Diterjemahkan dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia - www.onlinedoctranslator.

com

Kursus Jurnal AANA

Anestesi dan Pertimbangan Perioperatif untuk
Pasien Dengan Myasthenia Gravis
Shawn Collins, DNP, PhD, CRNA
Howard Roberts, MS, CRNA Ian
Hewer, PhD, CRNA

Pasien dengan penyakit neuromuskular seperti miastenia
gravis dapat muncul sebagai kasus anestesi yang rumit.
Artikel ini mengulas pertimbangan anestesi untuk
perawatan perioperatif yang optimal pada pasien dengan
myasthenia gravis. Patofisiologi myasthenia gravis,
kolinergik dan krisis myasthenic, dan manajemen
perioperatif dibahas; ini termasuk farmakologi
penghambat asetilkolinesterase vs sugammadex, kriteria
ekstubasi, manajemen nyeri, dan faktor risiko krisis
miastenia pasca operasi. Anestesi merekomendasikan
saran termasuk pembalikan agen blokade neuromuskuler
nondepolarisasi dengan sugammadex, mendapatkan
pernapasan spontan yang cukup tanpa kurarisasi sisa
sama sekali sebelum ekstubasi, penggunaan opioid dan
obat penenang yang terbatas, menghindari masuk rutin
ke unit perawatan intensif, dan pertimbangan blok saraf
perifer untuk kontrol nyeri tambahan .
Kata kunci:Anestesi, krisis miastenia, miastenia gravis,
manajemen pasca operasi, faktor risiko.

Tujuan persimpangan romuskular.1Penurunan AChR nikotinik ini

Pada akhir kursus ini, pembaca harus dapat:
1. Ringkas patofisiologi yang mendasari
myasthenia gravis.
2. Jelaskan faktor-faktor yang berkontribusi terhadap krisis
miastenia dan kolinergik.
3. Jelaskan implikasi imunosupresan dan inhibitor
antikolinesterase terhadap blokade
neuromuskuler.
4. Bandingkan keuntungan penggunaan inhibitor
sugammadex vs antikolinesterase pada pasien
miastenia gravis.
menghasilkan berbagai tingkat kelumpuhan otot, karena
sambungan neuromuskuler tidak dapat mengirimkan
sinyal dalam jumlah yang sesuai antara saraf dan serat
otot. Potensi yang dihasilkan pada serat otot terlalu lemah
untuk membuka saluran natrium yang memungkinkan
depolarisasi serat otot terjadi. Kelemahan otot—bersama
dengan potensi krisis miastenia—dapat terjadi dan
menyebabkan hasil yang buruk.2
Peningkatan kejadian dan prevalensi MG telah dicatat,
dengan tingkat kejadian gabungan 5,3 per juta orang-tahun
dan perkiraan tingkat prevalensi gabungan 77,7 per juta orang.
3Peningkatan ini mungkin merupakan hasil dari diagnosis yang

5. Identifikasi faktor risiko yang terkait dengan krisis
miastenia pasca operasi.
6. Jelaskan pertimbangan khusus yang melibatkan
manajemen pasca operasi.
Perkenalan
Pasien dengan penyakit neuromuskuler dapat hadir sebagai
kasus anestesi yang rumit, seringkali membutuhkan
pertimbangan perioperatif yang spesifik dan disesuaikan. Salah
satu penyakit tersebut adalah myasthenia gravis (MG), penyakit
autoimun yang secara khusus menargetkan dan mengurangi
ketersediaan reseptor asetilkolin nikotinat (AChRs) di neu-
lebih baik. Sementara MG biasanya memiliki prevalensi yang
lebih besar pada wanita muda, sekarang MG juga ditemukan
pada populasi lanjut usia, yang cenderung kurang
terdiagnosis.4Pengobatan MG telah meningkat selama
bertahun-tahun, yang secara teori menyebabkan peningkatan
jumlah pasien dengan MG yang datang untuk operasi.
Tujuan dari tinjauan ini adalah untuk mencari literatur dan
menyoroti praktik terbaik yang dapat digunakan dalam
anestesi untuk membantu mengurangi kelemahan setelah
blokade neuromuskuler dan pengendapan krisis miastenia
atau kolinergik pada pasien dengan MG. Sebagai bagian dari
tinjauan, ringkasan patofisiologi MG serta identifikasi

ItuJurnal AANAKursus diterbitkan di setiap edisiJurnal AANA. Setiap artikel menyertakan tujuan untuk pembaca dan sumber untuk
bacaan tambahan. Ujian buku terbuka 5 pertanyaan untuk setiap kursus diterbitkan di www.AANALearn.com dan akan tetap ditayangkan
di situs untuk jangka waktu 3 tahun. Satu kredit pendidikan berkelanjutan (CE) dapat diperoleh dengan berhasil menyelesaikan ujian dan
evaluasi. Setiap ujian dihargai $35 untuk anggota dan $21 untuk siswatetapi dapat diambil tanpa biaya dengan menggunakan salah satu
dari enam CE gratis yang tersedia setiap tahun untuk anggota AANA sebagai manfaat keanggotaan.Untuk detailnya, buka
www.AANALearn.com. Kegiatan pendidikan ini disajikan dengan pengertian bahwa setiap konflik kepentingan telah dilaporkan oleh
penulis. Juga, tidak disebutkan penggunaan off-label untuk obat atau produk.

www.aana.com/anaajournalonline Jurnal AANA-Desember 2020-Vol. 88, No.6 485

dan pengobatan krisis myasthenic disediakan, termasuk
implikasi yang dimiliki imunosupresan dan inhibitor
antikolinesterase (AChEIs) pada blokade neuromuskuler
dan keuntungan menggunakan sugammadex vs AChEIs
pada pasien dengan MG. Penyedia bertanggung jawab
untuk mengobati komorbiditas terkait MG dan harus
mempertimbangkan manajemen kasus multifaktorial untuk
mengurangi komplikasi anestesi perioperatif.
Metode
Tinjauan literatur ini dimulai dengan pencarian artikel yang
berkaitan dengan topik ini. Beberapa mesin pencari sastra
digunakan untuk mencari artikel termasuk Pencarian
Akademik Lengkap, CINAHL (Indeks Kumulatif untuk
Keperawatan & Sastra Kesehatan Sekutu) Lengkap,
MEDLINE Lengkap, EBSCOhost, Database JBI EBP, PubMed,
Ovid, dan Perpustakaan Cochrane. Kriteria pencarian artikel
terbatas pada artikel berbahasa Inggris, diterbitkan dalam
15 tahun terakhir, dan tersedia teks lengkap. Satu artikel
yang diterbitkan sebelum tahun 2004 perlu disertakan
untuk tinjauan pustaka karena berisi pengetahuan dasar
yang berkaitan dengan topik kita. Pencarian dilakukan
dengan menggunakan kata kunci, frase, dan judul subjek
tertentu termasukmiastenia gravis, penghambat
asetilkolinesterase, rekurarisasi, blok neuromuskuler
residual, rocuronium, suksinilkolin, sugammadex,
ekstubasi, pemeliharaan, induksi, faktor risiko, anestesi,
Dan patofisiologi. Bukti dievaluasi menggunakan metode
yang dijelaskan oleh Melnyk dan Fineout-Overholt.5
Patogenesis
Tingkat penyakit MG berkorelasi langsung dengan tingkat
kelumpuhan. Ciri khas MG termasuk kelemahan otot umum
yang membaik dengan istirahat dan ketidakmampuan untuk
mempertahankan aktivitas berbasis pengulangan.6
Jika cukup parah, pasien bisa meninggal karena
kelumpuhan otot pernapasan.2Gejala kelumpuhan yang
lebih khas dari penyakit dan tingkat keparahannya lebih
rendah termasuk gejala tipe bulbar (misalnya, ptosis dan
diplopia terjadi pada >50% pasien) dan kelumpuhan otot
orofaringeal, ekstremitas proksimal, dan korset bahu.6
Pada sekitar 80% hingga 85% pasien dengan MG, terdapat
antibodi AChR antinikotinik spesifik yang terdeteksi dan
signifikan secara patologis untuk penyakit tersebut. Pada
sebagian besar pasien seropositif ini, timus terpengaruh.1
Kelenjar timus diyakini berkontribusi pada produksi
autoantibodi yang bertanggung jawab untuk MG, dan
thymectomy sering diindikasikan untuk mereka yang memiliki
bentuk ini.6Pilihan pengobatan lain untuk MG tergantung pada
stadium penyakit berdasarkan klasifikasi Osserman7(Tabel 1)
dan dapat mencakup terapi imunosupresif nonspesifik seperti
kortikosteroid, metotreksat, imunoglobulin, siklosporin,
plasmaferesis, dan, tentu saja, AChEI.1,8Perawatan ini atau
kekurangannya memiliki implikasi untuk rencana perawatan
anestesi dan dibahas nanti dalam artikel ini.
486 Jurnal AANA-Desember 2020-Vol. 88, No.6
• Seronegatif Myasthenia Gravis.Hingga 20% dari
pasien dengan MG sebenarnya seronegatif untuk antibodi
antinicotinic AChR dan sebaliknya seropositif untuk
antibodi tyrosine kinase (MuSK) spesifik otot. Pasien
dengan genotipe ini biasanya menunjukkan gejala bulbar
tetapi juga dapat mengalami kelemahan umum. Yang
terpenting, penghambat kolinesterase tidak berpengaruh
pada proses penyakit dan sebenarnya dapat memperburuk
penyakit itu sendiri.1
• Krisis Myasthenic dan Cholinergic.Terlepas dari
jenis proses patognomi yang mendasari MG, pasien dengan
penyakit ini berisiko mengalami krisis miastenia atau krisis
kolinergik. Krisis myasthenic adalah eksaserbasi penyakit, di
mana pasien mulai menunjukkan peningkatan kelemahan otot
dan gangguan pernapasan.1Hal ini umumnya dikaitkan dengan
pemicu multifaktorial, termasuk infeksi saluran pernapasan,
stres, dan pembedahan.1Keparahan dari krisis khusus ini dan
prediktor kematian termasuk usia yang lebih tua, pengenalan
krisis yang lambat, dan kebutuhan untuk intubasi endotrakeal.
9Jenis krisis ini diobati dengan dosis tambahan penghambat
kolinesterase, dan jika tidak ada perbaikan, imunoglobulin,
plasmaferesis, dan intubasi endotrakeal.1
Krisis kolinergik adalah ketika pasien mengalami
overdosis dengan penghambat kolinesterase, dan
gejalanya dapat berkisar dari berkeringat, kram perut, air
liur berlebihan, urgensi kencing, dan bradikardia hingga
fasikulasi otot dan/atau kelemahan otot.1Ketika jenis krisis
ini terjadi, pengobatan diperlukan, terutama dengan
penghentian inhibitor kolinesterase dan atropin, tetapi
dapat memerlukan intubasi endotrakeal sampai teratasi.1
Bahkan untuk penyedia yang terampil, mungkin sulit
untuk membedakan antara 2 jenis krisis tersebut. Situasi
menjadi lebih rumit karena jika tidak dikenali dengan cepat
dan benar, pengobatan krisis miastenia lini pertama dapat
memperburuk krisis kolinergik. Untuk membedakan antara
krisis miastenia dan krisis kolinergik, pemberian
edrofonium dosis tunggal dapat membantu, karena gejala
akan membaik dengan krisis miastenia atau tetap tidak
berubah, tetapi berpotensi memburuk dengan krisis
kolinergik.1
Pertimbangan pra operasi
Dalam meninjau rencana perawatan dengan pasien, penyedia
harus menggarisbawahi bahwa stres fisik seperti yang
berhubungan dengan pembedahan dapat memperburuk proses
penyakit, tetapi proses penyakit umumnya kembali ke awal.10
Jika operasi bersifat elektif, waktu ketika pasien dalam
fase stabil harus dipilih untuk hasil operasi dan anestesi
yang optimal.1,10Biasanya, kebanyakan imunosupresan
tidak akan berinteraksi dengan anestesi. Namun, jika
pasien menerima azathioprine, obat tersebut akan
memperpanjang efek suksinilkolin dan menghambat
efek agen penghambat neuromuskuler nondepolarisasi
(NMBAs).1Jika pasien mengalami an
www.aana.com/anaajournalonline
 Panggung Klasifikasi
1 Spesifik untuk kelemahan mata. Semua otot lain berfungsi normal.

2 Lembutkelemahan otot secara umum. Mungkin memiliki kelemahan otot okular dengan tingkat keparahan apapun.

2a Anggota gerak dominan dan/atau keterlibatan aksial.

2b Keterlibatan orofaringeal dan/atau pernapasan yang dominan.

3 Sedangkelemahan otot secara umum. Mungkin memiliki kelemahan otot okular dengan tingkat keparahan apapun. Anggota

3a gerak dominan dan/atau keterlibatan aksial.

3b Keterlibatan orofaringeal dan/atau pernapasan yang dominan.

4 Beratkelemahan otot secara umum. Mungkin memiliki kelemahan otot okular dengan tingkat keparahan apapun.

5 Membutuhkan intubasi kecuali selama manajemen perioperatif.

Tabel 1.Klasifikasi Myasthenia Gravis Osserman Dengan Modifikasi Dari Komite Myasthenia Gravis Foundation
of America5

eksaserbasi akut atau mengalami krisis miastenia tetapi
membutuhkan pembedahan darurat, segala upaya harus
dilakukan untuk mengoptimalkan kondisi pasien terlebih
dahulu.10Optimalisasi meliputi plasmaferesis, terapi
imunosupresif seperti kortikosteroid eksogen, dan
mendiskusikan terapi ventilasi pasca operasi dengan pasien.
Ada keuntungan untuk menghentikan piridostigmin pasien
sebelum operasi, karena akan memungkinkan timbulnya
NMBA nondepolarisasi lebih cepat serta dosis yang lebih
kecil. Praktik ini harus digunakan dengan hati-hati karena
hasil dari satu penelitian menunjukkan bahwa pasien
dengan MG yang tidak meminum piridostigmin dosis pagi
pada hari operasi berisiko lebih tinggi mengalami
gangguan pernapasan.11Menghindari depresi pernapasan
juga harus menjadi prioritas penyedia anestesi, dan
premedikasi dengan obat penenang atau opioid tidak
boleh menjadi praktik rutin,1karena sangat sulit untuk
memprediksi pasien dengan MG mana yang akan
mengalami krisis myasthenic pasca operasi (PMC).
Pertimbangan untuk Manajemen Anestesi
• Teknik Anestesi.Bila memungkinkan, blok saraf perifer
harus digunakan untuk populasi pasien MG.1Jika blokade
regional dilakukan pada ekstremitas atas, maklum bahwa
pasien dengan MG lebih rentan terhadap gagal napas.1Dua
blok yang menjadi perhatian adalah supraklavikula atau
interskalena, karena memblokir saraf frenikus akan
menyebabkan kelumpuhan langsung pada diafragma dan
membahayakan fungsi pernapasan.12Untuk tujuan artikel
ini, fokusnya adalah pada manajemen anestesi umum
menggunakan kelumpuhan bedah, dan satu-satunya
penggunaan anestesi volatil, karena anestesi regional
berada di luar cakupan tinjauan ini.
• Anestesi Umum.Kalau anestesi umum harus
digunakan, induksi harus dilakukan dengan menggunakan
agen intravena short-acting, dengan pemahaman bahwa efek
depresan pernafasan dapat ditambah. Pemeliharaan anestesi
dicapai dengan anestesi volatil dengan atau tanpa nitro oksida.
Penggunaan anestesi volatil dapat mengurangi atau bahkan
menghilangkan kebutuhan akan pelemas otot.8
• Relaksan Otot.Jika pasien dengan MG membutuhkan
kelumpuhan bedah, blokade neuromuskuler nondepolarisasi
umumnya dipilih untuk mempertahankan relaksasi yang tepat
selama operasi. Dosis NMBA nondepolarisasi harus dikurangi
setengah sampai dua pertiga.8NMBA depolarisasi seperti
suksinilkolin memiliki respons yang tidak dapat diprediksi pada
mereka dengan MG, karena populasi ini memiliki AChR
postinaptik yang berfungsi buruk dan kemungkinan tidak akan
menerima blokade yang memadai atau sebaliknya, jika pasien
menerima pengobatan dengan penghambat kolinesterase, dia
akan memiliki blokade berkepanjangan.1,6,8Ketika NMBA
nondepolarisasi digunakan, respons ini tidak menjadi masalah,
tetapi kepekaan terhadap NMBA nondepolarisasi meningkat
karena berkurangnya jumlah reseptor pada populasi pasien ini.
Dosis NMBA nondepolarisasi karenanya harus dikurangi.1
• Pemantauan Blokade Neuromuskular.Konvensi-
Metode umum untuk memantau pemulihan dari blokade
neuromuskular adalah dengan stimulator saraf perifer, dan
metode yang paling umum untuk memantau pemulihan
blokade neuromuskuler adalah train-of-four (TOF).8,13Setelah
pengiriman 4 rangsangan listrik — masing-masing berjarak 0,5
detik, kedutan keempat secara kualitatif atau kuantitatif
dibandingkan dengan kedutan pertama. Pengukuran
kuantitatif, biasanya dilakukan dengan acceleromyography,
adalah metode pengukuran yang jauh lebih baik dibandingkan
dengan observasi kualitatif subjektif.14
Sebuah blok residu dikatakan hadir ketika rasio TOF
kurang dari 0,9. Definisi ini didasarkan pada jalan napas
atas dan pemulihan otot laring.15Pasien dengan MG
berisiko lebih besar mengalami blokade residual sekunder
akibat patofisiologi defisit transmisi neuromuskular yang
sudah ada sebelumnya.16
Saat menggunakan stimulator saraf perifer untuk memantau
pemulihan dari NMBA, penyedia harus menyadari bahwa respons
kedutan pada otot orbicularis oculi dapat melebih-lebihkan
kedalaman blokade neuromuskular, tetapi pemantauan di tempat
ini juga dapat membantu menghindari blokade neuromuskuler
persisten yang tidak diketahui pada pasien dengan MG.8
• Penghambat asetilkolinesterase.Secara historis,

www.aana.com/anaajournalonline Jurnal AANA-Desember 2020-Vol. 88, No.6 487

pembalikan kelumpuhan bedah pada pasien dengan MG
dicapai melalui pemberian AChEI, seperti neostigmin atau
edrophonium. Inhibitor asetilkolinesterase bekerja dengan
menghambat asetilkolinesterase, sehingga meningkatkan
ketersediaan asetilkolin di celah persimpangan di situs
reseptor. Asetilkolin yang meningkat pada celah junctional
memberikan aksi kompetitif dengan blokade
neuromuskuler untuk situs reseptor. Meskipun tindakan
kompetitif yang diciptakan oleh AChEI di lokasi reseptor ini
diinginkan pada pasien yang sehat, ini menimbulkan
kekhawatiran pada populasi pasien MG.
Pemberian AChEI pada pasien dengan MG menimbulkan
kekhawatiran karena 2 alasan: (1) kurang pengobatan dengan
AChEI dapat menyebabkan krisis miastenia, di mana terjadi
kelemahan otot yang parah dan kelumpuhan pernapasan, dan
(2) pengobatan berlebihan dapat menyebabkan krisis
kolinergik. di mana asetilkolin berlebihan menyebabkan blok
seperti depolarisasi dan kelemahan otot yang mendalam selain
efek samping muskarinik.6Apa yang membingungkan adalah
bahwa blokade berkepanjangan mungkin tidak sejelas krisis
miastenik atau kolinergik dan mungkin tidak diketahui.
Penurunan kekuatan otot dapat bermanifestasi dalam
hipoventilasi, hiperkapnia, aspirasi, hipoksia, dan kemungkinan
pneumonia pasca operasi.17
Ada efek langit-langit klinis AChEIs atau, dengan kata
lain, penghambatan maksimal.13Ini terjadi jika penyedia
anestesi terus memberikan AChEI ketika semua
reseptor telah diantagonisasi.18Hal ini penting untuk
dikenali karena 2 alasan utama: (1) Hal ini dapat
menyebabkan kelemahan otot paradoks dan (2) ketika
blokade neuromuskular lebih parah, kemampuan AChEI
untuk membalikkan blokade menjadi terbatas.15Intinya,
ketika efek langit-langit tercapai, kelemahan otot
sebenarnya dapat dipicu.
Diteorikan bahwa kelemahan otot paradoks ini mungkin
disebabkan oleh desensitisasi AChR, yang pada gilirannya
menciptakan blok depolarisasi yang menyebabkan kegagalan
transmisi sinyal.18Yang mengejutkan adalah efek ini dapat
diinduksi dalam dosis neostigmin yang direkomendasikan secara
klinis pada 0,04 hingga 0,07 mg/kg; dosis di atas 0,06 mg/kg
membawa peningkatan tiga kali lipat yang memengaruhi
atelektasis pasca operasi, waktu pemulihan PACU yang lebih lama,
dan lama tinggal di rumah sakit, sehingga meningkatkan risiko
komorbiditas pernapasan pasca operasi secara keseluruhan.19
Selain itu, ada peningkatan risiko edema paru dan reintubasi ketika
diberikan dosis neostigmin yang tidak sesuai (yaitu, tidak dipandu
oleh pemantauan TOF).19
Adapun kemampuan AChEI yang terbatas untuk
membalikkan blokade neuromuskular, ini dapat terjadi ketika
konsentrasi relaksan otot nondepolarisasi meningkat pada
sambungan neuromuskuler (ditentukan oleh TOF≤0,2).
Pemulihan spontan (diwakili oleh TOF >1) harus ada sebelum
penggunaan AChEI dapat membantu mencapai pemulihan ke
TOF lebih besar dari 0,9.13Pembalikan ini adalah proses yang
tepat waktu dan umumnya tidak tercapai
488 Jurnal AANA-Desember 2020-Vol. 88, No.6
dalam waktu 10 menit setelah pengiriman neostigmin dari tingkat
kelumpuhan apa pun selama anestesi berbasis volatil.13,20
• Sugammadex.Sugammadex, disetujui oleh AS
Food and Drug Administration pada Desember 2015, adalah agen
pembalikan untuk NMBA steroid dan bekerja dengan enkapsulasi
melalui kompleks larut air yang ketat dengan steroid amino
(misalnya, rocuronium, vecuronium, pancuronium) daripada
meningkatkan asetilkolin pada sambungan neuromuskuler.15,21
Neostigmin secara kompetitif memusuhi NMBA dan akan
membalikkan kelumpuhan hanya jika ada setidaknya 1 dari 4 pada
TOF. Sugammadex sepenuhnya menghindari gangguan pada
sambungan neuromuskuler, dan transmisi kolinergik
mempertahankan homeostasis.22
Tidak ada dampak seputar krisis myasthenic atau kolinergik,
dan kedutan tidak diperlukan untuk pemulihan yang lengkap
dan cepat.
Manfaat Sugammadex untuk Penderita
Myasthenia Gravis
Penggunaan sugammadex pada pasien dengan berbagai
stadium MG telah dijelaskan dalam beberapa publikasi
selama dekade terakhir. Untuk ulasan ini, artikel dengan
lebih dari 100 kasus yang melibatkan pasien dengan MG
menjalani prosedur pembedahan mulai dari operasi toraks,
timektomi, kolesistektomi, pengangkatan katarak,
endoskopi, histerektomi perut, dan perbaikan disk hernia
dievaluasi.17,22-26Hasil menunjukkan bahwa sugammadex
memberikan pembalikan NMBA yang cepat dan lengkap
sambil menghilangkan sisa kurarisasi.17,22-26
Vymazal et al17menggambarkan serangkaian 117 kasus MG
di mana pasien menjalani berbagai operasi dan mengalami
pembalikan cepat dari blokade yang diinduksi rocuronium dan
ekstubasi setelah pemberian sugammadex. Pasien dalam
berbagai stadium MG menerima rocuronium 0,6 mg/kg pada
induksi anestesi. Untuk mempertahankan relaksasi, rasio TOF
kurang dari 0,6 dipertahankan dengan rocuronium, 0,15 mg/
kg. Untuk pembalikan, pasien kemudian menerima
sugammadex, baik 4 mg/kg jika TOF 1 atau kurang, atau 2 mg/
kg jika TOF 2 atau lebih. Para penulis mencatat bahwa waktu
untuk mencapai rasio TOF 0,9 atau lebih membutuhkan rata-
rata 117 detik (SD, 10-12 detik). Ekstubasi setelah pemberian
sugammadex membutuhkan waktu 276 detik (SD, 24-29 detik).
Dalam semua kasus, tidak ada desaturasi oksigen (SpHai2<95%)
dicatat 24 jam pasca operasi. Tidak ada hiperkapnia (Pbersama2
elevasi >10% dari baseline) atau reintubasi dicatat dalam 48
jam pasca operasi. Tidak ada pneumonia pasca operasi yang
terjadi dalam 120 jam. Secara keseluruhan, tidak ada tanda-
tanda kurarisasi residu pasca operasi atau depresi pernapasan
yang dicatat.17
Dalam penelitian lain, Sungur et al25mendemonstrasikan
pembalikan penuh dan cepat dari blokade yang diinduksi rocuronium
dengan sugammadex dalam 10 kasus thymectomy diperpanjang
thorascopic dengan bantuan video, semua pasien dengan MG dalam
berbagai tahap. Induksi dicapai dengan rocuronium, 0,3 mg/kg, dan
dosis tambahan rocuronium diberikan pada satu
www.aana.com/anaajournalonline
keempat dosis awal jika ada nilai TOF lebih besar dari
25% atau jika diamati gerakan diafragma. Sebelum
pemberian sugammadex, nilai TOF berkisar antara
0% hingga 50%. Semua pasien menerima
sugammadex, 2 mg/kg, untuk pembalikan, dan total
rata-rata dosis rocuronium adalah 48 mg (SD, 16 mg).
Waktu rata-rata untuk rasio TOF lebih besar dari 0,9
setelah pemberian sugammadex adalah 111 detik
(minimum, 35 detik; maksimum, 240 detik), dan
semua pasien berhasil diekstubasi di ruang operasi.
Waktu operasi rata-rata keseluruhan adalah 62 menit
(SD, 16 menit). Semua pasien dipantau di
postanesthesia care unit (PACU) selama 4 sampai 6
jam dan kemudian dipindahkan ke bangsal. Tidak
ada satu pasien pun yang memerlukan reintubasi
karena gangguan pernapasan atau krisis miastenia,
25
Casarotti dkk22menguraikan 2 laporan kasus di mana
rocuronium dosis tinggi untuk induksi urutan cepat dan
pembalikan dengan sugammadex digunakan pada 2 pasien
myasthenic. Kasus pertama melibatkan laparotomi darurat
2 jam, di mana seorang pria berusia 48 tahun menerima
pembalikan dengan sugammadex, 4 mg/kg berat badan
aktual, pada 1 kedutan posttetanic. Rasio TOF lebih besar
dari 0,9 dipulihkan dalam 3 menit. Pasien dipantau selama
30 menit tambahan untuk memastikan tidak ada sisa
kurarisasi; pada akhir jangka waktu ini, sedasi ditarik dan
pasien diekstubasi. Manajemen nyeri pasca operasi
menggunakan morfin dan ketorolak, dan pasien
dipindahkan ke bangsal dalam beberapa jam.22
Kasus kedua dilaporkan oleh Casarotti et al22melibatkan
operasi darurat untuk endoskopi pada wanita 71 tahun
yang mengalami hematemesis masif. Durasi operasi kira-
kira 1 jam, dan pada akhir prosedur, pasien memiliki 1 dari
4 TOF. Pembalikan lagi dicapai dengan sugammadex, 4 mg/
kg berat badan aktual, dan rasio TOF lebih besar dari1
diamati dalam 2 menit. Pasien dipantau selama 40 menit
tambahan untuk recurarization dan diekstubasi dan
dipindahkan ke bangsal dalam waktu 2 jam. Dalam kedua
kasus, sugammadex terbukti menjadi agen pembalikan
yang cepat dan andal untuk pemulihan fungsi
neuromuskuler ketika rocuronium dosis tinggi digunakan
untuk induksi urutan cepat.
Pertimbangan dan Manajemen
Pasca Operasi
Karena harapan hidup yang lebih lama dan kemajuan medis,
ada peningkatan populasi pasien lanjut usia dengan MG.27
Penting untuk diketahui bahwa pasien dengan MG mengalami
peningkatan jumlah operasi yang mungkin tidak berhubungan
dengan MG (misalnya thymectomy).28Pasien-pasien ini akan
memerlukan rencana perawatan yang lebih spesifik dan
berorientasi pada penyakit.
Dalam studi kohort retrospektif oleh Chang et al,28
sebanyak 2.290 pasien menjalani operasi besar dengan a
www.aana.com/anaajournalonline
diagnosis pra operasi MG dianalisis selama jangka waktu 6 tahun
dan dibandingkan dengan lebih dari 22.000 pasien bedah yang
dipilih secara acak tanpa MG. Prosedur disesuaikan dengan
penilaian kecenderungan, dan secara keseluruhan, pasien bedah
dengan MG memiliki risiko komplikasi pasca operasi yang lebih
tinggi (yaitu, pneumonia, septikemia, dan masuk unit perawatan
intensif [ICU]), rawat inap yang lebih lama, dan pengeluaran medis
yang lebih tinggi. Risiko pasca operasi lebih tinggi pada pasien
dengan MG yang menerima perawatan darurat atau menjalani
rawat inap atau thymectomy.28
Mengenai perkembangan PMC, sebuah studi oleh Yu et
al29menyimpulkan bahwa pasien dengan MG dengan
riwayat krisis myasthenic pra operasi, kelas Myasthenia
Gravis Foundation of America (MGFA) pra operasi, adanya
gejala bulbar, waktu bedah yang lebih lama, jumlah
kehilangan darah yang lebih banyak, dan adanya thymoma
secara statistik merupakan faktor risiko yang signifikan
untuk PMC.29Thymoma terjadi pada sekitar 10% sampai
15% pasien dengan MG, paling sering ditemukan dengan
onset dini atau bentuk umum dari penyakit ini. Relevansi
thymoma adalah terkait dengan gangguan autoimun
hematologi, miokarditis, ketidakteraturan konduksi
jantung, dan beberapa jenis kanker; dengan demikian,
timoma adalah faktor penyulit untuk hasil pasca operasi
yang negatif.28Hal ini semakin menguatkan perlunya
optimalisasi manajemen perioperatif pasien dengan MG.
Pertimbangan pasca operasi untuk pasien dengan MG
meliputi kriteria ekstubasi spesifik, menghindari masuk
ICU, dan analgesia. Usulan kriteria untuk ekstubasi pada
pasien dengan MG termasuk pasien yang memiliki tingkat
kesadaran normal, volume tidal minimal 5 mL × berat
badan (dalam kilogram), dan laju pernapasan kurang dari
30/menit.1Aspek yang paling penting sebelum ekstubasi
adalah untuk memastikan tidak ada sisa curarization,
sehingga penting untuk menggunakan pemantauan TOF
pada pasien yang tidak sadar atau head lift lebih dari 5
detik pada pasien yang sadar.1
Sebagian besar pasien dengan MG yang menjalani operasi
elektif dapat dipulangkan tanpa tinggal di ICU atau berkonsultasi
dengan ahli saraf.1Masuk ICU rutin dengan ventilasi mekanis harus
dihindari jika memungkinkan dan tidak dianjurkan karena
peningkatan risiko gagal napas dan komplikasi terkait saluran
napas.1 Intubasi yang berkepanjangan dapat menyebabkan
atelektasis,23,30keterlambatan dalam ambulasi, dan perpanjangan
lama tinggal ICU.30Faktor-faktor ini dapat berkontribusi pada
peningkatan risiko emboli dan pneumonia terkait ventilator.28Jika
pasien mulai menunjukkan tanda-tanda kerusakan atau
memerlukan perawatan ICU, konsultasikan dengan ahli saraf
sesegera mungkin.1
Analgesik opioid menghasilkan efek depresan pernafasan
yang bisa berbahaya pada periode pasca operasi, terutama jika
dilapiskan pada kelemahan otot, tetapi sama pentingnya untuk
menghindari stres bedah yang berlebihan (yaitu nyeri), yang
dapat memicu krisis miastenia. Oleh karena itu, manajemen
nyeri yang optimal sangat penting. Jika
Jurnal AANA-Desember 2020-Vol. 88, No.6 489
 Pra operasi Intraoperatif Pasca operasi
• Mendidik pasien dan keluarga bahwa stres fisik yang • Blok saraf tepi menguntungkan populasi • Pasien dengan MG memiliki risiko komplikasi
berhubungan dengan pembedahan dapat pasien, membutuhkan dosis anestesi lokal yang lebih tinggi, terutama dengan perawatan
memperparah proses penyakit untuk sementara.7 yang lebih kecil.2 darurat, rawat inap, dan thymectomy.28

• Jika pembedahan bersifat elektif, harus
dilakukan selama fase stabil dari proses
penyakit.2,7
• Jika pembedahan darurat dan kondisi pasien tidak
stabil, segala upaya harus dilakukan untuk
mengoptimalkan kondisi pasien terlebih dahulu.7
• Penghentian pengobatan piridostigmin sebelum
operasi masih bisa diperdebatkan; ini memungkinkan
onset yang lebih cepat dan dosis NMBA
nondepolarisasi yang lebih kecil tetapi juga
meningkatkan risiko gangguan pernapasan.8
• Secara umum, kebanyakan imunosupresan tidak
berinteraksi dengan anestesi.
• Terapi azatioprin harus dihentikan, karena
memperpanjang efek suksinilkolin dan
menghambat efek NMBA nondepolarisasi.2
• Hindari premedikasi dengan obat penenang
atau opioid sebagai praktik rutin karena efek
depresi SSP.2
• Perhatian disarankan dengan blokade
regional yang dapat menghambat fungsi
diafragma, misalnya blok supraklavikula atau
interskalen, karena pemblokiran saraf frenikus
melumpuhkan diafragma dan menghambat
fungsi pernapasan.9,10
• Jika pasien memerlukan kelumpuhan bedah,
pilih NMBA nondepolarisasi untuk blokade yang
lebih dapat diprediksi dan memadai.4
• Gunakan sugammadex untuk pembalikan
NMBA.11,18-22 yang cepat dan lengkap
• Sugammadex dapat sepenuhnya membalikkan NMBA
dengan rocuronium dosis tinggi yang digunakan di
RSI.18
• Hindari AChEI untuk pembalikan NMBA
karena efek langit-langit,12 kelemahan
otot paradoks,13 dan potensiasi krisis
miastenia atau kolinergik.4
• Jika digunakan neostigmin, dosis 0,04-0,07 mg/
kg dapat menyebabkan kelemahan otot
paradoks; dosis >0,06 mg/kg membawa
peningkatan tiga kali lipat untuk komplikasi
pasca operasi.15
• Pasien dengan risiko PMC yang lebih tinggi
termasuk mereka yang memiliki riwayat krisis
miastenia, kelas MGFA pra operasi, adanya gejala
bulbar, waktu pembedahan yang lama, jumlah
kehilangan darah yang lebih banyak, dan adanya
timoma.29
• Pertimbangan khusus di luar kriteria
ekstubasi standar: pastikan tingkat
kesadaran normal, volume tidal≥5 mL/kg,
laju pernapasan <30/menit.2
• Yang paling penting, pastikan pernapasan
spontan yang cukup dan sama sekali tidak ada
sisa kurarisasi.2
• Hindari masuk ICU rutin dengan
ventilasi mekanis.2
• Jika perlu masuk ICU atau pasien menunjukkan
tanda-tanda perburukan, pertimbangkan untuk
segera berkonsultasi dengan ahli saraf.2
• Stres fisik harus minimal, menekankan
manajemen nyeri yang optimal.
Pertimbangkan anestesi regional, opioid kerja
cepat dan short-acting jika diindikasikan, dan
NSAID.2

Meja 2.Rekomendasi Anestesi dan Perioperatif untuk Pasien Dengan Myasthenia Gravis
Singkatan: AChEI, penghambat asetilkolinesterase; SSP, sistem saraf pusat; ICU, unit perawatan intensif; MG, miastenia gravis; MGFA,
Yayasan Myasthenia Gravis Amerika; NMBA, agen penghambat neuromuskular; NSAID, obat antiinflamasi nonsteroid; PMC, krisis
myasthenic pasca operasi; RSI, intubasi urutan cepat.

menghindari opioid adalah pilihan yang layak, maka bila
memungkinkan, anestesi regional dapat digunakan.1Jika opioid
diperlukan, penyedia harus mempertimbangkan dosis yang lebih kecil
dari obat cepat dan kerja singkat. Obat antiinflamasi nonsteroid juga
dapat mengurangi beberapa kebutuhan akan opioid tetapi mungkin
tidak sepenuhnya menghilangkan kebutuhan tersebut.1
Ketika fungsi saluran pencernaan tidak menurun dengan
penggunaan opioid, pasien dengan MG dapat melanjutkan
pengobatan oral penghambat kolinesterase mereka lebih
cepat.1Lihat Tabel 2 untuk daftar rekomendasi anestesi dan
perioperatif untuk pasien dengan MG.
Diskusi
Perawatan anestesi untuk pasien dengan MG terutama
berpusat di sekitar NMB dan kurarisasi residual, dengan alasan
yang bagus. Ada aspek penting lain dari perawatan anestesi
yang juga perlu dipertimbangkan. Meskipun menguntungkan
bagi penyedia anestesi untuk melakukan penilaian pra operasi
menyeluruh pada setiap pasien, sangat penting untuk
membuat rencana perawatan berorientasi pasien yang
memenuhi kebutuhan khusus pasien dengan MG.
Pertimbangan faktor risiko yang dapat menyebabkan PMC
harus diskrining, termasuk riwayat krisis miastenia, kelas MGFA
pra operasi, gejala bulbar, dan adanya timoma.
Premedikasi dengan obat penenang atau opioid sebaiknya
tidak menjadi praktik rutin. Penggunaan historis AChEI,
meskipun masih dapat diterima untuk digunakan dalam
praktik klinis MG, mungkin bukan pilihan terbaik. Jika tersedia,
sugammadex untuk pemulihan NMBA yang cepat dan lengkap
harus digunakan pada semua pasien dengan MG tanpa
kontraindikasi (yaitu, alergi). Sugammadex menghilangkan
risiko sisa curarization, menciptakan penurunan risiko krisis
myasthenic dan menghindari krisis kolinergik sepenuhnya.
Kriteria ekstubasi spesifik juga perlu digunakan pada populasi
pasien ini, termasuk tingkat kesadaran normal, volume tidal
minimal 5 mL × berat badan (dalam kilogram) dan laju
pernapasan di bawah 30/menit.1Terlepas dari kriteria yang
digunakan, aspek yang paling krusial adalah memastikan sama
sekali tidak ada blokade residual (kurarisasi) sebelum
ekstubasi.
Dari perspektif pasca operasi, menghindari masuk ICU dan
penundaan ekstubasi harus menjadi fokus utama. Analgesia
untuk mencegah eksaserbasi stres fisik dan, pada gilirannya,
memperburuk proses penyakit, juga penting. Karena setiap
upaya harus dilakukan untuk mengurangi konsumsi opioid,
penggunaan anestesi regional, obat antiinflamasi nonsteroid,
atau opioid kerja pendek dan kerja cepat semuanya dapat
membantu pemulihan.

490 Jurnal AANA-Desember 2020-Vol. 88, No.6 www.aana.com/anaajournalonline

REFERENSI
1.Blichtfeld-Lauridsen L, Hansen BD. Anestesi dan miastenia gravis.
Pemindaian Acta Anestesiol.2012;56(1):17-22. doi:10.1111/j.1399-
6576.2011.02558.x
2. Hall J, ed.Guyton dan Hall Buku Teks Fisiologi Medis.edisi ke-13.
Saunders Elsevier; 2015.
3. Carr AS, Cardwell CR, McCarron PO, McConville J. Tinjauan
sistematis studi epidemiologi berbasis populasi di myasthenia
gravis.Neurol BMC.2010; 10:46. doi:10.1186/1471-2377-10-46
4. Vincent A, Clover L, Buckley C, Grimley Evans J, Rothwell PM;
Survei Myasthenia Gravis Inggris. Bukti underdiagnosis
myasthenia gravis pada orang tua.J Neurol Bedah Saraf
Psikiatri. 2003;74(8):1105-1108. doi:10.1136/jnnp.74.8.1105
5. Fineout-Overholt E, Melnyk BM, Stillwell SB, Williamson KM. Praktik
berbasis bukti langkah demi langkah: penilaian kritis terhadap
bukti: bagian I.Am J Nurs.2010;110(7):47-52. doi:10.1097/01.
NAJ.0000383935.22721.9c
6.Kalet MC. Anatomi sistem muskuloskeletal, fisiologi, patofisiologi,
dan manajemen anestesi. Dalam: Nagelhout JJ, Elisa S, eds. Anestesi
Perawat.edisi ke-6 Elsevier; 2018:760-781.
7. Thanvi BR, Lo TC. Pembaruan pada miastenia gravis.Pascasarjana Med J.
2004;80(950):690-700. doi:10.1136/pgmj.2004.018903
8. Ramani R. Gangguan kulit dan muskuloskeletal. Dalam: Hines RL,
Marschall KE, eds.Anestesi Stoelting dan Penyakit yang Berdampingan.
edisi ke-6 Saunders Elsevier; 2012: babX.
9. Alshekhlee A, Miles JD, Katirji B, Preston DC, Kaminski HJ. Angka
kejadian dan kematian miastenia gravis dan krisis miastenia di
rumah sakit AS.Neurologi.2009;72(18):1548-1554. doi:10.1212/
WNL.0b013e3181a41211
10. Jamal BT, Herb K. Perioperatif manajemen pasien dengan
myasthenia gravis: pencegahan, pengakuan, dan pengobatan. Oral
Surg Oral Med Oral PatholOral Radiol Endod.2009;107(5):612-615.
doi:10.1016/j.tripleo.2009.01.015
11. Tripathi M, Kaushik S, Dubey P. Pengaruh penggunaan pyridostigmine
dan kebutuhan vecuronium pada pasien dengan myasthenia gravis.J
Postgrad Med.2003;49(4):311-314.
12. Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD. Anestesi untuk pasien dengan
penyakit neuromuskuler. Di dalam: Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick
JD, eds.Anestesiologi Klinis Morgan dan Mikhail.edisi ke-5 Pendidikan
McGraw-Hill; 2013:637-650.
13. Brull SJ, Kopman AF, Naguib M. Prinsip penatalaksanaan untuk
mengurangi risiko blokade neuromuskuler residual.Curr Anestesiol Rep.
2013;3(2):130-138. doi:10.1007/s40140-013-0014-9
14. Thilen SR, Bhanaker SM. Pemantauan neuromuskular kualitatif: cara
mengoptimalkan penggunaan stimulator saraf perifer untuk
mengurangi risiko blokade neuromuskuler residual.Curr Anestesiol Rep.
2016;6:164-169. doi:10.1007/s40140-016-0155-8
15. Plummer-Roberts AL, Trost C, Collins S, Hewer I. Blokade
neuromuskuler sisa.AANA J.2016;84(1):57-65.
16. Yellott E, Badeaux J, Martin J, Schiavo JH. Efektivitas sugammadex versus
neostigmine pada pemulihan fungsi neuromuskuler pada pasien bedah
dengan myasthenia gravis yang menjalani blokade neuromuskular yang
diinduksi rocuronium: protokol tinjauan sistematis.
JBI Database System Rev Menerapkan Rep.2018;16(10):1922-1928.
doi:10.11124/JBISRIR-2017-003624
17. Vymazal T, Krecmerova M, Bicek V, Lischke R. Kelayakan pemulihan blokade
neuromuskuler penuh dan cepat dengan sugammadex pada pasien
myasthenia gravis yang menjalani operasi — serangkaian 117 kasus.
Manajemen Risiko Klin Ada.2015;11:1593-1596. doi:10.2147/TCRM.S93009
www.aana.com/anaajournalonline
18. Eikermann M, Fassbender P, Malhotra A, dkk. Pemberian penghambat
asetilkolinesterase yang tidak beralasan dapat mengganggu fungsi otot
genioglossus dan diafragma.Anestesiologi.2007;107(4):621-629.
doi:10.1097/01.anes.0000281928.88997.95
19. Sasaki N, Meyer MJ, Malviya SA, dkk. Efek pembalikan neostigmin
dari agen penghambat neuromuskuler nondepolarisasi pada hasil
pernapasan pasca operasi: studi prospektif.Anestesiologi.
2014;121(5):959-968. doi:10.1097/ALN.0000000000000440
20. Kirkegaard H, Heier T, Caldwell JE. Kemanjuran pembalikan yang dipandu
taktil dari blok neuromuskuler yang diinduksi cisatracurium.
Anestesiologi. 2002;96(1):45-50. doi:10.1097/00000542-200201000-00013
21. Herring WJ, Woo T, Assaid CA, dkk. Khasiat Sugammadex untuk
pembalikan blokade neuromuskuler yang diinduksi rocuronium dan
vecuronium: analisis gabungan dari 26 studi.J Clinic Anesth.2017;41:84-
91. doi:10.1016/j.jclinane.2017.06.006
22. Casarotti P, Mendola C, Cammarota G, Della Corte F. Rocuronium dosis
tinggi untuk induksi urutan cepat dan pembalikan dengan sugammadex
pada dua pasien myasthenic.Pemindaian Acta Anestesiol.
2014;58(9):1154-1158. doi:10.1111/aas.12391
23. Duggan M, Kavanagh BP. Atelektasis paru: entitas perioperatif yang
patogen.Anestesiologi.2005;102(4):838-854. doi:10.1097/00000542-
200504000-00021
24. Sarıçiçek V, Şahin M, Kadı Ç, Mızrak A, Cesur M. Antagonisme efek
rocuronium dengan sugammadex pada pasien dengan myasthenia
gravis.J Turgut Ozal Med Rt.2015;22:34-36.
25. Sungur Ulke Z, Yavru A, Camci E, Ozkan B, Toker A, Senturk M.
Rocuronium dan sugammadex pada pasien myasthenia gravis yang
menjalani thymectomy.Pemindaian Acta Anestesiol.2013;57(6):745-
748. doi:10.1111/aas.12123
26. Üstun YB, Sarihasan B, Kocamanoglu İS, Yegin S, Azar H. Penggunaan
sugammadex pada myasthenia gravis dan distrofi otot Becker: empat
kasus.J Neurol Sci.2012;29(4):826-831.
27. Andersen JB, Heldal AT, Engeland A, Gilhus NE. Epidemiologi Myasthenia
gravis dalam kohort nasional; menggabungkan beberapa pendaftar
penyakit.Pemindaian Acta Neurol.2014;129(198):26-31. doi:10.1111/
ane.12233
28. Chang YW, Chou YC, Yeh CC, dkk. Hasil setelah operasi besar pada pasien
dengan myasthenia gravis: studi kohort yang cocok secara nasional.PloS
Satu.2017;12(6):1-11. doi:10.1371/journal.pone.0180433
29. Yu S, Lin J, Fu X, dkk. Faktor risiko krisis miastenia setelah timektomi
pada 178 pasien miastenia gravis umum dalam studi lanjutan lima
tahun.Int J Neurosci.2014;124(11):792-798. doi:10.3109/
00207454.2014.883391
30. Seneviratne J, Mandrekar J, Wijdicks EE, Rabinstein AA. Prediktor
kegagalan ekstubasi pada krisis miastenia.Lengkungan Neurol.
2008;65(7):929- 933.doi:10.1001/archneur.65.7.929
PENULIS
Shawn Collins, DNP, PhD, CRNA, adalah dekan asosiasi, Urusan Akademik dan
Keperawatan Pascasarjana, Universitas Loma Linda, Loma Linda, California.
Howard Roberts, MS, CRNA, adalah staf ahli anestesi di Albuquerque, New
Mexico.
Ian Hewer, PhD, CRNA, adalah direktur, Program Anestesi Perawat WCU,
Asheville, Carolina Utara.
PENGUNGKAPAN
Penulis telah menyatakan tidak ada hubungan keuangan dengan entitas komersial
apa pun yang terkait dengan konten artikel ini. Penulis tidak membahas
penggunaan off-label dalam artikel.
Jurnal AANA-Desember 2020-Vol. 88, No.6 491