You are on page 1of 4

Nama: Iskandar

Nim: 21103070074
Kelas: B/HTN
TUGAS UTS ISLAM DAN SAINS
A. Pendahuluan
Islam memberikan apresiasi yang amat tinggi terhadap akal. Demikian tingginya
sehingga akal menempati posisi yang urgen dan vital dalam pergumulan wacana keislaman.
Oleh karena itu, akal sering kali disandingkan dengan wahyu dalam banyak kesempatan dan
pembahasan. Dengan demikian, maka wajarlah jika dikatakan bahwa Islam sangat
menghargai ilmu pengetahuan. Tentu saja produk dari pendayagunaan akal adalah ilmu
pengetahuan. Dari akal dan daya pikir yang telah dianugerahkan oleh Allah, manusia dapat
menggali berbagai pengetahuan yang ada di alam semesta, baik yang bersifat makro maupun
mikro. Dengan demikian muncullah berbagai disiplin ilmu.
B. Tokoh ilmuwan Islam
1.Ibn al-Haytham
Ibn al-Haytham dilahirkan di Basrah pada tahun 354 H bertepatan dengan 965 M. Ia
memulai pendidikan awalnya di Basrah. Setelah itu beliau mengabdi menjadi pegawai
pemerintah di daerah kelahirannya. Setelah beberapa lama berbakti kepada pihak pemerintah
di sana, beliau mengambil keputusan merantau ke Ahwaz dan Baghdad. Di perantauan beliau
melanjutkan pendidikan dan mencurahkan perhatian pada penulisan. Kecintaannya kepada
ilmu telah membawanya berhijrah ke Mesir. Selama di sana beliau mengambil kesempatan
melakukan beberapa kerja penyelidikan mengenai aliran Sungai Nil serta menyalin buku-
buku mengenai matematika dan falak. Tujuannya adalah untuk mendapatkan uang tambahan
dalam menempuh perjalanan menuju Universitas al-Azhar. Usaha itu membuahkan hasil,
beliau menjadi seorang yang amat mahir dalam bidang sains, falak, matematika, geometri,
pengobatan, dan falsafah. Tulisannya mengenai mata, menjadi salah satu rujukan yang
penting dalam bidang pengembangan sains di Barat. Ibn al-Haytham merupakan ilmuwan
yang gemar melakukan penyelidikan. Penyelidikannya mengenai cahaya telah memberikan
ilham kepada ahli sains Barat seperti Boger Bacon, dan Kepler, pencipta mikroskop serta
teleskop. Ia merupakan orang pertama yang menulis dan menemukan berbagai data penting
mengenai cahaya. Beberapa buah buku mengenai cahaya yang ditulisnya telah diterjemahkan
ke dalam bahasa inggris, antara lain Light on Twilight Phenomena. Kajiannya banyak
membahas mengenai senja dan banyak lingkaran cahaya di sekitar bulan dan matahari serta
bayang-bayang dan gerhana. Ibn al-Haytham meninggal di Kairo, Mesir, sekitar tahun 1040
M. Karena pengamatannya yang mendalam pada bidang optika, konsep-konsepnya menjadi
dasar ilmu optika. Selain itu, dia mengantarkan optika pada kemajuan pesat masa kini.
Dengan demikian, Ibn al-Haytham mendapat julukan sebagai "Bapak Optika Modern"
2.Al-Farabi
Al'Farabi hidup pada periode kedua masa pemerintahan Abbasiyah (750- 1258 M)
suatu masa di mana khalifah-khalifah yang memerintah di Baghdad secara politis tidak lagi
kuat seperti sebelumnya sehingga mereka tidak kuasa melawan kehendak para perwira
pengawal keturunan Turki, dan secara intelektual pemikiran rasional Muktazilah mulai
memudar seiring dengan munculnya kembali ajaran salaf Menurut Al-Khudhari, periode
kedua Bani Abbas ini merentang mulai masa kekhalifahan Al-Mutawakil (847-861 M)
sampai masa kekuasaan Al-Mustakfi (944-946 M).
Masuknya pengaruh perwira Turki ke dalam pemerintahan Bani Abbas, menurut
Harun Nasution (1919-1998 M), bermula dari kebijakan Al-Mu'tashim (833-842 M), seorang
khalifah Abbasiyah dari ibu yang berasal dari Turki yang mengambil orang-orang Turki
sebagai pengawal pribadinya. Para tentara Turki ini pada masa berikutnya, menduduki
jabatan wazir-wazir dan begitu berkuasa sehingga para khalifah sesudah Al-Mu' tashim (833-
842 M) tidak mampu menolak kehendak mereka. Dalam sistem pemerintahan Bani Abbas
(750-1258 M), sebagaimana diketahui, terdapat wazir-wazir yang pada dasarnya
berkedudukan di bawah khalifah. Pada diri wazir terdapat dua kekuasaan sekaligus;
kekuasaan sipil dan militer, di samping sebagai penasihat dan pembantu khalifah.
Karya Al-Farabi yang terkenal berkaitan dengan keilmuan adalah Ihsha al-Ulirni
(Perincian Ilmu-Ilmu). Di sini, Al-Farabi mengklasifikasikan berbagai cabang keilmuan yang
dikenal saat itu dalam 8 tema pokok: linguistik, logika, ilmu matematika, fisik, metafisika,
ilmu politik, yurisprudensi, dan teologi. Buku ini diterjemahkan ke dalam bahasa Latin, De
Scientiis, pada abad ke-12 oleh Dominicus Gundisallinus (± 1150 M) dan Gerardo Cremona
(1114-1187 M), dan kemudian memberi pengaruh besar bagi kehidupan filsafat Barat
beberapa abad sesudahnya, bahkan menjadi dasar pengklasifikasian ilmu pengetahuan di
sana. Dalam dunia Islam sendiri, menurut Husein Nasr (1933-), buku tersebut diakui sebagai
klasifikasi pertama yang dikenal secara luas oleh masyarakat dan paling berpengaruh dalam
sejarah Islam periode awal. Atas dasar itulah, masih menurut Nasr, Al-Farabi digelari sebagai
al-Muallim al-Tsdni (Guru Kedua) setelah Aristoteles (384-322 SM) sebagai “Guru
Pertama”. Yakni, karena Al-Farabi dinilai sebagai tokoh yang mendefinisikan, setelah
Aristoteles, batas-batas dan rambu-rambu dari setiap cabang pengetahuan serta merumuskan
setiap ilmu dalam suatu cara yang sistematik dan permanen dalam peradaban Islam. Jadi,
bukan sekadar sebagai orang yang mengajar dan menguasai ilmu-ilmu.
Karya-karya yang lain dari Al-Farabi dapat dikasifikasikan dalam beberapa tema.
Pertama, karya-karya logika. Menurut penelitian-penelitian yang ada, Al-Farabi menulis
banyak karya dalam bidang ini dan usaha intelektualnya agaknya lebih dicurahkan pada
bidang ini dibanding cabang-cabang keilmuan lain. Dia menulis uraian atas Organon
Aristoteles secara lengkap, meliputi Kategori (al-maquldi), Hermeneutika (al-ibdrah),
Analitika Prior (al-qiyds), Analitika Posterior (al-burhdn), To’ikz. (al-jadat), Sofistika (al-
mughallithah), Retorika (al-khithdbah), dan Puisi (al-syi'r). Semua diuraikan rangkap tiga
sesuai mazhab Alexandrian, yakni uraian pendek (shaghtr), menengah (ausath), dan panjang
atau besar (kabir). Selain itu, Al-Farabi masih menulis artikel-artikel pendek yang berkenaan
dengan itu, seperti Risalah fi-Jawab Masail Su’ila 'Anhd (Risalah tentang Jawaban atas
Pertanyaan yang Diajukan Kepadanya), Kitab al-Tauthiah jial-M anthiq (Persiapan dalam
Logika), dan Shind'ah al-Manthiq (Penyusunan Logika). Al-Farabi dinilai sangat mumpuni
dalam bidang logika tersebut. Penilaian itu tidak hanya disampaikan tokoh pemikir Muslim,
tetapi juga tokoh lain, seperti Maimonides atau Musa ibn Maimun (1135-1204 M), tokoh
Yahudi Abad Pertengahan. Dalam salah satu suratnya kepada Samuel ben Judah ibn Thibbon
(1150-1230 M), Maimonides menyarankan agar ia tidak perlu menyibukkan belajar logika
pada buku-buku lain, tetapi cukup dengan karya-karya logika Al-Farabi, karena uraiannya
yang jelas dan mudah dipahami.
3.Ibn-Rusyd
Ibn Rusyd atau Averroes dalam bahasa Latin, nama lengkapnya adalah Abu Al-Walid
Muhammad ibn Ahmad ibn Rusyd, lahir di Kota Kordoba, Andalus, tahun 1126 M. Ia lahir
dan besar dalam lingkungan keluarga yang mempunyai tradisi intelektual bagus. Ayahnya
seorang hakim (qadhi), sedangkan kakeknya dari jalur ayah adalah hakim agung (qadhi al-
qudhdi) di Kordoba. Ibn Rusyd sendiri dikenal sebagai orang yang mempunyai minat besar
pada keilmuan. Diriwayatkan oleh Abdullah ibn Abbar (1199-1260 M) bahwa Ibn Rusyd
tidak pernah absen dari kegiatan penelitian dan membaca sejak dewasa, kecuali pada malam
ayahnya meninggal dan malam pertama perkawinannya. Meski demikian, tidak ada data yang
lengkap tentang masa kehidupan awal dan belajarnya. Akan tetapi, melihat posisi keluarga
dan karya-karya yang dihasilkan, Ibn Rusyd dipastikan mempelajari hampir seluruh disiplin
ilmu yang dikenal saat itu, seperti bahasa Arab, fikih, kalam, astronomi, dan kedokteran, di
samping filsafat yang agaknya dipelajari secara otodidak. Data yang ada hanya menyebutkan
Ibn Rusyd belajar kedokteran pada Abd Malik ibn Zuhr (1091-1161 M) dan Abu Jakfar
Harun Al-Turjali (w. 1180 M), dan belajar hukum (fikih) khususnya kitab al-Muwatha' karya
Imam Malik pada ayahnya sendiri. Selain itu, ia juga belajar hukum pada Abu Al-Qasim Al-
Suhayli (1114-1185 M) dan Ibn Basykuwal (1101-1183 Sekitar tahun 1153 M, Ibn Rusyd
tinggal beberapa lama di Kota Marakesy untuk melakukan penelitian-penelitian astronomis.
Setelah sekian lama belajar, tahun 1159 M, Ibn Rusyd dipanggil oleh Gubernur
Seville untuk membantu reformasi pendidikan di sana. Namun, tidak ada data terinci tentang
peran dan keberhasilannya dalam tugas tersebut. Menjelang tahun 1169 M, ketika terjadi
kebangkitan filsafat di Andalus yang didorong oleh khalifah Abu Ya'kub Yusuf (1163-1184
M), ia dibawa dan diperkenalkan Ibn Tufail (1105-1185 M) kepada khalifah. Pada pertemuan
tersebut, Ibn Rusyd kemudian diberi tugas untuk memberi ulasan dan komentar atas pikiran-
pikiran filsafat Aristoteles (384-322 SM). Tidak lama kemudian, tahun 1169 M, Ibn Rusyd
diangkat sebagai hakim di Seville, suatu kota yang kemudian menjadi ibu kota Andalus.
Pengangkatan tersebut agaknya berkaitan dengan kedekatannya dengan khalifah di samping
kemampuannya dalam bidang hukum. Menurut Ibn Abi Usaibiah (1203-1270 M), Ibn Rusyd
sangat mahir dalam bidang fikih dan menjadi satu-satunya pakar dalam soal khilafiyah di
zamannya. Biddyah al-Mujtahid (ditulis tahun 1168 M), bukunya yang menguraikan sebab-
sebab munculnya perbedaan pendapat dalam hukum (fikih) dan alasannya masing-masing
dinilai sebagai karya terbaik di bidangnya.
Ibn Rusyd masih menulis karya-karya lain, seperti al-Dharuri f i al-Manthiq
(Keharusan dalam Logika), Maqdlah f i al-Qiyds (Analitika Prior), Maqdlahfial-Muqaddimah
al-Muthlaq (Premis Mutlak), al-Masdilal-Muhimmahald Kitab al-Burhan li Aristhu
(Persoalan Penting dalam Analitika Posterior Aristoteles), Kitab f i makhdlaf Abu Nashr li
Aristhuthdlis f i Kitab al-Burhan (Perbedaan Abu Nashr Al-Farabi dengan Aristoteles dalam
Analitika Posterior), Maqdlah f i al-Ta'rif Bijihah Abi Nashr (Definisi Menurut Abu Nashr
Al-Farabi), Talkhish Kitdb al-Ta'rif li Jalinus (Uraian Definisi Menurut Galinus), Maqdlah f i
Jihah Luzum al-Natdij li al-Maqdyiz al-Mukhtalithah (Penetapan Kesimpulan pada Silogisme
Campuran), dan Kitab al-Muqaddimat (Premis-Premis). Jasa besar Ibn Rusyd dalam bidang
ini, seperti dituturkan Urvoy, adalah, (1) bahwa ia mampu membersihkan tafsiran-tafsiran
sebelumnya yang tidak terkait dengan kondisi sosial budaya Yunani untuk kemudian
menjelaskannya agar bisa dihasilkan interpretasi yang benar. (2) Memberikan “doktrin baru”
bahwa logika bukan hanya sumber sains yang bicara benar-salah seperti yang diyakini Al-
Farabi, melainkan harus berkaitan dengan realitas empirik. Logika bukan bidang yang berdiri
sendiri, melainkan harus berkaitan dengan persoalan empirik dan hanya berguna untuk
menjelaskannya.
Dalam karya-karya astronomi. Ibn Rusyd menulis beberapa buku dalam bidang ini,
antara lain, Talkhish al-Atsdr al-Alawiyah li Aristhuthalis (Uraian Meteorologi Aristoteles),
M aqdlah fi Jirm al-Samdwi (Benda-benda Langit), dan Maqdlahfi Harakah al-Falak (Gerak
Langit). Uraian pendek kedua buku terakhir ditulis tahun 1159 M, komentar menengah ditulis
tahun 1171 M, sedangkan komentar panjang tahun 1188 M. Semua kitab tersebut telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh Michael Scot (1175-1232 M), tahun 1217 M.
Dalam karya-karya itu Ibn Rusyd menjelaskan segala fenomena langit yang menakjubkan
bersama segala variasi perbedaan kecepatan, dengan teori gerak helicoidal (harakahal-
laulabiyah) atau gerak siput (harakah al-halazuniyah). Menurut Urvoy, teori ini kemudian
dikembangkan para imam gereja Eropa seperti William Ouvergne (1180-1249 M) dan Robert
Grosseteste (1175-1253 M), bahkan masih dipakai di Eropa hingga abad ke-16 M oleh para
fisikawan Aristotelian.
Demikianlah karya-karya dan pengaruh pemikiran Ibn Rusyd pada perkembangan
keilmuan sesudahnya. Di Eropa Barat, sebelum akhir abad XII M, karya-karya Ibn Rusyd
telah menjadi kajian utama para sarjana Yahudi sedemikian rupa sehingga menurut Ernest
Renan (1823-1892 M) sebagaimana dikutip Fakhry, budaya filosofis mereka menjadi tidak
lebih dari sebuah refleksi kebudayaan Muslim (Averroeisme) (nothing but a reflection o f
muslim culture). Dari sini kemudian melebar kepada para sarjana Kristen seperti tokoh-tokoh
yang telah disebutkan di atas. Sesudah itu, karya-karya dan pemikiran Ibn Rusyd telah
menjadi bagian dari warisan dan tradisi pemikiran filsafat di Eropa. Oleh karena itu, menurut
Fakhry, sumbangan Ibn Rusyd dalam filsafat dan sains hanya dapat disejajarkan dengan
sumbangan Al-Farabi (870-950 M) dan Ibn Sina (980-1037 M), dua pesaingnya di Timur.
Meski demikian, Ibn Rusyd masih mengungguli keduanya dalam tiga masalah fundamental:
(1) kemahirannya dalam menguraikan dan menafsirkan pemikiran Aristoteles (384-322 SM),
(2) kontribusinya pada bidang yurisprudensi (fiqh), (3) sumbangannya pada bidang teologi.

You might also like