You are on page 1of 8

Bercerita Sebagai Metode Mengajar Dalam Mengembangkan Kemampuan

Dasar Bahasa Anak Usia Dini

Mas’uda1,
,2Universitas Terbuka

uutmasuda123@gmail.com

Abstrak: Cerita adalah salah satu pendekatan yang digunakan oleh pendidik
anak usia dini. Mendongeng sangat membantu mereka, tetapi tidak semua orang
bisa melakukannya. Terdapat keterbatasan media saat menggunakan teknik ini.
Meskipun mendongeng sangat menarik bagi dunia anak-anak, terutama dalam
pendidikan anak usia dini, kurang dikenal untuk membantu pendidik anak usia
dini, terutama di beberapa kabupaten. Namun, alasan tersebut serupa dengan
keterbatasan media.

Kata kunci: cara bercerita, kemampuan bahasa dasar, anak usia dini
I. PENDAHULUAN

A. PENGERTIAN PAUD

PAUD adalah tempat pertama anak mulai belajar dan diakui secara
sah sebagai lembaga pendidikan formal, informal, dan non-formal.
Pembelajaran sudah dapat dimulai di lingkungan PAUD sejak anak berusia
0 tahun atau saat bayi dilahirkan. Menurut UU RI Nomor 20 Tahun 2003,
BAB I Pasal 1, "pendidikan anak usia dini adalah suatu upaya pembinaan
yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun."
Pada Pasal 28(2), bagian ketujuh, dijelaskan jenis PAUD yang berbeda,
yang diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal, nonformal,
dan/atau informal.

Sebagai agen perubahan dalam pendidikan, guru dapat


menggerakkan budaya membaca dengan menggunakan metode mereka
untuk menerapkan budaya alternatif. Metode bercerita termasuk dalam
kategori membaca nyaring. Untuk anak usia dini, mendengarkan guru
bercerita dengan diselingi dengan beberapa pertanyaan meningkatkan
kedekatan psikologis antara guru dan anak didiknya, serta menciptakan
interaksi yang alami dan bermanfaat untuk memperoleh pengetahuan. Hal
ini disebabkan oleh fakta bahwa siswa berada di tempat yang nyaman dan
menyenangkan, yang memungkinkan proses belajar mengajar berjalan
sesuai harapan mereka. Belajar mengajar dengan bercerita,

proses yang dikenal sebagai storytelling dalam bahasa Inggris,


membantu memperkaya kosakata anak. Anak-anak dapat belajar kosakata-
kosakata tersebut dengan membaca cerita. Menurut Kennedy (1996:100),
konteks cerita membantu pertumbuhan kosa kata. Anak akan belajar
banyak hal selain kosakata. Selain pesan moral yang disampaikan, ada
tradisi dan kebiasaan lokal lainnya. Kennedy menambahkan bahwa siswa
mulai mengadopsi konvensi stilistik yang ditemukan dalam cerita
konvensional, seperti awal standar, replikasi bahasa, repetisi peristiwa,
karakterisasi latar, dan akhir moral. Jadi, untuk memahami alur cerita,
pembaca (guru) harus mengulanginya.

B. Kemampuan Dasar Bahasa Anak Usia Dini:

Bahasa sebagai ilmu harus diajarkan di setiap jenjang pendidikan,


terutama di sekolah formal. Bahasa adalah bagian dari kurikulum
PAUD, seperti Raudlatul Athfal. Menurut Luluk (2014:57), salah
satu struktur program kegiatan taman kanak-kanak adalah Bidang
Pengembangan Kemampuan Dasar Bahasa.

Fungsi bahasa bagi anak usia dini adalah sebagai berikut:

 sebagai alat untuk berkomunikasi dengan orang lain;


 untuk meningkatkan kemampuan intelektual anak; dan
 untuk membantu mereka belajar berbahasa (Susanto
(2011:81) dalam Depdikas 2000).

Fungsi bahasa di atas menentukan perkembangan bahasa anak,


yang melibatkan beberapa tahapan dan proses. Menurut Susanto
(2011:36), bahasa yang dimiliki anak adalah bahasa yang
dihasilkan dari pengolahan dan telah berkembang. Selain itu,
Chomsky (1957:10) menyatakan bahwa manusia secara biologis
mempelajari bahasa melalui alat pemerolehan bahasa, atau LAD,
secara bertahap dan dengan cara tertentu. Penulis menekankan
bahwa pembelajaran bahasa yang berproses terutama pada
kelompok usia dini menentukan apakah pembelajaran bahasa terus
berlanjut pada usia lanjut.

Penguasaan bahasa kadang-kadang menghadapi beberapa


kesulitan saat belajar. Anak usia dini mulai diperkenalkan karena
tuntutan jenjang pendidikan dasar yang memerlukan kemampuan
membaca dan menulis, meskipun beberapa keterampilan bahasa,
anak usia dini belum tepat untuk belajar membaca dan menulis.
Namun, setiap anak memiliki penguasaan kompetensi ini yang
berbeda.

II. METODE BERCERITA

Ada banyak persiapan yang diperlukan untuk mengajar.


Pilihan metode pembelajaran terjadi di awal proses mengajar. Guru
harus memahami metode mengajar yang sesuai untuk jenjang
pendidikan tempat mereka mengajar.

Dalam pendidikan anak usia dini, selektif memilih


pendekatan mengajar menjadi faktor penting untuk
memperkenalkan materi melalui tema-tema baru yang terkait
dengan kehidupan sehari-hari anak. Saat ini, kurikulum pendidikan
anak usia dini menggunakan pembelajaran tematik. Ini berarti
bahwa pelajaran yang diberikan kepada anak-anak memiliki tema
dan subtema khusus yang berbeda setiap minggu.

Pemilihan pendekatan mengajar yang digunakan guru


pendidikan anak usia dini untuk mengajarkan tema-tema tersebut
harus sesuai dengan keadaan. Bercerita adalah salah satu dari
banyak pendekatan pembelajaran yang fleksibel untuk anak usia
dini. Berdasarkan http://paud-anakbermainbelajar.blogspot.co.id,
metode bercerita adalah salah satu pendekatan pembelajaran di TK.
Menurut Moeslichatoen (2004:157), pendekatan ini
memungkinkan anak-anak TK untuk belajar melalui cerita yang
diceritakan secara lisan.

Dari dasar metode ini, penulis dapat menggarisbawahi


Anak-anak mungkin mengajukan pertanyaan secara spontan
kepada guru selama proses bercerita. Namun, itu tidak berarti
bukan sebagai selaan cerita, tetapi sebagai pemahaman yang lebih
baik tentang alur cerita bagi anak tersebut dan anak lain dalam
kelompok yang sama.
Jika anak terbiasa dengan teknik bercerita di luar
lingkungan sekolah, mereka akan semakin terbiasa dan menyukai
teknik ini saat guru menerapkannya di sekolah. Karena telah
dijelaskan sebelumnya bahwa teknik ini mempengaruhi
perkembangan bahasa anak, terutama komunikasi lisan.

Pengembangan keterampilan bahasa anak-anak di sekolah


membantu mereka mengembangkan kompetensi sosial. Karena
dengan membangun kemampuan bahasa, anak, terutama anak usia
dini, dapat memulai berkomunikasi secara interaktif dengan guru
dan teman sebayanya. Susanto (2011:79) menyatakan bahwa
meningkatkan keterampilan bahasa anak sangat penting untuk
berkomunikasi saat mereka mulai belajar di prasekolah, terutama
di taman kanak-kanak.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Respon dari seluruh peserta sangat positif. Ini ditunjukkan oleh


banyaknya pertanyaan dan pertukaran ide yang muncul selama sesi ketiga.
Beberapa pertanyaan diajukan, dan jawabannya adalah bahwa sebagai
fasilitator yang akan mengajarkan metode bercerita, guru harus menyadari
bahwa berpartisipasi secara penuh dalam cerita akan meninggalkan kesan
positif pada anak-anak peserta didik. Apalagi anak-anak usia dini mudah
terbawa emosi dan meniru apa yang mereka lihat. Oleh karena itu,
menceritakan peran yang ada kepada siswanya dapat menjadi cara yang
sangat baik untuk menanamkan nilai moral dan membentuk etika. Oleh
karena itu, peran penting guru dalam hal ini harus benar-benar dipahami.
ditanamkan. Kedua, guru harus mampu menghilangkan rasa malu dan
gengsi untuk berperan secara total. Pada awalnya, siswa mungkin
mentertawakan totalitas ini karena mereka belum terbiasa dengan
permainan peran yang dimainkan oleh guru mereka. Namun, anak-anak
didik secara tidak langsung akan belajar seni peran dan ekspresi jika teknik
bercerita ini digunakan secara teratur. Tentu saja ini menguntungkan
perkembangan kemampuan dasar bahasa siswa dan pembentukan karakter
mereka.

Bagaimana cara membedakan intonasi suara dengan karakter


dalam cerita? Ini adalah pertanyaan kedua yang muncul. Tentu saja
membutuhkan banyak latihan untuk membedakan intonasi suara sesuai
dengan karakter dalam cerita. Meskipun tidak mudah, keinginan

Setiap guru yang terus berlatih pasti akan menghasilkan hasil. Ada
beberapa masalah yang dihadapi guru saat menggunakan metode cerita ini,
menurut data yang dikumpulkan dari wawancara dan pertukaran ide. Saat
menggunakan metode bercerita di hadapan siswa, kendala pertama adalah
menghilangkan rasa malu yang sering terjadi saat harus bermain peran
dengan mengubah intonasi suara. Kendala kedua adalah sikap mental
siswa, yang cenderung menganggap permainan peran yang ditampilkan
oleh guru aneh, terutama ketika dikombinasikan dengan perubahan
intonasi, mimik wajah, dan penjiwaan cerita. Mereka percaya bahwa
instruktur bermain-main. Ini karena siswa belum terbiasa dengan metode
ini. Penjelasan guru sebelum penerapan metode dapat mengatasi kedua
masalah ini. ini. Dengan waktu, penggunaan teknik bercerita secara teratur
akan menjadi sesuatu yang menarik dan berkesan bagi para siswa.

Para peserta secara umum menyatakan ketertarikannya dengan


metode bercerita karena dapat membantu pendidik meningkatkan
keterampilan pedagogis mereka dalam menyampaikan materi
pembelajaran anak-anak usia dini. Selain itu, banyak orang yang
mengatakan bahwa ini adalah pelatihan metode bercerita pertama mereka.
Oleh karena itu, mereka dapat belajar banyak hal tentang materi cerita dan
teknik-teknik yang digunakan dalam metode bercerita.

Hampir semua pendidik mengharapkan metode cerita berjalan


dengan baik. Harapan ini tentu saja berkaitan dengan kenyataan bahwa
para pendidik Raudlatul Athfal tidak memiliki banyak kesempatan untuk
memperbarui pendidikan mereka. Tidak dapat dipungkiri bahwa para
pendidik harus terus meningkatkan kemampuan pedagogiknya untuk
menciptakan lingkungan yang selalu baru dan menyenangkan bagi siswa
mereka.

IV. PENUTUP

Hasil dan diskusi sebelumnya telah menunjukkan beberapa hal,


seperti: 1. Cerita merupakan salah satu teknik penanaman karakter yang
sudah lama dikenal, tetapi faktanya sudah mulai ditinggalkan. Salah satu
alasannya adalah kurikulum yang lebih menekankan kemampuan kognitif
daripada afektif, dan kemajuan teknologi sudah mulai mengurangi
aktivitas motorik siswa. Meskipun kompetensi afektif tidak dapat
diabaikan secara sembarangan. Pembentukan karakter dan penanaman
moralitas, yang merupakan nutrisi utama dalam kemampuan afektif, lebih
mudah dipengaruhi oleh lingkungan, termasuk lingkungan belajar. Untuk
menanamkan nilai-nilai positif dan meningkatkan keterampilan afektif,
bercerita adalah salah satu cara yang cukup efektif. Jika pembentukan
karakter menjadi tujuan utama pendidikan, kompetensi afektif seharusnya
memiliki ruang yang cukup dalam pendidikan.
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Susanto, Perkembangan Anak Usia Dini: Pengantar dalam


Berbagai Aspeknya, Kencana, 2011.Elizabeth B. Hurlock,

Perkembangan Anak, Edisi Keenam Jilid II, Terjemahan oleh Meitasari


Tjandrasa dan Soejarwo. Tanpa Tahun, Erlangga, 1978

anet Kay, Pendidikan Anak Usia Dini, Kanisius, Yogyakarta, 2006

Moeslichatoen, R., Metode Pengajaran di Taman Kanak-kanak, PT Rineka


Cipta, Jakarta, 2004.Noam Chomsky,

Syntactic Structures , Mouton, The Hague, 1957.PERMENPAN dan RB


No. 17 Tahun 2013 JO No. 46 Tahun 2013

Sharon Kennedy, New Ways in Teaching Young Children , Capitol


Commnication Systems, Inc., Maryland, 1996.Tim Penyusun,

Pedoman Beban Kerja Dosen , Direktorat Pendidikan Tinggi Islam


Direktorat Jendral Pendidikan Islam, Kementrian Agama RI, 2011UU RI
Nomor 20 Tahun 2003 TENTANG SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL
BAB VI JALUR, JENJANG, DAN JENIS PENDIDIKAN Bagian
Keempat mengenai Pendidikan Tinggi Pasal 1, 24 (2), 28 (2), (3)

Williams (1996:103)

You might also like