Professional Documents
Culture Documents
Konflik Sosial Etnis Aceh Dan Jawa
Konflik Sosial Etnis Aceh Dan Jawa
Oleh:
R. Sugara
PENDAHULUAN
Bangsa yang mempunyai beraneka ragam suku bangsa, budaya, agama, dan
berbagai jenis perbedaan dan keberagaman suku bangsa tersebut. Salah satu suku
bangsa yang ada di Nusantara ini yaitu suku bangsa Aceh dan suku bangsa Jawa.
mayoritas beragama Islam. Wilayah asli yang dominan diduduki oleh suku bangsa
Aceh adalah Kotamadya Banda Aceh, Sabang, Kabupaten Aceh Besar, Pidie, Aceh
Utara, sebagaian kabupaten Aceh Barat, Aceh Selatan dan sebagaian kabupaten Aceh
Timur.
Suku bangsa Aceh memiliki bahasa sendiri, yaitu Bahasa Aceh yang masih
berkerabat dengan bahasa Mon Khmer (wilayah Champa). Bahasa Aceh merupakan
bagian dari bahasa Melayu-Polinesia barat, cabang dari keluarga bahasa Austronesia.
Bahasa Aceh terdiri dari bebrapa Dialek, diantaranya dialek peusangan, Banda, Bueng,
Daya, Pase. Tunong, Matang, Seunagan dan Meulaboh. Dari keseluruhan pada umumnya
masyarakat Aceh dapat memahami kata-kata dari kalimat yang diucapkan dari perbedaan
dialek tersebut.
dari budaya Aceh yang menyerap budaya Hindu India, dimana kosakata bahasa Aceh
1
banyak yang berbahasa Sanskerta. Suku Aceh merupakan suku di Indonesia yang
pertama memeluk agama Islam dan mendirikan kerajaan Islam. Masyarakat Aceh
Disamping itu pula, Aceh terdapat beberapa suku bangsa yang berdomisi dan
tersebar dibeberapa wilayah. Suku tersebut adalah suku Aneuk Jame’e, suku Gayo, Suku
Alas, Suku Kluet,suku singkil, suku Taming, dan Suku Simeulue. Yang memiliki corak
Keberagaman suku bangsa yang ada tidak luput dari berbagai jenis konflik,
meskipun konflik tersebut tidak murni disebabkan oleh perbedaan suku bangsa.
Banyak konflik antar suku bangsa namun konflik tersebut tidak hanya disebabkan
perbedaan suku bangsa saja namun bercabang hingga menyangkut sosial, ekonomi,
budaya dan juga menyangkut program pemerataan pembangunan yang dilakukan oleh
pemerintah ini sering kali juga memicu timbulnya konflik, entah itu di cover oleh
agama, ekonomi, dan juga di cover kebudayaan. Konflik yang sering terjadi itu
memang tidak murni, selalu saja tercover oleh sub-sub konflik yang ada.
PEMBAHASAN
1
Muhammad Umar (EMTAS). 2006. Peradaban Aceh (Tamadun). Banda Aceh: Yayasan Busafat dan
Jaringan Komunitas Masyarakat Adat (JKMA). Hal. 69
2
A. Sejarah Singkat Awal Mula konflik Aceh-Jawa
Etnisitas merupakan salah satu unsur yang menjadi objek utama kajian
ilmu-ilmu sosial. Dalam sejarah relasi antar etnik di berbagai belahan bumi, selalu
diwarnai oleh konflik etnik itu sendiri. Konflik antar etnik selalu saja mencari akarnya
pada persoalan sosial ekonomi dan budaya seperti halnya konflik Aceh. Studi yang
dliakukan oleh peneliti menunjukkan bahwa akar dari semua konflik yang terjadi di
serta serangkaian tuntutan janji atas hak-hak istimewa yang tidak teralisasi.
Beberapa unsur besar diatas merupakan alasan yang paling logis dibalik
catatan perjalanan konflik di Aceh, Namun disamping hal itu pula, terdapat salah satu
bagian terpenting yang menggoreskan fakta sejarah dibalik konflik serta pergolakan
yang terjadi dikemudian hari di Aceh. Yakni kebencian suku bangsa Aceh terhadap
suatu etnik tertentu, yakni suku Jawa. Memang hal ini sangat jarang dikaitkan sebagai
faktor pemicu munculnya konflik Aceh, dan orang cenderung mengabaikan fakta ini.
Sejarah awal kebencian orang Aceh terhadap suku Jawa pertama kali
terjadi pada masa kerajaan Aceh dulu. Ketika kerajaan Samudera Pasai diserang oleh
kerajaan Majapahit yang notabene merupakan kerajaan terbesar dipulau Jawa sekitar
tahun 750-796 H yang dipimpin oleh panglima Patih Nala Ketika Sultan Zainul
Abidin Malik Al Zhahir memimpin. Sejak saat itu genderang perang dinyatakan oleh
Hal diatas merupakan bagian kecil dari catatan sejarah mengenai hubungan
awal antara Aceh dengan Jawa yang ditandai dengan konflik. Meskipun pada periode
2
M. Yunus Jamil. 1968. Tawarikh Raja-raja Kerajaan Aceh. Banda Aceh: Ajdam I Iskandar Muda.
Hal.15
3
tahun-tahun berikutnya kedua etnis ini nyaris tidak pernah melakukan kontak fisik
berupa perang dan mulai membangun hubungan melalui bidang penyebaran agama
dan perdagangan.
Indonesia di Kemudian Hari. Aceh pula lah yang banyak membantu Indonesia dalam
dikumandangkan Soekarno dan Hatta di Jakarta, tak lama setelah itu pada 15 Oktober
1945 atas nama seluruh masyarakat, Aceh menyatakan diri dengan patuh berdiri
dibawah payung NKRI. Meskipun sebenarnya Aceh dapat berdiri sebagai sebuah
negara merdeka dan berdaulat, tetapi, karena rakyat Aceh pada saat itu diliputi oleh
semangat nasionalisme yang tinggi maka Aceh menyatakan diri menjadi bagaian dari
ketetapan mengenai posisi Aceh didalam Republik. Ketetapan itu diberlakukan pad 17
Desember No. 8 / Des/ W.K.P.H yang menetapkan Aceh sebagai sebuah propinsi.3
(RIS) menetapakan Kalau wilayah RIS dibagi kedalam 10 propinsi dan Aceh tidak
lagi termasuk ke dalam salah satu propinsi. Keputusan itu menggugurkan janji
3
H.Mohammad Said. 1981. Aceh sepanjang abad. Medan: Percetakan dan Penerbitan Waspada.
Hal.38
4
pembubaran propinsi Aceh kemudian di umumkan oleh Perdana Menteri M. Natsir
menumbuhkan dendam serta frustasi para pimpinan Ulama yang tergabung didalam
PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh. Setelah pengkhianatan yang dilakukan oleh
Namun pada bulan April 1957, tuntutan masyarakat Aceh tentang hak
menerapkan syariat Islam serta daerah otonomi khusus ditidaklanjuti oleh pemerintah
Soekarno. Kemudian ditanda tangani perjanjian atau ikrar Lam Teh. Sehingga
Pada tanggal 30 September tahun 1965, tak lama setelah Aceh kembali
bergabung kedalam NKRI dengan pemeberian status Daerah Istimewa, terjadi kudeta
politik yang dilakukan oleh Soeharto terhadap Soekarno dengan tuduhan ia terlibat
dalam PKI dan memanfaatkan momentum krisis ekonomi dan politik. Setelah
istimewa yang dijanjikan dulu tidak pernah ditepati dan bahkan dilupakan.
sumber cadangan minyak dan gas alam terbesar pada tahun 1971 di Lhokseumawe.
Empat tahun kemudian Mobil Oil Indonesia perusahaan raksasa yang bermarkas di
5
Meskipun Aceh telah ditetapkan sebagai kawasan ZIL (Zona Industri
Lhoseumawe) namun keuntungan tidak pernah dirasakan oleh rakyat Aceh. Aceh
tetap miskin dan masyarakatya tetap hidup dalam kemelaratan. Seluruh keuntungan
mengalir ke pusat. Ekspansi besar-besaran tenaga kerja asing terjadi. Sebagian besar
pengkhianatan dan kezaliman yang dilakukan oleh Jakarta (Jawa-red) membuat orang
adalah, lahirnya kembali sebuah gerakan perlawanan yang diberi nama ASLNF (Aceh
Sumatera Liberation Front) atau yang sering disebut Gerakan Aceh Merdeka (GAM)
orang Aceh menyebutnya pemerintahan Jawa. Gerakan ini dibentuk atas inisiatif
Hasan Tiro yang juga merupakan cicit dari pahlawan Aceh yakni tengku Chik Di
pemerintah yang didominasi oleh orang-orang yang berasal dari etnis jawa. Doktrin
ekonomi, yaitu penentuan hak otonomi serta eksploitasi hasil Alam yang timpang
meskipun kaya akan sumberdaya Alam, serta janji pemerintah atas penerapan syariat
4
H.Mohammad Said. 1981. Aceh sepanjang abad...... hal.44
6
Islam di Aceh yang urung terealisasi. Namun disamping itu pula, perjuangan ini
Bagi orang Aceh, NKRI adalah milik bangsa Jawa. Karena fakta politik
dimasa orde baru etnis jawa mendominasi struktur pemerintahan. GAM membangun
musuh Historis bagi rakyat Aceh. Dalam hal ini, Hasan Tiro membangkitkan kembali
permusuhan dengan pihak jawa merupakan garis merah atas apa yang terjadi pada
masa lalu pada bangsa Aceh. Seiring perjalanan waktu, intensitas perang semakin
meningkat.
berasal dari pulau jawa yang kemudian ditempatkan didaerah-daerah. Tak sedikit
di Aceh.
Hal ini semakin menambah kemarahan orang Aceh terhadap Jawa dan tak
jarang selama kurun waktu tahun 80-90-an para Transmigran menjadi sasaran amarah
masyarakat Aceh terutama sekali GAM. Para transmigran banyak yang mendapat
perlakuan tidak manusiawai mulai dari penganiayaan, penculikan terhadap etnis Jawa
pembakaran rumah hingga kehilangan nyawa. Hal ini yang kemudian membuat
Ketika itu orang Aceh sangat membenci orang Jawa. Bagi orang Aceh,
Jawa adalah bangsa pengkhianat, meskipun sebenarnya yang patut dibenci adalah
5
Novri Susan. 2010. Pengantar Sosiologi Konflik dan Isu-isu Konflik Kontemporer. Jakarta: Kencana.
Hal.154
7
oknum pemerintah Indonesia, yang dominan di tempati oleh orang-orang yang ber
etnis Jawa, namun para transmigran pula tak luput dari teror serta ancaman dan
intimidasi. Karena orang Aceh beranggapan, semua orang jawa adalah penipu,
mengorbankan ribuan nyawa baik dikedua belah pihak dan terutama sekali rakyat
genjatan senjata dan menempuh jalur damai untuk menyelesaikan konflik. Untuk
menghindari jatuhnya kembali korban dari rakyat sipil. Terlebih ketika itu tanggal 26
Desember tahun 2004 Aceh dilanda musibah Gempa dan Tsunami sehingga pihak-
nota kesepahaman bersama atau yang biasa dikenal MoU Helsinki. Bahkan setelah
damai pun, sikap sentimen terhadap etnis Jawa pun tetap ditunjukan oleh orang Aceh.
Bukti nyatanya adalah, masih terjadinya tindak kekerasan dan pembunuhan terhadap
dilatarbelakangi oleh faktor etnisitas, namun tetap orang Jawa yang menjadi
sasarannya.7 Meskipun kini, eskalasi kebencian telah menurun drastis, namun tak
6
M. Madya Akbar. 2009. Aceh: Meretas Jalan Damai Menuju Masa Depan. Jakarta: Kerjasama Jyesta
Publishing dengan Lentera Demokrasi. Hal.54
7
Bob Sugeng Hadiwinata. 2010. Transformasi Gerakan Aceh Merdeka : dari kotak peluru ke kotak
suara (sebuah kisah sukses program transformasi kombatan di Aceh). Jakarta: Friedrich Ebert Stiftung.
8
menuntut kemungkinan, apabila Jakarta (Jawa) kembali mengkhianati orang Aceh,
akan timbul kembali konflik-konflik baru antar kedua etnis tersebut atau lebih.
Lewis Couser adalah salah satu pelopor sosiologi konflik struktural. Coser
telah memberi konstribusi penting dalam tradisi sosiologi konflik, yaitu; pertama,
pendapatnya mengenai konflik sosial sebagai suatu hasil dari faktor-faktor lain
konflik dalam stabilitas dan perubahan sosial. Dalam hal ini, Coser memperlihatkan
bagaimana konflik memiliki fungsi terhadap sistem sosial. Ia menolak bahwa hanya
konsensus dan kerja sama yang memiliki fungsi terhadap integrasi sosial.
menekankan perjuangan kelas atas hak-hak yang telah dieksploitasi oleh pemerintah
terhadap masyarakat Aceh, terutama dalam hal perebutan basis-basis material, dimana
system sentralistiknya.
antara konflik realistis dan non realistis. Artinya ada unsur perebutan sumber ekonomi
yang berhubungan dengan konteks tipe realsitis serta etnisitas yang ditandai dengan
mempertegas identitas kelompok, yang merupakan tipe konflik non realisitis. Coser
9
Social Conflict (1957), Coser memberi perhatian pada adanya konflik eksternal dan
identitas yang mereka miliki di jajah oleh orang lain, dalam hal ini tentu saja
pemerintah Republik Indonesia. Maka dari itulah mereka pun bergejolak dan
timbullah konflik yang berkepanjangan antara RI dan GAM (Gerakan Aceh Merdeka)
Seperti yang kita ketahui bersama, teori konflik mengatakan bahwa konflik
itu perlu dan penting untuk mewujudkan perubahan social yang lebih baik, terkait
konflik di Aceh dengan adanya perjanjian untuk berdamai yang berlangsung Agustus
2005 lalu, diharapkan perubahan yang lebih baik terjadi di Aceh. Paling tidak,
pelanggaran HAM yang sering terjadi saat konflik melanda kini mulai berkurang, dan
semoga kedepannya masyarakat Aceh dapat hidup dengan damai dan sejahtera tanpa
adanya pertumpahan darah di bumi serambi Mekkah itu, seperti apa yang kita
harapkan bersama.
PENUTUP
Kesimpulan
8
Lewis Coser, dalam Bernard Raho. 2007. Teori Sosiologi Modern. Jakarta : Prestasi Pustakaraya.
10
Kesimpulan dari Analisis kasus konflik diatas yaitu konflik terjadi karena
kelompok yang longgar. Karena adannya identitas sosial tersebut, Aceh merasa bukan
bagian dari Indonesia sebab Aceh bukan termasuk wilayah jajahan Belanda dan Aceh
juga merasa kalau telah dikhianati oleh pemerintahan karena eksploitasi sumberdaya
yang membuat adanya konflik besar antara masyarakat GAM dan pemerintahan
Indonesia.
Saran
tahun 2005 di Aceh itu dapat membuat Aceh lebih baik lagi dan diharapkan konflik
DAFTAR PUSTAKA
11
Bob Sugeng Hadiwinata. 2010. Transformasi Gerakan Aceh Merdeka : dari kotak
peluru ke kotak suara (sebuah kisah sukses program transformasi
kombatan di Aceh). Jakarta: Friedrich Ebert Stiftung.
H.Mohammad Said. 1981. Aceh sepanjang abad. Medan: Percetakan dan Penerbitan
Waspada.
Lewis Coser, dalam Bernard Raho. 2007. Teori Sosiologi Modern. Jakarta : Prestasi
Pustakaraya.
M. Yunus Jamil. 1968. Tawarikh Raja-raja Kerajaan Aceh. Banda Aceh: Ajdam I
Iskandar Muda.
M. Madya Akbar. 2009. Aceh: Meretas Jalan Damai Menuju Masa Depan. Jakarta:
Kerjasama Jyesta Publishing dengan Lentera Demokrasi.
12