Professional Documents
Culture Documents
Admin, 8-Halaman 116-127 (Ningsih Et Al)
Admin, 8-Halaman 116-127 (Ningsih Et Al)
Abstrak
Dinamika oseanografi di perairan Indonesia seperti arus, front, eddy (a.l., terkait dengan shear velocity dan
penjalaran gelombang Rossby), kedalaman termoklin, serta upwelling berdampak pada kesuburan perairan
dan selanjutnya akan mempengaruhi pola migrasi, daerah pemijahan, dan kelimpahan ikan pelagis. Selain
itu, variabilitas iklim dalam skala waktu intramusiman, musiman, antartahunan, hingga intradecadal,
decadal, dan interdecadal berperan terhadap dinamika oseanografi, kesuburan suatu perairan, dan
kelimpahan ikan pelagis baik secara spasial maupun temporal. Model hidrodinamika tiga dimensi (3D) yang
dikenal dengan sebutan HYbrid Coordinate Ocean Model (HYCOM) digunakan dalam penelitian ini untuk
mensimulasikan dinamika elevasi, arus, serta temperatur air laut baik secara spasial (horizontal dan vertikal)
maupun temporal. Simulasi model dilakukan selama 64 tahun (1950 – 2013) di perairan Indonesia untuk
mengetahui variabilitas dan tren jangka panjang perubahan parameter oseanografi yang terjadi akibat
perubahan iklim (terkait dengan pemanasan global). Hasil studi ini berguna bagi pengelolaan perikanan,
khususnya dapat digunakan sebagai informasi dasar untuk memprediksi pola migrasi ikan pelagis (a.l., tuna)
dan kedalaman alat pancing.
Kata kunci: dinamika oseanografi, model hidrodinamika 3D, tren, variabilitas iklim
Abstract
Oceanographic dynamics in Indonesian seas, such as currents, front, eddy related with shear velocity and
Rossby wave propagation, thermocline depth, and upwelling phenomenon have a great impact on sea water
fertility and in turn will also affect migration pattern, spawning ground, stock abundance of pelagic fishes.
In addition, climate variability from intraseasonal, seasonal, interannual, intradecadal, decadal and even
longer timescales play an important role in the oceanographic dynamics, sea water fertility, and abundance
of pelagic fish stock both spatially and temporally. In this study, a three-dimensional (3D) hydrodynamic
model called the HYbrid Coordinate Ocean Model (HYCOM) has been applied to simulate spatial
(horizontally and vertically) and temporal dynamics of free surfave elevation, currents, and sea temperature.
The HYCOM has been run for the period of 64 years (1950-2013) within the Indonesian waters to
investigate variability and long term trend of changes of oceanographic parameters affected by climate
changes with regard to global warming. These study results are important in fisheries management,
especially where they can be used to provide basic information in predicting the migration pattern of pelagic
fishes (e.g., tuna) and fishing pole locations over depth.
penangkap tuna domestik maupun yang secara iklim. Informasi variasi suhu secara vertikal
ilegal dilakukan oleh kapal asing (a.l., dan kedalaman termoklin (lapisan air laut
Thailand, Philipina, Korea, dan Jepang) dimana terjadi penurunan suhu yang cepat
dirasakan semakin kompetitif sehingga terhadap kedalaman, sebesar 0,1 oC/m)
memerlukan teknik-teknik penangkapan yang sangat penting untuk penentuan kedalaman
efisien (hemat waktu dan bahan bakar) serta alat pancing tuna (long line). Dalam hal ini
hasilnya optimal. Untuk itu, diperlukan kedalaman (penetrasi) mata pancing
pengetahuan kondisi parameter oseanografi merupakan salah satu faktor yang sangat
yang berguna untuk memprediksi keberadaan penting untuk mendapatkan hasil tangkapan
ikan pelagis tersebut. yang maksimum [1].
Kondisi parameter oseanografi dan Selain daerah upwelling, front juga
daerah yang kaya makanan sangat merupakan lokasi yang disukai ikan pelagis
mempengaruhi keberadaan ikan pelagis di karena merupakan lokasi yang kaya akan
suatu perairan, karena sifatnya yang senang makanan yang disebabkan oleh beberapa
bermigrasi untuk memburu daerah yang kaya faktor, seperti: (1) adanya akumulasi plankton
makanan (daerah upwelling), senang hidup di yang disebabkan konvergensi, (2) proses
daerah front (pertemuan) antara massa air percampuran (mixing) yang menyebabkan
hangat dan air dingin, serta senang hidup pada tingginya produktivitas primer di daerah
kisaran suhu dan kedalaman tertentu [2], a.l.: tersebut [4]. Fronts terbentuk karena berbagai
cakalang (17 – 28 oC), tuna sirip biru (12 – 25 faktor dinamis yang terjadi di suatu perairan,
o
C), tuna mata besar (11 – 28 oC), madidihang seperti arus, tidal mixing, turbulent eddies,
(18 – 31 oC), dan albacora (14 – 23 oC). Selain upwelling, dan internal waves [5]. Kondisi
itu, ikan tuna senang bermigrasi tidak hanya oseanografi di perairan Indonesia seperti arus,
dalam arah horizontal tetapi juga dalam arah front, eddy (a.l., terkait dengan shear velocity
vertikal. Migrasi dilakukan dalam rangka dan penjalaran gelombang Rossby),
pemijahan (bertelur) dan penyesuaian diri kedalaman termoklin, upwelling dan
terhadap perubahan faktor lingkungan kaitannya dengan kesuburan perairan
perairan (khususnya suhu, oksigen, dan faktor tergantung pada variabilitas iklim. Eksistensi
kelimpahan makanan) yang dipengaruhi oleh pengaruh variabilitas iklim terhadap kondisi
variabilitas iklim baik dari skala intramusiman oseanografi di perairan Indonesia, khususnya
(20 – 100 hari), musiman (6 bulan dan 12 untuk skala musiman dan antartahunan (El
bulan), antartahunan (2 – 7 tahun), maupun Niño-Southern Oscillation/ENSO dan Indian
sampai dengan intradecadal (7 - 9 tahun), Ocean Dipole/IOD), telah dikonfirmasi dalam
decadal (10 - 11 tahun), dan interdecadal (16 beberapa studi terdahulu [a.l., 6, 7, 8, dan 9].
- 18 tahun). Namun demikian, pengaruh variabilitas iklim
Ikan tuna jenis yellowfin dan bigeye dalam skala waktu intramusiman,
melakukan migrasi vertikal setiap hari [3]. intradecadal, decadal, dan interdecadal
Yellowfin pada siang hari akan bermigrasi ke terhadap dinamika oseanografi serta tren
lapisan dalam pada kisaran kedalaman 50 – jangka panjangnya di perairan Indonesia dan
100 m dan suhu 19 – 23 oC, dan pada malam lebih lanjut dikaitkan dengan tingkat
hari akan bermigrasi ke lapisan permukaan kesuburan perairan masih terbatas.
(kedalaman 0 – 50 m; suhu 25 – 26 oC). Pada makalah ini dibahas parameter-
Sementara itu, bigeye pada siang hari akan parameter apa saja di dalam dinamika
bermigrasi ke lapisan dalam (100 – 350 m) oseanografi yang berperan dalam pengelolaan
dengan suhu 10 – 15 oC dan pada malam hari sumber daya perikanan. Pemahaman dinamika
akan bermigrasi ke lapisan atas pada oseanografi yang baik di suatu perairan baik
kedalaman 0 – 75 m dengan suhu 23 – 25 oC. secara spasial maupun temporal dapat
Berdasarkan uraian tersebut terlihat digunakan sebagai dasar untuk menyediakan
pentingnya informasi distribusi suhu sebagai informasi yang berguna bagi industri
fungsi dari kedalaman di suatu perairan yang penangkapan ikan pelagis dalam rangka
tentunya sangat dipengaruhi oleh variabilitas memperoleh hasil tangkapan yang optimum
117 ©2018 at http://jfmr.ub.ac.id
Ningsih, N. S. et al / Journal of Fisheries and Marine Science Vol. 2, No. 2, Juli 2018
dan efisien (hemat bahan bakar, waktu, dan Oceanic and Atmospheric Administration
biaya). Selain itu, pengetahuan tentang tren (NOAA). Untuk analisis variabilitas musiman,
jangka panjang dari parameter oseanografi digunakan data kecepatan angin dari NCEP
sangat diperlukan untuk adaptasi dan (National Centers for Environmental
antisipasi sistem pangan terhadap perubahan Prediction). Selain itu, untuk analisis
iklim. variabilitas antartahunan, nilai the Oceanic
Niño Index (ONI) dan Dipole Mode Index
MATERI DAN METODE (DMI) masing-masing digunakan sebagai
indikator kejadian ENSO dan IOD, sedangkan
Metode utama yang digunakan dalam untuk sinyal intradecadal-decadal digunakan
paper ini untuk membahas peranan dinamika annual PDO (Pacific Decadal Oscillation)
oseanografi dalam pengelolaan sumber daya Index. Indeks ONI, DMI, dan PDO tersebut
perikanan adalah pemodelan hidrodinamika diperoleh dari NOAA.
dan transpor temperatur tiga dimensi (3D)
yang meliputi perhitungan elevasi, arus, serta HASIL DAN PEMBAHASAN
distribusi temperatur baik secara spasial
(horizontal dan vertikal) maupun temporal Pengaruh Variabilitas Iklim
yang hasilnya dapat digunakan sebagai dasar
untuk memprediksi pola migrasi ikan pelagis Intramusiman
(a.l., tuna) dan kedalaman alat pancing dengan Salah satu fenomena intramusiman yang
memperhatikan faktor variabilitas dan mempengaruhi dinamika oseanografi adalah
perubahan iklim. MJO yang merupakan fenomena atmosfer di
Model hidrodinamika 3D yang daerah tropis berupa penjalaran pusat awan
digunakan adalah HYbrid Coordinate Ocean konvektif ke arah timur di sepanjang ekuator
Model (HYCOM) yang dikembangkan oleh dalam rentang 10 oLU hingga 10 oLS dengan
Naval Research Laboratory of USA [10] dan kecepatan rata-rata 5 m/det dan periode 30-90
diasimilasi dengan data suhu permukaan laut. harian [11]. Gambar 1a menunjukkan kejadian
Di dalam model ini digunakan gabungan MJO dalam kurun waktu 2004-2006 yang
beberapa koordinat vertikal, yaitu kooordinat ditandai dengan Indeks MJO > 2. Dalam
vertikal isopiknal untuk laut terbuka dan makalah ini, pembahasan difokuskan pada
terstratifikasi, koordinat vertikal sigma untuk kejadian MJO nomor 5 dan 6 (Gambar 1a)
laut dangkal, dan koordinat vertikal z untuk ketika masing-masing MJO tersebut berada
laut yang sangat dangkal serta di lapisan pada Fase 3 (Samudra India bagian timur) dan
percampuran atau terstratifikasi lemah di laut Fase 4 (benua maritim bagian barat). Lokasi
terbuka. Simulasi model dilakukan dalam Fase 3 dan 4 tersebut ditandai dengan kotak
jangka panjang, yaitu selama 64 tahun merah pada Gambar 1b. Indikator adanya
(1950 – 2013) untuk mengetahui tren MJO tidak hanya dilihat dari nilai Indeks
perubahan parameter oseanografi yang terjadi MJO tetapi juga dari nilai OLR, sedangkan
akibat perubahan iklim yang disebabkan pengaruhnya dianalisis berdasarkan nilai
faktor pemanasan global. Keluaran (output) kecepatan angin zonal dan sea surface height
model yang dianalisis adalah elevasi anomaly (SSHA) di sepanjang transek pantai
permukaan laut (sea surface height), barat Sumatra hingga selatan Jawa – Nusa
kecepatan arus horizontal dan vertikal, serta Tenggara (Gambar 1c).
temperatur laut. Gambar 1d-1f masing-masing
Sebagai data pendukung, untuk keperluan memperlihatkan diagram Hovmöller dari
analisis variabilitas intramusiman digunakan OLR, angin, dan SSHA di sepanjang transek
data Indeks MJO (Madden Julian pantai barat Sumatra hingga selatan Jawa –
Oscillation), outgoing longwave radiation Nusa Tenggara selama kejadian MJO ke-5
(OLR), dan kecepatan angin zonal yang dan ke-6 (Gambar 1a). Dari Gambar 1d
diproduksi oleh the Australian Government terlihat bahwa seiring dengan kejadian kedua
Bureau of Meteorology (BOM) dan National MJO tersebut terdapat pergerakan nilai OLR
118 ©2018 at http://jfmr.ub.ac.id
Ningsih, N. S. et al / Journal of Fisheries and Marine Science Vol. 2, No. 2, Juli 2018
negatif ke arah timur pada periode 6 Maret – ini (Gambar 1d) dapat membangkitkan
11 April 2005 (MJO ke-5) dan 6 – 11 April downwelling Kelvin wave (DKW) yang
(MJO ke-6). Pergerakan MJO ke arah timur menjalar di sepanjang pantai barat Sumatra
Gambar 1. (a). Indeks MJO dalam kurun waktu 2004-2006. Penelitian dilakukan pada waktu
kejadian MJO ke-5 dan ke-6 (masing-masing ditandai dengan lingkaran warna hijau
dan biru); (b). Posisi MJO ke-5 dan ke-6, masing-masing terjadi pada Fase 3 (Samudra
India bagian timur) dan Fase 4 (benua maritim bagian barat), ditandai dengan kotak
merah; (c). Lokasi pengambilan data OLR, angin zonal, dan SSHA di sepanjang
pantai barat Sumatra dan selatan Jawa – Nusa Tenggara (Titik 1 – 13); (d)-(f) masing-
masing nilai OLR, kecepatan angin zonal, dan SSHA di sepanjang transek. Garis hijau
pada Gambar 1d-1f masing-masing menunjukkan pergerakan MJO, penguatan
kecepatan angin zonal, dan penjalaran DKW. Garis merah pada Gambar 1f
menunjukkan terjadinya penurunan permukaan laut berupa penjalaran UKW sebelum
kedatangan DKW
dan selatan Jawa – Nusa Tenggara yang 100 hari dengan energi yang lebih kecil jika
ditandai dengan kenaikan permukaan air laut dibandingkan sinyal musiman (6 dan 12
(SSHA positif pada Gambar 1f). Selain itu, bulan). Walaupun energinya relatif lebih
eksistensi MJO ini juga diiringi dengan kecil, variabilitas intramusiman ini akan
kenaikan kecepatan angin zonal (Gambar 1e). cukup signifikan dalam mempengaruhi
Berdasarkan Gambar 1f terlihat bahwa perubahan parameter oseanografi (a.l., tinggi
sebelum DKW tiba di sepanjang daerah muka laut, arus, dan kedalaman termoklin)
kajian (ditandai dengan garis hijau), maka pada saat pengaruh monsun sedang
sekitar 10 – 13 hari sebelumnya akan minimum.
didahului dengan kejadian penurunan muka
laut (ditandai dengan garis merah) berupa Musiman
penjalaran upwelling Kelvin wave (UKW). Siklus musiman yang disebabkan angin
Ditinjau dari sudut pandang aplikasinya monsun telah diketahui mempengaruhi
dalam dunia perikanan, penurunan muka laut dinamika oseanografi di perairan Indonesia
ini diduga kuat akan diiringi dengan naiknya [a.l., 12 dan 13], seperti perairan selatan Jawa
termoklin (fenomena upwelling) dan yang akan menjadi fokus pembahasan pada
selanjutnya berdampak dalam meningkatkan tulisan ini. Gambar 3a dan 3b menunjukkan
kesuburan perairan dan penentuan fishing hasil simulasi nilai kecepatan arus vertikal
ground yang optimum. Untuk rata-rata bulanan yang mewakili musim timur
mengkonfirmasi dugaan tersebut, diperlukan (September) dan musim barat (Desember).
studi lebih lanjut dengan melakukan ujicoba Dari gambar tersebut terlihat bahwa pada
lapangan dalam rangka mendapatkan data musim timur (Gambar 3a) terdapat kecepatan
tangkapan ikan berdasarkan informasi arus vertikal positif yang cukup signifikan di
keberadaan MJO pada suatu waktu serta sekitar perairan pantai selatan Jawa
UKW yang dibangkitkannya. dibandingkan pada musim barat (Gambar
Gambar 2, menunjukkan analisis 3b). Hal ini disebabkan, pada musim timur,
spektrum energi MJO dan SSHA di perairan angin tenggara di perairan selatan Jawa akan
selatan Jawa hingga Kepulauan Sunda Kecil menyebabkan transpor Ekman ke arah
(Titik 7 – 13 yang terdapat sepanjang transek offshore, sehingga terjadi kekosongan massa
pada Gambar 1c). Hasil analisis spektrum di perairan pantai dan selanjutnya akan
energi tersebut memperlihatkan eksistensi diganti dengan gerakan massa air ke atas
sinyal intramusiman pada skala waktu 30 – (upwelling) yang ditunjukkan dengan
Gambar 2. Analisis Spektrum Energi MJO dan SSHA di perairan selatan Jawa dan Kepulauan
Sunda Kecil (lokasi pengambilan data SSHA adalah Titik 7 – 13 pada Gambar 1c).
kecepatan arus vertikal yang positif. downwelling (penurunan massa air ke lapisan
Fenomena upwelling ini akan disertai dengan bawah), temperatur permukaan laut lebih
naiknya massa air dingin, sehingga tinggi dibandingkan ketika terjadi fenomena
temperatur permukaan laut menjadi lebih upwelling (Gambar 3d).
dingin dibandingkan daerah sekitarnya Kejadian upwelling pada musim timur
(Gambar 3c). yang ditandai dengan eksistensi kecepatan
Sebaliknya, pada musim barat, angin arus vertikal (Gambar 3a) berkorelasi dengan
barat laut menyebabkan penumpukkan massa kesuburan perairan didukung dengan data
air di perairan pantai selatan Jawa, sehingga tangkapan ikan yang relatif besar (Gambar
terjadi downwelling (kecepatan arus vertikal 3e) pada musim timur (Juni, Juli, Agustus)
vertikal negatif). Pada Gambar 3b, nilai dan musim peralihan dari timur ke barat
kecepatan negatif digambarkan dengan warna (September dan Oktober). Sebaliknya pada
yang sama dengan kecepatan vertikal positif musim barat, kekuatan upwelling melemah
yang sangat kecil dan mendekati nol karena (Gambar 3b) ditandai dengan penurunan
dalam hal ini kecepatan vertikal yang dikaji jumlah tangkapan ikan pada bulan Desember,
(interest value) adalah yang bernilai positif Januari, dan Februari (Gambar 3e).
(kejadian upwelling). Pada kejadian
Gambar 3. Kecepatan vertikal rata-rata bulanan: (a) akhir musim timur (September); (b) musim barat
(Desember). Temperatur permukaan laut rata-rata bulanan: (c) akhir musim timur (September);
(d) musim barat (Desember). (e) Data tangkapan ikan bulanan di perairan selatan Jawa.
Analysis dari Sea Surface Height Anomaly penguatan upwelling di perairan selatan Jawa
(SSHA), [17] melaporkan bahwa variasi Timur yang terkait dengan adanya eddies,
SSHA di perairan Jawa Timur paling tinggi tidak hanya disebabkan oleh shear velocity
tinggi dan ditunjukkan dengan fluktuasi yang disebabkan Arlindo, tetapi juga oleh
perubahan tinggi muka air laut yang paling Arus Pantai Jawa (South Java Current/SJC).
intens di daerah tersebut. Skema umum pembentukan eddies tersebut
Berdasarkan penelitian lebih lanjut yang diperlihatkan pada Gambar 6c. Secara umum
dilakukan oleh [18] ditemukan bahwa
Gambar 5. Distribusi SPL pada kedalaman 10 m: (a) musim barat dan (b) musim timur; (c)
Perubahan dan tren jangka panjang (1950 – 2013) sea surface temperature (SST)
anomaly di selatan Jawa Timur (tanda “o”).
123 ©2018 at http://jfmr.ub.ac.id
Ningsih, N. S. et al / Journal of Fisheries and Marine Science Vol. 2, No. 2, Juli 2018
(a) (b)
Gambar 6. (a) Distribusi SPL pada kedalaman 3 m yang menunjukkan adanya penguatan
upwelling di perairan selatan Jawa Timur, (b) Kecepatan angin rata-rata di perairan
selatan Jawa pada musim timur (Agustus); (c) Cyclonic (rotasi berwarna biru) dan
anticyclonic eddies (rotasi berwarna merah) di perairan selatan Jawa yang disebabkan
adanya shear velocity dari arus lintas Indonesia (ITF), South Java Current (SJV), dan
South Equatorial Current (SEC).
Gambar 7. Penjalaran gelombang Rossby di perairan selatan Jawa baik sebagai cyclonic eddies
maupun anticyclonic eddies pada periode waktu Juli – Desember 2011.
[3] K.N. Holland, R.W. Brill, dan R.K.C. [12] R.D. Susanto, A.L. Gordon, dan Q.
Chang, "Horizontal and vertical Zheng, "Upwelling along the coasts of
movements of Yellowfin and Bigeye Java and Sumatra and its relation to
Tuna associated with fish agregating ENSO," J. Geophys. Res. Lett., vol. 28,
devices," Fish. Bull., vol. 88, hal. 493 – no. 8, hal. 1599-1602, 2001.
507. 1990. [13] R.D. Susanto, dan J. Marra, "Effect of
the 1997/98 El Niño on
[4] P.N. Sund, M. Blackburn, dan F. chlorophyll-a variability along the
Williams, "Tuna and their environment southern coasts of Java and
in the Pacific Ocean," A Rev. Sumatera," Oceanogr., vol. 18, no. 4,
Oceanogr. Biol. Ann. Rev., vol. 19, hal. hal. 24-127, 2005.
443 – 512. Aberdeen University Press,
USA, 1981. [14] M. Collins, "The El Niño–Southern
Oscillation in the second Hadley centre
[5] K. H. Mann, dan J. R. N. Lazier, coupled model and its response to
"Dynamics of marine ecosystems," greenhouse warming," J. of Clim., vol.
Blackwell Scient. Public., 1991. 13, 2000.
[17] F. Syamsudin, dan A. Kaneko, "Ocean [18] F. Hanifah, N.S. Ningsih, dan I. Sofian,
variability along the southern coast of "Dynamics of eddies in the
Java and Lesser Sunda Islands," J. of southeastern tropical Indian Ocean," J.
Oceanogr., vol. 69, no. 5, hal. 557–570, of Phys.: Conf. Ser. 739 (2016) 012042,
2013. ISSN: 1742-6596. DOI:10.1088/1742-
6596/739/1/012042, 2016.