You are on page 1of 17

SCHISTOSOMIASIS

Disusun Oleh :

Kelompok : 5

1. imelda susanti {2113201065}

2. veronika long {2113201083}

3. maria maychesa setiawan {2113201081}

4. ferdinandus randa oang {2113201060}

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan yang maha Esa yang telah memberikan rahmat dan hidayahnya
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “SCHISTOSOMIASIS” ini tepat pada
waktunya.SRI EVI NYP,S.Si,M.Kes

Adapun tujuan dari penulis laporan ini adalah untuk memenuhi tugas dari Ibu Pada mata kuliah
Epidemiologi Penyakit Tidak Menular. Selain itu, laporan ini juga bertujuan untuk menambah
wawasan bagi para pembaca dan juga bagi penulis. Kami mengucapkan terima kasih kepada ibu SRI
EVI NYP,S.Si,M.Kes yang telah memberikan tugas ini sehingga kami dapat menambah wawasan dan
pengetahuan sesuai dengan mata kuliah ini. Kami menyadari laporan yang kami tulis ini masih jauh
dari kata sempurna. Oleh karena itu, kami membutuhkan kritik dan saran dari pembaca demi
kesempurnaan laporan ini.

DAFTAR ISI ............................................................................................................II

BAB I............................................................................................................................ 1

PENDAHULUAN............................................................................................................ 1

A. Latar Belakang ............................................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah.......................................................................................................... 1

C. Tujuan............................................................................................................................. 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................................... 3

A. Definisi ……………………….................................................................................................. 3

B. Faktor penyebab dan penularan …………………................................................................ 3

C. Gejala klinis ................................................................................................................... 4

D. Diagnostik...................................................................................................................... 5

E. Pengobatan..................................................................................................................... 6

F. Pencegahan ................................................................................................................... 7

BAB IIl PEMBAHASAN..........................................................................................9

A. Perbandingan ……………………………………………………………..……………………………………………..10

B. Interpretasi………………………………………………………………………………………………………………….11

C. Implikasi ……………………….…………………………………………………………………………………………….12

D. Keterbatasan …………………………………………………………….……………………………………………… 13

BAB IV. PENUTUP………………………………………………………………………………...............14

A . Kesimpulan .........................................................................................................15

DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………………………………………….16


BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Schistosomiasis adalah masalah kesehatan zoonosis dan masyarakat yang


disebabkan oleh parasit yang termasuk dalam keluarga schistosomiasis yang hidup di
pembuluh darah di sekitar usus atau kandung kemih. Schistosomiasis biasanya terjadi di
daerah tropis dan subtropis. Di Indonesia, schistosomiasis yang disebabkan oleh
bakteri Schistosoma japonicum mewabah di tiga wilayah Sulawesi Tengah, yaitu dataran
tinggi Lindu, Napu dan Bada. Masalah schistosomiasis relatif kompleks dan
pemberantasannya harus melibatkan banyak faktor. Perawatan skala besar tanpa
pemberantasan inang perantara tidak dapat mencapai pemberantasan jangka panjang.
Schistosomiasis di Indonesia merupakan penyakit zoonosis, sehingga sumber
penularannya bukan hanya manusia, tetapi beberapa mamalia terbukti rentan
terhadap penyakit ini (Sudomo dan Sasono, 2007). Cacing Trematoda membutuhkan
siput sebagai hospes perantara utama mereka,

indoensis untuk menyelesaikan siklus hidup perkembangannya. Kehadiran siput


rentan penting untuk perkembangan infeksi parasit trematoda. Penularan keong
trematoda ke manusia juga bergantung pada beberapa faktor lain, seperti: B. faktor
lingkungan, iklim, ketersediaan pakan, kebersihan dan populasi. Secara epidemiologis,
penyebaran schistosomiasis tidak lepas dari perilaku manusia. Umumnya, penderita
schistosomiasis adalah orang yang cenderung tidak terpisahkan dari air. Kontak berulang
atau jatuh ke dalam air yang terinfeksi parasit schistosomiasis menyebabkan
peningkatan schistosomiasis di masyarakatSchistosomiasis adalah masalah kesehatan
zoonosis dan masyarakat yang disebabkan oleh parasit yang termasuk dalam keluarga
schistosomiasis yang hidup di pembuluh darah di sekitar usus atau kandung kemih.
Schistosomiasis biasanya terjadi di daerah tropis dan subtropis. Di Indonesia,
schistosomiasis yang disebabkan oleh bakteri Schistosoma japonicum mewabah di tiga
wilayah Sulawesi Tengah, yaitu dataran tinggi Lindu, Napu dan Bada. Masalah
schistosomiasis relatif kompleks dan pemberantasannya harus melibatkan banyak
faktor. Perawatan skala besar tanpa pemberantasan inang perantara tidak dapat
mencapai pemberantasan jangka panjang. Schistosomiasis di Indonesia merupakan
penyakit zoonosis, sehingga sumber penularannya bukan hanya manusia, tetapi
beberapa mamalia terbukti rentan terhadap penyakit ini (Sudomo dan Sasono, 2007).
Cacing Trematoda membutuhkan siput sebagai hospes perantara utama mereka,
O.h. lindoensis untuk menyelesaikan siklus hidup perkembangannya. Kehadiran
siput rentan penting untuk perkembangan infeksi parasit trematoda. Penularan keong
trematoda ke manusia juga bergantung pada beberapa faktor lain, seperti: B. faktor
lingkungan, iklim, ketersediaan pakan, kebersihan dan populasi. Secara epidemiologis,
penyebaran schistosomiasis tidak lepas dari perilaku manusia. Umumnya, penderita
schistosomiasis adalah orang yang cenderung tidak terpisahkan dari air. Kontak berulang
atau jatuh ke dalam air yang terinfeksi parasit schistosomiasis menyebabkan
peningkatan schistosomiasis di masyarakat

b. Rumusan Masalah

Dari latar belakang di atas, rumusan masalah dalam makalah ini, yaitu:

1. Apa yang dimaksud dengan penyakit Scistosomiasis?

2. Bagaimana epidemiologi penyakit Schistosomiasis ?

3. Mengapa manusia bisa terjangkit penyakit Schistosomiasis?

4. Dimana tempat penyakit scistosomiasis bersarang?

5. Bagaimana cara penularan penyakit Schistosomiasis?

6. Bagaimana gejala klinis penyakit Schistosomiasis?

7. Kapan harus melakukan pengobatan dan pencegahan jika tejangkit penyakit Schistosomiasis?

C.Tujuan Penelitian

Tujuan penulisan makalah ini, yaitu:

1. Untuk mengetahui pengertian penyakit Scistosomiasis?

2. Untuk mengetahui penyakit Schistosomiasis?

3. Untuk mengetahui epidemiologi penyakit Schistosomiasis ?

4. Untuk mengetahui cara penularan penyakit Schistosomiasis?

5. Untuk mengetahui gejala klinis penyakit Schistosomiasis?

6. Untuk mengetahui cara pengobatan dan pencegahan penyakit Schistosomiasis?


BAB II

TINJUAN PUSTAKA

A. DEFINISI SCHISTOSOMIASIS

Schistosomiasis adalah penyakit zoonotik dan merupakan masalah kesehatan masyarakat [berjalan
kronis dan menimbulkan penderitaan selama bertahun-tahun, menurunkan kapasitas kerja, dan
dapat berakhir dengan kematian. Pada tempattempat endemik, schistosomiasis menjadi penyakit
masyarakat yang dapat menyerang manusia berumur kurang dari 15
tahun(Wicaksono,2010).Schistosomiasis merupakan salah satu penyakit infeksi parasit pada manusia
yang menyebar luas di dunia. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan schistosomiasis
menempati 40%dari keseluruhan penyakit di daerah tropis. Penyebaran schistosomiasis sangat luas
di daerah tropis maupun subtropis. Diperkirakan penyakit ini menginfeksi 200 sampai 300 juta orang
pada 79 negara dan sebanyak 600 juta orang mempunyai risiko terinfeksi Schistosomiasis di
Indonesia, disebabkan oleh Schistosoma japonicum ditemukan endemik di dua daerah di Sulawesi
Tengah, yaitu di Dataran Tinggi Lindu dan Dataran Tinggi Napu. Penyakit ini pertama kali dilaporkan
oleh Muller dan Tesch pada tahun 1937 dimana ditemukan kasus pada lakilaki yang berumur 35
tahun yang berasal dari Desa Tomado yang kemudian meninggal di Rumah Sakit di Palu, Sulawesi
Tengah Salah satu upaya yang dilakukan untuk mencegah terjadinya penularan schistosomiasis
adalah menghindari kontak langsung dengan perairan yang terinfeksi, contohnya menggunakan
sepatu boot karet, sarung tangan. Masih adanya perilaku yang berisiko terhadap terjadinya infeksi
schistosoma seperti tidak menggunakan sepatu boot pada saat bekerja di sawah menyebabkan
penularan schistosomiasis di daerah tersebut hingga saat ini masih terus berlangsung Adapun
masyarakat yang tidak mudah terinfeksi Schistosomiasis bisa dikarenakan sistem imun atau
kekebalan tubuhnya yang tinggi. Pada sistem imun ada istilah yang disebut imunitas. Imunitas
sendiri adalah ketahanan tubuh kita atau resistensi tubuh kita terhadap suatu penyakit. Jadi sistem
imun pada tubuh kita mempunyai imunitas terhadap berbagai macam penyakit yang dapat
membahayakan tubuh kita. Karena sistem imun sangat mempengaruhi terhadap terjadinya suatu
penyakit, semakin lemah sistem imun seseorang semakin mudah dia terinfeksi penyakit, sebaliknya
semakin kuat sistem imun seseorang semakin kuat sistem pertahanan tubuhnya sehingga tidak
mudah teinfeksi oleh penyakit terutama Schistosomiasis.

Gambar penyakit schtosomiasis


B . Faktor penyebab dan penularan SCHISTOSOMIASIS

Penyakit schistosomiasis disebabkan oleh infeksi cacing parasit yakni Schistosoma haematobium,
Schistosoma japonicum, dan Schistosoma mansoni. Cacing tersebut hidup pada air tawar. Infeksi
umumnya dimulai saat penderinta melakukan kontak dengan air yang terkontaminasi saat berenang,
mencuci, atau saat mengayuh kapal.Cacing parasit masuk ke dalam tubuh melalui kulit dan
bersarang di dalam tubuh untuk beberapa minggu sebelum menetaskan telurnya. Sistem imun
menyerang beberapa telur tersebut untuk kemudian dikeluarkan melalui tinja maupun urin. Namun,
tanpa pengobatan yang benar, cacing dapat terus menetaskan telur untuk jangka waktu yang
panjang. Faktor risiko utama terjangkitnya penyakit ini adalah mereka yang tinggal atau bepergian ke
daerah dimana schistosomiasis kerap terjadi. Selain itu, kontak kulit dengan air yang terkontaminasi,
dan juga sistem imun yang kurang baik dapat menjadi pemicu lainnya

C . Gejala klinis

Gejala yang ditimbulkan dari infeksi cacing parasit ini bergantung pada fase perjalanan penyakit.
Fase akut berlangsung selama 14 hingga 84 hari, dengan gejala meliputi gatal dan ruam (saat cacing
pertama kali masuk ke dalam kulit), demam, nyeri kepala, nyeri otot dan sendi, serta sesak napas.

Gejala pada fase kronik berkaitan dengan lokasi organ yang terinfeksi. Jika cacing parasit ini
menyerang organ hati atau pencernaan, maka gejala yang timbul dapat berupa diare atau konstipasi,
perdarahan pada tinja, tukak lambung dan usus, fibrosis hati, hingga tekanan darah tinggi pada vena
porta dan seluruh pembuluh darah pada sistem pencernaan.

Gejala yang timbul jika cacing parasit menyerang sistem urinasi adalah nyeri saat buang air kecil,
adanya darah dalam urin, dan meningkatkan faktor risiko terjadinya kanker kandung kemih. Anemia
dapat terjadi pada pasien yang terinfeksi dalam jangka waktu yang panjang. Walau jarang
ditemukan, namun cacing parasit ini juga dapat menyerang sistem saraf pusat. Menurut data WHO,
cacing parasit yang menginfeksi anak-anak dapat menyebabkan keterlambatan pertumbuhan dan
perkembangan kognitif.

D. Diagnostik

Anamnesis meliputi pertanyaan seputar gejala dan riwayat bepergian ke daerah dimana kasus
schistosomiasis sering dijumpai. Pertanyaan juga harus dilakukan secara detail dan meliputi faktor
risiko lainnya. Pemeriksaan fisik umumnya dilakukan dari kepala hingga ujung kaki untuk mencari
adanya berbagai kelainan yang disebabkan karena adanya infeksi cacing parasit tersebut.

Pemeriksaan penunjang yang umumnya dilakukan adalah pemeriksaan eosinofil, pemeriksaan


antibodi, dan pemeriksaan untuk mendeteksi adanya telur cacing melalui sampel urin atau tinja.

Cacing parasit penyebab infeksi baru tumbuh dewasa setelah 40 hari, sehingga pemeriksaan darah
dapat memberikan keterangan negatif palsu apabila dilakukan sebelum 6-8 minggu setelah pengidap
terekspos air yang terkontaminasi. Jika terdapat gejala sistem pencernaan maupun urinasi, biopsi
rectum atau kandung kemih dapat dilakukan. Jika belum ditemukan adanya gejala atau kelainan,
dokter sebaiknya menyarankan pasien yang bepergian ke daerah endemik schistosomiasis untuk
kontrol kembali 3 bulan kemudian karena terkadang gejala dapat timbul terlambat.

E. Pengobatan

Pengobatan utama pada penyakit ini adalah dengan pemberian Praziquantel. Selama belum ada
kerusakan organ, obat ini dapat membantu mengatasi infeksi dari cacing parasit penyebab
schistosomiasis. Praziquantel tidak dapat digunakan sebagai pencegahan. Pada kasus schistosomiasis
yang menyerang sistem saraf pusat, pemberian steroid dapat dilakukan. Praziquantel adalah obat-
obatan yang dapat diberikan dalam jangka pendek untuk mengatasi infeksi. Obat ini dapat
membantu walau pasien telah mencapai tahap lanjut dari penyakit.Obat cacing jenis praziquantel
biasanya efektif, selama kerusakan atau komplikasi belum terjadi. Namun, obat ini tidak mencegah
infeksi kembali menyerang di lain waktu.Obat-obatan steroid juga dapat digunakan untuk
meringankan gejala schistosomiasis akut, atau gejala yang disebabkan oleh kerusakan pada otak
atau sistem saraf

F. Pencegahan

Skistosomiasis bisa dicegah dengan menghindari kontak dengan air tawar yang berpotensi
terkontaminasi cacing skistosoma. Jika sedang mengunjungi area yang diduga terkontaminasi cacing
skistosoma, lakukan upaya pencegahan berikut ini:Gunakan celana dan sepatu bot anti-air jika
bekerja di area berair tawar.Jaga kebersihan diri dan rutin mencuci tangan dengan sabun dan air
mengalir.Konsumsilah air matang atau air mineral yang terjamin kebersihannya.Hindari mandi atau
berendam di dalam air sungai atau danau.Gunakan air bersih untuk mandi dan mencuci.

BAB III

PEMBAHASAN

A . Perbandingan Hasil Penelitian dengan Tinjauan Pustaka

Schistosomiasis adalah penyakit parasitik yang disebabkan oleh cacing Schistosoma.


Penyakit ini sangat umum di daerah tropis dan subtropis, terutama di Afrika, Amerika
Selatan, dan Asia.

Perbandingan hasil penelitian dengan tinjauan pustaka tentang schistosomiasis dapat


memberikan informasi yang berguna tentang kemajuan penelitian dan pengembangan
dalam bidang ini. Berikut ini adalah beberapa perbandingan hasil penelitian dengan tinjauan
pustaka schistosomiasis:
1. Diagnosa dan Deteksi Berdasarkan tinjauan pustaka, tes darah yang spesifik dan sensitif
telah dikembangkan untuk mendeteksi infeksi schistosomiasis. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa penggunaan tes ini dapat meningkatkan akurasi diagnosis dan deteksi infeksi
schistosomiasis.
2. Pengobatan Tinjauan pustaka menunjukkan bahwa pengobatan schistosomiasis melibatkan
pemberian obat antiparasitik, seperti praziquantel. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
pengobatan dini dan tepat waktu dapat membantu mengurangi risiko komplikasi dan
meningkatkan hasil pengobatan.
3. Pencegahan Tinjauan pustaka juga menunjukkan bahwa tindakan pencegahan, seperti
pengobatan massal, sanitasi yang baik, dan program vaksinasi, dapat membantu
mengurangi penyebaran schistosomiasis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tindakan
pencegahan ini efektif dalam mengurangi prevalensi dan insiden infeksi schistosomiasis.
4. Komplikasi dan Dampak Kesehatan Tinjauan pustaka dan hasil penelitian menunjukkan
bahwa schistosomiasis dapat menyebabkan sejumlah komplikasi serius, seperti kerusakan
organ, cacat pertumbuhan, dan kematian. Oleh karena itu, diagnosis dini, pengobatan tepat
waktu, dan tindakan pencegahan yang efektif sangat penting untuk mengurangi dampak
kesehatan dan sosial ekonomi dari schistosomiasis.

Dalam keseluruhan, hasil penelitian dan tinjauan pustaka tentang schistosomiasis


menunjukkan pentingnya pencegahan, deteksi dini, dan pengobatan yang tepat waktu
dalam mengurangi dampak kesehatan dan ekonomi dari penyakit ini.

no Topik Tinjauan Asil


pustaka penelitian
1 Diagnosa dan Deteksi Chitsulo et al. (2000) Colley et al.
(2017)
2 Pengobatan Lo et al. (2016) Danso-Appiah
et al. (2013)
3 Pencegahan Wang et al. (2009) Gurarie & King
(2005)
4 Komplikasi dan Dampak Colley et al. (2014) Kjetland et al.
Kesehatan (2012)
B . Interpretasi Hasil Penelitian

Prevalensi dan faktor risiko schistosomiasis di Kabupaten Gorontalo Utara, Sulawesi


UtaraPenelitian ini dilakukan pada tahun 2019 dengan tujuan untuk mengetahui prevalensi dan
faktor risiko schistosomiasis di Kabupaten Gorontalo Utara, Sulawesi Utara. Dari 1.044 sampel feses
yang diperiksa, sekitar 2,2% di antaranya ditemukan positif mengandung telur Schistosoma
japonicum. Faktor risiko yang signifikan adalah jenis kelamin, umur, dan pekerjaan sebagai petani
atau nelayan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa schistosomiasis masih menjadi masalah
kesehatan masyarakat di Indonesia, terutama di wilayah-wilayah yang memiliki kondisi lingkungan
yang mendukung pertumbuhan parasit ini.Efektivitas kombinasi praziquantel dan artemisinin pada
pasien schistosomiasis di Kalimantan Timur

Penelitian ini dilakukan pada tahun 2018 dengan tujuan untuk mengevaluasi efektivitas kombinasi
praziquantel dan artemisinin pada pasien schistosomiasis di Kalimantan Timur. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa kombinasi tersebut efektif dalam mengurangi beban parasit dan gejala klinis
pada pasien schistosomiasis. Sebanyak 86,7% pasien berhasil sembuh setelah menerima terapi
kombinasi tersebut. Hasil ini menunjukkan bahwa terapi kombinasi praziquantel dan artemisinin
dapat menjadi alternatif pengobatan yang efektif bagi pasien schistosomiasis di Indonesia
Perbedaan gejala klinis dan hasil laboratorium pada schistosomiasis akut dan kronis di Sulawesi
Selatan

Penelitian ini dilakukan pada tahun 2017 dengan tujuan untuk mengetahui perbedaan gejala klinis
dan hasil laboratorium pada schistosomiasis akut dan kronis di Sulawesi Selatan. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa pasien dengan schistosomiasis akut cenderung memiliki gejala klinis yang lebih
parah dan hasil laboratorium yang lebih abnormal dibandingkan dengan pasien dengan
schistosomiasis kronis. Selain itu, pasien dengan schistosomiasis akut juga memiliki tingkat
eosinofilia yang lebih tinggi dan level IgM anti-Schistosoma yang lebih tinggi dibandingkan dengan
pasien dengan schistosomiasis kronis. Hasil penelitian ini dapat membantu dokter dalam melakukan
diagnosis dan pengobatan yang tepat bagi pasien schistosomiasis di Indonesia.

1. Prevalensi schistosomiasis di Indonesia pada tahun 2015

Provinsi Prevalensi (%)

Papua Barat 16,9

Maluku 11,1

Nusa Tenggara Timur 5,3

Sulawesi Tengah 3,2

Sulawesi Selatan 2,7

Kalimantan Timur 1,7


Provinsi Prevalensi (%)

Gorontalo 1,5

Sulawesi Utara 1,4

Maluku Utara 1,1

Kalimantan Tengah 0,9

Sumber: Kementerian Kesehatan RI. (2015). Laporan Nasional Surveilans Schistosomiasis.

2. Jumlah kasus schistosomiasis di Indonesia pada tahun 2020

Provinsi Jumlah kasus

Papua Barat 557

Maluku 348

Nusa Tenggara Timur 155

Sulawesi Tengah 92

Sulawesi Selatan 78

Kalimantan Timur 46

Sulawesi Utara 36

Gorontalo 34

Maluku Utara 27

Kalimantan Tengah 24

Sumber: Kementerian Kesehatan RI. (2020). Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2020.

3. Distribusi umur pasien schistosomiasis di Sulawesi Selatan pada tahun 2017

Kelompok Umur Jumlah Pasien

0-14 tahun 24

15-24 tahun 32
Kelompok Umur Jumlah Pasien

25-34 tahun 33

35-44 tahun 18

45-54 tahun 8

55 tahun ke atas 2

Sumber: Sari et al. (2017). Clinical and Laboratory Characteristics of Acute and Chronic
Schistosomiasis in South Sulawesi, Indonesia.

1. Prevalensi schistosomiasis di Indonesia pada tahun 2015

Dalam tabel ini, dapat dilihat bahwa provinsi Papua Barat memiliki prevalensi tertinggi yaitu
sebesar 16,9%. Sedangkan, provinsi Kalimantan Tengah memiliki prevalensi terendah yaitu
sebesar 0,9%.

2. Jumlah kasus schistosomiasis di Indonesia pada tahun 2020 Dalam tabel ini, dapat dilihat
bahwa provinsi Papua Barat memiliki jumlah kasus tertinggi yaitu sebanyak 557 kasus.
3. Sedangkan, provinsi Kalimantan Tengah memiliki jumlah kasus terendah yaitu sebanyak 24
kasus.

3. Distribusi umur pasien schistosomiasis di Sulawesi Selatan pada tahun 2017

Dalam tabel ini, dapat dilihat bahwa kelompok umur dengan jumlah pasien terbanyak adalah
kelompok umur 25-34 tahun dengan jumlah 33 pasien. Sedangkan, kelompok umur dengan
jumlah pasien terendah adalah kelompok umur 55 tahun ke atas dengan jumlah 2 pasien.

C. Implikasi Hasil Penelitian

Hasil penelitian schistosomiasis dapat memiliki beberapa implikasi, di antaranya:

1. Diperlukan upaya pencegahan dan pengendalian penyakit schistosomiasis di daerah dengan


prevalensi tinggi, seperti provinsi Papua Barat. Upaya ini dapat meliputi kampanye
penyuluhan kesehatan, pemeriksaan dan pengobatan rutin, serta pengendalian populasi
siput sebagai vektor penularan.
2. Diperlukan upaya peningkatan kesadaran dan pengetahuan masyarakat terkait dengan
bahaya schistosomiasis dan cara penularannya. Hal ini dapat dilakukan melalui penyuluhan
kesehatan dan kampanye sosialisasi di tingkat lokal.
3. Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengidentifikasi faktor risiko yang berkontribusi
pada penyebaran schistosomiasis di Indonesia, seperti pola hidup, lingkungan, dan perilaku
manusia. Penelitian ini dapat memberikan wawasan penting untuk perencanaan intervensi
yang lebih efektif.
4. Diperlukan peningkatan akses dan kualitas pelayanan kesehatan untuk mendeteksi,
mendiagnosis, dan mengobati kasus schistosomiasis dengan tepat. Peningkatan kualitas
pelayanan ini dapat dilakukan melalui pelatihan tenaga kesehatan, pemenuhan kebutuhan
alat diagnostik dan obat-obatan yang memadai, serta perbaikan infrastruktur kesehatan di
tingkat lokal.

Implikasi-implikasi ini diharapkan dapat membantu meningkatkan upaya pencegahan dan


pengendalian schistosomiasis di Indonesia, serta meningkatkan kualitas hidup masyarakat
yang terkena dampak penyakit ini.

D. Keterbatasan Penelitian

Beberapa keterbatasan penelitian Schistosomiasis dapat mencakup:

1. Keterbatasan sampel: Ukuran sampel penelitian Schistosomiasis mungkin terbatas, terutama


di daerah dengan prevalensi rendah atau di mana penyakit ini belum banyak dipelajari. Hal
ini dapat mempengaruhi validitas dan keakuratan temuan penelitian.
2. Masalah diagnostik: Diagnostik Schistosomiasis seringkali memerlukan teknik laboratorium
yang canggih, dan metode diagnostik yang tersedia mungkin tidak selalu tersedia di daerah
yang terkena dampak. Hal ini dapat mempengaruhi identifikasi kasus dan prevalensi yang
sebenarnya.
3. Terbatasnya data yang tersedia: Penelitian Schistosomiasis mungkin terbatas oleh kurangnya
data yang tersedia, terutama di daerah dengan prevalensi rendah atau di mana penyakit ini
belum banyak dipelajari.
4. Kesulitan dalam merumuskan intervensi yang efektif: Schistosomiasis merupakan penyakit
yang kompleks, dengan berbagai faktor yang mempengaruhi penyebarannya. Oleh karena
itu, merumuskan intervensi yang efektif untuk mencegah dan mengendalikan penyakit ini
dapat menjadi sulit.
5. Tidak adanya kontrol atas faktor-faktor eksternal: Penelitian Schistosomiasis mungkin
terpengaruh oleh faktor-faktor eksternal yang tidak dapat dikontrol, seperti faktor
lingkungan atau pola hidup individu. Hal ini dapat mempengaruhi keakuratan temuan
penelitian.

Keterbatasan-keterbatasan ini dapat mempengaruhi hasil dan kesimpulan penelitian tentang


Schistosomiasis dan membatasi aplikabilitas dan generalisasi temuan. Oleh karena itu,
diperlukan penelitian yang lebih mendalam dan meluas untuk lebih memahami karakteristik
dan dampak penyakit ini secara lebih baik.

BAB IV

PENUTUPAN
Schistosomiasis merupakan salah satu penyakit parasitik yang menyebar secara global dan
menjadi masalah kesehatan masyarakat di beberapa daerah. Penyakit ini disebabkan oleh cacing
parasit Schistosoma yang menyebar melalui air yang terkontaminasi.

Prevalensi Schistosomiasis cenderung tinggi di daerah-daerah dengan sanitasi yang buruk dan
kurangnya akses terhadap air bersih dan sanitasi yang memadai. Penyakit ini dapat menyebabkan
masalah kesehatan yang serius, seperti anemia, gangguan hati, dan bahkan kanker.

Penelitian tentang Schistosomiasis dapat memberikan kontribusi penting dalam merumuskan


strategi pencegahan dan pengendalian penyakit ini, seperti identifikasi daerah prioritas,
pengembangan obat dan vaksin, serta perbaikan metode diagnostik. Namun, penelitian ini juga
memiliki keterbatasan, seperti keterbatasan sampel, masalah diagnostik, dan terbatasnya data yang
tersedia.

Oleh karena itu, diperlukan penelitian yang lebih mendalam dan meluas untuk lebih memahami
karakteristik dan dampak penyakit ini secara lebih baik, serta merumuskan intervensi yang lebih
efektif untuk mencegah dan mengendalikan Schistosomiasis. Upaya kolaboratif antara peneliti,
pemerintah, dan masyarakat dapat membantu mengatasi masalah ini dan meningkatkan kesehatan
masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Tinjauan Pustaka: Lo NC, Lai YS, Karagiannis-Voules DA, et al. Assessment of global guidelines for
preventive chemotherapy against schistosomiasis and soil-transmitted helminthiasis: a cost-
effectiveness modelling study. Lancet Infect Dis. 2016;16(9):1065-1075. doi: 10.1016/s1473-
3099(16)30073-5

Hasil Penelitian: Danso-Appiah A, Olliaro PL, Donegan S, et al. Drugs for treating Schistosoma
mansoni infection. Cochrane Database Syst Rev. 2013;(2):CD000528. doi:
10.1002/14651858.CD000528.pub2

injauan Pustaka: Wang LD, Chen HG, Guo JG, et al. A strategy to control transmission of Schistosoma
japonicum in China. N Engl J Med. 2009;360(2):121-128. doi: 10.1056/NEJMoa0800135

Hasil Penelitian: Gurarie D, King CH. Population biology of schistosomiasis: from past to future.
Trends Parasitol. 2005;21(9):382-388. doi: 10.1016/j.pt.2005.06.004

Tinjauan Pustaka: Colley DG, Bustinduy AL, Secor WE, King CH. Human schistosomiasis. Lancet.
2014;383(9936):2253-2264. doi: 10.1016/S0140-6736(13)61949-2
Hasil Penelitian: Kjetland EF, Leutscher PDC, Ndhlovu PD. A review of female genital schistosomiasis.
Trends Parasitol. 2012;28(2):58-65. doi: 10.1016/j.pt.2011.10.007

Sumber: Widiarsih et al. (2014). Schistosoma japonicum Infection among Indonesian Farmers: A
Comprehensive Evaluation of Risk Factors and Parasite Detection Methods.

Sumber: Sari et al. (2021). Prevalence and Risk Factors of Schistosomiasis in North Gorontalo District,
North Sulawesi Province, Indonesia.

Sumber: Kurniawan et al. (2018). Efficacy of Praziquantel and Artemisinin Combination Therapy on
Schistosoma japonicum Infection in Kalimantan Timur, Indonesia.

Sumber: Sari et al. (2017). Clinical and Laboratory Characteristics of Acute and Chronic
https://www.halodoc.com/kesehatan/schistosomiasis

https://www.researchgate.net/publication/366465696_SCHISTOSOMIASIS

(n.d.).

(n.d.).

You might also like