You are on page 1of 5

TAQLID

A. Pengertian
Kata “Taqlid” adalah kata dalam bahasa Arab, yang berasal dari kata ‫( تَ ْقلِ ْي ٌد‬taqlid), yaitu: ‫قَلَّ َد‬
(qallada), ‫( يُقَلِّ ُد‬yuqallidu), ‫( تَ ْقلِ ْيدًا‬taqliidan). Artinya bermacam-macam tergantung kepada letak dan
pemakaiannya dalam kalimat. Adakalanya kata “taqlid” berarti “menghiasi”, “meniru”,
“menyerahkan”, “mengikuti” dan sebagainya.
Para ulama Ushul mendefinisikan taqlid: “menerima perkataan (pendapat) orang, padahal
engkau tidak mengetahui darimana sumber atau dasar perkataan (pendapat) itu”. Para ulama yang
lain seperti al-Ghazali, asy-Syaukani, ash-Shan‘ani dan ulama yang lain juga membuat definisi
taqlid, namun isi dan maksudnya sama dengan definisi yang dibuat oleh ulama Ushul, sekalipun
kalimatnya berbeda. Demikian pula dengan definisi yang dibuat oleh Muhammad Rasyid Ridla
dalam Tafsir al-Manar, yaitu: “mengikuti pendapat orang-orang yang dianggap terhormat atau orang
yang dipercayai tentang suatu hukum agama Islam tanpa meneliti lebih dahulu benar salahnya, baik
buruknya serta manfaat atau mudlarat dari hukum itu”.
Dalam menjalani dan menempuh kehidupan dunia ini Allah Swt memberikan petunjuk
kepada manusia yang termuat dalam al-Quran dan Sunnah Rasulullah saw. Orang yang mengikuti
petunjuk Allah dan Rasul-Nya adalah orang-orang yang beriman, sedang orang yang tidak mengikuti
petunjuk Allah dan Rasul-Nya adalah orang-orang yang kafir. Allah Swt berfirman:

‫يَاَأيُّهَا الَّ ِذ ْينَ آ َمنُوْ ا َأ ِط ْيعُوْ ا هللاَ َوَأ ِط ْيعُوْ ا ال َّرسُو َل َوالَ تُب ِْطلُوْ ا َأ ْع َمالَ ُك ْم‬.

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, ta’atlah kepada Allah dan ta’atlah kepada rasul dan
janganlah kamu merusakkan (pahala) amal-amalmu.” [Muhammad (47): 33].
َ‫قُلْ َأ ِط ْيعُوْ ا هللاَ َوَأ ِط ْيعُوْ ا ال َّرسُو َل فَِإ ْن تَ َولَّوْ ا فَِإ َّن هللاَ الَ ي ُِحبُّ ْال َكافِ ِر ْين‬

Artinya: “Katakanlah: Ta’atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang kafir.” [Ali ‘Imran (3): 32].
َ‫وَأ ِط ْيعُوْ ا هللاَ َو َرسُولَهُ ِإ ْن ُك ْنتُ ْم ُمْؤ ِمنِ ْين‬.
َ

Artinya: “… dan ta’atlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kamu adalah orang-orang yang
beriman.” [al-Anfal (8): 1].
Taat kepada Allah ialah mengikuti petunjuk-petunjuk-Nya yang termuat dalam al-Quran dan
taat kepada Rasul-Nya ialah mengikuti petunjuk Nabi Muhammad saw, berupa perkataan, perbuatan
dan taqrirnya yang diyakini berasal dari beliau, yang disebut “Sunnah Maqbulah”.
Sebagaimana diketahui bahwa perkataan, perbuatan dan taqrir Nabi Muhammad saw (as-
Sunnah), baru ditulis dan dibukukan setelah lebih dari seratus tahun beliau meninggal dunia. Selama
seratus tahun lebih itu as-Sunnah berada dalam hafalan kaum muslimin yaitu para sahabat, tabi‘in,
tabi‘it tabi‘in dan atba‘ at-tabi‘it tabi‘in. As-Sunnah yang dihafal oleh sahabat disampaikan kepada
tabi‘in dan mereka menghafalnya, demikian pula para tabi‘in menyampaikan kepada tabi‘it tabi‘in,
kemudian kepada atba‘ at-tabi‘it tabi‘in dan yang terakhir diterima oleh para perawi hadis dan
membukukannya. Para perawi itu sebelum membukukannya meneliti setiap para penyampai dan
penerima as-Sunnah itu. Setelah diteliti ternyata ada para penyampai dan penerima as-Sunnah itu
yang dapat dipercaya dan ada yang tidak dapat dipercaya, ada yang kuat atau baik hafalannya dan
ada pula yang lemah dan sebagainya. Lalu para perawi membuat ranking as-Sunnah, sehingga as-
Sunnah itu bertingkat-tingkat, ada yang shahih, ada yang hasan, ada yang dla‘if dan sebagainya. Pada
umumnya para ulama tidak menerima sunnah yang dla‘if (lemah), kecuali asy-Syafi‘i yang
menggunakannya untuk fadla’ilul a‘mal (amalan-amalan utama). Majelis Tarjih dan Tajdid pada
umumnya menerima as-Sunnah yang shahih dan hasan dengan syarat tidak berlawanan dengan nash
(al-Quran dan as-Sunnah) yang lebih kuat daripadanya. As-Sunnah yang seperti ini disebut “sunnah
maqbulah”

B. Hukum Bertaqlid
Terdapat perbedaan pandangan ulama dalam masalah boleh atau tidaknya bertaqlid,
terhadap pendapat orang lain. Hal ini dapat di kelompokan sebagai berikut:

1.      Taqlid yang dilakukan oleh mujtahid kepada mujtahid lain. Dalam hal ini terdapat beberapa
pendapat, yaitu:
a)      Kebanyakan ulama sepakat mengatakan haram hukumnya seorang mujtahid
melakukan taqlid secara mutlak, karena ia mampu melakukan ijtihad dengan
sendirinya.
b)      Ahmad bin hanbal, Abu ishak bin al-rawahaih dan sofyan al-tsauri mengatakan
boleh mujtahid melakukan taqlid kepada mujtahid lain secara mutlak.
c)      Imam syafi’i dalam qaul qadimnya (waktu di iraq) berpendapat boleh mujtahid
bertaqlid kepada mujtahid lain dalam level shahabat nabi dan tidak boleh kepada
mujtahid lainnya.
d)     Muhammad bin hasanal syaibani berpendapat boleh mujtahid bertaqlid kepada
mujtahid lain yang lebih alim dari dirinya.
e)      Ulama lain berpendapat bahwa boleh mujtahid bertaqlid kepada mujtahid lain, tatapi
hanya untuk diamalkannya sendiri dan tidak untuk difatwakannya.
f)       Ibn sureij berpendapat bolehnya mujtahid bertaqlid kepada mujtahid lain bila ia
menghadapi keterbatasan waktu untuk berijtihad sendiri.
g)      Ulama lain berpendapat bolehnya seseorang mujtahid taqlid kepada mujtahid lainn
bila ia seorang yang sedang bertugas sebagai qadhi.

2.      Hukum taqlid yang dilakukan oleh al-Muttabi’ atau alim. Dalam hal ini ulama juga berbeda
pendapat sebagai berikut:
a)      Tidak boleh seorang alim bertaqlid kepada mujtahid karena ia mempunyai
kemampuan untuk mendapatkan hukum dengan sendriinya. Walaupun ia belum
mencapai kemampuan mujtahid.
b)      Boleh seorang alim bertaqlid kepada mujtahid lain dengan syarat ia dapat
mengetahui kekuatan dalil yang digunakan mujtahid yang diikutinya itu..
3.      Hukum bertaqlid yang dilakukan orang awam kepada seorang mujtahid. Hal ini juga
menjadi tempat perbedaan pendapat. Yaitu:
a)      Menurut al-Baidhawiy dari kalangan Syafi’iyah dan kebanyakan ulama lainnya
berpendapat bahwa beleh orang awam dan orang yang tidak memiliki kemampuan
berijtihad untuk bertaqlid. Bahkan ada yang mewajibkannya. Hal ini berdasarkan
pemahaman dari surah An-Nahl ayat 43.
b)      Golongan mu’tazilah baghdad berpendapat tidak boleh orang awam bertaqlid, tetapi
ia wajib mencapai hukum melalui ijtihadnya dan untuk itu ia harus belajar.
c)      Al-Jubba’iy berpendpat boleh seorang awam bertaqlid dalam bidang ijtihadiyah dan
tidak boleh dalam hal –hal yang ada nashnya yang jelas.

Dalam masalah taqlid, Ibn Subki mengelompokan ummat pada empt kelompok yaitu seperti
yang dikutib oleh Mardani[11] sebagai berikut:

1.      Orang awan yang tidak mempunyai pengetahuan sama sekali.


2.      Arang alim yang belum mencapai tingkat mujtahid.
3.      Orang yang mampu melakukan ijtihad namun baru sampai ke tingkat dugaan kuat (zhan).
4.      Mujtahid (seseorang yang dalam ilmu fikih sudah mencapai derajat ijtihad dan memiliki kemampuan
istinbath )
Menurut beliau bertaqlid tergantung pada tingkatannya dalam pengelompokan diatas.
Orang yang telah sampai ke tingkat mampu berijtihad tetapi baru sampai ke tingkt zhan maka
dikategorikan mujtahid penuh.

C.    Ketentuan Bertaqlid

Seseorang yang akan bertaqlid kepada seorang mujtahid, di isyaratkan bahwa ia mengetahui
orang yang di ikutinya itu memang mempunyai kemampuan untuk ber ijtihad dan
bersifat ‘adalah. Yaitu tidak pernah melakukan dosa besar dan tidak sering melakukan dosa kecil,
dan selalu menjaga Muruahnya. Pengetahuannya itu dicukupkan dari berita yang masyhur ditengah
umat.
Asy -Sy aikh al-'Allamah Muhammad bin Sholeh al-'Utsaimin membagi taqlid dalam dua
jenis[12], yaitu:
Pertama: seseorang berpegang pada suatu madzhab tertentu yang ia mengambil rukhshoh-
rukhshohnya1 dan azimah-azimahnya2 dalam semua urusan agamanya. Dan para 'ulama telah
berbeda pendapat dalam masalah ini. Diantara mereka ada yang berpendapat wajibnya hal tersebut
dikarenakan (menurut mereka) orang-orang muta-akhirin memiliki udzur (tidak mampu,) untuk
ber-ijtihad; diantara mereka ada yang berpendapat haramnya hal tersebut karena apa yang ada
padanya dari keharusan yang mutlak dalam mengikuti orang selain Nabi sholallohu alaihi wa
sallam. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata : "Sesungguhnya dalam pendapat yang mewajibkan
taat kepada selain Nabi dalam segala perintah dan larangannya adalah menyelisihi ijma' dan tentang
kebolehannya masih dipertanyakan." Beliau juga berkata : "Barangsiapa memegang suatu madzhab
tertentu, lalu ia melaksanakan yang menyelisihi madzhabnya tanpa taqlid kepada 'ulama lain yang
memberinya fatwa dan tanpa istidlal dengan dalil yang menyelisihinya, dan tanpa udzur syar'i yang
menunjukkan halalnya perbuatan yang dilakukannya, maka ia adalah orang yang mengikuti hawa
nafsunya, pelaku keharoman tanpa ada udzur syar'i, dan ini adalah mungkar. Adapun jika menjadi
jelas baginya apa-apa yang mengharuskan adanya tarjih pendapat yang satu atas yang lainnya, baik
dengan dalil-dalil yang terperinci jika ia tahu dan memahaminya, atau ia melihat salah seorang
'ulama yang berpendapat adalah lebih 'aalim (tahu) tentang masalah tersebut daripada 'ulama yang
lain, yang mana 'ulama tersebut lebih bertaqwa kepada Alloh terhadap apa-apa yang dikatakannya,
lalu orang itu rujuk dari satu pendapat ke pendapat lain yang seperti ini maka ini boleh, bahkan
wajib dan al-Imam Ahmad telah menegaskan akan hal tersebut.
Kedua: seseorang mengambil pendapat tertentu dalam kasus tertentu, maka ini boleh jika ia
lemah/tidak mampu untuk mengetahui yang benar melalui ijtihad, baik ia lemah secara hakiki atau
ia mampu tapi dengan kesulitan yang sangat.

BAB III
KESIMPULAN

Dari uraian diatas dapat di simpulkan bahwa: 


1. Hakikat taqlid adalah:
-    Taqlid beramal dengan pendapat orang lain.
-   Pendapat orang lain itu bukan hujah.
-  Orang yang mengikuti pendapat orang lain itu tidak mengetahui hujah atau dalil dari
pendapat yang di ikutinya.
-
2. Hukum bertaqlid para ulama berbeda pendapat dalam menetapkannya. Tapi menurut penulis
pendapat yang paling kuat adalah:
-   Tidak boleh seorang mujtahid bertaqlid pada mujtahid lain. Kecuali dia benar-benar tidak
mengetahui tentang hal yang ia bertaqlid atau ia seorang Qadhi.
-  Bagi orang ‘Alim tapi belum mencapai tinggkat mujtahid juga tidak boleh bertaqlid tetapi
dibolehkan Ittiba’.
- Bagi orang awam yang benar-benar tidak memiliki pengetahuan dan tidak ada
waktu/biaya/kesempatan untuk belajar maka dibolehkan bertaqlid.
Ketentuan bertaqlid adalah kita benar-benar mengatahui bahwa mujtahid yang kita ikuti
adalah orang yang ‘alim dan ‘adalah serta selalu menjaga Muru’ahnya.

Daftar pustaka :
http://kumpulan-makalah-islami.blogspot.com/2010/01/taqlid.html

al-'Utsaimin, Asy -Sy aikh al-'Allamah Muhammad bin Sholeh. 2007.  Prinsip Ilmu Ushul Fiqih.  (Versi PDF
di Download dari laman http://tholib.wordpress.com ).

Ash-Shiddieqy, T.M. Hasbi. 1974. Pengantar Ilmu Ushul Fiqih. Jakarta: Bulan Bintang.


Mardani. 2013. Ushul Fiqh.  Jakarta: Rajawali Pers.
Syarifuddin, Amir. 2012 Garis-Garis Besar Ushul Fiqh. Jakarta:Kencana

You might also like