Bernama lengkap Yang Dipertuan Besar Syarif Kasim Abdul Jalil Saifuddin, lahir di Siak Sri Indrapura, Riau pada 1 Desember 1893 dan merupakan sultan ke 12 dari Kesultanan Siak. Ia adalah salah seorang pejuang kemerdekaan Indonesia. Setelah proklamasi kemerdekaan ia menyatakan bahwa Kesultanan Siak adalah bagian dari wilayah Indonesia dan menyumbangkan harta kekayaan sejumlah 13 juta gulden kepada pemerintah Republik Indonesia. Atas jasa-jasanya, namanya diabadikan menjadi nama bandara Pekanbaru. Sultan Syarif Kasim juga mendirikan sekolah dasar bernama Madrasah Taufiqiyah al Hasyimiah pada 1917 yang mengajarkan agama dan ilmu pengetahuan umum bagi semua anak-anak Siak laki-laki untuk menyaingi pemerintah Belanda, yang hanya memperuntukkan sekolah dasar di Riau yaitu HIS bagi anak-anak Eropa, Tionghoa atau bangsawan pribumi saja. Sultan Syarif Kasim II dilahirkan di Siak pada tanggal 1 Desember 1893. Setelah ayahnya, Sultan Assyaidin Hasyim I Abdul Jalil Syaifuddin wafat pada 1908, Syarif Kasim II dinobatkan sebagai sultan ketika usianya masih 16 tahun. Karena belum cukup umur dan tengah menempuh pendidikan di Batavia, maka Syarif Kasim II dinobatkan sebagai Sultan Kerajaan Siak Indrapura pada 13 Maret 1915 dengan gelar Sultan Assyaidis Syarif Kasim Sani Abdul Jalil Syaifuddin. Di bawah kepemimpinan Sultan Syarif Kasim II, Siak menjadi ancaman bagi Pemerintah Hindia Belanda. Soalnya, dia secara terang-terangan menunjukkan penentangannya terhadap penjajahan. Dengan lantangnya, Syarif Kasim II menolak Sri Ratu Belanda sebagai pemimpin tertinggi para raja di kepulauan Nusantara, termasuk Siak. Sultan yang amat menyadari pentingnya pendidikan sebagai tonggak bagi perubahan suatu kaum, mencoba mencerdaskan rakyatnya dengan mendirikan sekolah-sekolah di Siak. Putra-putri Siak yang cerdas dan berprestasi, mendapat beasiswa untuk menempuh pendidikan ke Medan dan Batavia. Sultan Syarif Kasim II dihormati orang tidak hanya karena kedudukan sebagai raja, tetapi karena satunya kata dengan perbuatan. Beliau tidak hanya mendukung NKRI dengan maklumat dan pernyataan politik saja, tetapi juga dengan menyumbangkan harta miliknya dalam jumlah sangat besar kepada negara. Dia tidak hanya menyayangi rakyatnya dengan kata dan ungkapan, tetapi juga dengan mencerdaskannya lewat penyediaan sekolah. Syarif mendukung perjuangan lewat seruan di istana, tapi juga hadir dalam kancah perjuangan dengan bantuan yang konkrit. Pada saat peringatan hari kematiannya atau Haul ke 119, Sultan Syarif Kasim II mendapatkan gelar pahlawan nasional. Penetapannya tanggal 6 November 1998, melalui keputusan presiden nomor 109/TK/1998, yang di tanda tangani presiden BJ Habibie, Sultan Syarif Kasim II juga mendapat tanda kehormatan bintang Mahaptra Adipradana. Untuk mengenang jasa jasanya, Pemerintah Provinsi Riau mengabadikan namanya pada Bandara Internasional di Pekanbaru dengan nama Sultan Syarif Kasim II yang semula bernama Bandar Udara Simpang Tiga. Bandara Simpang tiga ini pertama kali sultan Syarif Kasim melakukan pendaratan perdana dan meresmikannya pada tahun 1943 bersama dengan Permaisuri Tengku Agung Sultanah Latifah dan pembesar pemerintah Belanda. Sultan Syarief Kasim meninggal pada usia 74 tahun di Pekanbaru Riau pada tanggal 23 April 1968 atas jasa jasanya maka nama Sultan Syarief Kasim diabadikan menjadi nama bandar udara Internasional Sultan Syarief Kasim II di Pekanbaru Riau. Keteladanan Sultan Syarif Kasim II beserta keluarga inilah yang patut menjadi teladan bagi pemimpin bangsa saat ini. Ditengah serangan globalisasi dan godaan dunia yang semakin memikat, sanggupkan para pemimpin negeri, pejabat public dan para tokoh meneladani kerndahan hati dan ketulusan Sultan Syarif Kasim II. 2. Syarifah Latifah
Ia adalah Kartini yang berasal dari Riau,
permaisuri Kesultanan Siak Sri Inderapura, dikenal juga dengan nama Tengku Agong. Ia adalah istri Sultan Syarif Kasim II yang bertahta dari 1908- 1946, menikah pada 27 Oktober 1912. Cita-cita mulianya untuk membangun sekolah khusus perempuan di lingkungan kesultanan sangat didukung oleh Sultan. Ide membuat sekolah datang ketika menemani suaminya melawat ke Medan untuk menghadap Residen Sumatera Timur.
Ia melihat Medan yang sudah modern dan banyak wanita yang
berkesempatan bekerja seperti kaum lelaki, berbeda dengan wanita Siak yang hanya ada di dapur. Begitu pula ketika ia mengunjungi Langkat dan Tanjungpura. Maka ia berpikir bahwa wanita harus pintar untuk dapat mencapai tingkatan tersebut tanpa melupakan kodratnya sendiri. Ia membuka sekolah keterampilan bagi anak perempuan dan remaja putri di Siak antara tahun 1926-1928, tetapi meninggal dunia karena sakit pada 3 Maret 1929. Semenjak kecil, Syarifah Latifah hanya mendapat pendidikan yang berlangsung di rumahnya atau di lingkungan Istana Langkat di Tanjungpura. Ia tidak sempat mengenyam pendidikan modern karena pada akhir abad ke-19 dan memasuki awal abad ke-20, pendidikan modern di sana sangatlah minim. Tatkala pendidikan modern mulai marak di dirikan di Tanjungpura, usia Syarifah Latifah telah memasuki masa akil balik dan mengikuti adat berkurung. Fakta bahwa kaum perempuan Siak bernasib kurang lebih sama dengan dirinya menumbuhkan simpati Syarifah Latifah. Ia pun bertekad memberikan kesempatan bagi para gadis Siak untuk menikmati pendidikan, kesempatan yang tak pernah ia nikmati. Keinginan untuk mendirikan sekolah bagi para gadis itu pun mendapat dukungan kuat dari sang sultan. Atas dukungan sang suami yang juga penguasa Siak Sri Inderapura, berdirilah sebuah sekolah perempuan pertama di kesultanan tersebut. Keberadaan sekolah ini pun mendobrak pemikiran kebanyakan orang di Siak. Pada masa itu, anggapan bahwa anak perempuan tak perlu mendapatkan pendidikan seperti laki-laki cukup kuat. Sekolah khusus ini juga menjadi jawaban bagi situasi pada saat itu. Pasalnya, para orang tua pada waktu itu masih sangat kuat melarang anak perempuan mereka untuk memasuki sekolah pemerintah. Salah satu alasannya adalah karena sekolah mencampur anak perempuan dan anak laki-laki dalam kelas yang sama. Karena itu, Syarifah Latifah pun mendorong adanya pelajaran yang berbeda bagi para gadis. Salah satunya adalah mempersiapkan para gadis agar menjadi istri dan ibu rumah tangga yang terampil. Sekolah khusus putri ini diperkirakan berdiri pada 1927. Namun, bangunan sekolahnya sendiri baru rampung pada April 1929. Perkiraan ini berangkat dari Memorie van Overgate (MvO) cotroleur Siak, Leyds, yang menjabat dari 1927-1929. Nama Sultanah Latifah School mulai disebutkan dalam MvO cotroleur berikutnya bernama Valk. Dalam laporannya, Leyds menyebutkan sekolah putri tersebut sebagai sekolah landschapvolksscholen, yakni berada di bawah pengawasan Kesultanan Siak. Berada di bawah kuasa sang sultan, semua fasilitas dan biaya penyelenggaraannya pun ditanggung sepenuhnya oleh sultan. Sekolah ini setingkat dengan volksschool tiga tahun. Oleh Leyds, sekolah ini diistilahkan dengan meisjesvolksschool (sekolah desa khusus gadis). Berada di bawah pengawasan kesultanan, sekolah ini berlokasi dekat dengan istana. Sebagaian muridnya pun berasal dari kalangan istana, mulai dari para dayang istana hingga anak pejabat di lingkungan istana. Maklum, mata pelajaran yang diajarkan sesuai dengan ketrampilan yang diperlukan para gadis istana. Tapi, tak hanya dari kalangan istana saja. Sesuai cita-cita sang Tengku Agung Syarifah Latifah saat membuka sekolah tersebut, gadis-gadis dari kampung pun bisa belajar di sini. Bahkan, anak yatim pun punya kesempatan untuk belajar di sekolah tersebut. Para anak yatim tersebut tinggal di asrama di Istana Limas. Tengku Agung Syarifah Latifah tidak hanya sekadar mendatangkan para guru yang dibutuhkan, ia juga memberikan fasilitas untuk tempat tinggal bagi guru-guru perempuan di istana secara cuma-cuma dan memberikan mereka gaji. Pemberian gaji bagi para guru, merupakan hal baru yang mungkin ditiru dari sistem pendidikan Barat. Sebelumnya, dalam sistem pendidikan tradisional, guru-guru di Riau tidak digaji secara tetap dan murid-murid tidak membayar uang pendidikan mereka. Bahkan, para guru pun segan menerima pemberian karena adanya pandangan bahwa ilmu harus diberikan tanpa pamrih. Sayangnya, Latifah yang memiliki pemikiran maju memiliki usia terbilang singkat. Ia meninggal setelah mendampingi Sultan Syarif Kasim sebagai permaisuri selama hampir 15 tahun, tanpa meninggalkan keturunan. Tengku Agung menikah dengan Sultan Syarif Kasim pada 27 Oktober 1912.Bertahun- tahun menunggu hadirnya buah hati, hingga pada 1929 sang permaisuri mengandung. Malang tak dapat ditolak, pada 2 November 1929, Tengku Agung sakit hingga meninggal dunia bersama bayi yang masih dalam kandungan. Buah pemikirannya yakni memberikan kesempatan belajar bagi para gadis dilanjutkan adiknya yang menggantikannya menjadi permaisuri. Sejatinya, nama Syarifah Latifah baru disematkan di sekolah yang ia dirikan setelah ia berpulang. Nama ini untuk mengenang perannya dalam mendirikan sekolah, juga sumbangsihnya mengelola dan memajukan sekolah tersebut. Sepeninggal Tengku Agung Latifah, sekolah masih terus dilanjutkan. Namun, sayangnya sekolah tersebut juga tak berumur panjang. Dalam buku Sejarah Riau tulisan Muchar Lutfhi (1999), disebutkan, Sultanah Latifah School dialihkan menjadi sekolah rakyat pada masa pendudukan Jepang.