You are on page 1of 11

Ringkasan Hasil Penelitian

PENYEBARAN BERITA HOAX TENTANG POLITIK MELALUI BUZZER


MENJELANG PEMILU DI INDONESIA PADA SOSIAL MEDIA

DOSEN PENGAMPU :
Di Susun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Kewarganegaraan
Oleh :
FATIMATUZZAHRA 210103040197
NAZRAH KHAIRINA 210103040262
RISWAN HADI 210103040258

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ANTASARI


FAKULTAS USHULUDDIN DAN HUMANIORA
PSIKOLOGI ISLAM
2022
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Media sosial saat ini telah menjadi media yang sangat berpengaruh terhadap
opini publik di mana setiap terjadinya suatu fenomena dapat berawal atau berkembang
dari adanya pengaruh di ruang diskusi yang terjadi di media sosial. Berbagai reaksi
masyarakat terhadap suatu fenomena tentu tidak lepas dari peran media massa ataupun
media sosial. Hal ini dapat dipastikan karena media memiliki kekuatan untuk
mempengaruhi proses pembentukan opini dan sudut pandang masyarakat. Media dapat
membentuk citra atau justru menciptakan stigma pada pihak-pihak yang
diberitakannya. Media dapat secara langsung mempengaruhi pemikiran banyak orang,
mentransformasikan pandangan mereka tentang dunia sosial (Tamburaka, 2012: 14).
Hal ini dapat kita amati pada fenomena-fenomena sosial yang seringkali muncul di
media sosial, seperti media sosial twitter. Hampir keseluruhan fenomena yang hadir di
media sosial merupakan bentuk dari apresiasi atau polemik terhadap realitas yang telah
atau sedang terjadi. Misalnya pada fenomena tagar #JaksaRasaBuzzerRp di media
sosial twitter.

Istilah buzzer mulai dikenal sejak media sosial banyak digunakan oleh
masyarakat dunia termasuk di Indonesia. Media sosial dianggap paling efektif untuk
pemasaran sebuah produk atau jasa. Kini, di timeline media sosial baik di Facebook,
Instagram, Path, Twitter dan lain-lain sering dijumpai postingan baik oleh artis, institusi
atau orang biasa yang memiliki pengikut /followers hingga jutaan orang tentang sebuah
event atau produk/jasa. Bisa jadi merekalah yang disebut dengan buzzer karena
dianggap memiliki pengaruh terhadap pendapat para followers-nya. Mereka juga biasa
disebut dengan endorsement, yaitu seorang artis atau buzzer yang menerima bayaran
dari suatu brand untuk memperomosikan produk atau sesuatu yang berkaitan dengan
brand itu melalui akun media sosialnya.

Buzzer di media sosial dipandang efektif dalam memasarkan suatu produk.


Tidak hanya itu pekerjaan sebagai buzzer itu juga kini dinilai sangat menjanjikan.
Menjadi buzzer tidak sebatas para artis atau orang terkenal saja, namun orang biasa
tetapi memiliki followers/friends di akun media sosialnya hingga jutaan bisa saja
menjadi buzzer dengan penghasilan yang tinggi. Pekerjaan buzzer dianggap tidak
terlalu sulit, karena hanya dengan memiliki akun di media sosial, memasarkan
produk/jasa, dan bisa dilakukan kapan dan dimana saja, seorang buzzer dapat
memperoleh penghasilan yang menjanjikan.

Karena keberhasilannya di bidang marketing tersebut, jasa buzzer banyak


digunakan berbagai kalangan, mulai dari perusahaan yang memiliki brand yang sudah
terkenal hingga orang biasa yang baru membuka usaha startup untuk untuk
memasarkan produk/jasa mereka. Bahkan di bidang politik, profesi buzzer ini malah
menjadi sebuah keharusan untuk ada dalam proses marketing partai politik maupun
pemilihan kepala daerah atau kepala negara. Buzzer dianggap salah satu aktor paling
penting dalam penggalangan opini di dunia maya yang menjalankan fungsi pemasaran.

Hanya saja, pemakaian istilah buzzer di media sosial saat Pemilihan Kepala
Daerah (Pilkada) dan Pemilihan Umum (Pemilu) Presiden cenderung diidentikkan
dengan penggunaan strategi kampanye negatif sehingga membuat istilah tersebut
terkesan negatif. Dalam Pilkada dan Pemilu, banyak kandidat kepala daerah yang
menggunakan jasa buzzer dan mereka biasanya sudah organik dan menyatu dalam tim
sukses pasangan calon, bisa juga adalah kader dari partai tertentu. Buzzer merupakan
salah satu ujung tombak kesuksesan seorang calon kepala daerah/negara dalam masa
proses pemilihan berlangsung karena tidak hanya melakukan fungsi marketing semata,
namun juga bekerja untuk menjatuhkan serta menjelek-jelekkan pasanganpasangan
calon lainnya (termasuk menyerang dengan ujaran kebencian dalam berbagai bentuk).
Sebaliknya mereka juga melakukan pembelaan terhadap salah satu pasangan calon
yang didukung. Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, maka studi ini ingin
mengkaji sejauh mana para buzzer politik melakukan fungsi gandanya dalam Pilkada
dan Pemilu di Indonesia melalui media sosial baik sebagai merketing maupun produser
kampanye gelap (black campaign). Tujuan studi ini adalah untuk mendapatkan
gambaran tentang fungsi ganda para buzzer politik melalui media sosial dalam Pilkada
dan Pemilu Indonesia baik sebagai merketing maupun produser kampanye gelap (black
campaign)

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana proses penyebaran berita hoax tentang politik dalam masyarakat
menjelang pemilu di sosial media melalui buzzer ?
2. Bagaimana pendapat masyarakat mengenai penyebaran berita hoax tentang politik
dalam masyarakat menjelang pemilu di sosial media melalui buzzer
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Untuk mengetahui lebih jauh mengenai penyebaran hoax tentang politik dalam
masyarakat menjelang pemilu di sosial media melalui buzzer.
2. Untuk mengetahui pendapat masyarakat mengenai penyebaran berita hoax tentang
politik dalam masyarakat menjelang pemilu di sosial media melalui buzzer.

Di samping adanya tujuan penelitian, terdapat pula manfaat yang dapat diperoleh dari
penelitian ini, diantarannya:

a. Kegunaan Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi


pembaca untuk menambah wawasan dan informasi akademis mengenai berita hoax
di masyarakat melalui buzzer terkhususnya buzzer politik serta bagaimana
stigmatisasi terhadap buzzer politik di media sosial dapat terbentuk.
b. Kegunaan Praktis Penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi pembaca
terkhususnya bagi para pengguna media sosial agar dapat lebih cermat dan bijak
dalam menanggapi isu atau fenomena yang ada sehingga karakteristik sebagai
pengguna media sosial yang sehat dan cerdas dapat terwujud.

II. METODE PENELITIAN

A. Lokasi, Subjek dan Objek Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada beberapa orang yang berada di lokasi yang
berbeda-beda di wilayah Indonesia, dimana ditemuinya kasus yang menjadi objek
penelitian ini. Pengambilan lokasi penelitian dilakukan secara acak dengan
pertimbangan kemudahan akses dan komunikasi terhadap subjek yang menjadi
responden penelitian. Cakupan wilayah penelitian diharapkan memberi gambaran
yang mewakili varian berbagai latar belakang alasan mengapa dan bagaimana berita
hoax bisa menyebar di masyarakat.

B. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah


wawancara (interview), yaitu dengan mengadakan komunikasi langsung kepada
responden guna mencari jawaban atas fenomena praktik penyebaran hoax yang ada di
kalangan masyarakat. Wawancara dilakukan terhadap para pengguna sosial media
maupun informan yang terlibat untuk mempertajam data yang dikaji. Wawancara
dilakukan secara mendalam, namun tidak terstruktur.

C. Teknik Analisis Data

Analisis data merupakan upaya mencari dan menata secara sistematis catatan
hasil observasi, wawancara dan dokumentasi untuk meningkatkan pemahaman
peneliti tentang temuan permasalahan yang diteliti.

Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan deskriptif analisis.


Setelah semua data terkumpul dari hasil wawancara, observasi dan dokumenter
dengan responden dan informan, maka selanjutnya peneliti akan melakukan
pengolahan data.

Metode analisis data dalam penelitian ini menggunakan model analisis


interaktif, dimana tahapan yang ditempuh yaitu :

1. Reduksi data; melalui tahapan ini, melakukan pengamatan secara cermat terhadap
data yang diperoleh, mengkategorisasikan, memfokoskan dan menelaahnya.
Reduksi data ini juga dilakukan ketika pengumpulan data berlangsung dengan
membuat ringkasan dari catatan data yang diperoleh di lapangan.

2. Penyajian data; peneliti menyajikan data tersebut dalam bentuk catatancatatan yang
telah tersusun secara logis dan sistematis. Jika sajian data ternyata ada yang kurang
lengkap, peneliti akan mengumpulkan kembali data la6pangan.

3. Penarikan kesimpulan dan verifikasi; semua data yang sudah disajikan, ditafsirkan
sesuai dengan konteks permasalahan dan tujuan penelitian yang sudah ditentukan.
Verifikasi data bisa dilakukan dengan diskusi, ataupun cross check dengan sajian
data yang lain.

Semua proses tersebut terkait erat dengan kegiatan pengumpulan data, karena
ini merupakan langkah awal sekaligus posisi kunci, di mana peneliti bisa kembali
pada posisi tersebut, jika pada salah satu tahapan dirasakan ada kekurangan.

III. HASIL PENELITIAN

A. Penyajian Data
Fenomena hoax di media sosial ini dipandang sangat menimbulkan bermacam
masalah. Seperti yang sudah dikemukakan sebelumnya bahwa hoax paling banyak
menyebar di media sosial. Sebenarnya di sisi lain media sosial itu dapat meningkatkan
hubungan pertemanan, karena dengan media sosial yang sekarang kita tidak hanya
kenal dengan orang lain yang berbeda daerah saja, namun kita bahkan bisa berteman
dengan orang lain yang berbeda negara dengan adanya media sosial ini. Tidak hanya
untuk menambah pertemanan, namun menjadi ladang bisnis online juga. Seperti yang
kita rasakan sekarang, dengan adanya media sosial akan sangat mempermudah kita
untuk mencari uang, karena banyak sekali manfaat media sosial jika kita
menggunakannya dengan baik. Dengan media sosial kita bisa berbisnis, misalnya
bisnis baju online, sudah banyak kita dapati pembelian baju online dengan cara
pembeliannya yang mudah. Tidak hanya itu bisnis online pun akan sangat menghemat
waktu kita, karena dengan adanya media sosial membuat semuanya menjadi praktis.
Di sisi lain media sosial itu sering menjadi pemicu bermacam masalah seperti
maraknya penyebaran hoax, ujaran kebencian, hasutan, caci maki, adu domba, dan
lainnya.
Berdasarkan hasil dari penelitian Mastel (2017), jenis hoax yang sering diterima oleh
masyarakat adalah dalam bidang sosial politik, pilkada, pemerintah dan juga SARA.
Dalam penelitian ini yang mana kasus-kasus dalam bentuk informasi atau berita dan
juga gambar hoax yang berhubungan dengan pemilu, yang mana masing-masing
buzzer akan saling serang dan bertahan demi satu pihak yang di dukung.
Hal yang kerap kali menjadi perhatian mengenai hadirnya buzzer politik di media
sosial adalah pesan kampanye yang disampaikan kepada masyarakat. Hadirnya buzzer
akan memberikan peluang kerja yang bagus, namun akhir-akhir ini, pesan kampanye
yang disebarkan oleh buzzer politik cenderung merupakan kampanye negatif bukan
kampanye positif. Berdasarkan hasil diskusi yang telah peneliti lakukan dengan
seorang pengamat media sosial, Bapak Nukman Luthfie, hadirnya buzzer politik di
media sosial merupakan hal yang sah-sah saja untuk dilakukan. Bahkan hadirnya
profesi buzzer di media sosial merupakan lapangan kerja yang bagus untuk
mengurangi angka pengangguran di Indonesia, asalkan pesan kampanye yang
disampaikan bukan merupakan hoax. Model kampanye negatif memang
diperbolehkan, tapi hal ini dikhawatirkan akan memunculkan berita-berita
Pemanfaatan akun-akun palsu ataupun anonim oleh buzzer ini pernah dikupas dalam
tayangan Tech a Look tanggal 8 Oktober 2019 (Umah 2019). Tayangan ini
mengungkapkan beberapa jenis akun yang digunakan oleh buzzer antara lain akun bot
sebesar 80 %, akun cyborg 11 %, akun bajakan sebesar 7 % dan penggunaan akun
manusia sebanyak 87 %. Bervariasinya akun yang digunakan ini menjadikan aktivitas
buzzer dapat tersebar secara cepat dan sukar untuk dihentikan. Konstruksi Pesan Viral
Buzzer dalam Proses Pembentukan Opini Publik di New Media 1. Pola Kerja Buzzer
dalam Mengolah Pesan Peran buzzer pada dasarnya sangat bergantung dari
bagaimana mereka dalam mengemas dan menyampaikan pesan ataupun narasi-narasi
yang ditujukan kepada khalayak. Buzzer sebagai komunikator dalam hal ini juga
memiliki tujuan tertentu maupun hal-hal yang hendak dicapai. Meskipun tidak semua
konten yang mereka buat merupakan tanggapan murni atas sebuah isu. Melainkan
merupakan pesan yang dibuat sedemikian rupa untuk mempengaruhi publik sebagai
komunikan, khususnya bagaimana opini publik dapat berubah arah sebagaimana yang
mereka inginkan. Perkembangan media sosial hari ini pun semakin beragam dan
dilengkapi dengan fitur-fitur canggih yang semakin memudahkan buzzer dalam
melakukan berbagai aktivitasnya. Seperti menulis postingan (status, tweet, ataupun
caption) dan komentar, membagikan link informasi, foto, video, ataupun meme terkait
isu-isu publik. Berbagai postingan ini di satu sisi memang terkesan spontan dan
bersifat individual. Namun pada kenyataannya tidak selalu demikian. Pada dasarnya
sebagian besar aktivitas buzzer di platform media sosial tidak terjadi begitu saja.
Dalam arti sebelum membagikan suatu postingan, buzzer juga dibantu oleh beberapa
orang dengan job desk yang berbeda. Sebagaimana skema di bawah ini : Klien
Supplier Data Digital Strategist Gambar 2 (Sumber: Telah diolah kembali
berdasarkan hasil wawancara dengan informan)
Skema ini menunjukkan bahwa buzzer secara hierarki berada di urutan paling bawah
atau akhir dari aktivitas buzzing sebuah isu/ wacana. Aktivitas buzzer bermula dari
adanya klien (individu, kelompok, perusahaan, lembaga atau institusi) yang meminta
untuk mengelola sebuah isu. Baik yang berkaitan dengan personal branding
(pencitraan terhadap seseorang), company branding (pencitraan perusahaan),
marketing product (pemasaran produk) maupun pembuatan konten-konten, narasi atau
isu tertentu. Setelah disepakati jenis isu atau wacana yang ingin dibuat, maka
selanjutnya bagian supplier data akan mencari dan mengumpulkan data-data yang bisa
digunakan untuk m*embuat isu atau wacana tersebut. Lalu data-data tersebut akan
diriset ulang oleh seorang digital strategist. Hasil riset ini tidak dibuat begitu saja,
melainkan diolah dengan menggunakan teori simulacra atau teori simulasi dan media.
Teori simulacra inilah yang kemudian menjadikan sebuah isu dapat “dimainkan” guna
mengubah persepsi ataupun opini masyarakat tentang simbol (tanda) dalam realita
tidak seperti apa adanya. Di samping itu secara tidak langsung unggahan ataupun
aktivitas buzzer juga bersentuhan dengan ragam ilmu komunikasi. Seperti jurnalistik,
dramaturgi, ataupun linguistik. Setelah isu atau konten tersebut dibuat, digital
strategist juga berperan untuk membuat tahapan dan merencanakan waktu pemuatan
isu atau konten tersebut serta penyebarannya di media sosial. Selanjutnya pada tahap
akhir buzzer dan infuencer bertugas untuk menyebarkan dan membahas isu tersebut
sesuai waktu yang ditetapkan. Ismail Fahmi, seorang Pakar Media Sosial, Analisis
Drone Emprit & Kernels Indonesia (CNN Indonesia Connected, 2020)
menggambarkan peran buzzer dimulai dari adanya pengumpulan data berupa
percakapan yang dilakukan netizen di media sosial. Percakapan tersebut dianalisis
dalam arti melihat isuisu yang mendapat perhatian publik. Selanjutnya ditetapkan
strategi ataupun rencana untuk mengangkat isu secara lebih luas yang terwakili
melalui teks, berita, kultwit ataupun meme. Operasi buzzer pun baru ditandai dengan
penyebaran konten (sharing, posting maupun tweet) ke berbagai platform media
sosial. Konten-konten ataupun pesan yang disebarkan oleh buzzer ini selanjutnya
akan diamplifikasi ataupun direspon oleh user media sosial maupun netizen. Hingga
tak jarang konten-konten tersebut justru mampu mengubah pandangan ataupun opini
dari publik. 2. Isu-isu Popular di Media Sosial Pada tahun 2020 lalu, beberapa
peristiwa ataupun isu-isu yang beredar di masyarakat luas dan pengguna media sosial
dipengaruhi oleh konten-konten yang dibuat, diolah kembali dan dibagikan oleh
buzzer. Isuisu popular ini berasal dari berbagai bidang yang memang menarik
perhatian khalayak. Portal berita detik.com (2020) dalam artikel yang ditulis oleh
Lisye Sri Rahayu mengutip pernyataan Direktur Komunikasi Indonesia Indicator,
Rustika Herlambang menyebutkan bahwa ada sejumlah isu popular yang mewarnai
tahun 2020. Namun dari berbagai isu tersebut, isu yang menempati posisi teratas
adalah tentang covid 19.
B. Deskripsi Kasus
Responden I
Menurut responden 1 yang merupakan guru di salah satu sekolah , bahwa berita hoax
itu pasti ada, namun juga ada kebenaran di dalamnya. Akan tetapi barangkali berita
tersebut dilebih lebihkan hingga menjadi berita hoax. Menurutnya berita-berita itu
tidak sepenuhnya hoax 100 %, namun karena isi dalam suatu berita tersebut dilebih-
lebihkan, maka jatuhnya menjadi berita hoax.
Responden 2
Menurut responden 2, hoax itu ialah berita yang tidak sesuai dengan faktanya atau
fakta yang terlalu dilebih-lebihkan. Untuk berita-berita mengenai pemilu di media
sosial ia tidak terlalu mengikuti, namun menurutnya berita hoax yang disebarkan
tersebut bertujuan untuk menjatuhkan pihak tertentu pada saat pemilu. Jika
menemukan suatu berita ia akan memeriksa berita tersebut lebih dulu apakah benar
atau tidak, jika tidak benar ia tidak ak6an menyebarkan berita tersebut.
Responden 3
Menurut responden 3 yang merupakan salah satu mahasiswa hukum di universitas
lambung mangkurat, berita hoax atau informasi yang dibuat-buat dan seolah-olah
benar adanya. Berita hoax sebelum pemilu biasanya bertujuan untuk melemahkan
kepercayaan si pemilih agar merasa tidak nyaman. Kita sering menjumpai kasus-
kasus berita hoax yang mana penyebarannya melalui internet.
Menyebarkan informasi atau berita hoax bisa dikenakan hukum positif, yang
dimaksud hukum positif adalah hukum yang berlaku. Seseorang yang menyebarkan
hoax dapat dipidanakan sesuai KUHP, Undang-Undang No.11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Selain itu penyebar juga bisa dikenakan
Undang-Undang No.40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis,
karenakan hal tersebut bisa mengakibatkan kebencian dan konflik sosial.
Sebagai anak milenial, diharapkan kita dapat bijak bermedia sosial apalagi dalam
menanggapi berita hoax yang sangat mudah tersebar.
C. Analisis
Berita hoax sering kali menimbulkan keresahan di tengah masyarakat. Menjelang
pemilu biasanya ada saja buzzer yang menyebarkan berita hoax yang bertujuan untuk
menjatuhkan kandidat lawan. Terlebih lagi di zaman sekarang ini sangat mudah untuk
mengakses informasi.. Media sosial menjadi sarana yang mudah untuk menyebarkan
isu-isu, SARA dan informasi palsu atau hoax.. Hal itu tentu nya merugikan banyak
orang. Terkhusus orang- orang awam yang tidak tau kebenaran apalagi males
membaca fakta jadi mudah terpengaruh dengan isu-isu atau hoax yang secara lebih
praktis disuguhkan. Mirisnya, para buzzer yang terlibat itu ternyata justru malah
digaji besar (yg dicurigai) oleh pihak yang terlibat di pemilu untuk saling
menjatuhkan pihak lawan. Secara tidak langsung ini malah menguntungkan pihak
tertentu. Dampaknya pun fatal menurut kami kalau terus terjadi. Minimnya fakta atau
ada fakta namun tertutupi hoaks mengakibatkan orang bisa salah dalam memilih yang
akhirnya malah memilih orang yang tidak berkompeten untuk kemajuan negara. Terus
juga, akhirnya yang menjadi korban kalau negara nya kacau balau juga masyarakat
awam yang mudah terprovokasi hoax tadi.

IV. PENUTUP

A. Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA

Juditha, Christiani.2019. Buzzer di Media Sosial Pada Pilkada dan Pemilu Indonesia

You might also like