You are on page 1of 10

Isbat Nikah dan Urgensi Pencatatan Perkawinan

Oleh : Afif Zakiyudin1

Pendahuluan

Perkawinan adalah sebuah ikatan atau akad yang kuat antara pria dan wanita.
Kesadaran akan ikatan ini berdampak signifikan dalam upaya mewujudkan
hubungan suami istri yang bahagia dan kekal berdasarkan syariat Islam.
Karenanya dalam melangsungkan pernikahan kedua calon mempelai perlu
mengetahui dengan baik prosedural akad nikah baik menurut hukum Islam
maupun aturan hukum negara yang berlaku di Indonesia dalam wujud Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.

Pernikahan sebagai anugerah yang diterima manusia lazim disambut dengan


sukacita hingga dikabarkan dan tak jarang sampai dirayakan, apalagi setelah
adanya ponsel pintar (smartphone), peristiwa apapun akan dipajang
(diuplod/dishare) apalagi peristiwa bahagia seperti pernikahan atau kelahiran
anak, foto-foto mulai dari pre-wedding, prosesi akad nikah, hingga kelahiran anak
diuplod dan dishare diberbagai media sosial seperti facebook, instagram,
whatsapp atau sejenisnya dengan disertai kata-kata mutiara nan indah dan penuh
kebahagiaan. Pemberitahuan kabar pernikahan logis dikabarkan, sebagai cara
mencatatkan peristiwa ke dalam “memori publik”. itulah inti dari alasan logis dan
sosiologis urgensi pencatatan pernikahan, akan jadi hal yang tidak lazim dan
“janggal sosial” jika pernikahan disembunyikan atau tidak dicatatkan meski
sekedar dalam ingatan publik.

Sejarah Pencatatan Perkawinan

Dalam hukum Islam, pencatatan perkawinan memang tidak diatur secara


khusus. Anjuran pencatatan secara eksplisit hanya ada dalam persoalan
muamalah saja. Persoalan tentang pencatatan perkawinan juga tidak disinggung
oleh para imam madzhab. Ada beberapa faktor penyebab pencatatan perkawinan
luput dari perhatian yakni pertama, adanya larangan untuk menulis sesuatu selain

1 Penulis adalah Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Unissula Semarang, Honorer di


Pengadilan Agama Kajen.

1
al Qur’an. Kedua, karena kultur menulis tidak berkembang maka sistem hafalan
lebih diutamakan. Ketiga, anjuran tradisi walimah al urs dipandang sudah cukup
sebagai catatan “memori publik” dan keempat, pada masa awal perkembangan
Islam belum banyak terjadi perkawinan yang melibatkan penduduk antar wilayah.
Keempat faktor diatas yang kemudian memunculkan kesan bahwa pencatatan
perkawinan sebagai bukti otentik belum begitu diperlukan.

Meski demikian anggapan bahwa nikah sirri diperbolehkan dengan alasan


bahwa pada zaman rasul pernikahan tidak dicatatkan adalah tidak benar.
Pencatatan pernikahan pada zaman rasul memang tidak ditulis namun dengan
memori kolektif, setiap pernikahan diberitahukan melalui walimah-an sehingga
banyak orang datang mendoakan dan mengingat peristiwa tersebut, itulah cara
pencatatan pernikahan di zaman rasul. Dimana pada masa itu, terdapat tradisi
i’lan an nikah (pengumuman pernikahan ditengah masyarakat), bentuk i’lan an
nikah yang dianjurkan oleh Rasulullah adalah walimah al urs atau resepsi
pernikahan. Secara eksplisit, konsep pencatatan perkawinan dalam bentuk
walimah memang tidak mengandung unsur perintah akad untuk dituliskan namun
secara impilisit semangat dan inti yang ingin dicapai dari pencatatan perkawinan
telah nampak meski dalam bentuk sederhana.

Ada beberapa hadits nabi yang berkaitan dengan i’lan an nikah, diantaranya
menyebutkan bahwa perkawinan harus diumumkan dan dibunyikan rebana agar
banyak orang yang menyaksikan. Hadits lain menganjurkan agar perkawinan
dipestakan meski hanya dengan seekor kambing untuk makanan bagi yang hadir
dalam pesta pernikahan. Ini bertujuan supaya perkawinan yang dilaksanakan bisa
diketahui oleh orang lain

Di Indonesia, persoalan pencatatan perkawinan sudah lama muncul sejak


lahirnya rancangan undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan, ini
ada keterkaitan dengan legal meaning pencatatan perkawinan dalam undang-
undang tersebut. Dalam pasal 2 ayat 1 dinyatakan bahwa perkawinan adalah sah,
apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya
itu. Lanjutan ayat 2 bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

2
Ada dua pemaknaan mengenai aturan hukum diatas, pertama pendapat
bahwa kedua ayat pada pasal 2, bila dikaitkan satu sama lain dapat dikatakan
bahwa pencatatan perkawinan merupakan bagian integral yang menentukan sah
tidaknya suatu perkawinan. Kedua, pendapat bahwa pencatatan perkawinan
bukan sebagai syarat sahnya perkawinan akan tetapi hanya sebagai kelengkapan
syarat administratif saja. Perkawinan tetap sah bila dilaksanakan berdasar pada
aturan agama dan keyakinan kedua pihak yang melakukan perkawinan.
Ambiguitas prinsip pencatatan perkawinan bisa berdampak pada adanya
ketidakpastian hukum namun bisa disepakati bahwa pada dasarnya setiap
perkawinan harus dicatatkan supaya terjamin kepastian dan perlindungan hukum
para pihak yang melangsungkan perkawinan beserta dengan akibat hukumnya.

Urgensi dan Tujuan Pencatatan Perkawinan

Perbuatan pencatatan perkawinan bukanlah menentukan sah atau tidaknya


suatu perkawinan namun lebih bersifat administratif yang menyatakan bahwa
peristiwan perkawinan itu memang ada dan terjadi. Dengan perkawinan yang
dicatatkan itu menjadi jelas baik bagi yang bersangkutan maupun pihak yang
terkait lainnya. Suatu pernikahan yang tidak dicatat dalam akta nikah dianggap
tidak ada oleh negara dan tidak mendapat kepastian hukum.2

Tujuan pencatatan perkawinan adalah untuk memberikan kepastian dan


perlindungan bagi para pihak yang melangsungkan perkawinan sehingga
memberikan kekuatan bukti otentik tentang telah terjadinya perkawinan sehingga
memberikan kekuatan bukti otentik tentang telah terjadinya perkawinan, dan para
pihak dapat mempertahankan perkawinannya itu kepada siapapun dihadapan
hukum. Begitu juga sebaliknya, perkawinan yang tidak dicatatkan maka
perkawinan yang dilangsungkan para pihak tersebut tidak mempunyai kekuatan
hukum dan bukti sebagai suatu perkawinan.3

2 Marbuddin, Pengertian, Azaz dan Tatacara Perkawinan menurut Undang-undang


Perkawinan (Banjarmasin : Proyek Penerangan, Bimbingan dan Dakwah Agama Islam Kanwil
Departemen Agama Provinsi Kalimantan Selatan, 1977) h. 8

3 D.Y Witanto, Hukum Keluarga : Hak dan Kedudukan Anak Luar Kawin Pasca Keluarnya
Putusan MK tentang Uji Materil UU Perkawinan (Jakarta : Prestasi Pustaka Publisher, 2012) h. 142

3
Ketentuan Pasal 2 ayat 2 UU Perkawinan bahwa “tiap-tiap perkawinan dicatat
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku” adalah sebagai norma
yang mengandung legalitas sebagai bentuk formal perkawinan. Pencatatan
perkawinan dalam bentuk akta nikah menjadi penting untuk memberikan jaminan
kepastian hukum dan perlindungan hukum untuk setiap perkawinan. Dalam
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 tanggal 13 Februari 2012
disebutkan dua urgensi kewajiban administratif dalam pencatatan perkawinan
yaitu pertama, dari perspektif negara pencatatan diwajibkan dalam rangka fungsi
negara memberikan jaminan perlindungan, pemajuan, penegakan, dan
pemenuhan hak asasi manusia yang merupakan tanggungjawab negara. Kedua,
pencatatan administratif oleh negara dimaksudkan agar perkawinan sebagai
perbuatan hukum penting dalam kehidupan yang bersangkutan hingga
berimplikasi terjadinya akibat hukum.4

Perkawinan yang tidak tercatat dapat menimbulkan permasalahan hukum,


tidak hanya terkait dengan ketidaksahannya perkawinan, namun juga berkaitan
dengan perlindungan hukum terhadap istri, anak dan segala sesuatu akibat dari
perkawinan. Konsekuensi dari tidak dicatatkannya perkawinan mengakibatkan
status perkawinan tidak jelas termasuk anak yang dilahirkan dari perkawinan yang
tidak tercatat menjadi anak yang tidak sah pula, perceraian juga tidak mungkin
dilakukan karena tidak adanya akta perkawinan. Perkawinan tidak tercatat
menimbulkan kerugian tidak hanya bagi istri namun juga anak-anak yang
dilahirkan karena hak-hak keperdataan mereka tidak terlindungi oleh hukum.

Seiring dengan kemajuan administrasi dalam bidang hukum perdata di


Indonesia, pemberlakuan pencatatan perkawinan oleh pemerintah urgen dilakukan
dengan pemahaman dan pertimbangan akan maqasid asy syariah. Upaya
mewujudkan maqasid asy syariah dalam kaitannya dengan hakikat tujuan
perkawinan dengan mencapai keluarga yang bahagia dan kekal. Pencatatan
perkawinan masa kini adalah bentuk cara baru i’lan an nikah (pengumuman

4 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 tanggal 13 Februari 2012, h. 26-27.

4
pernikahan). Lebih jauh pencatatan lebih mashlahat terutama bagi wanita dan
anak-anak.5

Perkawinan mempunyai makna sosial sebagai penguat memori kolektif


masyarakat. Pencatatan perkawinan sebagai model i’lan an nikah masa kini dalam
analisis maqasid asy syariah sangat relevan dan menentukan. Bila dihubungkan
dengan pencapaian tujuan perkawinan yakni kehidupan anggota keluarga yang
tentram, maka pemberitahuan perkawinan kepada masyarakat merupakan salah
satu faktor pendukung untuk mencapai tujuan perkawinan. Salah satu faktor untuk
dapat membangun keluarga yang harmonis dan tentram adalah ketentraman
psikologis anggota keluarga yakni pengakuan masyarakat. Atau secara sederhana
dengan kata lain, pengumuman perkawinan dapat memelihara dan melindungi
jiwa (hifz an nafs) juga memelihara keturunan (hifz an nasl).6

Isbat Nikah : Solusi administrasi hukum terhadap pernikahan yang tidak


dicatatkan

Mengingat begitu pentingnya pencatatan perkawinan, lantas bagaimana


dengan perkawinan yang tidak dapat dibuktikan dengan akta nikah ? Dalam
kasus ini digunakanlah peluang terbatas pada ketentuan KHI Pasal 7 ayat 3e
“Isbat Nikah dapat dimintakan pada perkawinan yang tidak mempunyai halangan
perkawinan menurut UU Perkawinan”, pada pasal yang sama pada ayat 4
kemudian disebutkan bahwa yang berhak mengajukan permohonan isbat nikah
adalah suami isteri, anak-anak mereka, wali nikah dan pihak yang berkepntingan
dengan itu”.

Pada tahun 2011, Kementerian Agama mencatat sebanyak 2.207.364


pernikahan di Indonesia dan kurang dari 50% pasangan di Indonesia memiliki
akta/buku nikah, maka diperkirakan bahwa tiap tahun ada lebih dari 2 juta
pasangan di Indonesia yang tidak mencatatkan pernikahan mereka. Dampak

5 M. Atho’ Muzhar, Membaca Gelombang Ijtihad : Antara tradisi dan liberasi dalam Amir
Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia : Studi Kritis
Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU Nomor 1 Tahun 1974 sampai KHI (Jakarta : Kencana,
2004) h. 135.

6 Khoiruddin Nasution, Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia dan Perbandingan Hukum
Perkawinan di Dunia Muslim (Yogyakarta : ACAdeMIA TAZZAFA, 2008) h. 367.

5
tersembunyi dari pernikahan yang tidak dicatatkan ialah bahwa anak-anak dari
pernikahan tersebut tidak dapat memiliki akta kelahiran yang mencantumkan
nama ayah dan ibu mereka.7

Solusi terhadap pernikahan yang tidak dicatatkan ada dengan adanya isbat
nikah, meski demikian fakta dilapangan masih banyak masyarakat yang
melangsungkan pernikahan namun tidak dicatatkan, beberapa diantaranya
disebabkan karena 1) Mahalnya biaya untuk memperoleh dokumen, 2) Jauhnya
jarak ke kantor layanan 3) Kurangnya pemahaman prosedur, dan 4) Rumitnya
proses yang harus dijalani. 8 ini tentu menjadi problem, karena jumlahnya yang
tidak sedikit, padahal dalam setiap peraturan perundang-undangan dalam
pertimbangan hukumnya selalu menyebutkan bahwa setiap orang berhak
mendapatkan pengakuan hukum tanpa diskriminasi termasuk hak membentuk
keluarga dan keturunan melalui perkawinan yang sah dan hak anak atas identitas
diri yang dituangkan dalam akta kelahiran.

Isbat Nikah adalah permohonan pengesahan nikah yang diajukan ke


Pengadilan Agama untuk dinyatakan sahnya pernikahan agar memiliki kekuatan
hukum.9 permohonan isbat nikah diajukan ke Pengadilan Agama oleh para pihak
dalam perkawinan yang tidak dapat membuktikan perkawinannya dengan akta
nikah yang dikeluarkan oleh Pegawai Pencatat Nikah. Dengan mendasarkan
penetapan isbat nikah oleh Pengadilan Agama, para pihak dapat ke Pegawai
Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama untuk meminta perkawinannya tersebut
dictatatkan dan dikeluarkan Buku Kutipan Akta Nikahnya. Dari kutipan akta nikah
tersebut kemudian digunakan dasar untuk membuat akta kelahiran dari anak-anak
yang lahir dari hasil pernikahan tersebut.

Pasal 7 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam menetukan adanya suatu perkawinan


hanya dapat dibuktikan dengan akta perkawinan/akta nikah yang dicatat dalam
register. Akta perkawinan/akta nikah merupakan satu-satunya alat bukti

7Cate Sumner, Studi Dasar AIPJ tentang identitas Hukum Jutaan Orang tanpa Identitas
Hukum di Indonesia (Jakarta : DFAT, 2013) h. 35

8 https://microdata.bps.go.id/mikrodata/index.php/catalog/SUSENAS

9 Mahkamah Agung RI, Pedoman Pelaksana Tugas dan Administrasi Pengadilan (Buku I),
(Jakarta : Ditjen Badilag, 2013) h.143

6
perkawinan artinya tanpa adanya akta perkawinan yang tercatat dalam register
perkawinan secara hukum dianggap tidak ada atau belum ada perkawinan atau
dengan kata lain Perkawinan yang dicatatkan pada Pegawai Pencatat Nikah
Kantor Urusan Agama akan diterbitkan Akta Nikah, merupakan unsur konstitutif
perkawinan.

Mengacu pada banyaknya permasalahan hukum yang terjadi di bidang


perkawinan, sebenarnya urgensi pencatatan perkawinan “tidak sekedar”
ketertiban administrasi tetapi berimplikasi juga terhadap “sah”-nya perkawinan,
ahli waris dan identitas anak. Namun politik hukum nasional masih menempatkan
pencatatan perkawinan sebagai ketertiban administrasi dan kepastian hukum
bukan sebagai keabsahan perkawinan. Hal ini sebagaimana termaktub dalam
Pasal 2 ayat 2 UU Perkawinan dan Pasal 5 ayat 1 KHI “agar terjamin ketertiban
perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat”.

Pengadilan Agama berdasar Perma Nomor 1 Tahun 2015, melaksanakan


Isbat Nikah karena pertimbangan maslahat bagi umat Islam. Isbat Nikah
memberikan manfaat pada masyarakat muslim untuk mengurus dan
mendapatkan hak-haknya berupa surat-surat atau dokumen pribadi yang
dibutuhkan dari instansi berwenang dalam memberikan jaminan perlindungan
kepastian hukum terhadap masing-masing pasangan suami isteri. 10

Kepastian hukum adalah perangkat hukum suatu negara yang mampu


menjamin hak dan kewajiban suatu negara, kepastian hukum (rechtszekerheid)
juga merupakan jaminan bagi masyarakat bahwa semuanya akan diperlakukan
oleh negara berdasarkan peraturan hukum tidak dengan sewenang-sewenang.
Hukum adalah kumpulan nilai dan norma masyarakat yang ditulis dan
diberlakukan dengan seperangkat sanksi bagi yang tidak mematuhi. Sebagai
produk politik, maka hukum berwajah kepentingan-kepentingan yang dominan
dalam proses dan institusi. Proses dan Institusi dalam membuat wajah hukum
selalu diwarnai atas hukum masa lalu (ius constituendum), hukum yang berlaku

10Bagir Manan, Keabsahan dan Syarat-syarat Perkawinan antar orang Islam menurut UU
Perkawinan, makalah yang disampaikan dalam Seminar Nasional “Problematika Hukum Keluarga
dalam Sistem Hukum Nasional antara Realitas dan Kepastian Hukum” Jakarta, 1 Agustus 2009, h.
5-6.

7
saat ini dan hukum bagi masa yang akan datang (ius constitutum). oleh karena
itulah wajah hukum dapat dilihat dari bagaimana hukum dirumuskan, ditegakkan
dan bagaimana hukum dirumuskan untuk masa depan. 11 Hakim Peradilan Agama
sebagai penegak hukum, patut menggunakan otoritasnya dalam perspektif
hukum yang berkeadilan dengan menjalankan aktifitasnya selalu
mempertimbangkan dan menentukan pilihan yang tepat berkaitan dengan tujuan
hukum dan disesuaikan dengan realitas kehidupan bermasyarakat.

Ada 3 (tiga) alasan bagi Hakim Pengadilan Agama dalam mempertimbangkan


permohonan isbat nikah setelah berlakunya UU Perkawinan ; Pertama, berkaitan
dengan asas ius curia novit, yakni hakim dianggap mengetahui hukum isbat
nikah; Kedua, berlakunya asas kebebasan hakim untuk menemukan hukumnya
terhadap kasus yang belum terdapat hukumnya (rechtsvacuum). Ketiga, realitas
hakim untuk menemukan dan menganalisis sebuah kebenaran baru atas suatu
kasus dengan pendekatan sosiologi hukum. 12

Pendekatan tersebut memungkinkan hakim melakukan penafsiran sosiologis


terhadap peraturan perundang-undangan terkait agar tidak terjadi kebuntuan
hukum (rechtvinding). 13 Dalam konteks Politik Hukum, hakim dengan
kewenangannya dapat memerankan dirinya sebagai pembentuk, penentu,
penerapan aturan perundang-undangan, hingga penegakan hukum dapat
berjalan efektif. Degan perspektif politik hukum pula, hakim dapat aktif
menggunakan bahan-bahan hasil penelitian, kajian dan analisis atas perubahan-
perubahan yang terjadi terkait perlu atau tidaknya isbat nikah, sehingga hakim

11
Mawardi, Amin. Lepastian Hukum Isbat Nikah terhadap status Perkawinan (Jakarta :
Puslitbang Kumdil, 2012)

12 Abu Hurairah, Hakikat Isbat Nikah dalam Sistem Hukum Perkawinan di Indonesia
(Disertasi), (Makassar : Pascasarjana UMI, 2015)

13 Beberapa ketentuan yang menjadi alasan hukum argumentasi ini antara lain ; 1) Pasal 10
ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang
menyatakan, Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu
perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib
untuk memeriksa dan mengadilinya. 2) Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi: Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali,
mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat; 3)
Pasal 56 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, berbunyi: “Pengadilan tidak boleh menolak untuk
emeriksa dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau
kurang jelas, melainkan wajib memeriksa dan memutusnya.

8
bersikap aktif dapat memenuhi kebutuhan dan rasa keadilan utamanya keadilan
bagi perempuan dan anak dalam perkawinan dan keluarga. 14

Kesimpulan

Dalam hukum Islam, pencatatan perkawinan memang tidak diatur secara


khusus, meski demikian terdapat tradisi i’lan an nikah (pengumuman pernikahan
ditengah masyarakat), bentuk i’lan an nikah yang dianjurkan oleh Rasulullah
adalah walimah al urs atau resepsi pernikahan. Pencatatan perkawinan adalah
bentuk cara baru i’lan an nikah (pengumuman pernikahan). Lebih jauh pencatatan
lebih mashlahat terutama bagi wanita dan anak-anak.

Isbat Nikah adalah permohonan pengesahan nikah yang diajukan ke


Pengadilan Agama untuk dinyatakan sahnya pernikahan agar memiliki kekuatan
hukum. Pengadilan Agama melaksanakan Isbat Nikah karena pertimbangan
maslahat bagi umat Islam. Isbat Nikah memberikan manfaat pada masyarakat
muslim untuk mengurus dan mendapatkan hak-haknya berupa surat-surat atau
dokumen pribadi yang dibutuhkan dari instansi berwenang dalam memberikan
jaminan perlindungan kepastian hukum terhadap masing-masing pasangan suami
isteri.

Refrensi :
 Abu Hurairah, Hakikat Isbat Nikah dalam Sistem Hukum Perkawinan di
Indonesia (Disertasi), (Makassar : Pascasarjana UMI, 2015
 Bagir Manan, Keabsahan dan Syarat-syarat Perkawinan antar orang Islam
menurut UU Perkawinan, makalah yang disampaikan dalam Seminar
Nasional “Problematika Hukum Keluarga dalam Sistem Hukum Nasional
antara Realitas dan Kepastian Hukum” Jakarta, 1 Agustus 2009
 Cate Sumner, Studi Dasar AIPJ tentang identitas Hukum Jutaan Orang tanpa
Identitas Hukum di Indonesia (Jakarta : DFAT, 2013)
 D.Y Witanto, Hukum Keluarga : Hak dan Kedudukan Anak Luar Kawin Pasca
Keluarnya Putusan MK tentang Uji Materil UU Perkawinan (Jakarta : Prestasi
Pustaka Publisher, 2012)
 https://microdata.bps.go.id/mikrodata/index.php/catalog/SUSENAS

14 Ninik Rahayu, Politik Hukum Isbat Nikah (Jurnal Musawa Vol. 12 Nomor 2 Juli 2013)

9
 Khoiruddin Nasution, Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia dan
Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Muslim (Yogyakarta : ACAdeMIA
TAZZAFA, 2008)
 Mahkamah Agung RI, Pedoman Pelaksana Tugas dan Administrasi
Pengadilan (Buku I), (Jakarta : Ditjen Badilag, 2013)
 Marbuddin, Pengertian, Azaz dan Tatacara Perkawinan menurut Undang-
undang Perkawinan (Banjarmasin : Proyek Penerangan, Bimbingan dan
Dakwah Agama Islam Kanwil Departemen Agama Provinsi Kalimantan
Selatan, 1977)
 Mawardi, Amin. Lepastian Hukum Isbat Nikah terhadap status Perkawinan
(Jakarta : Puslitbang Kumdil, 2012)
 M. Atho’ Muzhar, Membaca Gelombang Ijtihad : Antara tradisi dan liberasi
dalam Amir Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di
Indonesia : Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU Nomor 1
Tahun 1974 sampai KHI (Jakarta : Kencana, 2004)
 Ninik Rahayu, Politik Hukum Isbat Nikah (Jurnal Musawa Vol. 12 Nomor 2 Juli
2013
 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 tanggal 13 Februari
2012

10

You might also like