You are on page 1of 5

Sejarah Perumusan Pancasila dan Refleksi

Pancasila, sebuah lambang filosofi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Pancasila sendiri
berperan sebagai pilar ideologis bagi banga Indonesia. Asal kata pancasila berasal dari bahasa
Sansekerta, yaitu panca yang berarti lima dan sila yang berarti prinsip atau asas. Pancasila
merupakan rumusan dan pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara bagi seluruh rakyat
Indonesia. Pancasila sudah terdahulu, dan akan terus menjadi landasan bagi Indonesia.

Pada masa penjajahan, rakyat hidup dengan mengedepankan suku dan budayanya masing-
masing. Para penjajah dapat dengan mudah masuk dan mengelabui rakayat sekitar dengan
metode adu domba. Hasilnya adalah perang antar suku yang berkepanjangan dan tiada henti. Jika
ingin melawan penjajahpun, mereka maju dengan membawa dan memperjuangkan nama daerah
masing-masing. Peperangan yang tergolong berkelompok kecil. Tidak bersatu. Tak ada kesatuan
hati untuk bersama-sama melawan. Hingga pada akhirnya kekayaan dan sumber daya alam bumi
pertiwi seakan mentah-mentah direnggut oleh pihak yang berkuasa. Monopoli perdagangan
melahap habis ekonomi dan tenaga rakyat. Semacam menjadi hamba di negri sendiri. Pemikiran
yang masih terlalu individual, dan entah mengapa terus berlangsung hingga berabad-abad
lamanya. Penjajah tak akan pernah puas. Masyarakat saling mengkambing-hitamkan satu sama
lain. Sampai akhirnya Tuhan mendatangkan suatu pencerahan. Suatu kebijaksanaan pada hati
masyarakat Indonesia dulu.

Kontak yang mendalam dengan bangsa Eropa telah membawa banyak perubahan dalam
pandangan masyarakat. Yaitu dengan masuknya paham-paham baru, seperti liberalism,
demokrasi, dan nasionalisme. Rakyat yang terus-menerus ditindas penjajah, berlaku seperti
orang tak berdaya di negri sendiri. Lama kelamaan menjadi muak akan keadaan, ingin adanya
rasa bisa bebas dan merdeka. kemudian timbul pemikiran baru oleh para pemuda. Hingga
akhirnya para rakyat Indonesia dapat menumbuhkan jiwa nasionalisme dan bersatu untuk
merdeka. Dorongan dari dalam diri sendiri yang sudah teramat lelah dengan keadaan. Dorongan
akan cinta tanah air ini, yang pada akhirnya menimbulkan semangat untuk melawan penjajah
pada masa itu, yaitu Belanda. Namun apa artinya suatu perjuangan, jika dilakukan masing-
masing daerah, tidak disertai dengan persatuan. Tentu hanya akan menghasilkan kekalahan
belaka, jika harus dibandingkan dengan kekuatan persenjataan dan kekuatan jumlah pasukan
yang dimiliki oleh Belanda pada saat itu. Perlawanan tersebut senantiasa kandas dan hanya akan
menimbulkan banyak korban. Belanda yang bersikap seperti lintah darat menerapkan sistem
monopoli melalui tanam paksa pada tahun 1830-1870 dengan memaksakan beban kewajiban
terhadap rakyat. Penjajahan terus berlangsung begitu lama, bahkan hingga beratus-ratus tahun
lamanya. Tapi dengan demikian, penjajahan ini membangkitkan kesadaran bersama akan arti
pentingnya keluhuran harkat-martabat manusia beserta segala hak asasinya, dan akan
kepentingan kemerdekaan sebagai salah satu hak asasinya. Kesadran itulah yang menggerakkan
bangsa ini untuk berjuang menghalau penjajah dan mendirikan Negara sendiri untuk merdeka
dan menentukan nasibnya sendiri.

Hingga pada akhirnya, pada awal kebangkitan nasional abad ke-20, dipanggung politik
internasional terjadilah pergolakan kebangkitan dunia timur, dimana di Indonesia, dinamakan
kebangkitan nasional, yaitu pada tahun 1908 dan banyak muncul pergerakan nasional seperti
Budi Utomo, Sarikat Dagang Islam, dan Partai Nasional Indonesia. Kemudian dibentuklah
BPUPKI dengan sidnang siding pertama mereka yang dilangsungkan pada 29 Mei-1 Juni 1945
dengan pembicaranya yaitu Mr. Soepomo, Drs.Moh.Hatta, dan Ir.Soekarno. Mereka semua
berpidato untuk membahas rancangan usulan hukum dasar Negara, hal ini adalah awal
pembentukan pancasila. Hingga pada akhir siding, masih belum ditemukan suatu dasar Negara
yang tepat. Mereka akhirnya membentuk panitia Sembilan guna menggodok konsep-konsep
dasar Negara yang telah dikemukaan oleh 3 tokoh pergerakan nasional tersebut. Rencana mereka
itu disetujui pada tanggal 22 Juni 1945 yang kemudian diberi nama Piagam Jakarta. Piagam
Jakarta berisi garis-garis pemberontakan melawan imperialism-kapitalisme dan fasisme serta
memuat dasar pembentukkan Negara Republik Indonesia.

Hingga suatu hari, bom atom dijatuhkan di Hiroshima pada tanggal 6 Agustus 1945, lalu pada 16
Agustus 1945, dilakukan perundingan oleh Golongan Muda dan Golongan Tua dalam
penyusunan teks proklamasi, dan akhirnya pada tanggal 17 Agustus 1945, dilakukanlah
proklamasi kemerdekaan. Namun perumusan belum berakhir. Sore itu, 17 Agustus,
sebagaimana ditulis dalam autobiografinya, Mohammad Hatta: Memoir (1979), ia kedatangan
seorang opsir Angkatan Laut Jepang (Kaigun). Di Indonesia, Kaigun berkuasa di wilayah
Indonesia timur plus Kalimantan. “Opsir itu, yang aku lupa namanya, datang sebagai utusan
Kaigun untuk memberitahukan sungguh, bahwa wakil-wakil Protestan dan Katolik, yang (tinggal
di wilayah yang) dikuasai Kaigun, berkeberatan sangat terhadap bagian kalimat dalam
pembukaan Undang-undang Dasar, yang berbunyi: Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan
syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Kalimat itu bagian dari kesepakatan yang disusun oleh
Panitia Sembilan, bentukan Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(BPUPKI). Kesepakatan tersebut ditandatangani pada 22 Juni 1945, tepat hari ini 75 tahun lalu,
dan dikenal sebagai Piagam Jakarta. Tujuh kata itu sensitif serta dianggap menusuk hati orang-
orang Indonesia nonmuslim. “Akibatnya mungkin besar, terutama terhadap agama lain [….]
kalimat ini bisa juga menimbulkan kekacauan...,” protes Johannes Latuharhary, dikutip dalam
Piagam Jakarta 22 Juni (1981). Meski golongan Islam mengakui kalimat itu tidak mengikat
warga nonmuslim, dan hanya ditujukan kepada rakyat beragama Islam, tetapi bagi Hatta,
“tercantumnya ketetapan seperti itu di dalam suatu dasar yang menjadi pokok Undang-Undang
Dasar berarti mengadakan diskriminasi terhadap mereka (yang) golongan minoritas.”
Ancamannya sangat serius, tulis Hatta. “Jika diskriminasi itu ditetapkan juga, mereka lebih suka
berdiri di luar Republik Indonesia.”. Bagi Mohammad Hatta, “Pembukaan Undang-undang
Dasar adalah pokok dari pokok, sebab itu harus teruntuk bagi seluruh bangsa Indonesia dengan
tiada kecuali.”

Esok harinya, 18 Agustus—tepat hari ke-10 bulan Ramadan 1364 H, Kasman Singodimedjo
diminta Sukarno datang untuk membicarakan masalah itu dengan Hatta dan beberapa tokoh lain.
Kasman adalah tokoh Islam dari Muhammadiyah. Tak lama setelah Kasman datang, sebelum
Sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia dimulai, Hatta dan beberapa tokoh Islam
melakukan pembicaraan terbatas. Hatta mengajak “Ki Bagus Hadikusumo, Wahid Hasyim, Mr.
Kasman Singodimedjo dan Teuku Hasan dari Sumatera mengadakan rapat pendahuluan untuk
membicarakan masalah itu.” “Ingin sekali mempertahankan Piagam Jakarta sebagai unit secara
utuh, tanpa pencoretan atau penghapusan dari tujuh kata termaksud [….] tetapi saya pun tidak
dapat memungkiri untuk menghilangkan, (karena) adanya situasi darurat dan terjepit sekali itu,”
ujar Kasman dalam bukunya, lebih dari tiga dekade sesudahnya. Meski alot, setelah rapat selama
15 menit, tujuh kata dalam Piagam Jakarta itu pun dihapus. Alasan dominan: Republik Indonesia
harus berdiri dengan menyertakawan kawasan Indonesia timur. Kasman sadar bahwa kekuatan
persenjataan Indonesia tidak mumpuni menghadapi Sekutu. Pisahnya Indonesia timur sama saja
memperlemah Republik Indonesia yang baru berumur sehari. Demi menjaga persatuan dan
kesatuan serta keutuhan bangsa Indonesia yang baru saja menyatakan kemerdekaannya. Maka
bunyi sila pertama pada “Piagam Jakarta” dirubah. Dari: “Ketuhanan dengan kewajiban
menjalankan syariat islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Menjadi: “Ketuhanan Yang Maha Esa”

Sikap horizon yang dimiliki oleh Bung Hatta membuatnya melihat makna yang sebelumnya
tidak terlihat. Dalam autobiografinya, Hatta menyatakan bahwa kalau Indonesia tidak bisa
bersatu, maka bisa dipastikan daerah-daerah di luar Jawa dan Sumatera (tempat domisili
penduduk non-Muslim) akan kembali dikuasai oleh Belanda.

Refleksi yang saya dapatkan adalah, sudah seharusnya kita, sebagai bangsa Indonesia yang satu,
mampu dan mau, dengan rela dan keterbukaan hati, bisa melihat dan berpikir secara luas, bahwa
sila yang menjadi dasar adalah sila untuk semua, bukan hanya untuk golongan yang mayoritas
saja. Dengan demikian, kita dituntut untuk berlapang dada dan sadar bahwa, kemerdekaan itu
kita raih oleh kebersamaan, dengan adanya persatuan antar suku, bangsa, dan agama yang
berbeda-beda. Kita berjuang melawan penjajah sampai berhasil mendapatkan gelar merdeka,
adalah karena kerjasama antar semua rakyat. Jadi sudah seharusnya, dasar Negara yang ada tidak
menjunjung golongan mayoritas,dan demikian pula, golongan minoritas yang tidak menekan
golongan mayoritas. Pada awal, sekarang, dan nantinya, kita adalah bangsa Indonesia yang satu,
tidak adalagi golongan mayoritas atau minoritas. Pancasila berlaku untuk membela hak dan
kewajiban semua golongan warga Negara tanpa memandang suku, agama, dan ras. Pancasila
sampai sekarang bisa diterima, karena adanya rasa kasih, rasa kemanusiaan antar sesama umat
manusia. Kemerdekaan bangsa Indonesia berasal dari pengorbanan semua. Semua pejuang
bangsa, dengan demikian sudah seharusnya kita jaga dan hormati bangsa ini, dengan hidup
berlandaskan pancasila sebagai etika dan filosofi Negara.

Cheacilia Veronica

Fakultas Hukum

Mata Kuliah Pamcasila

NIM (202005000006)

Student ID (12020000280)

You might also like