Professional Documents
Culture Documents
ZWRH ZJ My Yzdh ZM Uy Yj JJ Y2 Ez MDHK NDE4 NM Uw Yj U5 MDDK MDJH MTU5 OA
ZWRH ZJ My Yzdh ZM Uy Yj JJ Y2 Ez MDHK NDE4 NM Uw Yj U5 MDDK MDJH MTU5 OA
Abstrak
Perempuan memandang dunia secara berbeda dari laki-laki. Hal tersebut dapat
dilihat dari strategi kesantunan bahasa yang digunakan. Makalah ini bertujuan
memaparkan bahasa dan strategi kesantunan berbahasa perempuan Bone dilihat
dari bahasa yang digunakan. Metode pengumpulan data adalah survey yang
dibantu dengan teknik observasi partisipatif. Jumlah perempuan Bugis Bone yang
berpartisipasi 58 orang dan laki-laki Bugis Bone 51 orang. Data kuantitatif
dianalisis dengan uji statistik melalui run test (uji kerandoman), uji regresi
logistik, dan tabulasi silang. Hasil penelitian menemukan bahwa perempuan Bugis
Bone lebih santun dalam penggunaan 4 ranah tuturan, yakni tuturan menyuruh,
melarang, meminta informasi, dan meminta dukungan.
1
Dipresentasikan pada Seminar Nasional Linguistik: Bahasa, Sastra dan Perempuan yang
diselenngarakan oleh Program S2 Linguistik Program Pasca Sasrjana Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Hasanuddin, Gedung Mattulada, tanggal 09 Mei 2018
Page 2 of 14
Kesantunan berbahasa, akhir-akhir ini telah menjadi salah satu aspek yang
banyak diperhatikan terutama oleh peneliti bahasa. Hal ini terjadi mengingat fakta
bebasnya setiap orang berkomunikasi tanpa memperhatikan kepatutan dalam
berbicara dengan pendengarnya, tanpa memperhatikan situasi dan kondisi dalam
bertutur. Beberapa faktor menjadi penyebab hal tersebut di antaranya adalah latar
belakang pendidikan seseorang (Roza, 2016) dan penggunaan teknologi
komunikasi dan informasi atau sosial media (Diana, 2016; Maulidi, 2015;
Riyanto, n.d.; Arini, 2011; dan Yusof & Harun, 2015). Media sosial menjadi
wadah baru untuk berkomunikasi antarpengguna media sosial dan dilakukan
secara daring atau dengan menggunakan akses internet tanpa batas. Media sosial
memungkinkan manusia untuk saling berinteraksi tanpa dibatasi ruang dan waktu.
Artinya, pengguna media social berkomunikasi satu sama lainnya tanpa harus
saling melihat umur, jender, status social, dan pendidikan. Dengan keadaan
tersebut, adalah hal yang lumrah bila batas-batas yang ditemukan dalam
berkomunikasi secara luring sangat berbeda dalam keadaan daring. Apalagi,
dengan daring setiap orang dapat berkomunikasi dengan bertukar gambar, suara,
dan video dengan lebih luas tanpa batas (Arini, 2011).
Contohnya, hasil penelitian Karlena (2017), yang berjudul pergeseran
tindak kesantunan direktif siswa dalam menyapa guru di sekolah menengah
pertama berlatar belakang budaya jawa. Hasilnya, terdapat pergeseran kesantunan
tindak berbahasa yang sangat yang signifikan, bahkan mengalami peningkatan
ketidaksantunan yang amat luar biasa dalam dekade ini. Temuan lain, anak-anak
dan remaja saat ini mulai menanggalkan kesantunan berbahasa, setidaknya selama
2017 Polri tangani 3.325 kasus ujaran kebencian (Medistiara, 2017).
Sebaliknya, bahkan kini berkembang fakta kebahasaan yang menarik
perhatian banyak kalangan, yakni ujaran kebencian di media sosial. Ujaran
Kebencian (Hate Speech) sendiri adalah tindakan komunikasi yang dilakukan oleh
suatu individu atau kelompok dalam bentuk provokasi, hasutan, ataupun hinaan
kepada individu atau kelompok yang lain dalam hal berbagai aspek seperti ras,
warna kulit, jender, cacat, orientasi seksual, kewarganegaraan, agama dan lain-
lain. Indikasi ini dapat menjadi penanda timbulnya pergeseran perilaku
berbahasa, khususnya kesantunan berbahasa dari generasi ke generasi. Fonemena
Page 3 of 14
ini pun menjadi hal yang prioritas untuk segera dientaskan mengingat lambat laun
gejala ini akan semakin terpola dan merusak jaringan komunikasi yang beretika.
Terkait dengan masalah di atas, makalah ini memaparkan strategi
kesantunan berbahasa dari perspektif bahasa perempuan Bugis. Mengapa, bahasa
perempuan? Karena terdapat perbedaan strategi berkomunikasi antara laki-laki
dengan perempuan. Hal ini didukung oleh beberapa pendapat ahli. Misalnya,
Lakoff (1976), Tannen (1990), Griffin (1999), Eckert and McConnel Ginet (1994:
453), Vanfossen (2001:2), Speer (2002: 347); dan Hobbs (2003:243). Mengapa
kesantunan perempuan Bugis? Hasil penelitian (Gusnawaty, 2011; Latief, 2016;
Millar, 1983: 489) menemukan perbedaan strategi kesantunan laki-laki dan
perempuan Bugis. Alasan lain, perempuan Bugis dalam naskah Lontaraq
disebutkan dituntut memiliki perilaku melebbi atau santun baik dalam bersikap
maupun bertutur. Dengan malebbi, perempuan Bugis memiliki nilai tambah di
kalangan masyarakat Bugis. Mereka dihargai, dihormati dan diperlakukan
sebagaimana mestinya. Dengan malebbi perempuan Bugis tidak dicobi-cobi
(Bugis: Cobi-cobi ‘diremehkan’).
Berdasarkan alasan-alasan yang telah dikemukakan di atas maka dalam
makalah ini dipaparkan kesantunan berbahasa perempuan Bugis mengacu pada
penelitian Gusnawaty (2011) dengan mengaplikasikann teori Brown and S.C
Levinson (1987).
2. Kesantunan
Apakah yang dimaksud dengan santun? Menurut Brown dan Levinson,
kesantunan berbahasa adalah perwujudan dari strategi tindak tutur agar maksud
penutur dapat diterima sesuai dengan keinginannya tanpa mengancam muka
kedua belah pihak (pembicara dan pendengar). Kesantunan berbahasa juga
merupakan realisasi strategi komunikasi (Mills, 2003: 6). Artinya, untuk menjadi
santun diperlukan usaha untuk menyelamatkan muka orang lain karena sebagian
besar tindak tutur mengancam muka orang lain. Apabila ada tindak tutur
mengancam muka, membutuhkan suatu pernyataan peredaan beberapa kata-kata
santun karena kalau tidak, kontak komunikasi akan putus.
Dengan demikian, kesantunan (Brown and S.C Levinson, 1987) terlihat
dari tindak tutur yang digunakan, mengancam muka atau tidak. Menurutnya,
Page 4 of 14
Penelitian Millar, (1983), tentang masyarakat Bugis, bahwa sikap dasar laki-laki
dan perempuan Bugis dalam berkomunikasi adalah:
It is important for men to be have aggressively and formally, reaffirming
their family social location by acting on family decisions, whereas it is
important for women to be have cautiously and informally, containing
family rank and generating information crucial for making family decisions.
Hal ini berarti bahwa penting bagi laki-laki untuk bersikap agresif dan
formal, menegaskan kembali posisi sosial keluarga mereka dengan bertindak
berdasarkan keputusan keluarga, sementara penting bagi perempuan untuk
berhati-hati dan informal.
4. Metode
Makalah ini menggunakan data yang dikumpulkan melalui survey,
observasi, dan wawancara pada bulan Desember 2010-Januari 2011 di Kabupaten
Bone. Jumlah kuesioner yang dikembalikan oleh responden 58 perempuan dan 51
laki-laki. Data kuantitatif, kemudian dianalisis dengan uji statistik melalui run test
(uji kerandoman), uji regresi logistik, dan tabulasi silang. Data kualitatif
dideskripsikan secara kualitatif dengan pendekatan sosiopragmatik.
Run test adalah teknik untuk melihat siginfikasi penggunaan bahasa pada
situasi tertentu. Berdasarkan hasil run test ditemukan situasi penggunaan
kebahasaan yang siginfikan berbeda dengan situasi lain. Situasi itulah yang
kemudian diuji dengan teknik regresi logistik untuk melihat variabel bebas apa
yang memengaruhi penggunaan bahasa dalam berbagai situasi. Terakhir,
dilakukan cross tabulasi, yakni suatu teknik uji kontingensi untuk melihat variabel
bebas yang memengaruhi strategi kesantunan berbahasa pada berbagai bentuk
penggunaan bahasa.
oleh laki-laki maupun oleh kaum perempuan itu sendiri. Perempuan Bugis
dituntut kedo malebbi ‘bertingkah laku mulia (sopan)’. Apabila seorang
perempuan bertingkah laku di luar ranah malebbi maka dicap oleh masyarakat
sebagai perempuan yang kurang pantas.
Malebbi berasal dari 2 morfem ma_ dan lebbi. Ma_ adalah prefix yang
bermakna melakukan atau bertindak, melakukan pekerjaan mengenai diri,
menggunakan atau memakai (Nur, 2008:250). Selanjutnya, lebbi (kata sifat)
berarti mulia (Said, 1977: 115). Jadi secara keseluruhan jika seorang perempuan
Bugis disebut malebbi dapat diartikan perempuan tersebut telah melakukan atau
bertindak atau memiliki sifat-sifat mulia. Sifat-sifat mulia tersebut dapat merujuk
pada perilaku sehari-hari atau pada tindak tutur yang digunakan.
Terlihat pada grafik batang (Fig. 1) di atas, perempuan Bugis Bone dalam
berkomunikasi lebih santun dibandingkan dengan laki-laki (Strategi Terus-terang-
terang, Kesantunan Positif, dan Diam). Tetapi laki-laki Bugis Bone lebih santun
dalam berkomunikasi secara formal. Temuan ini sejalan dengan Vanfossen,
(2001) yang melihat bahwa ranah berbicara laki-laki lebih banyak dalam situasi
formal. Artinya, laki-laki lebih terlatih berbicara dalam ranah public, lebih dapat
mengemukakan pikirannya atau idenya secara berterus-terang dari pada
perempuan. Hal ini tidak mengherankan mengingat domain laki-laki Bugis lebih
berterima secara luas dalam ranah public. Laki-laki tidak dipandang aneh apabila
sepanjang hari tidak pulang ke rumah dalam masa tumbuhnya, sebaliknya anak
perempuan akan selalu diingatkan tentang perilaku baik dan pulang ke rumah
demi pandangan social dan keamanan diri.
dimengerti maksudnya dalam berbicara dari pada disebut kasar apabila berbicara
secara terus terang.
Figure 2: Strategi Kesantunan Jenis Kelamin Bone dan Sidrap dalam Melarang
Pada figure 3, terlihat perempuan Bugis Bone lebih santun dalam meminta
informasi dibandingkan dengan laki-laki Bugis Bone. Perempuan yang
menggunakan strategi terus terang hanya 9. 3% dan laki-laki 12.74; Perempuan
lebih samar-samar 4. 63, laki-laki 2.16. Hal yang mengherankan, dalam ranah
formal perempuan juga lebih sopan dalam mencari informasi dibandingkan
dengan laki-laki (Strategi Kesantunan Negatif)
Terlihat dengan jelas pada figure 4 bahwa perempuan Bugis Bone lebih
santun daripada laki-laki. Perempuan menggunakan strategi komunikasi Terus
Terang lebih sedikit (13.89%) dibanding laki-laki (18.03%), dan yang lebih
menonjol perempuan lebih banyak diam (27.31%) disbanding laki-laki (18.75%).
Lebih lengkapnya dapat dilihat pada grafik batang berikut.
6. Simpulan
7. Referensi
Arini, A. D. (2011). Bentuk, Makna, dan Fungsi Bahasa Tulis Media Sosial
Sebagai Alat Komunikasi dan Interaksi Pada Interaksi Pada Internet.
Skriptorium, 2 Nomor 1. https://doi.org/10.1002/ejoc.201200111
Lakoff, R. T. (2004). Language and Woman’s Place Text and Commentaries. (M.
Bucholtz, Ed.) (Revised an). New York: Oxford University Press.
Nur, M. R. (2008). Aku Bangga Berbahasa Bugis (Cetakan Pe). Makassar: Rumah
Ide.
Riyanto, S. (n.d.). Tindak tutur negatif pada media sosial : studi kasus anak usia
sekolah dasar. Seminar Nasional Pendidikan PGSD UMS & HDPGSDI
Wilayah Jawa, 470–482.
Yusof, M., & Harun, K. (2015). Analisis Lakuan Tutur Dalam Ruangan Status
Facebook. Jurnal Komunikasi Malaysian Journal of Communication Jilid,
31(2), 151–168.