You are on page 1of 30

INTEGRITAS TERBUKA: JALAN TENGAH UNTUK BERDIALOG

ANTARUMAT BERAGAMA

Diajukan untuk pemenuhan Ujian Akhir Semester

Disusun Oleh:
Gabriel Putra Pratama 6122201003

Fendinan Yori Sentanu 6122201004

James Chandra Putra 6122201005

Alexius Fredi 6122201006

Yohanis Baptista Nurmalae 6122201009

Winra Yohannes Sinurat 6122201010

Raimundus Armando Dwi S. 6122201011

Guido Angelo Supriadi 6122201012

Yosafat Panji Saputra 6122201013


Universitas Katolik Paharyangan
Bandung
2022

1
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1. Latar Belakang 1
1.2. Rumusan Masalah 2
1.3. Tujuan Penulisan 2
1.4. Manfaat Penulisan 3
1.4.1. Manfaat Teoritis 3
1.4.2. Manfaat Praktis 3
BAB II ISI 4
2.1. Kebebasan Beragama 4
2.2. Dialog Antarumat Beragama 5
2.2.1 Sejarah dialog agama di dunia 5
2.2.2 Dialog Pluralisme 5
2.2.3 Dialog Berdasarkan Etika Global Hans Küng 6
2.2.4 Dialog agama dengan filsafat Perenial 6
BAB III HASIL PENELITIAN 7
3.1 Pengumpulan Data 7
3.2 Pengolahan Data 7
3.2.1. Umur Rata-Rata Responden 7
3.2.2. Pendidikan Terakhir Rata-Rata Responden 8
3.2.3. Pekerjaan Responden 8
3.2.4. Agama Responden 9
3.2.5. Penting atau Tidak Pentingnya Agama Menurut Responden 9
3.2.6. Pertanyaan Mengenai Kebebasan Beragama 10
3.2.7. Pertanyaan Mengenai Pentingnya Dialog 10
3.3 Hasil Wawancara Dengan Suster Gerra, RSCJ 10
3.4 Integritas Terbuka : Suatu Pendekatan Baru 11
3.5 Integritas Terbuka : Alasan Membangun Dialog Muslim – Kristen 12
3.6 Prinsip Dasar Integritas Terbuka 13
3.6.1. Keterbukaan pada Klaim-Klaim Kebenaran 13
3.6.2. Respons Terhadap Relativisme 14
3.6.3. Memelihara Keunikan Setiap Agama 15
3.7 Sikap atau Ciri dialog Integritas Terbuka 15
3.7.1. Dialog Sebagai Proses Belajar Yang Terbuka 15
3.7.2. Keramahan 15
3.7.3. Diam dan Percakapan 16
3.7.4. Doa 16
3.8 Refleksi atas Integritas Terbuka. 16
BAB V KESIMPULAN 18
DAFTAR PUSTAKA 19
A. Sumber Utama 19
B. Sumber Internet 20
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Agama di zaman ini, baik dari segi keberagamannya maupun inti ajarannya ditafsirkan
secara multiplisitas. Ada yang menganggap agama sangat mengikatnya dan menjadi hal yang
sangat penting baginya. Bagi beberapa orang, agama dipandang sangat fanatik ke luar sebagai
keyakinan yang setiap orang wajib miliki. Di sisi lain agama hanya sebagai aliran yang tak wajib
untuk dijalankan atau dimiliki, terutama dipengaruhi oleh banyak aspek. Namun, Agama
bagaimanapun adalah produk dari perkembangan kesadaran bangsa manusia (Sugiharto, 2010, p.
325). Terutama dalam perkembangan bernalar dan mencapai metafisika hidup manusia, agama
menjadi bagian yang tidak terlepas dari hidup manusia itu sendiri secara keseluruhan, secara
langsung diyakini ataupun tidak diyakini. Agama dalam sejarahnya menjadi bagian
perkembangan zaman pula.
Dari segi etimologinya, agama berasal dari bahasa latin, religere, yang berarti memilih lagi
(Bartolomeus Samho, no date, p. 10) Dilihat lebih jauh, Cicero berpendapat bahwa agama berasal
dari kata relegere, yang berarti membaca kembali. Agama adalah proses melihat kembali dirinya
dan realitas dirinya, proses refleksi penuh perhatian khususnya agar mengikat dirinya lebih jauh
kepada sang ilahi. Makna dari mengikat lagi bukan mengindikasikan bahwa agama menjadi
belenggu bagi pemeluknya. Agama menjadi penuntun untuk menarik pemeluknya ke jalan yang
benar, menemukan makna terdalam dari kehidupan yang dijalaninya, dan mengarahkannya
kepada Tuhan. Secara horizontal agama membuat seseorang menjadi mampu untuk menentukan
pilihan terbaik untuk menjalin relasi dengan sesamanya, yang juga merupakan penghayatan dan
penyatuan dirinya kepada Tuhan. Entah secara horizontal dan vertikal, hubungan ini memiliki
keterkaitan satu sama lain.

David B.Barrett, mantan misionaris anglikan yang melacak keberadaan agama sejak tahun
1970, menyatakan bahwa ada sembilan ribu sembilan ratus agama dengan dua atau tiga agama
baru yang muncul setiap hari (Weiner Eric(Ter. Lulu Fitri Rahman), 2022, p. 29). Di Indonesia
ada enam agama yang diakui, yakni Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Budha dan konghucu. Walau
begitu pemerintah yang sudah mengeluarkan beberapa undang-undangnya untuk mengakui aliran
kepercayaan dimiliki oleh seorang warga negara (https://business-law.binus.ac.id/2017/08/04/
pengakuan-negara-terhadap-agama-leluhurlokal/). Sebenarnya keberbedaan agama-agama ini
sangat melambangkan Bhineka Tunggal Ika, yang Indonesia akui sebagai semboyan negara.
Agama yang berbeda hadir melambangkan perbedaan yang diyakini oleh setiap masyarakat,
secara bebas tanpa terikat oleh siapa pun dan berhak memeluk agama apapun sesuai dengan
keyakinan yang dimilikinya. Bhineka Tunggal Ika hadir untuk sungguh menghayati perbedaan
yang ada serta sekaligus menyatukan tujuan dari semua warga negara. Dalam arti lain, Bhineka
Tunggal Ika adalah perbedaan yang kita miliki sebagai bentuk kekayaan mewujudkan tujuan
hidup yang sama, sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia. Maka

1
secara ideal keyakinan atau semboyan Bhineka Tunggal Ika adalah idealisme yang absolut, yang
harus senantiasa diaktualisasikan semua masyarakat Indonesia.
Di mana ada perbedaan tak bisa dipungkiri pasti ada pergesekan. Kembali lagi, untuk
mengembalikan cita-cita bangsa itu dibutuhkan jalan tengah agar setiap pemeluk agama memiliki
kesatuan pemikiran dan tidak bergesekan ke kiri maupun ke kanan.
Istilah jalan tengah (moderasi beragama) sebenarnya telah dimiliki oleh setiap agama. Dalam
agama islam ada yang disebut shiratal mustaqim yang artinya jalan yang lurus, petunjuk jalan
menuju tujuan yang satu itu yakni Allah sendiri. Dalam agama Kristen Yesus yang diyakini
sebagai Tuhan adalah sang jalan itu sendiri. Dalam agama Hindu, disebut sebagai Catur marga
yoga yaitu empat jalan menuju Sang Hyang Widhi Wasa
(https://www.mutiarahindu.com/2018/05/4-jalan-menuju-moksa.html). Jalan dari tiga agama ini
(serta agama lain) melambangkan adanya jalan yang luhur yang dimiliki oleh setiap orang serta
menjadi prinsip untuk menjalankan moderasi agama. Penghayatan inilah yang dibutuhkan untuk
terjadinya menjaga diri dan menginternalisasi diri dan dalam konteks ini menjadi wadah untuk
mempertahankan moderasi beragama. Maka moderasi beragama akan menjadi nyata dengan
pertama-tama menghayati jalan tengah yang dimiliki.
Realitas saat ini sepertinya jauh dari makna dari jalan tengah yang seharusnya dijalani,
terutama untuk menjalankan moderasi beragama. Masih sering dijumpai kekerasan baik fisik dan
verbal menggunakan konteks keagamaan. Hal ini disebabkan oleh banyak hal. Yang pertama,
agama yang diyakininya tidak dipahami dengan baik. Kedua, pengertian kebenaran yang dimiliki
salah dimengerti, bahkan dianggap menjadi jalan paling benar. Ketiga, pikiran yang tidak terbuka
terhadap agama lain. Implikasinya, tidak menerima orang lain, tidak mau belajar dan mempelajari
agama lain, dan tidak mempertimbangkan kebenaran bagi agama lain juga ada.
Dialog antaragama untuk mempertemukan pendapat dari setiap agama sangat dibutuhkan
untuk saling berbagi pengalaman satu sama lain, membagi pengertian tentang jalan lurus itu
sendiri sharing pengalaman dan juga bisa memperkuat satu sama lain, demi mewujudkan
moderasi beragama. Dengan dialog antaragama memudahkan jalan tengah itu bisa dipahami baik
bagi dirinya maupun orang lain, terutama dalam mewujudkan Bhineka Tunggal Ika sebagai dasar
hidup dalam pluralitas.

1.2. Rumusan Masalah


1. Dialog seperti apa yang digunakan agar bisa menciptakan moderasi kebebasan beragama
di Indonesia?
2. Apa isi dialog yang sesuai untuk mencapai moderasi kebebasan beragama?

1.3. Tujuan Penulisan


Dialog antar-umat beragama memberikan pemahaman tentang cara menyikapi pluralitas
agama yang ada di Indonesia. Adapun cara yang dibahas dalam makalah adalah dengan cara
berdialog. Dialog yang baik memungkinkan terjadinya suatu relasi yang erat terjalin dengan baik

2
pula dan bersifat persaudaraan. Selain itu dengan berdialog dapat membuka cakrawala berupa
pemahaman konteks kehidupan beragama. Dari sinilah terlahir suatu pemikiran terkait berbagai
sudut pandang dalam hidup beragama. Sehingga pengetahuan baik yang dimiliki tidak akan
melahirkan asumsi negatif, melainkan menjunjung nilai persaudaraan dalam moderasi kebebasan
beragama.

1.4. Manfaat Penulisan

1.4.1. Manfaat Teoritis


a. Membuka cakrawala pengetahuan mengenai agama-agama yang ada di Indonesia.
b. Mengusahakan moderasi beragama dan pencapaiannya yang baik dalam
memaknai kebebasan beragama.

1.4.2. Manfaat Praktis


a. Memberikan khazanah dalam hidup beragama dengan kemajemukan didalamnya.
Artinya membuka definisi baru dari kebebasan beragama. Bahwa walaupun
berbeda antar umat beragama dapat saling menolong satu sama lain sebagai
implementasi nilai-nilai Pancasila. Pernyataan ini dapat ditempuh dengan cara
sederhana yaitu dengan cara berdialog.

3
BAB II
ISI

2.1. Kebebasan Beragama

Kebebasan beragama adalah kebebasan dari setiap warga negara untuk memilih dan
menentukan agama yang akan dipeluknya. Kebebasan ini harus dijamin dan dilindungi oleh
negara karena kebebasan ini merupakan hak asasi manusia yang paling mendasar. Di Indonesia
sendiri kebebasan Beragama diatur dalam Undang – undang Dasar 1945 pasal 28E ayat 1 yang
berbunyi “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih
pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat
tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.” Juga dalam UUD 1945
pasal 28 ayat 2 termuat “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduknya untuk memeluk
agama. Di dalam Pancasila juga termuat makna kebebasan beragama yaitu pada sila satu yang
berbunyi “Ketuhanan yang Maha Esa“. Ini membuktikan bahwa di Indonesia kebebasan agama
itu sangat dilindungi dan dijamin oleh negara.
Di Indonesia sendiri bukan hanya kebebasan beragama yang diatur kebebasan berpendapat
dan berekspresi juga ada aturannya. Hal itu tercantum dalam Undang-Undang Dasar Pasal 28E
ayat 3 yang berbunyi “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan
mengeluarkan pendapat”. Hal ini yang menimbulkan kontroversi yang menimbulkan klaim
kebenaran agama (Annisa Novanka, 2020). Contohnya munculnya gerakan radikalisme di
Indonesia seperti ISIS, Jamaah Tawhid Wal Jihad, Jamaah Ansharut Tauhid, dll. Lalu terjadinya
konflik antarumat beragama seperti konflik yang terjadi di Tanjung Balai Sabtu, 20 Juli 2016
(https://berita.99.co/konflik-agama-indonesia). Konflik ini terjadi antarumat agama Budha dan
Islam. Masalahnya dimulai ketika pemeluk agama Buddha mengeluh karena suara adzan di
masjid lokal sangat keras. Lalu ada rumor seorang wanita melempari Masjid dengan batu dan
mengusir imamnya. Karena hal ini sebagian warga Tanjung Balai merasa tersinggung dan
pecalah kerusuhan. Melihat kedua contoh kasus itu, mengapa kontroversi ini dapat terjadi.
Padahal dalam Undang – Undang Dasar pasal 28J ayat 2 “Dalam menjalankan hak dan
kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-
undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak
dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan
moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.”
Sehingga bisa dikatakan bahwa kebebasan beragama itu bukan kebebasan mutlak yang tanpa
batas.
Melihat realitas ini cita – cita bangsa Indonesia yaitu Bhineka Tunggal Ika tidak
terealisasikan dengan baik. Karena yang seharusnya perbedaan itu menyatukan Bangsa malah
menciptakan sebuah konflik. Tentu yang salah bukan negaranya, atau cita- cita Bangsanya
bahkan bukan salah agamanya. Ini terjadi karena tokoh dan para penganut agamanya yang kurang
mengerti Makna dari jalan tengah (moderasi) dari setiap agama. Maka untuk memahami dari
setiap makna jalan tengah (moderasi) dari setiap agama dibutuhkan sebuah dialog. Namun yang
menjadi pertanyaan dialog seperti apa yang harus dilakukan oleh setiap umat beragama?
4
2.2. Dialog Antarumat Beragama

2.2.1 Sejarah dialog agama di dunia

Dalam perkembangannya dialog antar umat beragama terus menerus dilakukan. Hal
ini bertujuan agar tercapai suatu kehidupan bermasyarakat yang harmonis. Di dunia, secara
umum tidak ada kepastian tentang kapan dialog antar umat beragama itu tercipta, pada
dasarnya dialog ini muncul sejak manusia mengenal sebuah agama. Karena agama di dunia
itu bukan hanya satu maka perlu ada sebuah jalan tengah untuk memberantas konflik. Jalan
tengah yang diambil itu ialah dengan cara berdialog. Dalam sejarah gereja katolik dialog antar
umat beragama itu ada ketika pada saat penunjukan Angelo Giuseppe Cardinal Roncalli
sebagai Paus Yohanes XXII pada 1958, pada tahun 1962 dia menyatakan dengan perlunya
Gereja Katolik untuk terlibat dalam dialog dengan gereja-gereja lain dan dengan tradisi serta
ideologi di luar Katolik (https://elsaonline.com/menengok-sejarah-dialog-agama-di-dunia/).
Selain katolik komunitas muslim pun telah memulai isu dialog antar agama. Mu’tamar al-
alam al-Islami (Word Muslim Congress) didirikan di Makkah pada tahun 1926. Awalnya
organisasi ini hanya berfokus pada isu-isu sosial dan politik, dan tidak secara langsung
berhubungan dengan dialog antarumat beragama. Namun ada tahun 1969, Sekretariat Jenderal
Inamullah Khan sudah mulai mengangkat isu dialog antarumat beragama, khususnya dengan
Kristen.

2.2.2 Dialog Pluralisme


Pluralisme agama muncul pada abad ke-18 masehi yang biasanya disebut masa
pencerahan (Digilib UIN Surabaya, 2019, p. 15). Masa ini dijuluki dengan bangkitnya
gerakan pemikiran modern, yang disebabkan manusia membutuhkan orang lain karena
manusia adalah makhluk sosial. Pengertian dari kata pluralisme sudah dapat menunjukan
dengan adanya perbedaan-perbedaan dalam kehidupan manusia. dengan perbedaan tersebut
perlu adanya dialog antar sesama, baik itu melalui budaya, ras, golongan, suku, maupun
agama yang menjadi sarana dalam membagun kehidupan yang damai dan sejahtera. Namun
agama sangatlah penting, hal ini disebabkan karena agama muncul dalam lingkungan yang
plural. Manusia dituntut untuk memiliki nilai keterbukaan, dalam menerima orang lain
sebagai saudara tanpa memandang status, jabatan dan agama. Pentingnya dialog antar umat
beragama untuk membangun kerjasama, menciptakan pemahaman yang sama, dan memiliki
sikap keterbukaan dalam menerima pendapat orang lain. Selain itu dialog tersebut dapat
menghindari terjadinya penggunaan agama, sebagai sarana penyebab konflik atau tindakan
yang kurang baik terhadap agama sendiri atau agama orang lain. Dialog tersebut dapat
dilakukan dalam berbagai cara, diantaranya (1) dialog teologis yang memberikan pemahaman
tentang agamanya tidak subjektif dan objektif, (2) dialog kehidupan yang berbicara mengenai
kehidupan setiap hari atau acara-acara dalam keagamaan seperti natal, Idul Fitri dan
sebagainya. (3) dialog pengalaman keagamaan, dialog ini biasanya disebut sebagai dialog
pengalaman iman, untuk saling memperkaya dan memajukan penghayatan dalam kehidupan
masing-masing (Rachman, 2018, pp. 29–30). Dengan demikian, kita dapat mengetahui bahwa
dialog berdasarkan pluralisme agama, dapat mengarahkan kita untuk saling menerima dan
menghargai keyakinan sendiri dan keyakinan orang lain.
5
2.2.3 Dialog Berdasarkan Etika Global Hans Küng

Etika Global atau Global Ethics adalah sebuah terobosan baru cara berdialog antar-
agama yang dipopulerkan oleh teolog Katolik yang bernama Hans Küng. Ia adalah seseorang
yang dikenal memiliki fokus pada nilai-nilai kemanusiaan. Gagasan yang ditawarkannya
dalam dialog antar-agama pun mengarah pada nilai-nilai kemanusiaan (Novan Risbayana et
al., 2022, p. 149). Salah satu gagasan emasnya adalah “there can be no world peace
without religious peace” (Küng, 1991, p. 76). Pernyataan ingin menegaskan bahwa
perdamaian dunia dapat tercipta karena adanya perdamaian antara-agama. Dalam hal ini,
agama diajak untuk tidak memikirkan kepentingan agamanya sendiri tetapi kepentingan
bersama yaitu umat manusia.
Terobosan cara dialog yang dikembangakan oleh Hans Küng memang tidak terlalu
menekankan pada sisi teologis -dalam hal ini dogma- karena menurutnya setiap agama
memiliki perbedaan besar (Khairiah, 2009, p. 14), tetapi dalam hal etika atau perilaku tentu
semua agama memiliki persamaan yang besar seperti antara yang baik dan buruk, bermoral
dan tidak bermoral, manusiawi atau tidak manusiawi, dan sebagainya. Oleh karena itu, ini
disebut sebagai etika global dimana semua memiliki pandangan atau arah yang sama. Dialog
semacam inilah yang ditawarkan oleh Hans Küng

2.2.4 Dialog agama dengan filsafat Perenial


Sayyed Hossen Nashr lahir di Teheran, Iran tahun 1933. Ia adalah intelektual islam
yang memiliki gagasan terkenal tentang dinamika aktivitas intelektual dan spiritual yang
diintegrasikan dengan begitu kuat (Spiritualitas and Harahap, 2017, p. 174). Dalam hal
intelektual, ia sangat mengkritik krisis peradaban modern di Barat. Menurutnya peradaban
modern di Barat telah salah dalam mengkomsepsikan manusia, nilai dari spiritualitas sebagai
tonggak kemanusiaan telah disingkirkan (Anas, 2017, p. 34). Sedangkan dalam pandangan
spiritualitas jika manusia tidak menjadikan spiritualitasnya menjadi pusat hidupnya, ia
berarti menjadikan dirinya sebagai Tuhan. Karena inilah Sayyed Hossen Nashr menawarkan
filsafat perennial. Filsafat Perenial adalah sebuah konsep yang membawa manusia pada
kesadaran bahwa Tuhan itu wujud yang paling absolut, sumber dari segala wujud termasuk
juga dalam pluralitas agama dan situs -situs keagamaan (Amalia, Sunan and Yogyakarta,
2019, p. 10).
Filsafat Perenial memiliki dua metode dalam berdialog antarumat beragama yaitu
metode komparatif dan metode historis. Metode Konperatif ialah untuk bisa saling memahami
antar agama dibutuhkan titik temu agama bahwa agama pada dasarnya sama yaitu sama- sama
memiliki kebenaran abadi. Sedangkan dalam metode historis umat beragama harus membuka
kembali lembaran – lembaran sejarah agamanya karena sumber agama sebenarnya hanya satu
yaitu bersumber dari Tuhan (Spiritualitas and Harahap, 2017, p. 192). Sebagai contoh bahwa
manusia berasal dari satu yaitu Adam yang diciptakan oleh Tuhan menurut pandangan agama
masing – masing. Oleh karena itu jika dapat menggunakan metode pendekatan ini perbedaan
dari setiap agama dapat dipahami karena sudah tahu bahwa sebetulnya agama memiliki
kesatuan pada sumber dan dasar yang sama yaitu Tuhan.

6
BAB III
HASIL PENELITIAN

3.1 Pengumpulan Data


Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini yaitu berupa data yang diperoleh dari hasil
penyebaran kuesioner. Penyebaran kuesioner ini dibagikan secara acak atau random sampling.
Kuesioner yang digunakan dalam penelitian ini berupa kuesioner terbuka dan tertutup, dengan
jumlah sembilan (9) pertanyaan. Kuesioner yang ada dalam penelitian ini disebarkan melalui
fitur yang Google sediakan, yaitu Google Form.

3.2 Pengolahan Data


Dalam penelitian ini penulis mengumpulkan data dari mahasiswa/i aktif, karyawan
swasta, pelajar SMA/sederajat, SMP/sederajat dan guru. Dari hasil kuesioner diperoleh data
sebagai berikut.

3.2.1. Umur Rata-Rata Responden

Gambar 1. Data umur responden.


Berdasarkan diagram di atas diketahui bahwa responden penelitian berada dalam
rentang usia 17 tahun sampai dengan 24 tahun keatas. Sebagian besar responden berada
dalam usia 20 tahun atau awal dewasa.

7
3.2.2. Pendidikan Terakhir Rata-Rata Responden

Gambar 2. Data Pendidikan Terakhir Responden.

Berdasarkan diagram di atas diketahui bahwa responden penelitian memiliki rentang


pendidikan dari pendidikan SMP/sederajat, SMA/sederajat, Diploma III, dan Strata I.
Melalui itu juga dapat dilihat bahwa pendidikan terakhir responden sebagian besar berada
pada bangku pendidikan SMA/sederajat

3.2.3. Pekerjaan Responden

8
Barista
Biarawan/i Barista

Bidan Guru Biarawan/i


Karyawan Bidan Guru
Mahasiswa/i Karyawan
Pelajar Mahasiswa/i
Wirausaha Pelajar
Pilot
Wirausaha
Belum Kerja
Pilot
Belum Kerja

0 10 20 30 40

Gambar 3. Data Pekerjaan Responden

9
Berdasarkan diagram di atas diketahui bahwa responden penelitian memiliki rentang
pekerjaan yang amat beragam. Namun melalui diagram di atas penulis mengetahui bahwa
sebagian besar responden yang menjawab adalah mahasiswa/i.

3.2.4. Agama Responden

Gambar 4. Data Agama yang Dianut Responden.


Berdasarkan diagram di atas penulis dapat mengetahui agama yang dianut responden
dalam menjawab pertanyaan mengenai dialog agama. Sebagian besar responden adalah
beragama Kristen Katolik lalu disusul Islam, Kristen Protestan, Hindu, Buddha, dan
Konghucu.

3.2.5. Penting atau Tidak Pentingnya Agama Menurut Responden

8%
4%
3%

Sangat Tidak Penting Cukup


13%
Tidak Penting Cukup Penting

Penting
Sangat Penting

72%

10
Gambar 5. Data Penting atau Tidaknya Agama.

11
Berdasarkan diagram di atas penulis dapat mengetahui bahwa :
● 5 dari 61 responden merasa bahwa agama sudah sangat tidak penting,
karena agama hanya sebagai sebuah pegangan dalam hidup agar tetap waras.
● 2 dari 61 responden merasa bahwa agama cukup tidak penting karena agama
dilihat hanya sebagai sebuah pegangan dalam hidup saja tanpa dapat
memberikan sesuatu yang signifikan dalam hidup.
● 2 dari 61 responden merasa bahwa agama cukup penting karena agama
sebagai tiang berpikir dalam hidup bersama, namun tidak semua apa yang
didapat dalam agama dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
● 8 dari 61 responden merasa bahwa agama penting karena agama dan nilai-
nilai yang ditawarkan dapat memenuhi kehausan-kehausan rohani di tengah
kesibukan dunia yang responden hidupi. Juga agama dilihat sebagai sebuah
pedoman dalam mengatur norma dan aturan seseorang bertindak melakukan
baik dan benar di hadapan sesama.
● 44 dari 61 responden merasa bahwa agama sangat penting dalam kehidupan
karena agama menjadi pokok dan dasar pembelajaran bagi hidup, pedoman
dalam menjalankan kehidupan pribadi maupun kelompok serta menjadi
suatu norma dalam bertindak. Tidak hanya itu saja banyak pula mengatakan
bahwa agama adalah sebagai fondasi utama dalam menjalani hidup agar
tetap kokoh dan kuat.

3.2.6. Pertanyaan Mengenai Kebebasan Beragama


Berdasarkankan hasil survei, penulis menyimpulkan dari banyak
responden yang menyatakan bahwa kebebasan beragama adalah kebebasan
untuk memilih agama sesuai dengan keyakinannya masing-masing dan
menjalankan keyakinannya dalam bentuk kegiatan beribadah.

3.2.7. Pertanyaan Mengenai Pentingnya Dialog


Berdasarkankan hasil survei, penulis menyimpulkan dari banyak
responden yang menyatakan bahwa dialog itu penting karena tidak ingin
berhadapan dengan konflik. Mereka ingin hidup dalam sikap saling menghargai
dan menghormati sehingga terciptalah kedamaian dan keharmonisan hidup.

3.3 Hasil Wawancara Dengan Suster Gerra, RSCJ


Pada hari Kamis, 8 Desember 2022 tim peneliti melakukan riset dengan bentuk
metode kualitatif wawancara. Pihak yang diwawancarai oleh tim adalah Sr. Gerradete
Philips, RSCJ seorang biarawati sekaligus Dosen di Fakultas Filsafat Unpar. Sr. Gerra
begitu biasa disapa memiliki ketertarikan dan fokus pada dialog antar agama. Adapun

12
karya-karya yang dihasilkannya dalam dialog antar agama adalah buku seperti
Integritas Terbuka dan program dialog agama Muslim-Kristen seperti halaqah damai
dan lain sebagainya. Atas dasar ini, tim melakukan wawancara untuk menggali dan
menambah wawasan terkait tema yang kami angkat yaitu tentang dialog antar umat
beragama. Berikut adalah pertanyaan-pertanyaan yang disampaikan antara lain :
1. Bagaimana Realitas Kebebasan Beragama Di Indonesia?
2. Metode apa yang dibutuhkan untuk membangun kebebasan beragama di
Indonesia?
3. Apa itu dialog?
4. Dialog seperti apa yang dibutuhkan umat beragama di Indonesia pada zaman
sekarang?
Dari keempat pertanyaan itu, kami merangkum berbagai jawaban yang
diutarakan oleh Sr. Gerra dan sampai pada kesimpulan bahwa realitas kebebasan
beragama di Indonesia memang adalah suatu hal yang harus diterima dan dihargai.
Berbagai agama di Indonesia memiliki banyak kekhasan serta keunikan yang sebetulnya
perlu dialami dan didukung oleh suatu tindakan yang nyata. Dialog adalah salah satu
metode yang dibutuhkan untuk memahami dan menghargai kebebasan beragama di
Indonesia. Karena melalui dialog, setiap agama tidak hanya mengenal agama sendiri,
tetapi juga mengenal agama lain dan menjadi kesadaran penting untuk dimaknai.
Namun berbagai dialog yang sudah dipraktikkan di Indonesia, rasa-rasanya belum
cukup untuk menjembatani perbedaan dan konflik yang terjadi dalam lingkup
keagamaan di Indonesia. Oleh karena itu, masyarakat Indonesia perlu memiliki suatu
pendekatan baru yang mampu menjadikan dialog antar agama sebagai sarana yang tepat
dan menjawab tantangan yang ada. Dialog dengan pendekatan Integritas Terbuka adalah
saran yang cukup relevan di zaman sekarang. Integritas terbuka tidak lain merupakan
suatu sikap baru, suatu penghayatan baru yang mengajak setiap umat beragama agar
menyadari bahwa perbedaan diantara agama harus menjadi alasan untuk mengenal
agama sendiri dan agama lain dengan lebih terbuka.

3.4 Integritas Terbuka : Suatu Pendekatan Baru


Lahirnya pendekatan Integritas Terbuka diawali oleh keberadaan pluralisme
keagamaan yang menjadi realitas kehidupan beragama di zaman sekarang. Pluralisme
keagamaan membawa suatu pemahaman dimana setiap agama pada dasarnya memiliki
keunikan dan kekhasan masing-masing. Situasi tersebut mengajak setiap penganut
agama untuk sadar bahwa segala sesuatu yang terkait dengan agama mempunyai
kesamaan antara agama satu dan agama yang lain. Namun karena kesadaran bahwa
semua agama merujuk pada sesuatu kebenaran yang sama, maka hal itu cenderung
mempengaruhi setiap orang untuk sekadar mengetahui setiap agama tetapi tidak berani
mengalami gesekan, tidak berani mengalami konflik. Hal seperti ini membuat agama
tidak mampu merasakan pemaknaan dari tiap agama lain yang akhirnya menutup diri
pada terus bersikap ortodok pada agama sendiri. James L. Feredericks dalam bukunya
Faith Among Christian Theology and Non-Christian Religions (1999) mengkritik

13
pemahaman tentang pluralisme keagamaan dari sudut pandang kristiani bahwa dengan
hanya memahami setiap agama adalah sama merupakan sikap yang menutup diri untuk
belajar agama lain. Orang-orang hanya menangkap berbagai kesamaan dari berbagai
agama lewat persepsi pribadi dan hal itu membentuk pribadi yang tidak kreatif.
Keadaaan pluralisme keagamaan dalam kaca hidup beragama memang
menimbulkan suatu dilematis tersendiri. Situasi tersebut mendorong Hans Küng
menciptakan suatu pemahaman baru yaitu Etika Global dan Seyyed Hossein Nasr
dengan Philosophia Perennis. Kedua pemahaman ini persis melampaui keadaan
pluralisme keagamaan. Etika Global dengan fokus pada aspek kemanusiaan dan Nasr
pada aspek intelek dan pewahyuan betul-betul menjawab berbagai tantangan yang ada
karena pluralisme. Akan tetapi, sebagaimananya sebuah pandangan, terdapat
kekurangan yang dilihat sangat berbanding terbalik antara kedua tokoh ini. Oleh karena
itu muncul ide baru dari Sr. Gerra, RSCJ untuk mengelaborasikan kedua pemikir agama
ini untuk menjadi suatu pendekatan baru. Maka pendekatan Integritas Terbuka pun
tercipta.

3.5 Integritas Terbuka : Alasan Membangun Dialog Muslim – Kristen


Konsep tentang pendekatan Integritas Terbuka dalam dialog antar umat
beragama sudah mulai dipraktekkan dan diterapkan lewat dialog antara umat Muslim
dan umat Kristen. Beranjak dari pemikiran dua tokoh besar, yaitu Hans Küng dan Nasr
tentang bagaimana seharusnya dialog yang baik terutama dalam konteks agama Muslim
dan Kristen. Upaya yang dilakukan tersebut membawa pemahaman baru untuk
mengetahui sebenarnya apa saja alasan-alasan yang ditawarkan oleh pendekatan
Integritas Terbuka agar dialog Muslim-Kristen bisa sampai pada taraf saling
membangun dan melengkapi. Berikut adalah dua alasan penting terkait pendekatan
Integritas Terbuka dalam membangun dialog agama Muslim dan Kristen :
Alasan pertama, agama Muslim dan Kristen menggunakan Integritas Terbuka
dalam proses dialog untuk mendidik diri kita sendiri (Philips, 2020, p. 259). Dalam hal
ini bukan berarti kita sebagai umat Muslim dan umat Kristen harus setuju atau terpaku
pada ideologi agama masing-masing. Lebih jauh dari itu, sikap Integritas Terbuka
membimbing setiap umat beragama agar saling memberikan kesempatan terhadap
upaya menjelaskan agama kita sendiri dalam bahasa sendiri untuk kemudian makin siap
memahami apa yang dipercayai dan siap juga mengenal siapa itu agama (Richard and
Siagian, 2021, p. 13). Jika kita melihat keadaan kebebasan umat beragama sekarang,
banyak sekali ditemukan adanya kesalahpahaman tentang agama Kristen dan begitupun
pada agama Muslim. Ungkapan stereotip seperti umat Kristen adalah kafir atau umat
Muslim adalah teroris sebetulnya merupakan sebuah penghalang untuk memahami satu
sama lain. Stereotip tersebut seolah menjadi kabut yang merusak dan mengganggu
penglihatan dalam dialog antar agama. Berbagai kesalahpahaman itu naasnya menjadi
alasan bagi setiap agama untuk memicu kekerasan antar satu sama lain. Maka
penerapan Integritas Terbuka sebagai pendekatan yang baru membantu umat beragama
untuk menyadari bahwa ketika kita mau mengenal agama lain,mengenal agam kita

14
sendiri adalah keharusan pertama. Pengenalan ini tidak serta-merta hanya sampai pada
titik mengetahui saja, melainkan juga harus ada sikap terbuka untuk mengkritisi dan
berefleksi tentang agama yang dianut. Agar dengan kesadaran itu, sebagai umat Muslim
ataupun umat Kristen sama-sama memiliki sikap yang selektif dalam melihat berbagai
informasi dari media massa untuk kemudian membawa sikap saling memahami lewat
bahasa yang digunakan ketika menggambarkan agama diri sendiri.
Alasan Kedua, umat Muslim dan Kristen perlu menggunakan pendekatan
Integritas Terbuka dalam memahami apa yang dianut, sebagai orang Kristen dan
Muslim (Philips, 2020, p. 260). Sebagai orang yang beragama penting sekali memiliki
gagasan yang jelas tentang agama masing-masing. Ketika para penganut agama tidak
mampu merasakan dan menarik makna dari setiap nilai yang ada dalam agama, maka
hal tersebut membuat suatu pendekatan yang kurang utuh. Permasalahan agama di
Indonesia saat ini adalah kurangnya motivasi dari para penganut agama untuk berpikir
dan mempertanyakan agama yang dijalaninya. Agama Muslim dan Kristen merupakan
agama dengan pengikut yang cukup banyak di Indonesia. Situasi tersebut cenderung
membuat umat beragama hanya berlindung dari komunitas-komunitas yang besar,
sekadar mengikuti ritual dan rutinitas yang akhirnya bermuara pada sikap kedangkalan
pada agama sendiri. Umat beragama harus memiliki keteguhan dalam memegang
keyakinannya; secara konkritnya bisa menjelaskan tentang Allah dan relevansi dalam
kehidupan ketika dihadapkan pada suatu dialog dengan agama lain. Integritas Terbuka
sebagai pendekatan baru, persis mendorong setiap umat untuk berhenti sejenak, berpikir
dan merasakan secara mendalam tentang apa yang kita imani.
Perjumpaan umat Muslim dan Kristen dalam dialog benar-benar memberikan
berbagai kesempatan untuk menjalani situasi berhenti sejenak dan merasakan secara
mendalam. Dengan kata lain, para umat Muslim dan Kristen diarahkan untuk sampai
pada titik hening sebagai sarana memperoleh kedalaman dari tradisi agama masing-
masing. Pemahaman dasar dari iman setiap pribadi sesungguhnya bisa diraih apabila
sikap keterbukaan terhadap agama sendiri dan agama yang lain menjadi landasan pacu
ketika berdialog serta saling melengkapi. Akhirnya ketika para umat beragama mampu
menaruh landasan iman yang kuat dalam setiap relasi seperti yang dibangun dalam
sikap Integritas Terbuka, maka disitulah pula agama-agama makin jernih dalam melihat
dunia dan sekaligus tetap memahami satu sama lain dalam kehidupan beragama
(Philips, 2020, p. 261).

3.6 Prinsip Dasar Integritas Terbuka

3.6.1. Keterbukaan pada Klaim-Klaim Kebenaran


Dalam kehidupan beragama, eksistensi dari setiap agama memang
memperlihatkan keragaman dan keunikan yang berbeda satu sama lain. Namun
ada kalanya dalam realitas sekarang, agama mulai berlomba-lomba dengan
berbagai cara untuk mengakui diri sebagai agama yang paling benar. Hal ini

15
terjadi karena kurangnya pemahaman yang mendalam tentang agama sehingga
muncul rasa kecintaan yang berlebihan dan keliru terhadap agama. Situasi
seperti ini memungkinkan hadirnya berbagai perspektif seperti eksklusivisme
yang menyatakan bahwa hanya satu agama yang benar, atau inklusivisme yang
menegaskan bahwa hanya satu agama yang benar dan yang lain adalah bagian
dari kebenaran satu agama itu. Ketika agama mulai saling mengakui diri
sebagai yang paling benar, terjadi kerentanan dalam hal dialog yang justru
memicu adanya konflik antar agama.
Oleh karena itu, untuk menghindari berbagai kecenderungan agama
yang merasa diri paling benar, Integritas Terbuka sebagai suatu pendekatan
yang didasari oleh Etika Global Hans Küng dan Philosophia Perennis dari
Seyyed Nasr menekankan ajakan kepada setiap orang untuk sadar bahwa
dengan adanya keberagaman dari setiap agama, disitulah pula terdapat klaim-
klaim kebenaran dari agama. Integritas Terbuka mendekatkan setiap orang
untuk belajar bahwa pertama-tama dalam suatu dialog dibutuhkan klaim
kemutlakan dan kebenaran agama sendiri, dan pada saat yang sama menerima
kebenaran agama lain (Philips, 2020, p. 251). Setiap agama pasti memiliki
klaim kebenaran, tetapi bukan berarti memaksa diri pada ungkapan agama yang
paling benar. Inti tujuan dari dialog integritas terbuka adalah melakukan upaya
memberikan ruang dan penghargaan terhadap klaim-klaim(agama) kebenaran
yang kemudian bisa saling melengkapi serta martabat perbedaan dapat
berkembang.

3.6.2. Respons Terhadap Relativisme


Bagaimanapun kehadiran setiap tradisi keagamaan yang ada
merupakan respon manusia terhadap Yang-Ilahi atau Tuhan yang tak
terlukiskan? Jika hal ini terjadi, apakah ada suatu kriteria yang dengannya
agama apa pun dapat dinilai (Philips, 2020, p. 253)? Berbagai pertanyaan
tersebut menimbulkan suatu kesadaran bahwa sebetulnya agama memiliki
kebenaran yang oleh penganutnya dianggap benar dan diikuti. Menurut orang-
orang Kristiani, agama Kristen dan semua yang ada di dalamnya adalah
kebenaran, begitu pun kepada agama-agama lain di dunia. Situasi ini
mendorong setiap pemuka agama atau penganut agama mulai mempelajari
agama sendiri tetapi hanya untuk memperhatikan kebenaran agama sendiri.
Sikap seperti ini benar-benar dikritik oleh Nasr “bahwa ketika orang belajar
agama, disitulah pula ada keseriusan untuk belajar juga agama lain (Nasr, 1999,
p. 127) “ Sebab dengan mau belajar agama sendiri, terdapat sebuah langkah
awal untuk menyadari berbagai agama-agama lain yang akhirnya sangat
membantu dalam hal dialog.
Küng dan Nasr menegaskan bahwa setiap agama memiliki klaim-klaim
kebenaran sendiri. Para pengikut harus sadar bagaimana kemudian hidup yang

16
dijalankan sesuai dengan kebenaran agama yang dimiliki sekaligus tidak
menutup mata dan telinga pada pengetahuan baru dari agama serta tradisi lain.
Kesadaran seperti inilah yang dinamakan pendekatan Integritas Terbuka untuk
menerima tradisi dan agama lain sebagai cara serta jalan yang spiritual menuju
Allah.

3.6.3. Memelihara Keunikan Setiap Agama


Setiap agama pada dasarnya memiliki inti keyakinan yang jelas dari
tradisi keagamaan yang ada. Pendekatan Integritas Terbuka
mempertimbangkan tentang berbagai perbedaan dari setiap tradisi keagamaan
dan sekaligus menyadari bahwa inti itulah yang penting serta tidak boleh
berubah. Dengan mengalami dialog Integritas Terbuka, seseorang akan dengan
berani memahami bahwa semua agama bukanlah sesuatu yang sama, tetapi
sesuatu yang unik, karena ketika semua dipandang sebagai kesamaan maka
tidak akan ada pewahyuan (Philips, 2020, p. 259). Karena punya keunikan
disitulah terdapat nilai yang berbeda dan sangat berguna untuk dialami
maknanya dalam kehidupan beragama sehari-hari.

3.7 Sikap atau Ciri dialog Integritas Terbuka

3.7.1. Dialog Sebagai Proses Belajar Yang Terbuka


Dalam menerapkan dialog Integritas Terbuka, pertama-tama yang
harus disadari bahwa keterbukaan adalah lebih dari sekadar ruang. Para umat
beragama diajak untuk menciptakan ruang dialog sendiri dengan bersikap
terbuka yang sekaligus melepas segala hambatan dan kecenderungan negatif.
Berbagai hambatan itu adalah ketakutan kita akan yang lain. Melalui
pendekatan Integritas Terbuka ini, para pelaku dialog membawa diri pada
keterbukaan pikiran yang seperti dikatakan Nasr sebagai rumah yang memiliki
jendela (Chittik, 2007, p. 11).Tetapi sebagaimana jendela harus membutuhkan
dinding untuk sekat antara yang di luar dan di dalam, begitu pun dalam
pemikiran yang terbuka berarti menegaskan diri pada batas-batas ruang belajar.
Sehingga dengan sadar dan berani, apabila keterbukaan itu membawa para
penganut agama makin bingung, batas-batas itulah yang mengingatkan agar
tetap menyadari panggilan serta identitas diri dalam agama masing-masing.

3.7.2. Keramahan
Dalam penerapan dialog antar umat beragama, terkadang tempat
belajar yang telah dibangun dalam kesadaran menjadi juga tempat yang
membawa kesakitan. Karena apabila kebenaran baru datang dan membawa
fakta yang cukup menyakitkan, disitulah pendekatan Integritas Terbuka

17
mengambil alih untuk tetap terbalut dalam semangat keramahan. Sikap ramah
ini berarti suatu usaha untuk menerima, berjuang dan kepedulian terhadap
sesama. Sikap seperti ini mengajak pada sebuah komitmen yang harus
dijalankan dengan setia dan berani. Agar dengan demikian, tidak ada yang
merasa tersakiti dalam suatu dialog antar umat beragama.

3.7.3. Diam dan Percakapan


Percakapan adalah hadiah berharga dan alat vital bagi sebuah dialog
(Philips, 2020, p. 265). Tetapi sering kali sebuah percakapan justru adalah
bentuk pengelakan terhadapan kebenaran. Tujuan berdialog ini dalam
pendekatan Integritas Terbuka adalah memilih menjadi jujur dan membiarkan
diri dalam keheningan yang menyatukan. Ketika para penganut agama merasa
dialog terasa alot, susah dan ricuh, semangat diam dan percakapan menjadi
kesempatan jeda untuk menyadari dan mengintropeksi secara bersama. Para
penganut agama (bahkan semua orang) butuh untuk sejenak peka dan
berefleksi di saat kata-kata tak bisa untuk disampaikan; diam menjadi bahasa
paling indah untuk saling menghargai.

3.7.4. Doa
Doa merupakan suatu praktik hidup yang persis menyentuh ranah
spiritual kehidupan. Dalam doa manusia bertemu dengan Roh transenden,
mengalami penyatuan kerohanian dan akhirnya membuka gerbang kedalaman
hidup. Doa membawa para penganut agama untuk sampai pada kedalaman
dialog. Perasaan yang melampaui gagasan kemudian mengarahkan setiap orang
untuk saling melengkapi dan menghargai satu sama lain. Seseorang yang
berdialog sejatinya adalah juga bagian dari tindakan berdoa yang nyata. Oleh
karena itu, pendekatan Integritas Terbuka tidak hanya mengalami keterbukaan
pada sesama, tetapi juga kepada Tuhan yang memberi rahmat setiap hari.

3.8 Refleksi atas Integritas Terbuka.


Pendekatan Integritas Terbuka membuat setiap umat beragama untuk lebih
berakar dalam iman kita sendiri, dengan memahami dan membangun relasi dengan iman
orang lain (Philips, 2020, p. 261). Dengan kata lain, Integritas Terbuka mengajak setiap
orang untuk melihat ke dalam dan juga keluar. Sebagai suatu dialog, pendekatan
Integritas Terbuka adalah jembatan yang nyaman dan cocok untuk tetap bertumbuh
serta belajar saling melengkapi satu sama lain.
Pada akhirnya, dialog Pendekatan Integritas Terbuka merupakan sikap yang tepat
apabila diterapkan dalam kebebasan beragama di Indonesia. Melalui pendekatan itu,
para umat beriman dipanggil untuk menggeser paradigma baru dalam relasi dan dialog
yang mencerahkan hati satu sama lain.

18
19
BAB V
KESIMPULAN

Dialog merupakan langkah paling konkret dan baik untuk mencapai moderasi
agama. Dialog dibutuhkan agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam memandang agama
satu sama lain. Melalui dialog, setiap orang diajak untuk mengerti dan memahami
keberagaman dalam hidup beragama. Tanpa dialog, setiap orang akan mempertahankan
apa yang menjadi keyakinan dalam agamanya. Akibatnya, orang menjadi kurang
terbuka terhadap agama lain dan pemahaman tentang agama orang lain bisa keliru. Hal
ini tidak boleh terjadi karena akan menimbulkan benih permusuhan dan terjadi konflik.
Fungsi dialog adalah untuk mencapai kesatuan dan memberi pengertian serta
pemahaman tentang masing-masing agama.
Dalam dialog antarumat agama, setiap orang harus bisa membuka diri terhadap
keberagaman setiap agama di Indonesia. Keberagaman dalam agama ada untuk
memberi warna. Tanpa perbedaan, tidak akan ada keunikan. Perbedaan inilah yang
membuat Indonesia menjadi negara yang kaya akan keberagaman. Melalui dialog
antarumat beragama, setiap orang harus mewujudkan sikap menghargai dan
menghormati keyakinan agama lain. Di situlah sebenarnya inti dari dialog, yakni sampai
pada aksi sehingga tidak berhenti dalam dialog saja. Dialog harus mewujud nyata dalam
kehidupan beragama, dimana setiap orang punya sikap toleransi. Dari situ, orang akan
mengalami kebebasan dalam beragama.
Dialog juga bertujuan untuk mencapai kemanusiaan. Dalam dialog tentu ada
pengetahuan yang didapat. Namun, itu tidak cukup jika hanya terbatas pada
pengetahuan tentang agama saja. Lebih jauh daripada itu, dialog antarumat beragama
mesti memperhatikan soal kemanusiaan. Kerap kali hal ini terabaikan sehingga ketika
orang melihat orang lain berbeda secara fisik atau agama, langsung membentengi diri.
Sikap seperti ini akan membuat kehidupan beragama di Indonesia kurang berwarna.
Padahal semua orang memiliki martabat yang sama sebagai manusia sekalipun berbeda
dalam hal agama. Dialog seharusnya bisa memperdamaikan itu.
Hingga akhirnya dialog dibutuhkan agar semua orang mengalami persaudaraan
meskipun berbeda dalam hal agama. Indonesia bisa menyatu karena beragam dan
berbeda. Persaudaraan harus terjadi supaya ada kesatuan sehingga dalam hal agama pun
tidak ada perpecahan. Bagaimana pun juga agama harus menjadi alat persatuan seluruh
rakyat Indonesia. Maka, dialog harus diupayakan terus menerus supaya perbedaan
agama tidak menjadi sumber konflik.

20
\

DAFTAR PUSTAKA
A. Sumber Utama
Amalia, S., Sunan, U. and Yogyakarta, K. (2019) ‘Indonesian Journal of Islamic
Theology and Philosophy Hakekat Agama Dalam Perspektif Filsafat Perenial’,
Hakekat Agama Dalam Perspektif Filsafat Perenial IJITP, 1(1), pp. 1–18. Available
at: https://doi.org/10.24042/ijtp.v1i1.3903.
Anas, M. (2017) ‘Kritik Hossein Nasr Atas Problem Sains Dan Modernitas’, Kalam,
6(1), p. 21. Available at: https://doi.org/10.24042/klm.v6i1.391.
Annisa Novanka (2020) ‘Klaim Kebenaran dalam Teologi’, (1706060203), p. 6.
Bartolomeus Samho (no date) ‘Diktat Fenomenologi Agama’, in.
Chittik, W. (2007) The Essential Seyyed Hossein Nasr. Canada: World Wisdom.
Digilib UIN Surabaya (2019) ‘Sejarah Perkembangan Pluralisme Agama’, pp. 15–
61.
Khairiah, H. (2009) Etika Global; Sumbangan Hans Kung DALAM dialog ANTAR
agama.
Küng, H. (1991) Global Responsibility: In Search of a New World Ethic (Terj. John
Bowden). London: SCM Press.
Nasr, S.H. (1999) Sufi Essays. Chicago: ABC International Group.
Novan Risbayana, N. et al. (2022) ‘Penguatan Identitas Keagamaan Dan Kebangsaan
Dalam Membangun Dialog Interreligius Di Indonesia’, Sapientia Humana: Jurnal
Sosial Humaniora, 2(01), pp. 145–156. Available at:
https://doi.org/10.26593/jsh.v2i01.5907.
Philips, G. (2020) Intergritas Terbuka Perubahan positif Antariman dalam Dunia
Majemuk. Bandung: Unpar Press.
Rachman, T. (2018) ‘Dialog Agama’, Angewandte Chemie International Edition,
6(11), 951–952., pp. 10–27.
Richard, Y. and Siagian, H. (2021) ‘Pendekatan Open Integrity Gerarde Philips
sebagai Sebuah Upaya Dialog Pluri-Religius dalam Berteologi Interreligius di
Indonesia Memahami Pluralitas : Sekelumit Dialog Pluri-Religius’, Aradha, 1(April),
pp. 1–18. Available at: https://doi.org/10.21460/aradha.
Spiritualitas, D.H. and Harahap, J. (2017) ‘SAYYED HOSSEIN NASR TENTANG
FILSAFAT PERENNIAL’, 08(02).

21
Sugiharto, B. (2010) Pergeseran Paradigma: Pada Sains, Filsafat Dan Agama Saat
Ini, Melintas. Bandung.
Weiner Eric(Ter. Lulu Fitri Rahman) (2022) Men Seek Gods. New York: Pt Mizan
Pustaka.

B. Sumber Internet
https://berita.99.co/konflik-agama-indonesia/, di Akses pada tanggal 6 Desember 2022,
Pukul 19.20.

https://business-law.binus.ac.id/2017/08/04/pengakuan-negara-terhadap-agama-
leluhurlokal/, diakses pada 02 Desember 2022, pukul 08.51 WIB.

https://elsaonline.com/menengok-sejarah-dialog-agama-di-dunia/, di akses pada tanggal 19


desember 2022, pukul 19.27.

NAMA Guido Angelo Suppriyadi


NPM 6122201012
KELAS Fenom A1 22-23

PEER REVIEW DAN REFLEKSI PERKULIAHAN FENOMENOLOGI

Teman-teman, pada bagian ini, Anda diminta untuk memberikan penilaian terhadap
rekan-rekan sekelompok Anda terkait kinerja mereka selama pengerjaan Riset
fenomenologi (bagian I), serta bagaimana refleksi Anda tentang Riset Fenomenologi
yang telah Anda kerjakan (bagian II).

I. PEER REVIEW
● Pada bagian ini, Anda diminta untuk menilai semua rekan kelompok Anda
(jangan sampai ada yang terlewat!)
● Penilaian yang diberikan menyangkut 5 hal berikut ini:
1. Partisipasi aktif (N1)
Seberapa besar rekan Anda tersebut berpartisipasi secara aktif dan hadir
dalam setiap pertemuan dan tugas-tugas kelompok.
2. Kontribusi gagasan (N2)
Seberapa besar rekan Anda tersebut memberikan masukan/ kontribusi
gagasan/ ide terkait topik/ tema/ materi/ ide-ide kreatif dalam
pembuatan makalah dan videografis/ membantu memecahkan
permasalahan yang dialami oleh kelompok.
3. Respon komunikasi (N3)

22
Seberapa besar rekan Anda tersebut menunjukkan respon aktif terkait
dengan komunikasi kelompok (ct: aktif menyampaikan perkembangan
tugas, memberikan respon saat diskusi kelompok, dll.)
4. Kerja sama (N4)
Seberapa besar rekan Anda tersebut mampu bekerja sama dengan seluruh
anggota kelompok (ct: menawarkan bantuan, memberikan kontribusi aktif,
memotivasi rekan-rekan satu kelompok, peduli terhadap perkembangan tugas
atau permasalahan yang dialami kelompok)
5. Ketuntasan pengerjaan tugas (N5)
Seberapa besar rekan Anda tersebut mampu menyelesaikan/ menuntaskan
tugas yang diberikan/ dipercayakan kepadanya oleh kelompok.
● Tulis nama dan NPM rekan kelompok Anda pada kolom yang telah disediakan
● Penilaian harus jujur (sesuai dengan kenyataan yang Anda alami)
● Berikut ini adalah ketentuan penilaian yang dapat Anda berikan untuk rekan-
rekan kelompok Anda, sesuai dengan besarnya partisipasi aktif (N1),
kontribusi gagasan (N2), respon komunikasi (N3), kerja sama (N4) dan
ketuntasan pekerjaan (N5) masing-masing rekan:
Kategori Nilai

Sangat besar 70 – 80

Besar 60 – 69

Cukup besar 41 – 59

Tidak besar 0 – 40

● Silakan isikan penilaian Anda terhadap rekan-rekan sekelompok Anda dalam


tabel di bawah ini:

Form Penilaian Rekan Kerja dalam Kelompok

No Nama /NPM (N1 (N2 (N3 (N4 (N5 Rata–


) ) ) ) ) rata
Gabriel Putra Pratama/ 80 80 80 80 80 80
1
6122201003
2 Ferndinand Yori Sentanu/ 80 80 80 80 80 80

23
6122201004
James Candra 80 80 80 80 80 80
3
Putra/6122201005
4 Aleksius Fredi/ 6122201006 80 80 80 80 80 80
Yohanis Babtista Nurmalae/ 80 80 80 80 80 80
5
6122201009
Winra Yohannes Sinurat/ 80 80 80 80 80 80
6
6122201010
Raimundus Armando Dwi S./ 80 80 80 80 80 80
7
6122201011
Yosafat Panji Saputa/ 80 80 80 80 80 80
8
6122201013

II. REFLEKSI
● Pada bagian ini, Anda diminta untuk menyampaikan refleksi Anda terkait
dengan kinerja Anda pribadi dalam kelompok, serta pembelajaran yang Anda
peroleh dari pengerjaan tugas UAS Anda.
● Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini sesuai dengan
pemahaman/penghayatan Anda!

Jelaskan apa saja nilai-nilai/ hal-hal baru yang Anda peroleh dari tema dan teori yang
dikerjakan oleh kelompok Anda!
Setelah membuat makalah ini saya menyadari bahwa dialog antarumat beragama itu
sangat dibutuhkan di jaman sekarang. Dan saya mendapat sebuah metode baru dalam
berdialog yaitu intergritas terbuka. Setelah mendalaminya saya semakin menyadari
bahwa untuk berdialog pertama-tama saya harus membenahi diri saya dalam agama
yang saya anut. Hingga akhirnya dialog bukan sebuah langkah moderasi lagi tentapi
sebagai bentuk dari cinta Tuhan itu sendiri. Dialog antarumat beragama menjadi
sebuah jalan untuk semakin mencapai kedekatan dengan Tuhan.

Setelah mengikuti perkuliahan Fenomenologi Agama:


1. Jelaskan apa yang dimaksudkan dengan Fenomenologi Agama?
2. Bagaimana penerapan Fenomenologi Agama dalam praksis kehidupan sehari–hari?
3. Sebutkan satu dari sejumlah tokoh Fenomenologi Agama (Fenomenolog) dan
uraikan
secara singkat bagaimana pandangannya tentang Fenomenologi Agama!
1. Jelaskan apa yang dimaksudkan dengan Fenomenologi Agama?
Secara etimologi Fenomenologi berasal dari Yunani yaitu Phainomenon yang berarti

24
yang tampak, kelihatan, memperlihatkan diri dan menggejala. artinya fenomenologi
adalah ilmu tentang fenomena- fenomena atau apa asaja yang menampakan diri
kepada kesadaran manusia. sedangkan agama secara etimologi adalah Relegere yang
artinya kembali/memperhatikan dengan teliti. memilih kembali terus menerus. artinya
agam adalah upaya manusia mengikatkan diri, memberi perhatian dan berpihak
kepada sosok Tertinngi. jadi fenomenologi Agama adalah ilmu yang mempelajari
fenomena-fenomena, gejala-gejala manusia untuk mencari sosok yang Tertinggi
dengan cara objektif d
2. Bagaimana penerapan Fenomenologi Agama dalam praksis kehidupan
sehari–hari?
Bisa saling menghargai,memahami antarumat beragama. Karena dengan mempelajari
fenomenologi agama kita dapat mengetahui keunikan dan kekhasan dalam setiap
agama secara objektif. Kedua dapat semakin menjadi religius karena dengan
mempelajari feenomenologi agama kita semakin mengerti makna agama dalam setiap
simbol,ritual maupun manusianya. dan yang terakhir dapat menjadi manusia yang
hidup. Karena fenomenologi bukan hanya mengkaji fenomena dan agamanya saja
tetapi merefleksikanya juga.
3. Sebutkan satu dari sejumlah tokoh Fenomenologi Agama (Fenomenolog) dan
uraikan
Leo, Gerardus Van Der adalah seorang sejarawan agama, teolog, dan fenomenolog
Belanda. Lahir di Di Den Haag dan meninggal pada tahun 1950. Kontrobusinya ialah
pendekatan fenomenologisnya untuk mempelajari data agam dan fenomena agama
iotu sendiri.Dia mencari struktur dan makna dari banyaknya data agama. Sehingga dia
dapat memberi dua tipe ritus dalam semua agama yaitu pertama tindakan-tindakan
ritus adalah tindakan yang khas menghadirkan Yang Ilahi sedemikian rupa sehingga
kaum beriman dapat turut serta di dalamnya. dan kedua ialah tindakan-tindakan ritus
adalah tindakan biasa dalam kehidupan manusia yang seakan-akan telah dibawa ke
dalam lingkungkan sacral.

Jelaskan bagaimana aplikasi langsung dari teori yang dibahas oleh kelompok Anda
dengan keilmuan yang sedang Anda dalami saat ini di jurusan/prodi Anda!
Sebagai seorang calon Imam makalah ini sangat penting untu saya karena untuk bisa
saling bekerjasama dengan setiap agama, untuk bisa mensharingkan pengalaman
iman dan mendengarkan sharing pengalam iman dalam sertiap agama dibutuhkan
pendekatan integritas terbuka.

25
Pernyataan
Demikian saya membuat penilaian dan refleksi ini secara sadar, jujur dan tanpa paksaan
dari pihak manapun. (Lampirkan tanda tangan Anda pada bagian berikut ini.)

Bandung, 11 Januari 2023

(Guido Angelo
Supriyadi )

26

You might also like