- undangan di Indonesia, bahwa Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang lebih memiliki kekuatan hukum mengikat
berdasarkan tingkatannya, dibandingkan dengan peraturan perundang-undangan lain, sehingga dapat
ditemukan jenis peraturan perundang-undangan yang menjadi sumber aliran, yaitu Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Aliran yang dimaksud dalam kajian ini ialah aliran nilai, sehingga nilai yang terkandung dalam norma
hukum yang lebih tinggi terkandung pula di dalam norma yang lebih rendah. Jika, nilai itu dapat
dicapai, konsekuensi logisnya ialah, tujuan yang hendak dicapai oleh norma yang lebih tinggi dapat
dicapai pula oleh norma yang lebih rendah, sehingga antara norma-norma itu tercipta harmonisasi
dalam dinamika untuk mencapai tujuan bersama, di dalam sebuah sistem peraturan perundang-
undangan. Setiap jenis peraturan perundang-undangan, bahu membahu untuk mewujudkan nilai yang
terkandung di dalam Undang-Undang Dasar, sehingga tujuan dan cita negara akhirnya dapat tercapai
(RICCA ANGGRAENI,2019;8)

Hal tersebutlah yang menurut Arief Hidayat ialah sebagai politik hukum instrumental atau
operasional, sehingga nilai-nilai di dalam norma-norma hukum peraturan perundang-undangan
memiliki konsistensi, koherensi dan korespondensi dengan politik hukum dasar, dalam hal ini ialah
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan ideal yaitu Pancasila. Hal ini
penting, mengingat –pun yang dinyatakan oleh Barda Nawawi Arief bahwa Pancasila merupakan
landasan filosofis bagi terbentuknya Politik dan Sistem Hukum Nasional Indonesia, sehingga dalam
landasan operasionalnya terbangun, terbina dan terwujud nilai-nilai Pancasila (Arief, 2012). Dengan
kata lain, seluruh sistem peraturan perundang-undangan di Indonesia harus secara konsisten
mengimplementasikan nilai-nilai dalam Undang-Undang Dasar untuk mengatur penyelenggaraan
negara dan kehidupan masyarakat secara luas (Arief, 2008).
Tetapi dalam realitasnya, nilai-nilai itu belum tentu terbangun dan terwujud dalam sistem
peraturan perundang-undangan di Indonesia, atau dalam bahasa perundang-undangannya ialah
sinkronisasi dan harmonisasi tidak teramu dalam suatu sistem, sehingga nilai yang terkandung antara
norma yang termuat tidak harmonis dengan nilai yang terkandung dalam Undang-Undang Dasar.
Persoalan tidak harmonisnya kandungan nilai di dalam suatu peraturan perundang-undangan, perlu
mengingat yang dinyatakan oleh Unger, bahwa setiap sistem pembentuk hukum akan mencerminkan
nilai-nilai sosial-politik tertentu. Oleh karenanya, hukum tak terpisahkan dari politik dan berbagai
norma non-hukum lainnya. Hukum dibentuk oleh berbagai faktor non-hukum seperti kepentingan
ekonomi, ras, gender, atau politik dengan mengandalkan interaksi dan negosiasi antar berbagai
kelompok masyarakat.
(RICCA ANGGRAENI,2019;9)
Apabila di dalam pembentukan Undang-Undang masih didominasi oleh kepentingan tertentu
dengan mengandalkan interaksi dan negoisasi untuk mencapai kesepakatan diantara berbagai kelompok
masyarakat, maka yang terjadi ialah kemungkinan bertambahnya jumlah pengajuan judicial review atas
Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar ke Mahkamah Konsitusi. Oleh karena itu,
sesungguhnya pekerjaan membentuk Undang-Undang bukanlah pekerjaan yang mudah, karena harus
memahami makna yang terkandung di dalam Undang-Undang Dasar, baik di bagian pembukaan dan
pasal-pasal dalam batang tubuh Undang-Undang Dasar.
Membentuk Undang-Undang, artinya membuat landasan operasional bagi penyelenggaraan kehidupan
bernegara, membuat landasan berperilaku bagi seluruh bangsa Indonesia, sehingga diperlukan
pemahaman yang sangat mendasar mengenai permasalahan, realitas yang ada atau dihadapi dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Memahami suatu permasalahan atau realitas yang ada pun bukan
pekerjaan yang mudah, diperlukan metode penelitian yang tepat sehingga membawa pada pilihan
penyelesaian yang juga tepat untuk permasalahan tersebut. Artinya, di dalam pembentukan Undang-
Undang, akan berbahaya sekali jika, pembentuknya memahami persoalan tidak secara mendasar karena
akan memangkas lagi ide dan gagasan yang akan tertuang dalam bahasa teks peraturan perundang-
undangan.
Penuangan norma hukum dalam peraturan perundang-undangan, menurut kajian ini tidak cukup
dianggap selesai jika hanya mengandalkan pada teori jenjang norma Hans Kelsen secara formalitas.
Maksudnya, norma yang lebih tinggi hanya digunakan sebagai dasar hukum mengingat saja tanpa
memahami lebih jauh mengenai nilai atau teks bahasa dari pasal-pasal dalam batang tubuh Undang-
Undang Dasar. Terlebih jika hanya mengandalkan pada negosiasi untuk mencapai kesepakatan demi
kepentingan politik yang perlu diakomodasi di dalam pembentukan Undang-Undang. Jika hanya ini
yang dilakukan, maka norma hukum di dalam Undang-Undang akan collapse dan terisolasi ketika
harus menyelesaikan masalah di masyarakat. Ini pun akan berbahaya jika Undang-Undang akan
menjadi sumber dan dasar bagi pembentukan peraturan pelaksana dan peraturan otonom, bahkan
sampai ke peraturan di tingkat daerah. Oleh karena itu sistem peraturan perundang-undangan yang
dibentuk tidak mampu mendukung pembangunan sistem hukum nasional, bahkan hanya menyebabkan
penumpukan regulasi yang tidak efektif dan efisien.
(RICCA ANGGRAENI,2019;9-10)

Diperlukan pemahaman makna dari suatu teks bahasa Undang-Undang Dasar untuk dapat
mengadopsi nilai yang terkandung di dalamnya untuk diturunkan ke peraturan perundang-undangan
yang lebih rendah. Misalnya saja, ada yang menawarkan dengan menggunakan hermeneutika. Melalui
hermeneutik, kebenaran menjadi sesuatu yang harus ditemukan dan dicari untuk keadilan dan
kemanfaatan hukum, meskipun itu tidak pernah final. Hermeneutika dianggap penting, karena norma
dalam konteks Undang-Undang dianggap sebagai penentu dari nasib manusia di suatu negara. Melalui
hermeneutika, pembentuk Undang-Undang dapat sampai ke perenungan lebih mendasar tentang apa
artinya 'menafsir', apa resiko terjauhnya, dan faktor apa saja yang perlu diwaspadai di dalamnya
(Puspitadewi, 2017).
(RICCA ANGGRAENI,2019;10)
Dengan demikian, memfungsikan Undang-Undang Dasar sebagai pembangun dari sistem hukum
nasional, dalam hal ini ialah sistem peraturan perundang-undangan Indonesia menjadi penting agar
pembentukan Undang-Undang tidak menemukan kesia-siaan dan mampu menurunkan nilai dari norma
hukum yang lebih tinggi ke norma hukum yang lebih rendah. Efek dominonya yang diharapkan timbul
ialah berkurangnya jumlah pengajuan judicial review atas Undang-Undang terhadap Undang-Undang
Dasar di Mahkamah Konstitusi.Artinya, memang dibutuhkan pemaknaan secara ideal dari fungsi
Undang-Undang Dasar yang sesungguhnya, bahkan pendekatan filsafati dapat menjadi pilihan untuk
dapat memahami makna yang terkandung dalam teks bahasa Undang-Undang Dasar agar norma hukum
yang dituangkan dalam Undang-Undang sebagai landasan operasional dapat pula berfungsi dengan
baik sebagai salah satu sub sistem dari sistem hukum nasional.

(RICCA ANGGRAENI,2019;10)

DAFTAR PUSTAKA

Anggraeni, Ricca. 2019. “Memaknakan Fungsi Undang-Undang Dasar Secara Ideal Dalam
PembentukaUndang-Undang.” Masalah-Masalah Hukum 48 (3):
283https://doi.org/10.14710/mmh.48.3.2019.283-293.

Elias M. Awad. 1979. System Analysis and Design.

I Made Widnyana. 2013. Hukum Pidana Adat Dalam Pembaharuan Hukum Pidana,.

Iv, B A B. 2000. “Atau Bahasa Belanda,” 1–34.

Konstitusi, Mahkamah. 1945. “Implikasi Perubahan Uud 1945.” Universitas Stuttgart, no. 7.
M.D.A. Freeman. 2001. “Lloyd’s Introduction to Juricprudence,.” In .

Mahfud MD. 2006. Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi,.

Mochtar Kusumaatmadja dalam C.F.G Sunaryati Hartono. 2006. Bhinneka Tunggal Ika Sebagai
AsasHukum Bagi Pembangunan Hukum Nasional,.

Philipus M.Hadjon. 1987. Perlinduangan Hukum Bagi Rakyat Di Indonesia, Bina Ilmu,.

Saputra, Yulianta. 2018. “Sejarah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Sebagai Konstitusi Di Indonesia.” Www.Vivajusticia.Law.Ugm.Ac.Id, no. June: 0–7.

Senoadji, Oemar. 1980. Peradilan Bebas Negara Hukum.

Tatang. M. Amirin. 2003. Pokok-Pokok Teori Sistem.

Teguh Prasetyo, Arie Purnomosidi. 2014. Membangun Hukum Berdasarkan Pancasila

Asshiddiqie, Jimly, 2005, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD 1945,
Yogyakarta : FH UII PRESS

Asshiddiqie, Jimly, 2006, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta : Konstitusi Press.

Asshiddiqie, Jimly, 2006, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Jakarta :
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI Indra,

Muhammad Ridhwan. 1998, Dalam UUD 1945 Kekuasaan Eksekutif Lebih Menonjol (Executive
Heavy), Jakarta :

Haji Masabung. Isra, Saldi, 2002, Konstitusi Baru Melalui Komisi Konstitusi : Memastikan Arah
Reformasi Konstitusi, dalam Jurnal Analisis CSIS, Tahun XXXI/ Nomor 2

. Kelsen, Hans, 1973, General Theory of Law and State , New York : Russel & Russel Kusnardi, Moh.
dan Harmaily Ibrahim,1998, Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta : Pusat Studi Hukum Tata Negara
FH UI Mahfud MD, Moh., 1998, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta : LP3ES

Mahfud MD, Moh., 2000, Demokrasi Dan Konstitusi di Indonesia, Studi Tentang Interaksi Poli-tik
dan Kehidupan Ketatanegaraan, Jakarta : Rineka Cipta Marshall, Geoffrey, 1971, Constitutional
Theory, London : Oxford University Press Wahyudi, Agu,s 2005, “Doktrin Pemisahan Kekuasaan Akar
Filsafat dan Praktek”, dalam Jurnal Hukum Lentera, “Negara & Kekuasaan”, Edisi 8 Tahun III, Maret

You might also like