You are on page 1of 14

BAHASA DAN KESANTUNAN:

Strategi Kesantunan Berbahasa Perempuan Bugis


Dr. Gusnawaty, M.Hum1
Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Hasanuddin

Abstrak

Perempuan memandang dunia secara berbeda dari laki-laki. Hal tersebut dapat
dilihat dari strategi kesantunan bahasa yang digunakan. Makalah ini bertujuan
memaparkan bahasa dan strategi kesantunan berbahasa perempuan Bone dilihat
dari bahasa yang digunakan. Metode pengumpulan data adalah survey yang
dibantu dengan teknik observasi partisipatif. Jumlah perempuan Bugis Bone yang
berpartisipasi 58 orang dan laki-laki Bugis Bone 51 orang. Data kuantitatif
dianalisis dengan uji statistik melalui run test (uji kerandoman), uji regresi
logistik, dan tabulasi silang. Hasil penelitian menemukan bahwa perempuan Bugis
Bone lebih santun dalam penggunaan 4 ranah tuturan, yakni tuturan menyuruh,
melarang, meminta informasi, dan meminta dukungan.

Kata kunci: strategi kesantunan, bahasa perempuan, Bahasa Bugis


1. Pendahuluan
Bahasa adalah sarana untuk berinteraksi dalam kehidupan masyarakat
sosial. Melalui bahasa, interaksi sosial dalam masyarakat berlangsung dengan
baik. Dengan bahasa, kita melakukan sesuatu dalam kehidupan. Untuk dapat
saling mengerti dengan baik dalam berkomunikasi, kita harus memperhatikan
situasi tutur (speech situation), peristiwa tutur (speech event), dan masyarakat
tutur.
Setiap masyarakat tutur memiliki cara tersendiri dalam berkomunikasi.
Menurut Gusnawaty (2011), masyarakat Bugis dalam berkomunikasi
memperhatikan 3 variable, yakni: kedekatan, kekuasaan, dan ranah percakapan.
Pada yang pertama, penutur memperhatikan kedekatan hubungan dengan
pendengar; yang kedua, entah yang berbicara atau yang diajak berbicara memiliki
atau tak memiliki kekuasaan; dan yang terakhir, penutur harus memperhatikan
ranah percakapan, terjadi di ruang public atau privat. Gagal memperhatikan ketiga
hal tersebut dapat dianggap kurang santun dalam berkomunikasi.

1
Dipresentasikan pada Seminar Nasional Linguistik: Bahasa, Sastra dan Perempuan yang
diselenngarakan oleh Program S2 Linguistik Program Pasca Sasrjana Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Hasanuddin, Gedung Mattulada, tanggal 09 Mei 2018
Page 2 of 14

Kesantunan berbahasa, akhir-akhir ini telah menjadi salah satu aspek yang
banyak diperhatikan terutama oleh peneliti bahasa. Hal ini terjadi mengingat fakta
bebasnya setiap orang berkomunikasi tanpa memperhatikan kepatutan dalam
berbicara dengan pendengarnya, tanpa memperhatikan situasi dan kondisi dalam
bertutur. Beberapa faktor menjadi penyebab hal tersebut di antaranya adalah latar
belakang pendidikan seseorang (Roza, 2016) dan penggunaan teknologi
komunikasi dan informasi atau sosial media (Diana, 2016; Maulidi, 2015;
Riyanto, n.d.; Arini, 2011; dan Yusof & Harun, 2015). Media sosial menjadi
wadah baru untuk berkomunikasi antarpengguna media sosial dan dilakukan
secara daring atau dengan menggunakan akses internet tanpa batas. Media sosial
memungkinkan manusia untuk saling berinteraksi tanpa dibatasi ruang dan waktu.
Artinya, pengguna media social berkomunikasi satu sama lainnya tanpa harus
saling melihat umur, jender, status social, dan pendidikan. Dengan keadaan
tersebut, adalah hal yang lumrah bila batas-batas yang ditemukan dalam
berkomunikasi secara luring sangat berbeda dalam keadaan daring. Apalagi,
dengan daring setiap orang dapat berkomunikasi dengan bertukar gambar, suara,
dan video dengan lebih luas tanpa batas (Arini, 2011).
Contohnya, hasil penelitian Karlena (2017), yang berjudul pergeseran
tindak kesantunan direktif siswa dalam menyapa guru di sekolah menengah
pertama berlatar belakang budaya jawa. Hasilnya, terdapat pergeseran kesantunan
tindak berbahasa yang sangat yang signifikan, bahkan mengalami peningkatan
ketidaksantunan yang amat luar biasa dalam dekade ini. Temuan lain, anak-anak
dan remaja saat ini mulai menanggalkan kesantunan berbahasa, setidaknya selama
2017 Polri tangani 3.325 kasus ujaran kebencian (Medistiara, 2017).
Sebaliknya, bahkan kini berkembang fakta kebahasaan yang menarik
perhatian banyak kalangan, yakni ujaran kebencian di media sosial. Ujaran
Kebencian (Hate Speech) sendiri adalah tindakan komunikasi yang dilakukan oleh
suatu individu atau kelompok dalam bentuk provokasi, hasutan, ataupun hinaan
kepada individu atau kelompok yang lain dalam hal berbagai aspek seperti ras,
warna kulit, jender, cacat, orientasi seksual, kewarganegaraan, agama dan lain-
lain. Indikasi ini dapat menjadi penanda timbulnya pergeseran perilaku
berbahasa, khususnya kesantunan berbahasa dari generasi ke generasi. Fonemena
Page 3 of 14

ini pun menjadi hal yang prioritas untuk segera dientaskan mengingat lambat laun
gejala ini akan semakin terpola dan merusak jaringan komunikasi yang beretika.
Terkait dengan masalah di atas, makalah ini memaparkan strategi
kesantunan berbahasa dari perspektif bahasa perempuan Bugis. Mengapa, bahasa
perempuan? Karena terdapat perbedaan strategi berkomunikasi antara laki-laki
dengan perempuan. Hal ini didukung oleh beberapa pendapat ahli. Misalnya,
Lakoff (1976), Tannen (1990), Griffin (1999), Eckert and McConnel Ginet (1994:
453), Vanfossen (2001:2), Speer (2002: 347); dan Hobbs (2003:243). Mengapa
kesantunan perempuan Bugis? Hasil penelitian (Gusnawaty, 2011; Latief, 2016;
Millar, 1983: 489) menemukan perbedaan strategi kesantunan laki-laki dan
perempuan Bugis. Alasan lain, perempuan Bugis dalam naskah Lontaraq
disebutkan dituntut memiliki perilaku melebbi atau santun baik dalam bersikap
maupun bertutur. Dengan malebbi, perempuan Bugis memiliki nilai tambah di
kalangan masyarakat Bugis. Mereka dihargai, dihormati dan diperlakukan
sebagaimana mestinya. Dengan malebbi perempuan Bugis tidak dicobi-cobi
(Bugis: Cobi-cobi ‘diremehkan’).
Berdasarkan alasan-alasan yang telah dikemukakan di atas maka dalam
makalah ini dipaparkan kesantunan berbahasa perempuan Bugis mengacu pada
penelitian Gusnawaty (2011) dengan mengaplikasikann teori Brown and S.C
Levinson (1987).

2. Kesantunan
Apakah yang dimaksud dengan santun? Menurut Brown dan Levinson,
kesantunan berbahasa adalah perwujudan dari strategi tindak tutur agar maksud
penutur dapat diterima sesuai dengan keinginannya tanpa mengancam muka
kedua belah pihak (pembicara dan pendengar). Kesantunan berbahasa juga
merupakan realisasi strategi komunikasi (Mills, 2003: 6). Artinya, untuk menjadi
santun diperlukan usaha untuk menyelamatkan muka orang lain karena sebagian
besar tindak tutur mengancam muka orang lain. Apabila ada tindak tutur
mengancam muka, membutuhkan suatu pernyataan peredaan beberapa kata-kata
santun karena kalau tidak, kontak komunikasi akan putus.
Dengan demikian, kesantunan (Brown and S.C Levinson, 1987) terlihat
dari tindak tutur yang digunakan, mengancam muka atau tidak. Menurutnya,
Page 4 of 14

dalam kesantunan ada 5 strategi komunikasi, yakni: 1) Terus Terang, 2)


Kesantunan Positif, 3) Kesantunan Negatif, 4) Samar-samar, dan 5) Diam.
Kemudian dijelaskan bahwa dari semua strategi tersebut nomor 1 yang paling
mengancam muka, jadi dianggap paling tidak santun. Sebalikanya, nomor 5
merupakan strategi komunikasi yang paling santun karena tidak mengancam
muka siapa pun. Selanjutnya, ada 3 variabel social menentukan kadar kesantunan
suatu tuturan, yakni perbedaan kekuasaan yang diperesepsikan penutur-
pendengar, jarak social yang dipersepsikan penutur-pendengar, dan peringkat
kultur (rank) tindak tutur, seberapa besar ‘ancaman’ atau ‘bahaya’ yang
dipersepsikan ada dalam suatu kebudayaan tertentu.
Makalah ini membatasi diri pada kesantunan perempuan Bugis dalam
berbicara. Oleh karena itu, pengertian kesantunan yang dipergunakan adalah
pengertian yang digunakan menurut pakar pragmatik. Yule (2006:104)
mengemukakan bahwa kesantunan dalam suatu interaksi didefinisikan sebagai
alat yang digunakan untuk menunjukkan kesadaran akan citra diri publik yang
berasal dari keinginan seseorang. Brown dan Levinson (1987) mengatakan
kesantunan perlu dipakai bila ada tindak tutur yang berpotensi mengancam muka
(FTA). Oleh karena itu, kesantunan diartikan sebagai tindakan melindungi muka
(face saving act, FSA). Muka yang perlu dilindungi itu bukan hanya muka
petutur, melainkan juga penutur.
Bahasa perempuan memiliki spesifikasi sendiri. Beberapa ahli
memberikan penjelasan tentang hal ini. Salah satunya dikemukan oleh Trudgill
(1972) dalam Romaine berpendapat bahwa that for men, speaking non-standardly
has "covert" prestige, while the "overt" prestige associated with speaking the
standard variety is more important to women. Artinya bahwa, bagi laki-laki,
berbicara non-standar memiliki prestise "tersembunyi", sedangkan berbicara
meggunakan bahasa yang standar merupakan prestise "terbuka" yang penting bagi
perempuan. Dengan demikian, wanita mungkin menggunakan sarana linguistik
sebagai cara untuk mencapai status. Karena perempuan telah lama ditolak
kesetaraannya dengan laki-laki sejauh menyangkut peluang pendidikan dan
pekerjaan, ini bukan indikator yang dapat diandalkan dari status perempuan atau
status yang ia cita-citakan (Romaine, 2003).
Page 5 of 14

Perbedaan berbahasa antara laki-laki dengan perempuan dijelaskan oleh


Lakoff bahwa wanita mengalami diskriminasi linguistik dalam dua cara yakni
dalam cara mereka diajarkan untuk menggunakan bahasa, dan cara penggunaan
bahasa secara umum terhadap perempuan. Keduanya cenderung, mengasingkan
wanita dengan fungsi tertentu, seperti sebagai objek seks, atau pelayan; dan
karena itu item leksikal tertentu diterapkan berbeda pada pria dan item leksikal
lainnya untuk wanita, perbedaan yang tidak dapat diprediksi kecuali dengan
mengacu pada peran berbeda yang dimainkan oleh jenis kelamin di masyarakat
(Lakoff, 2004:39).
Lebih lanjut, Lakoff menguraikan bahwa kedua cara tersebut,
menenggelamkan identitas pribadi seorang wanita, dengan menyangkal cara dia
mengekspresikan dirinya secara mandiri, di satu sisi, dan mendorong ungkapan
yang menyarankan hal sepele dalam materi pelajaran di sisi lain; misalnya ketika
seorang wanita dibahas, dengan memperlakukannya sebagai objek seksual atau
sebaliknya tapi tidak pernah menjadi orang yang dipandang secara serius sebagai
individu yang memiliki pendapat. Efek akhir dari perbedaan ini adalah bahwa
perempuan secara sistematis menolak akses terhadap kekuasaan, dengan alasan
bahwa mereka tidak mampu dari aspek perilaku; dan ironinya adalah bahwa
wanita dibuat merasa pantas diperlakukan seperti itu, karena kekurangan dalam
hal kecerdasan dan/atau pendidikan mereka sendiri (Lakoff: 1975:42).
Lakoff, (2004) juga memanfaatkan apa yang sekarang diberi label "model
defisit", yang menurutnya cara bicara perempuan yang khas, memang, faktor yang
membuat perempuan menjadi kandidat yang tidak cocok untuk posisi otoritas dan
tanggung jawab publik. Namun, Kaum feminis, berbeda dari kaum prefeminis
seperti Jespersen yang menunjukkan bahwa kaum perempuan tidak "secara alami"
lemah dan sebagai penutur deferential: melainkan mereka disosialisasikan ke
dalam cara-cara "feminin" berperilaku, dalam suatu masyarakat seksis yang secara
sistematis berusaha untuk mempertahankan perempuan sebagai (bawahan).
Namun demikian, solusi yang diusulkan oleh banyak feminis bagi perempuan
untuk mengadopsi cara berbicara alternatif dan "lebih baik". Ini adalah ide di
balik, kegiatan, "pelatihan ketegasan" untuk wanita (Cameron 1995; Crawford
1995; Gervasio dan Crawford 1989) dalam (Cameron, 2003).
Page 6 of 14

Berdasarkan pendapat para ahli di atas, dapat dikatakan bahwa perempuan


memiliki cara berbicara yang khas atau diistilakan dengan “model deficit” oleh
Lakoff. Hal ini disebabkan sejak awal perempuan telah dibedakan dalam dua
aspek linguistik yakni cara mereka diajarkan untuk menggunakan bahasa, dan
cara penggunaan bahasa secara umum terhadap perempuan. Namun, diskriminasi
ini dapat diatasi dengan cara perempuan diikutkan dalam berbagai pelatihan
dalam mengembangkan kemampuan berbicara mereka. Seperti perempuan
menguasai bahasa standar dan mengikuti pelatihan ketegasan atau pelatihan
kepribadian. Kekhasan perempuan dalam berbicara inilah yang kemudian
menjadikan bahasa perempuan lebih santun daripada laki-laki (Lakoff, 2004;
Tannen, 1990; Griffin, M. A., D. McGahee, 1999; dan Hobbs, 2003)

3. Perbedaan Kesantunan Berbahasa antara Laki-Laki dan Perempuan


Pelopor pertama dalam penelitian jender, Lakoff (2004), misalnya
mengatakan bahwa perempuan cenderung berkomunikasi dengan intonasi tinggi,
sangat sopan, banyak empati, dan pertanyaan. Adapun Tannen (1990)
mengemukakan, bahwa ciri khas perempuan dalam berkomunikasi adalah lebih
banyak mengutamakan koneksi atau relasi yang baik dan intimasi, menghindari
superioritas, lebih emosional, mengurangi timbulnya perbedaan pendapat, lebih
kooperatif, dan mengutamakan simetris dalam berkomunikasi. Griffin, M. A., D.
McGahee, (1999) mengungkapkan dalam data statistik dari hasil surveynya,
bahwa dalam komunikasi nonverbal, perempuan lebih banyak menggunakan
kontak mata (67,5%), bahasa tubuh (75,5%), dan senyum (83,7%).
Hal serupa dimukakan oleh Vanfossen, (2001), bahwa laki laki terkenal
dengan sikap agresifnya (memberi) dan sikap aktifnya. Sebaliknya perempuan
dikenal dengan sikap nonagresif (menerima) dan sikap pasifnya. Ada pun daerah
komunikatif perempuan lebih banyak pada aspek privat (private sphere) seperti
dalam lingkungan informal, sedangkan daerah komunikatif laki laki adalah pada
aspek publik (public spheres). Lebih lanjut, Speer (2002: 347); Hobbs, (2003)
mengatakan, bahwa perempuan lebih sopan daripada laki laki, dan juga sangat
sopan terhadap sesama perempuan hal ini didukung juga dalam Latief, (2016)
dalam temuannya dalam bahasa Bugis terkait dengan hal tersebut. Selanjutnya,
Page 7 of 14

Penelitian Millar, (1983), tentang masyarakat Bugis, bahwa sikap dasar laki-laki
dan perempuan Bugis dalam berkomunikasi adalah:
It is important for men to be have aggressively and formally, reaffirming
their family social location by acting on family decisions, whereas it is
important for women to be have cautiously and informally, containing
family rank and generating information crucial for making family decisions.

Hal ini berarti bahwa penting bagi laki-laki untuk bersikap agresif dan
formal, menegaskan kembali posisi sosial keluarga mereka dengan bertindak
berdasarkan keputusan keluarga, sementara penting bagi perempuan untuk
berhati-hati dan informal.

4. Metode
Makalah ini menggunakan data yang dikumpulkan melalui survey,
observasi, dan wawancara pada bulan Desember 2010-Januari 2011 di Kabupaten
Bone. Jumlah kuesioner yang dikembalikan oleh responden 58 perempuan dan 51
laki-laki. Data kuantitatif, kemudian dianalisis dengan uji statistik melalui run test
(uji kerandoman), uji regresi logistik, dan tabulasi silang. Data kualitatif
dideskripsikan secara kualitatif dengan pendekatan sosiopragmatik.

Run test adalah teknik untuk melihat siginfikasi penggunaan bahasa pada
situasi tertentu. Berdasarkan hasil run test ditemukan situasi penggunaan
kebahasaan yang siginfikan berbeda dengan situasi lain. Situasi itulah yang
kemudian diuji dengan teknik regresi logistik untuk melihat variabel bebas apa
yang memengaruhi penggunaan bahasa dalam berbagai situasi. Terakhir,
dilakukan cross tabulasi, yakni suatu teknik uji kontingensi untuk melihat variabel
bebas yang memengaruhi strategi kesantunan berbahasa pada berbagai bentuk
penggunaan bahasa.

5. Kesantunan Berbahasa Perempuan Bugis


Konsep relativitas bahasa berlaku universal, dapat diperkirakan bahwa
kategori cara menyampaikan maksud lewat tuturan akan berbeda-beda dari satu
masyarakat bahasa ke masyarakat bahasa yang lain termasuk cara penyampaian
berdasarkan jender. Dalam masyarakat Bugis, perempuan menempati kedudukan
tersendiri dalam masyarakat. Mereka dituntut ‘lebih’ oleh masyarakat umum, baik
Page 8 of 14

oleh laki-laki maupun oleh kaum perempuan itu sendiri. Perempuan Bugis
dituntut kedo malebbi ‘bertingkah laku mulia (sopan)’. Apabila seorang
perempuan bertingkah laku di luar ranah malebbi maka dicap oleh masyarakat
sebagai perempuan yang kurang pantas.

Malebbi berasal dari 2 morfem ma_ dan lebbi. Ma_ adalah prefix yang
bermakna melakukan atau bertindak, melakukan pekerjaan mengenai diri,
menggunakan atau memakai (Nur, 2008:250). Selanjutnya, lebbi (kata sifat)
berarti mulia (Said, 1977: 115). Jadi secara keseluruhan jika seorang perempuan
Bugis disebut malebbi dapat diartikan perempuan tersebut telah melakukan atau
bertindak atau memiliki sifat-sifat mulia. Sifat-sifat mulia tersebut dapat merujuk
pada perilaku sehari-hari atau pada tindak tutur yang digunakan.

Bahasa Bugis memiliki beberapa kategori dalam menampilkan sikap


santun dalam berbicara, yakni: 1) melalui deksis, 2) sapaan, 3) strategi
komunikasi, 4) formula kesantunan. Pada makalah ini hanya membahas strategi
komunikasi perempuan Bugis dengan mengaplikasikan teori Brown dan Levinson
dalam mengukur tingkat kesantunan penggunaan Bahasa.

Penelitian ini meneliti 4 bentuk kelompok tutur yang sering dilakukan


dalam kegiatan sehari-hari, yakni: a) Menyuruh, b) Melarang, c) Meminta
informasi/bertanya, d) Meminta Dukungan. Ke empat kelompok tuturan tersebut
diukur tingkat kesantunannya berdasarkan parameter strategi komunikasi (Brown
and S.C Levinson, 1987).

a. Tuturan Menyuruh (Y1)

Hipotesis penelitian (Gusnawaty, 2011) yang mengatakan ada hubungan


antara jenis kelamin dan perilaku kesantunan dalam bertutur menemukan
bahwa antara laki-laki dan perempuan Bugis Bone dalam berinteraksi dengan
orang lain dalam komunitasnya menunjukkan hasil yang signifikan. Berikut
dikemukakan hasil tabulasi silang Strategi Kesantunan yang digunakan
perempuan Bugis Bone dibandingkan dengan laki-laki.
Page 9 of 14

Figure 1: Strategi Kesantunan dalam menyuruh berdasarkan jender dalam Bahasa


Bugis Bone

Terlihat pada grafik batang (Fig. 1) di atas, perempuan Bugis Bone dalam
berkomunikasi lebih santun dibandingkan dengan laki-laki (Strategi Terus-terang-
terang, Kesantunan Positif, dan Diam). Tetapi laki-laki Bugis Bone lebih santun
dalam berkomunikasi secara formal. Temuan ini sejalan dengan Vanfossen,
(2001) yang melihat bahwa ranah berbicara laki-laki lebih banyak dalam situasi
formal. Artinya, laki-laki lebih terlatih berbicara dalam ranah public, lebih dapat
mengemukakan pikirannya atau idenya secara berterus-terang dari pada
perempuan. Hal ini tidak mengherankan mengingat domain laki-laki Bugis lebih
berterima secara luas dalam ranah public. Laki-laki tidak dipandang aneh apabila
sepanjang hari tidak pulang ke rumah dalam masa tumbuhnya, sebaliknya anak
perempuan akan selalu diingatkan tentang perilaku baik dan pulang ke rumah
demi pandangan social dan keamanan diri.

b. Tuturan Melarang (Y2)

Seperti halanya dalam menyuruh, dalam hal melarang juga terlihat


perempuan Bugis Bone lebih santun daripada laki-laki (Figure 2: penggunaan
Strategi Terus Terang, Kesantunan Positif, Samar-samar, dan Diam) Perempuan
Bugis Bone lebih memilih memodifikasi (TT Pr: 19.21, TT Lk: 27.64) tuturannya
dibanding mengemukakan maksudnya secara terus terang, lebih berbicara secara
samar-samar (Pr.20.6, Lk. 10.82) dan lebih memperlihatkan hubungan simetris
dengan pendengarnya. Sementara laki-laki terlihat lebih santun dalam ranah
public (Pr. 18.52, Lk. 23.08). Artinya, perempuan lebih memilih kurang
Page 10 of 14

dimengerti maksudnya dalam berbicara dari pada disebut kasar apabila berbicara
secara terus terang.

Figure 2: Strategi Kesantunan Jenis Kelamin Bone dan Sidrap dalam Melarang

c. Meminta informasi/Bertanya (Y3)

Pada figure 3, terlihat perempuan Bugis Bone lebih santun dalam meminta
informasi dibandingkan dengan laki-laki Bugis Bone. Perempuan yang
menggunakan strategi terus terang hanya 9. 3% dan laki-laki 12.74; Perempuan
lebih samar-samar 4. 63, laki-laki 2.16. Hal yang mengherankan, dalam ranah
formal perempuan juga lebih sopan dalam mencari informasi dibandingkan
dengan laki-laki (Strategi Kesantunan Negatif)

Figure 3: Strategi Kesantunan Jenis Kelamin Bone dalm Meminta


Informasi/Bertanya
Page 11 of 14

d. Meminta dukungan (Y4)

Terlihat dengan jelas pada figure 4 bahwa perempuan Bugis Bone lebih
santun daripada laki-laki. Perempuan menggunakan strategi komunikasi Terus
Terang lebih sedikit (13.89%) dibanding laki-laki (18.03%), dan yang lebih
menonjol perempuan lebih banyak diam (27.31%) disbanding laki-laki (18.75%).
Lebih lengkapnya dapat dilihat pada grafik batang berikut.

Figure 4: Strategi Kesantunan berdasarkan Jenis Kelamin dalam Meminta


Dukungan

Hasil pengujian hipotesis pada variabel jenis kelamin menunjukkan bahwa


dari empat jenis penggunaan bahasa (Y1-Y4) yang sudah dideskripsikan di atas,
diperoleh hasil pengujian dengan regresi logistik bahwa hanya signifikan dalam
menunjukkan hubungan antara variabel ini dengan tuturan bertanya (penggunaan
bahasa Y3),. Hasil pengujian menunjukkan nilai signifikansi (p-value=0.042)
yang lebih kecil dari nilai α = 0.05, dan juga nilai Odds Ratio (OR) yang
perdefinisi merupakan kriteria untuk menunjukkan seberapa kali lebih mungkin
terjadi (kecenderungan) suatu kejadian terjadi pada suatu kelompok relatif
terhadap kejadian itu pada kelmpok yang lain.

Nilai OR merupakan salah satu ukuran keeratan hubungan antara variabel-


variabel kategorik, OR merupakan rasio perbandingan nilai peluang antara dua
Page 12 of 14

kelompok. Nilai Odds Ratio=0.11 dari pengujian, dapat dikatakan bahwa


berdasarkan jenis kelaminnya, Masyarakat Tutur Bone dalam tuturan bertanya ini
0.11 kali cenderung untuk menggunakan strategi Strategi Kesantunasn Negatif
dibandingkan Strategi Diam. Atau dengan kata lain, berdasarkan jenis
kelaminnya, masyakarat Bone dalam tuturan bertanya cenderung lebih banyak
(1/0.11=9.09 kali) menggunakan strategi kesantunan berbahasa Strategi Diam
dibandingkan Strategi Kesantunan Negatif. Dan hasil pengujian menunjukkan
bahwa laki-laki cenderung untuk menggunakan strategi Kesantunan Negatif
dibandingkan wanita yang lebih banyak menggunakan Strategi Diam.

6. Simpulan

Berdasarkan uraian di atas, terlihat perempuan Bugis Bone, dalam empat


ranah pengggunaan bahasa, lebih sentun daripada laki-laki dalam berinteraksi
dengan pendengarnya. Ke empat ranah yang dimaksud yakni: tuturan menyuruh,
melarang, meminta informasi dan meminta dukungan. Keempat ranah tersebut
yang signifikan perbedaannya hanya tuturan meminta informasi tetapi secara
tabulasi silang, perempuan Bugis Bone memperlihatkan perbedaan strategi
komunikasi dibandingkan laki-laki. Perbedaan ini tidak mengherankan mengingat
laki-laki dan perempuan diperlakukan secara berbeda dalam berkomunikasi oleh
orang tuanya dalam masa tumbuh. Perempuan selalu dituntut untuk lebih sopan
dalam bertutur maupun dalam berperilaku. Mereka dilarang menonjolkan diri,
berbicara keras, dan berterus terang. Hal ini berbeda dengan sikap para orang tua
terhadap anak mereka yang laki-laki.

7. Referensi

Arini, A. D. (2011). Bentuk, Makna, dan Fungsi Bahasa Tulis Media Sosial
Sebagai Alat Komunikasi dan Interaksi Pada Interaksi Pada Internet.
Skriptorium, 2 Nomor 1. https://doi.org/10.1002/ejoc.201200111

Brown and S.C Levinson. (1987). Politeness: Some Universals in Language


Usage. Cambridge: Cambridge University Press.

Cameron, D. (2003). Gender and Language Ideologies. In The Handbook of


Language and Gender. Berlin: Blackwell Publishing.
Page 13 of 14

Griffin, M. A., D. McGahee, and J. S. (1999). Gender Differences in Nonverbal


Communication. Valdosta: State University.

Gusnawaty. (2011). Perilaku Kesantunan dalam Bahasa Bugis: Analisis


Sosiopragmatik. Makassar: Universitas Hasanuddin, Makassar.

Hobbs, P. (2003). The medium is the message : politeness strategies in men ’ s


and women ’ s voice mail messages §. Journal of Pragmatics, 35, 243–262.

Karlena, L. (2017). Pergeseran Tindak Kesantunan Direktif Siswa Dalam


Menyapa Guru di Sekolah Menengah Pertama Berlatar Belakang Budaya
Jawa. Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Lakoff, R. T. (2004). Language and Woman’s Place Text and Commentaries. (M.
Bucholtz, Ed.) (Revised an). New York: Oxford University Press.

Latief, M. C. (2016). Komunikasi Beda Gender dalam Masyarakat Bugis di Desa


Kemujan Kepulauan Karimunjawa. The Messenger, VIII, 1–7.

Maulidi, A. (2015). Kesantunan Berbahasa Pada Media Jejaring Sosial Facebook.


E-Jurnal Bahasantodea, 3 Nomor 4, 42–49. https://doi.org/23022000

Medistiara, Y. (2017). Selama 2017 POLRI Tangani 3.325 Kasus Ujaran


Kebencian. Retrieved March 26, 2018, from
https://news.detik.com/berita/3790973/selama-2017-polri-tangani-3325-
kasus-ujaran-kebencian

Millar, S. B. (1983). On Interpreting Gender in Bugis Society. In American


Ethnologist.

Novi Diana. (2016). Pengaruh Teknologi Informasi dan Komunikasi terhadap


Etika Berbahasa Mahasiswa. Al Mabhats, I(I), 134–147.

Nur, M. R. (2008). Aku Bangga Berbahasa Bugis (Cetakan Pe). Makassar: Rumah
Ide.

Riyanto, S. (n.d.). Tindak tutur negatif pada media sosial : studi kasus anak usia
sekolah dasar. Seminar Nasional Pendidikan PGSD UMS & HDPGSDI
Wilayah Jawa, 470–482.

Romaine, S. (2003). Variation in Language and Gender. In The Handbook of


Language and Gender (pp. 98–120). Berlin: Blackwell Publishing.

Roza, A. S. (2016). Pengaruh Latar Belakang Pendidikan Terhadap Kesantunan


Berbahasa Mahasiswa STAIN Jurai Siwo Metro. TAPis, 16 Nomor 1, 75–96.

Said, M. I. (1977). Kamus Bahasa Bugis-Indonesia. Jakarta: Pusat Pembinaan dan


Pengembangan Bahasa.
Page 14 of 14

Tannen, D. (1990). You Just Don’t Understand: Women and Men in


Conversation. New York: Morrow.

Vanfossen, B. (2001). Gender Differences in Communication. In ITROW’sWomen


and Expression Conference.

Yusof, M., & Harun, K. (2015). Analisis Lakuan Tutur Dalam Ruangan Status
Facebook. Jurnal Komunikasi Malaysian Journal of Communication Jilid,
31(2), 151–168.

You might also like