You are on page 1of 3

Sisyphus dan Kanvas Cermin

Aku Sisyphus. Ayahku raja Aeolus. Ibuku Anticlea. Aku dihukum karena
kecerdikanku. Sekaligus karena kelicikanku. Aku menentang dewa tertinggi: Zeus. Aku
tidak sedikit pun menaruh simpati apalagi hormat kepada para dewa.
Aku menggoreskan warna jingga di atas kanvas cermin. Aku tengah menduplikasi
gambar matahari yang bersinar indah di langit biru. Kuasku bergerak mengikuti liuk
matahari pagi yang terpantul dalam kanvas cermin. Pantulan cahaya keemasan yang teduh
sehingga membuat mataku tak silau menatap kanvas. Aku duduk membelakangi jendela,
menghadap kanvas cermin. Sesekali tanganku berhenti. Aku memandang hasil lukisanku.
Tanganku bergerak lagi, menyipratkan warna demi warna, menyapu bagian kosong dengan
warna di tatakan cat.
Pantulan jendela persegi yang tertangkap kanvas, telah kugambar dan kuselesaikan
dengan sempurna. Wajahku pun tampak ayu dalam kanvas. Rambutku hitam legam. Satu
dua helai rambut tersangkut di pipiku yang tirus. Bibirku merah merekah. Kusentuh gambar
diriku dalam kanvas. Aku tersenyum getir. Bibirku melebar ke samping. Pantulan wajahku,
aku duplikasi dengan sempurna. Tanpa cacat.
Aku tengah melukis bagian tersulit: pantulan sang surya pagi. Jika aku bisa
membuatnya dengan sempurna, sama persis dengan gambar di pantulan kanvas, aku akan
terbebas dari hukuman.

“Jelek!” aku berteriak lantang. Kuhempas kanvasku begitu saja ke lantai: Praaang.
Kanvasku lebur berantakan. Aku tak puas dengan gambaranku. Objek utamaku tergambar
tak beraturan. Warna jingga yang kutorehkan, bentuknya tak bulat persis. Lonjong.
Mengekor dari balik pohon Maple sampai ujung kanvas.
Seorang gadis kecil—yang kutahu sedari tadi mengintip—berjalan perlahan
menghampiriku. Melihat tingginya, kira-kira ia berumur sepuluh tahun. Pelipis matanya
berkerut-kerut. Alisnya merapat dan sedikit turun ke bawah. Kuyakin ia sedang
kebingungan melihatku yang mendadak menjadi gila.
Gila?
Bagaimana aku tidak menjadi gila? Lukisan karyaku tak pernah jadi. Di
sekelilingku penuh dengan pecahan-pecahan kaca yang tergores cat beraneka warna. Entah
sudah berapa lama aku berusaha meniru gambar yang terpantul dari kanvas.
Gadis itu memungut pecahan kanvas yang baru kubanting. Tangan halusnya
menyisir tepian kaca yang pecah. Ia meringis sakit tatkala jari telunjuknya tanpa sengaja
tergesek pecahan cermin yang tajam. “Ini bagus,” katanya sambil memandang lukisan yang
pecah menjadi beberapa bagian. Ia memamerkan gigi dan memandangku penuh senyum.
Mungkin ia sedang berusaha menghiburku.
“Tidak. Itu jelek,” jawabku kasar.
Gadis itu tidak gentar dengan teriakanku. Ia malah mendekat. “Apa yang
sebenarnya ingin kau gambar?”
“Gambar alam yang berada di belakangku, persis.”
Gadis itu menatap panorama di belakangku. Jendela persegi. Pohon Mapple. Langit
biru yang cerah. Tidak ada sesuatu pun yang terlihat berwarna jingga di balik jendela.
“Lalu, warna jingga itu gambar apa?”
“Matahari pagi. Matahari yang indah.”
Gadis kecil itu kembali menengok belakangku. “Tak ada matahari disana.”
“Tadi ada,” jawabku ketus. Aku mendengus putus asa.
***
Pagi yang keseribu—entah sekian kali, aku memasang kanvas pada penyangga kaki
tiga. Angin semilir membawa aroma segar dedaunan. Aku menyiapkan alat-alat lukisku. Di
dekat pintu, gadis kecil yang kemarin, mengintip aktivitasku.
“Masuklah!” perintahku. Ia masuk dengan malu-malu, membawa kertas gambar dan
crayon beraneka warna.
“Boleh aku menggambar bersamamu?”
Aku mengangguk.
Kami menggambar dalam diam. Aku melukis pantulan kanvas, sedang ia, tak tahu
melukis apa.
Aku mendengus kesal untuk ke-seribu sekian kali. Aku banting kanvasku.
Gadis kecil itu menghampiriku. Memandang sejenak pecahan kaca yang kubanting.
“Gambarmu… kenapa dibanting?” tanyanya.
“…jelek.”

“Tidak! Justru gambar jingga itu yang akan membuat lukisanku terlihat indah. Itu
sudah menjadi tugasku. Menggambar yang sama persis dari pantulan kanvas ini. Aku harus
membuat pantulan matahari yang sama persis.”
Aku Sisyphus. Puteri raja Aeolus. Ibuku Anticlea. Aku menentang keberadaan sang
dewata. Karenanya aku dikutuk untuk melukis matahari dalam cermin. Hanya lukisan
sempurna dari pantulan matahari yang mampu membebaskanku dari kutukan.
***
Aku menunduk lesu. Putus asa. Apapun upayaku, tak pernah sekalipun, gambarku
jadi dengan sempurna. Lukisan matahariku selalu tampak lonjong. Tak bisa bulat.

You might also like