You are on page 1of 3

Biografi Tuanku Imam Bonjol

Tuanku Imam Bonjol merupakan salah satu pemimpin sekaligus pejuang yang ikut berjuang
melawan Belanda dalam peperangan yang dikenal dengan nama perang Padri. Perang Padri
pada awalnya merupakan peperangan yang diakibatkan oleh pertentangan dalam masalah
agama sebelum berubah melawan penjajah.
Selain menjadi pejuang, Tuanku Imam Bonjol merupakan seorang Ulama yang mempunyai
cita-cita untuk memurnikan praktek islam dan mencerdaskan rakyat Nusantara dalam
wawasan Islam. Beliau menuntut agama di Aceh pada tahun 1800-1802, beliau mendapat
gelar adat Malin basa.
Biodata Tuanku Imam Bonjol
Nama : Muhammad Shahab

Tanggal lahir : 1772, Bonjol, Sumatera Barat, Indonesia

Meninggal : 6 November 1864, Minahasa

Kebangsaan/Asal : Indonesia, Minangkabau

Agama : Islam

Orang tua : Bayanuddin (Ayah), Hamatun (Ibu)

Biografi Tuanku Imam Bonjol


Lahir di Bonjol pada tahun 1722, memiliki nama asli Muhammad Shahab. Beliau memiliki
Ayah yang bernama Bayanuddin dan Ibu Hamatun. Ayahnya merupakan seorang Alim
Ulama dari Sungai rimbang, Suliki. Imam Bonjol belajar Agama di Aceh pada tahun 1800-
1802M, dia mendapatkan gelar Malin Basa.

Sebagai Ulama dan Pemimpin masyarakat setempat, Muhammad Shahab memperoleh


beberapa gelar, diantaranya yaitu Peto Syarif, Malin Basa, Tuanku Imam, dan Tuanku nan
Renceh dari Kamang, Agam, sebaga salah satu seorang pemimpin dari Harimau nan Salapan
yang menunjuknya sebagai Imam (Pemimpin) bagi kaum Padri di Bonjol. Beliau lebih
dikenal dengan sebutan Tuanku Imam Bonjol.

Tuanku Imam Bonjol dikenal karena perlawanannya melawan penjajah Belanda dalam
perang Padri. Perang Padri berlangsung sangat lama, dari tahun 1803 hingga 1838 yang
melibatkan sesama orang Minang dan Mandailing/Batak. Awalnya perang padri bisa
dikatakan sebagai perang antar saudara di Sumatera, Perang tersebut timbuln karena adanya
pertentangan antara kaum Padri yang terkenal dari kalangan ulama dengan kaum adat yang
merupakan masyarakat dari Kerajaan Pagaruyung. Kaum Padri sebenarnya ingin menegakkan
hukum sesuai dengan syariat Islam yang berpegang teguh pada Al-qur’an dan Sunnah Nabi
Muhammad SAW, mengingat masyarakat disana memiliki kebiasaan yang buruk, seperti
perjudian, penyabungan ayam, minum minuman keras serta hukum yang terlalu longgar,
padahal masyarakat disana sudah banyak yang memeluk Islam. Karena tidak adanya
kesepakatan antara kaum Padri dan kaum ada sehingga meletuslah perang yang dikenal
dengan perang Padri.
Memimpin Perang Padri

Karena ketika saat itu saat terdesak, mereka meminta bantuan kepada Belanda, kemudian
Belanda membantu kaum adat untuk berperang melawan kaum Padri melalui perjanjian yang
ditandatangani pada langsung di Padang pada tahun 1821. Isi perjanjian itu menyebutkan
bahwa Belanda akan mendapatkan wilayah kekuasaan di pedalaman Minangkabau. Saat itu
perjanjian dihadiri oleh Sultan Tangkal Alam Bagagar. Karena adanya campur tangan dari
Belanda dalam membantu kaum adat untuk melawan kaum padri, situasi menjadi semakin
rumit.
Meskipun begitu, Belanda juga cukup kesulitan dalam melawan Kaum Padri yang dipimpin
oleh Tuanku Imam Bonjol. Karena mengalami kesulitan, Belanda mengajak Tuanku Imam
Bonjol untuk berdamai, kemudian hal tersebut dituliskan dalam perjanjian Masang tahun
1824. Perjanjian itu harus dilaksanakan oleh Belanda, mengingat pada saat itu mereka
kehabisan dana untuk melakukan perang dan harus mengakhiri perang yang terjadi di daerah
lain. Namun perjanjian itu tidak berlangsung lama, sebab Belanda menyerang nagari Pandai
Sikek.

Pada tahun 1833, Perang padri memasuki tahap baru, kaum adat kemudian bersatu dengan
kaum padri untuk melawan Belanda. Mengingat perang tersebut sebelumnya hanya
menyengsarakan rakyat Minangkabau, kaum adat dan kaum padri bersatu ditandai dengan
Plakat Puncak Pato di Tabek patah.
Kalimat tersebut merupakan rasa penyesalan dari tindakan kaum padri atas sesama orang
Minang, Mandailing dan Batak. Belanda melakukan pengepungan dan penyerangan ke
Benteng kaum Padri. Pengepungan dan penyerangan itu berlangsung selama 6 bulan, agar
rencana mereka berhasil, mereka terus menerus meminta bantuan kepada pasukan Batavia.
Hal ini menyebabkan posisi Tuanku Imam Bonjol terpojok. Tetapi beliau tetap melakukan
perlawanan dan tidak mau menyerah.
Akhir Perang Padri dan Tertangkapnya Tuanku Imam Bonjol

Pada tanggal 16 Agustus 1837 benteng Bonjol dapat dikuasai oleh Belanda setelah berapa
lam dikepung. Untuk menangkap Tuanku Imam Bonjol, Belanda melakukan siasat untuk
mengajak Tuanku Imam Bonjol berunding di Palupuh pada bulan Oktober 1837. Disana
beliau ditangkap oleh Belanda dan kemudian diasingkan di Cianjur, Jawa barat. Dari Cianjur,
kemudian beliau dibawa ke Ambon hingga akhirnya dipindahkan ke Lotak, Minahasa, dekat
Manado, disana beliau meninggal dunia pada tanggal 8 November 1864 dan dimakamkan
disana.

Pemerintah Indonesia kemudian mengangkat Tuanku Imam Bonjol sebagai Pahlawan


Nasional berkat perjuangannya melawan dan menantang penjajah Belanda. Beliau diberi
gelar sebagai Pahlawan Nasional pada tanggal 6 November 1973. Nama Tuanku Imam
Bonjol juga diabadikan sebagai nama Jalan dan digambarkan dalam uang pecahan 5.000
rupiah. Nama Tuanku Imam Bonjol juga banyak digunakan sebagai nama ruang publik
seperti Stadion dan nama Universitas.

You might also like