You are on page 1of 18

BAB II

TEORI DASAR

2.1 Serat Rayon Viskosa


Rayon viskosa adalah serat selulosa yang diregenerasi sehingga memiliki struktur
kimia sama dengan serat kapas, tetapi memiliki derajat polimerisasi lebih rendah,
karena selama pembuatan rayon viskosa terjadi depolimerisasi. Serat rayon viskosa
berbahan dasar dari kayu yang dimurnikan dengan kadar selulosa ± 95% dan
derajat polimerisasi yang dimiliki minimal 1000. Proses regenerasi menyebabkan
derajat polimerisasi menurun yaitu menjadi sekitar 400-700.
Struktur kimia selulosa dapat dilihat pada gambar 2.1 dibawah ini.

Sumber : Shore,John,. Colorants and auxiliaries, vol II, Society of Dyers and
Colourists, 2002, halaman 535.

Gambar 2.1 Struktur molekul selulosa

Molekul selulosa tersusun dari rantai molekul anhidroglukosa, dalam penyelidikan


dengan menggunakan sinar x dapat ditunjukan bahwa kedudukan rantai-rantai
molekul ini memiliki 2 bentuk. Pada tempat-tempat tertentu molekul tersebut
memiliki susunan yang sejajar, dan memiliki banyak kandungan gugus hidroksil.
Kandungan gugus hidroksil yang tinggi menyebabkan ikatan hidrogen antar gugus
hidroksil pada rantai yang berdekatan. Faktor ini merupakan salah satu penyebab
selulosa memiliki derajat kristalin yang tinggi.

Molekul selulosa tidak selalu tersusun sejajar terhadap sumbu serat, tetapi pada
tempat-tempat tertentu terdapat rantai molekul yang susunannya tidak teratur dan
tidak sejajar terhadap sumbu serat, pada daerah ini disebut sebagai daerah amorf,
pada daerah ini molekul air akan mudah diserap. Struktur amorf dan kristalin pada
selulosa dapat dilihat pada gambar 2.2 halaman 7.

6
7

bagian kristalin bagian amorf

Sumber : Needles, Howard,. Textiles Fibers, Dyes, Finishes, and Proceses , Noyes
Publication, 1986, halaman 10.

Gambar 2.2 Struktur amorf dan kristalin pada selulosa

Sifat serat rayon viskosa memiliki banyak persamaan dengan serat kapas karena
tersusun dari selulosa. Serat rayon viskosa mempunyai sifat absorpsi yang besar
sehingga serat rayon banyak digunakan sebagai bahan campuran dengan serat
sintetik maupun serat alam. Dalam proses produksinya kualitas serat rayon dapat
diatur sehingga setiap perusahaan pembuat serat rayon menghasilkan kualitas
serat rayon yang berbeda.

2.2 Sifat Kimia dan Fisika Serat Rayon Viskosa


2.2.1 Sifat Kimia Serat Rayon Viskosa
Serat rayon viskosa adalah selulosa yang diregenerasi sehingga rayon viskosa
memiliki sifat-sifat yang mirip dengan serat kapas. Berikut ini beberapa zat kimia
yang berpengaruh pada serat rayon viskosa :

1. Asam
Rayon viskosa lebih cepat rusak oleh asam dibandingkan dengan kapas
terutama dalam keadaan panas. Asam-asam akan memutuskan rantai-rantai
molekul glukosa dalam rantai selulosa sehinga terbentuk hidroselulosa.
Hidroselulosa tersebut menyebabkan penurunan kekuatan tarik pada serat
rayon viskosa. Pengerjaan dalam asam encer dalam waktu yang singkat tidak
berpengaruh tetapi jika dalam suhu panas akan merusak serat rayon viskosa.
2. Alkali Kuat
Serat rayon viskosa akan menggelembung pada suasana alkali kuat,
penggelembungan terjadi dengan pengerjaan larutan natrium hidroksida (NaOH)
18%, ini akan menyebabkan serat menjadi lebih berkilau dan afinitas terhadap
zat warna pada proses pencelupan menjadi lebih besar, tetapi jika pengerjaan
pada serat rayon viskosa menggunakan alkali kuat yang berlebih. kekuatan
serat rayon viskosa akan menurun.
8

3. Alkali lemah
Pengerjaan alkali lemah memiliki sedikit pengaruh pada rayon viskosa, pada
suhu rendah tidak terjadi pengaruh, sedangkan pada suhu tinggi dapat
menurunkan kekuatan serat secara perlahan.
4. Oksidator
Serat rayon viskosa dalam zat oksidator berkonsentrasi tinggi dan kondisi pH
asam menyebabkan pembukaan cincin glukosa atau terbentuknya oksiselulosa.
Oksiselulosa menyebabkan penurunan kekuatan tarik serat rayon viskosa. Jika
penggunaan oksidator berada dalam pH alkali dapat menyebabkan pemutusan
rantai molekul.

2.2.2 Sifat Fisika Serat Rayon Viskosa


1. Kekuatan Tarik
Serat rayon viskosa mempunyai kekuatan tarik kering (2,6-3,1) g/denier,
sedangkan kekuatan tarik basahnya (1,2-1,8) g/denier[1]. Kekuatan tarik serat
rayon dapat diatur dengan cara mengatur penarikan pada proses stretching.
2. Mulur
Mulur kering pada saat putus sekitar 15% dan mulur basahnya 25%. Mulur serat
dipengaruhi oleh penarikan. Semakin tinggi penarikan serat maka mulurnya
akan semakin rendah[2], oleh sebab itu setelah proses penarikan perlu dilakukan
proses peregangan agar mulurnya tidak terlalu rendah.
3. Moisture Regain (MR)
MR serat rayon viskosa sebesar (12-14)%. Hal tersebut menunjukkan bahwa
MR serat rayon viskosa lebih besar dibandingkan dengan serat kapas, karena
struktur molekul serat rayon viskosa lebih amorf dari serat kapas.
4. Derajat Putih
Serat rayon viskosa yang baik memiliki nilai derajat putih sebesar 70-75.
Penurunan derajat putih dapat disebabkan oleh adanya partikel pengotor pada
serat, kadar belerang yang tinggi dan pemanasan yang terlalu tinggi.
5. Panas
Panas diatas suhu 175ºC akan menyebabkan kerusakan serat menjadi
berwarna kuning.
6. Morfologi
Bentuk penampang melintang serat rayon viskosa bergerigi dan penampang
membujurnya seperti silinder bergaris. Penampang serat rayon viskosa dapat
dilihat pada Gambar 2.3 halaman 9.
9

Penampang Melintang Penampang Membujur


Sumber : J.Chen, Textile and Fashion, synthetic textile fibers: regenerated cellulose
fibers, The University of Texas at Austin: USA, 2015. hal 84.

Gambar 2.3 Penampang Serat Rayon Viskosa

7. Sifat listrik
Rayon viskosa dalam keadaan kering merupakan isolator yang baik, tetapi uap
air yang diserap oleh rayon akan mengurangi daya isolatornya.

2.3 Proses Pembuatan Serat Rayon Viskosa

2.3.1 Pembuatan Pulp


Serat rayon viskosa dibuat dari selulosa yang berasal dari pulp kayu, biasanya kayu
yang digunakan jenis cemara. Kayu tersebut dikerjakan dengan kalsium bisulfit
kemudian dimasak dengan uap selama 15 jam. Pengerjaan ini bertujuan melarutkan
zat-zat selain selulosa, sehingga hasilnya menjadi lebih murni.
Setelah pemasakan kemudian dilarutkan dengan air, dipekatkan hingga kadar
selulosanya 30%, diputihkan dengan hipoklorit dan akhirnya dibuat menjadi
lembaran-lembaran kertas[2].

2.3.2 Alkalisasi (Pembuatan Selulosa Alkali )


Bahan baku pembuata rayon viskosa adalah pulp dengan kadar selulosa ≥ 95%.
Proses pembentukan alkali selulosa dengan mereaksikan selulosa yang berbentuk
pulp dengan NaOH 18%. Tujuannya untuk mendapatkan bubur (slurry) alkali
selulosa, menggembungkan selulosa, menghilangkan kotoran, dan melarutkan
hemiselolusa. Proses pembuatan alkali selulosa diawali dengan proses
penghancuran pulp didalam pulper dan ditambahkan larutan NaOH. Reaksi
pembentukan alkali selulosa dapat dilihat pada Gambar 2.4 di halaman 10.
10

(C6H10O5)n + nNaOH  (C6H9O4ONa)n + nH2O


Selulosa Alkali Selulosa air

Sumber : Moncrieff, Man Made Fibers, Heywood Books, London, 1966, halaman
140.
Gambar 2.4 Reaksi Selulosa Alkali

Hasil campuran pulp-alkali ini disebut dengan slurry. Alkali selulosa (slurry) dari
pulper kemudian dipompakan ke slurry tank untuk menyempurnakan pembentukan
alkali selulosa dan pelarutan hemiselulosa. Slurry alkali selulosa dari slurry tank
kemudian dipompakan ke dalam slurry press. Tujuan dipompakan slurry alkali
selulosa adalah untuk menghilangkan kelebihan alkali pada selulosa. Hasil dari
proses alat slurry press ini didapatkan alkali selulosa dengan komposisi kurang lebih
terdiri dari (33 - 34) % selulosa, (15 - 16) % alkali dan sisanya air. Alkali selulosa
yang telah dibebaskan kelebihan alkalinya dalam slurry press akan berbentuk
seperti lembaran kemudian disuapkan ke dalam pre shredder untuk dicabik-cabik
menjadi serpihan (flakes) dan diperkecil lagi ukurannya pada shredder sehingga
terbentuk serbuk alkali selulosa yang disebut crumb.

2.3.3 Proses Pemeraman Selulosa Alkali (Aging)


Proses pemeraman yaitu proses penurunan derajat polimerisasi (DP) rantai molekul
alkali selulosa sehingga didapatkan derajat polimerisasi yang diinginkan untuk
mendapatkan larutan viskosa yang ideal untuk proses pemintalan, yaitu
menghasilkan nilai ball fall (viskositas) sebesar 40 – 60 detik. Waktu pemeraman
dilakukan selama 5 – 6 jam. Selama proses pemeraman, aging drum berputar
dengan kecepatan 0,30 – 0,60 rpm. Alkali selulosa hasil dari aging drum dikirim ke
weight hopper dengan menggunakan udara yang ditiupkan oleh blower dengan
suhu blower antara 10 – 22ºC. Selama perjalanan ke xantator, suhu alkali selulosa
akan turun menjadi 30ºC.Weight hopper berfungsi sebagai tempat penampungan
selulosa alkali sekaligus tempat penimbangan selulosa alkali. Untuk satu kali proses
batch, selulosa alkali yang diumpankan ke weight hopper sebesar 7 – 9 ton.

2.3.4 Proses Xantasi


Selulosa alkali hasil dari proses pemeraman (aging) belum dapat dilarutkan, maka
dilakukan proses xantasi. Tujuan dari proses xantasi adalah menambahkan gugus
reaktif pada selulosa sehingga mudah untuk dilarutkan. Caranya yaitu mereaksikan
selulosa alkali dengan karbon disulfida dalam alat yang dinamakan xantator dan
proses pembentukannya disebut xantasi, hasil dari reaksi tersebut yaitu selulosa
xantat. Proses yang dilakukan dengan memasukan selulosa alkali kemudian
11

dilakukan pemvakuman pada xantator agar memiliki tekanan sebesar -0,82 bar.
Setelah itu dialirkan karbon disulfida dengan pengadukan 43 rpm selama 30-40 menit
sampai akhirnya dihasilkan selulosa xantat. Reaksi pembentukan selulosa xantat
dapat dilihat pada Gambar 2.5 di bawah ini.

Sumber : J.Chen, Textile and Fashion, synthetic textile fibers: regenerated cellulose
fibers, The University of Texas at Austin: USA, 2015. hal 84.

Gambar 2.5 Reaksi Alkali Selulosa Xantat

Disamping reaksi di atas terjadi pula reaksi :


2CS2 + 6NaOH → Na2CO3 + Na2CS3 + 3H2O + Na2S
(C6H9O4OCSSNa)n + NaOH → Na2COOS + NaSH + C6H10O5
Na2COOS + NaOH → Na2CO3 + NaSH
(C6H9O4OCSSNa)n + NaSH → Na2CS3 + C6H10O5

Laju reaksi dipengaruhi oleh suhu selulosa alkali dan suhu dinding dalam silinder.
Hasil dari xantator disebut selulosa alkali xantat yang berwarna jingga, disebabkan
oleh terbentuknya senyawa Na2CS3, selain itu memiliki bau yang khas karena
terbentuknya Na2COOS dan NaSH, ketiga unsur tersebut merupakan hasil samping
dari reaksi xantasi. Hasil larutan ini kemudian dialirkan ke dalam tangki dissolver.

2.3.5 Proses Pelarutan


Pelarutan alkali selulosa xantat dilakukan dengan mereaksikan alkali selulosa xantat
dengan dissolving lye ( NaOH 20g/l) pada tangki dissolver dan fine homogenizer. Di
dalam fine homogenizer terjadi penghalusan gumpalan-gumpalan alkali selulosa
xantat. Pelarutan dan penghalusan ini dilakukan pada suhu 16ºC selama kurang lebih
selama 1 jam. Tangki dissolver dijaga agar berada dalam suhu rendah, tangki
dissolver dilengkapi dengan sistem pendingin berupa jaket yang dialir dengan brine.
Xantat yang telah dilarutkan dengan dissolving lye ini disebut dengan larutan viskosa.
Selanjutnya larutan viskosa dialirkan ke blender, didalam blender larutan viskosa
diaduk guna menghasilkan larutan yang lebih halus dan merata.
12

2.3.6 Proses Pematangan


Larutan viskosa merupakan koloid yang mempunyai sifat-sifat yang tidak stabil,
termasuk sifat viskositas dan derajat penguraiannya. Tujuan proses pematangan
adalah untuk lebih menyempurnakan reaksi pembentukan selulosa xantat. Viskosa
yang sudah larut tidak bisa langsung dipintal, larutan viskosa harus dimatangkan
untuk lebih menyempurnakan reaksi pembentukan selulosa xantat serta kandungan
gelembung udara dihilangkan, pada proses ini terjadi penyempurnaan reaksi antara
selulosa alkali dengan CS2.

Proses pematangan dalam ripening tank berlangsung selama 3 jam dan diharapkan
larutan viskosa memiliki harga ripening index sekitar 12-13 dan ball fall 40-60 detik.
Besaran ini dinyatakan dari volume ammonium klorida (NH4Cl) 10% yang diperlukan
untuk mengkoagulasi 20 gram xantat yang dilarutkan dalam 30 ml air pada suhu
20ºC. Ripening Index yang ingin dicapai setara dengan ml titrasi oleh ammonium
klorida. Cara ini disebut dengan cara Hottenroth. Pematangan dilakukan hingga
tercapai titik kesetimbangan antara reaksi pembentukan xantat dan penguraiannya.
Jika larutan viskosa tidak matang (nilai RI rendah) maka sulit dipintal karena
koagulasi lambat sehingga menghasilkan filamen-filamen yang saling melekat dan
membentuk spinning fault. Sifat viskositas dan derajat penguraian larutan viskosa
akan berpengaruh terhadap proses koagulasi dan regenerasi yang terjadi di mesin
pemintalan. Untuk memperoleh sifat-sifat yang sesuai bagi proses pemintalan
larutan viskosa dimatangkan dengan mengatur suhu dan waktu penyimpanan.

Larutan viskosa sebelum dikirim ke Departemen Pemintalan untuk diolah lebih lanjut
membentuk serat harus terlebih dahulu dibebaskan dari pengotor (kontaminan).
Kontaminan akan menyebabkan penyembutan pada lubang spinneret pada proses
pemintalan, menurunkan kualitas, berubahnya ketebalan serat dan menurunkan
kekuatan tarik serat. Kontaminan dapat berupa debu, kotoran pulp, karat, dan serat
halus selulosa.

Penyaringan dilakukan sebanyak tiga kali, yang pertama dilakukan dalam first klein
korb fiber yang memiliki saringan berukuran 25µm dan piston yang digerakan oleh
motor untuk melakukan backwash. Prinsip kerja dari filter ini adalah berdasarkan
perbedaan tekanan antara saluran masukan dan saluran pengeluaran. Hasil
penyaringan ini adalah filtrat dan reject viscose. Filtrat keluar dengan laju alir
52,5m3/h dan ditampung dalam tanki penampung (P2 tank), sedangkan reject
viscose ditampung dalam tanki penampung (P3 tank). Filtrat viscose dari P2 tank
13

dialirkan ke flash deaerator untuk dihilangkan gelembung-gelembung udaranya.


Flash dearator bekerja pada kondisi vakum sehingga gelembung-gelembung udara
dalam larutan viskosa teruapkan dan didapatkan larutan viskosa tanpa gelembung
udara, selain itu, dalam flash dearator terjadi penurunan titik didih larutan viskosa.
Setelah itu, larutan viskosa ditampung dalam intermediet tank untuk mengalami
proses pengadukan dengan kecepatan 5 rpm dan suhu larutan viskosa dalam
tangki sekitar 25ºC.

Larutan viskosa dari intermediet tank kemudian mengalami penyaringan kedua


dalam second klein korb filter dengan prinsip kerja yang sama, hanya saja ukuran
screen yang berbeda yaitu 20µm. Filtrat yang diperoleh masuk ke tangki pemintalan
untuk selanjutnya diproses di departemen pemintalan, sedangkan reject viscose
ditampung dalam tanki penampung yang selanjutnya dialirkan menuju reject filter
dengan screen 30 µm, sehingga diperoleh filtrat dan reject of reject viscose. Reject
of reject viscose dialirkan ke mixing tank untuk dicampur dengan air lunak dan
hasilnya dialirkan ke centrifuge tank dengan laju alir 60m3/h yang digunakan dalam
pembuatan dissolving lye. Larutan viskosa hasil penyaringan tahap I dialirkan ke
flash deaerator untuk menghilangkan gelembung-gelembung udara yang terdapat
dalam larutan viskosa yang akan mengganggu proses pemintalan. Gelembung ini
dapat menyebabkan lubang spinneret tersumbat yang akan menyebabkan
ketidakkontinyuan proses pembuatan tow.

Proses pemvakuman dilakukan sampai tekanan 20 mbar dengan kondisi vakum


didapatkan oleh bantuan steam ejector. Kemudian larutan viskosa dipompakan ke
dalam tanki pemintalan.

2.3.7 Pemintalan (Spinning)


Proses pemintalan (spinning) diartikan sebagai proses pembentukan multifilamen
yang terdiri dari puluhan atau ratusan ribu filamen yang digulung pada sebuah
penggulung (tow) dari larutan viskosa, atau bisa juga disebut sebagai pembentukan
kembali selulosa melalui dekomposisi viskosa menggunakan larutan koagulasi.

Larutan viskosa yang telah mengalami pematangan (ripening) selanjutnya dipintal


dengan cara pemintalan basah (wet spinning) yaitu larutan viskosa disemprotkan ke
dalam spinbath yang berisi larutan koagulasi (larutan pemintal) melalui spinneret.
Larutan koagulasi ini berfungsi mengkoagulasi dan meregenerasi larutan viskosa.
Larutan koagulasi yang digunakan di PT South Pacific Viscose mengandung H2SO4,
Na2SO4 dan ZnSO4.
14

Pada proses pemintalan basah, asam sulfat (H2SO4) yang terkandung dalam larutan
koagulasi akan menarik NaOH sehingga membentuk senyawa Na2SO4, selain itu
didalam larutan koagulasi terjadi pembentukan kembali larutan viskosa menjadi
selulosa dengan persamaan reaksi dapat dilihat pada Gambar 2.6 di bawah ini.

Selulosa Xantat viskosa

Sumber : Moncrieff, Man Made Fibers, Heywood Books, London, 1966, halaman
142.
Gambar 2.6 Reaksi Terbentuknya Rayon Viskosa

Natrium sulfat (Na2SO4) merupakan elektrolit kuat yang digunakan untuk membantu
proses koagulasi larutan viskosa. Natrium sulfat banyak digunakan karena garam ini
dapat terbentuk selama pemintalan dari hasil reaksi antara NaOH dari larutan
viskosa dengan asam sulfat, dengan garam natrium sulfat sebagai reaksi samping
dari proses pemintalan.
Reaksi samping yang terjadi adalah sebagai berikut :
2NaOH + H2SO4 → Na2SO4 + H2O
Na2CS3 + H2SO4 → Na2SO4 + H2S + CS2
Na2CO3 + H2SO4 → Na2SO4 + CO3 + H2O

ZnSO4 berfungsi menghambat terjadinya proses regenerasi yang cepat dengan


membantu pembentukan kulit luar serat yang stabil sehingga reaksi antara SO 42-
dari larutan koagulasi dengan Na+ dari larutan viskosa dapat dirintangi. Natrium
selulosa xantat yang tidak stabil diubah menjadi seng selulosa xantat yang
mengendap membentuk kulit filamen yang lebih stabil. Pada reaksi tersebut bagian
luar serat akan lebih cepat menggumpal dibanding bagian dalam.

Terbentuknya lapisan kulit serat yang stabil, maka bagian dalam serat masih
berbentuk gel, hal ini memungkinkan filamen dapat ditarik dengan kekuatan yang
besar tanpa mudah putus, sehingga penjajaran rantai molekul selulosa dapat
dengan mudah dilakukan.

Melalui reaksi-reaksi di atas maka karbon disulfida yang semula terikat pada larutan
viskosa akan terbebas, sedangkan selulosa hasil pertukaran ikatan selulosa xantat
tersebut akan tertinggal dan terakumulasi kedalam bentuk tow serat. Proses
15

dekomposisi larutan viskosa dalam pembentukan serat tidak terjadi secara spontan,
melainkan secara bertahap, namun proses pembentukannya terjadi dalam waktu
yang sangat cepat.

2.3.8 Pemotongan Tow


Tow merupakan kumpulan filamen yang panjangnya tidak berujung untuk itu perlu
dilakukan pemotongan agar memudahkan proses selanjutnya. Proses pemotongan
dilakukan dengan memasukan tow pada mesin pemotong dengan posisi vertikal
dengan bantuan semprotan air bersuhu 120ºC tekanan 1,2 bar sehingga dihasilkan
serat staple (potongan-potongan filamen) dengan kisaran panjang 35, 44, dan 55mm.

2.3.9 Proses Pengambilan Kembali Karbon Disulfida


Serat rayon viskosa yang telah dipotong (stapel) dilewatkan pada pipa-pipa kecil yang
berlubang dengan injeksi uap bertekanan (0,3 – 1,5) bar. Tujuan proses ini adalah
menguapkan CS2 sisa reaksi yang terdapat pada serat. Gas-gas yang menguap
selanjutnya dikirim ke condenser agar suhunya menurun secara bertahap hingga
berbentuk kondensasi untuk kemudian dikirim ke CS2 Plant. CS2 yang dapat diambil
kembali sekitar (30 - 40)% dari CS2 yang digunakan untuk reaksi xantasi.

2.3.10 After Treatment (Proses Pengerjaan Lanjutan)


Serat hasil produksi dari mesin pemintalan mengandung semua komponen spinbanth
yaitu H2SO4, Na2SO4, dan ZnSO4, bahkan mungkin dapat mengandung CS2. Proses
after treatment bertujuan untuk menghilangkan senyawa-senyawa tersebut dan
pengotor serat yang masih menempel pada serat rayon viskosa. Selain itu serat
harus memiliki derajat putih tertentu dan sifat-sifat teknis tertentu yang harus
dipenuhi. Untuk mencapai hal tersebut maka serat harus mengalami proses
pengerjaan lanjutan.

Proses pengerjaan lanjutan berlangsung secara kontinyu dengan melewati bak-bak


melalui konveyor dengan kecepatan tergantung dari banyaknya larutan viskosa
yang disemprotkan (viscose rate), makin banyak serat yang diproses maka
kecepatan konveyor akan semakin cepat agar hasilnya lebih merata. Mesin
pengerjaan lanjutan dibagi menjadi delapan bagian dimana tiap ujung bagian
dilengkapi dengan rol penekan untuk memeras serat. Proses pengerjaan lanjutan
meliputi :

1. Pencucian asam (acid free washing)


Asam sulfat dapat menurunkan kekuatan serat, untuk itu harus dihilangkan
sampai bersih. Sisa asam yang terkandung dalam serat dicuci dengan
16

menggunakan air lunak 80ºC. Pada proses Acid Free Washing ini proses
pematangan (ripening) serat
2. Pencucian pertama (first washing)
Proses ini merupakan kelanjutan dari proses pencucian sisa asam dengan
menggunakan air lunak dengan suhu (70 - 75)ºC yang berasal dari final
washing.
3. Penghilangan belerang (desulfurizing)
Tujuan proses ini adalah menghilangkan kandungan belerang yang dapat
menyebabkan serat mudah putus dan meninggalkan warna kekuning-kuningan
pada serat. Belerang yang terdapat dalam serat akan membentuk asam sulfat
bila teroksidasi oleh udara yang dapat memutuskan ikatan molekul selulosa.
Penghilangan dilakukan dengan menggunakan NaOH konsentrasi 3 g/l dan
suhu 80ºC.
4. Pencucian kedua (Second Washing)
Tujuan proses ini adalah menghilangkan sisa belerang dengan menggunakan
air lunak (30 - 60)ºC yang berasal dari third washing.
5. Pengelantangan (bleaching)
Proses ini bertujuan untuk memutihkan serat dengan memutuskan gugus azo
pembentuk pigmen dan menghilangkan kotoran dengan cara mereaksikan serat
dengan larutan NaOCl pada suhu 60ºC. Kedalam larutan bleaching ini juga
ditambahkan H2SO4 untuk menjaga pH agar tidak terlalu tinggi akibat
penggunaan NaOH pada proses desulfurizing.
6. Pencucian ketiga (third washing)
Pencucian ini bertujuan untuk membersihkan serat dari sisa-sisa larutan
pengelantang yang terbawa dengan menggunakan air lunak pada suhu 60ºC
dari unit boiler. Kekuatan serat akan turun pada pengerjaan dengan alkali lemah
dan klor aktif yang tersisa akan membentuk asam yang dapat mengakibatkan
hidroselulosa pada serat.
7. Pencucian akhir (final washing)
Proses pencucian ini bertujuan untuk menyempurnakan proses pencucian
ketiga, sehingga akan diperoleh serat yang benar-benar bersih dan bebas dari
zat-zat yang dapat merusak serat. Air yang digunakan adalah fresh soft water
dengan suhu 60ºC dari unit boiler.
8. Proses pelembutan (softfinish)
Soft finish diberikan agar serat menjadi mudah dipintal, tidak menggumpal dan
lembut. Zat yang digunakan adalah Honol MGR dan Honol GA yang dicampur
17

dengan konsentrasi 15 g/l. Pada proses ini juga ditambahkan zat H2O2 sebagai
penyempurna proses pengelantangan.

2.3.11 Proses Pengeringan dan Pengepakan


Serat rayon viskosa yang masuk ke mesin pengering memiliki kadar air sebesar 110
%, untuk menurunkan kadar air sampai (11 - 13) % maka dilakukan pengeringan
serat dengan cara konveksi paksa. Ada dua tahap pengeringan yang dilakukan,
pada tahap pertama serat mengalami pengeringan pendahuluan untuk menurunkan
kadar air hingga kadar air mencapai 70 % dengan menggunakan mesin blow dry
pada suhu 175ºC. Hal ini dilakukan dengan tujuan membantu proses pengeringan
serat sehingga kuantitas produksi dapat ditingkatkan. Tahap ke dua adalah
pengeringan oleh mesin dryer. Pada mesin dryer aliran uap pemanas dihembuskan
dari suatu kumpulan pipa kearah serat yang mengalir diatas suatu konveyor. Hasil
pengeringan dalam mesin dryer didapatkan serat dengan moisture yang diinginkan
yaitu (11 - 13)%. Setelah serangkaian proses pengeringan selesai serat
diumpankan ke unit opener , untuk dicabik-cabik agar serat terbuka dan
menguraikan gumpalan-gumpalan serat. dengan prinsip yang sama pada wet
feeder. Kemudian serat viskosa dikemas menjadi bale (berbentuk persegi) serat
dalam mesin pengepakan (baling press). Serat dari mesin pembuka serat ditiupkan
dengan blower menuju kotak pada mesin baling press, kemudian ditekan agar serat
menjadi padat dalam bentuk bale dengan berat ± 285 kg. Bale serat kemudian
dilewatkan pada mesin penimbangan dan dicek MR seratnya dengan sistem
otomatis secara komputerisasi.

2.4 Parameter of Hidrogen (pH)

pH atau derajat keasamaan digunakan untuk menyatakan tingkat keasamaan atau


kebasaan yang dimiliki oleh suatu zat. Larutan dengan pH netral memiliki nilai 7
sementara pH > 7 menunujukan zat tersebut memiliki sifat basa sedangkan nilai pH
< 7 menunjukkan keasaman. pH 0 menunjukkan derajat keasamaan yang tertinggi,
dan pH 14 menunjukkan derajat kebasaan tertinggi. Umumnya indikator yang
digunakan adalah kertas lakmus. Selain menggunakan kertas lakmus, indikator
asam basa dapat diukur dengan pH meter yang bekerja berdasarkan prinsip
elektrolit/konduktivitas suatu larutan.
Bila suatu atom menerima energi tambahan dari luar, energi kinetik elektron atom
tersebut akan meningkat. Hal itu akan memindahkan tingkat energi elektron
ketingkat yang lebih tinggi, elektron akan berpindah menuju kulit yang lebih luar
yang akhirnya jika energi yang diterima cukup besar dapat memisahkan elektron
18

dari atommnya, dari atom ini akan didapatkan dua partikel yang masing-masing
bermuatan negatif dan positif. Partikel atom yang melepas elektronnya itu disebut
ion positif, sedangkan partikel atom yang menerima disebut ion negatif. Molekul-
molekul suatu zat yang dalam larutannya dapat menghantarkan listrik disebut
dengan larutan elektrolit. ion-ion negatif bergerak menuju anode maka disebut
dengan anion, ion positif bergerak menuju katode, oleh karena itu disebut dengan
kation.
Air murni tergolong elektrolit lemah, sebagian molekulnya terurai menjadi ion H+ dan
OH-
H2O H+ + OH-
Dari persamaan diatas 1 ion H+ dan 1 ion OH- berasal dari penguraian 1 molekul
H2O, dengan demikian konsentrasi ion H+ sama dengan konsentrasi ion OH-
sehingga larutan tersebut netral. Larutan yang mengandung ion H+ berkonsentrasi
lebih besar dari konsentrasi ion OH- disebut larutan asam, sedangkan larutan yang
mengandung konsentrasi ion H+ berkonsentrasi lebih rendah dari konsentrasi ion
OH- disebut larutan basa.

2.4.1 Asam dan Basa


Asam adalah suatu zat yang dapat memberi proton (ion H+) kepada zat lain (yang
disebut basa) atau dapat menerima pasangan elektron bebas dari suatu basa.
Rayon viskosa lebih cepat rusak oleh asam dibandingkan kapas terutama dalam
keadaan panas. pengerjaan dengan asam encer dalam temperatur rendah dan
waktu yang singkat tidak akan berpengaruh tetapi pada temperatur tinggi dapat
merusak serat rayon.[3] Rayon viskosa rusak oleh asam pekat. Asam pekat akan
menghidrolisa ikatan glukosida, sehingga terjadi pemutusan rantai molekul.
Hidrolisa tersebut menyebabkan penurunan kekuatan tarik.

Sumber : Rasyid, Djufri, Teknologi Pengelantangan, Pencelupan dan Pencapan.


ITT, Bandung: 1976,halaman 76.
Gambar 2.7 Reaksi Hidroselulosa
19

Basa adalah senyawa yang menyerap ion hidronium ketika dilarutkan dalam air.
Dalam suasana basa terjadi fenomena penggembungan selulosa oleh logam alkali
natrium hidroksida, bahwa gugus-gugus hidroksil pada unit ahidroglukosa berlaku
sebagai asam lemah yang terdisosiasi secara independen dalam larutan. Disosiasi
tersebut berlangsung sesuai dengan konsentrasi soda kostik yang digunakan. Bila
selulosa direndam dalam larutan soda kostik maka air dan alkali akan berdifusi ke
dalamnya menurut teori kesetimbangan membran Donnan, yang segera diikuti oleh
disosiasi gugus hidroksil selulosa dan pembentukan garam natrium selulosa.

Dalam sistem kesetimbangan demikian pembentukan garam selulosa akan sangat


ditentukan oleh konsentrasi ion hidroksil dalam fase selulosa (fase internal), yang
pada gilirannya ditentukan oleh konsentrasi larutan soda kostik yang digunakan.
Pembentukan garam memperbesar konsentrasi ion di dalamfase selulosa sehingga
timbul perbedaan tekanan osmotik antara fase tersebut dan fase larutan (eksternal).
Akibatnya air akan masuk dalam jumlah lebih besar lagi ke dalam serat dan
menurunkan konsentrasi ion di dalamnya sehingga tercapai suatu kesetimbangan
antara kedua fase dan serat menggembung.

2.5 Surfaktan
Surfaktan adalah suatu zat yang dapat menurunkan atau menaikan tegangan
permukaan. Molekul surfaktan terdiri dari 2 bagian, bagian kepala bersifat polar
(hidrofilik) dan bagian ekor bersifat non polar (hidrofobik). Bagian hidrofilik pada
surfaktan membuat surfaktan dapat larut dalam pelarut polar, sedangkan bagian
yang hidrofobik membuat surfktan larut dalam pelarut non-polar. sifat ampifilik ini
menyebabkan surfaktan dapat diadsorbsi pada antar muka udara-air, minyak-air,
dan zat padat-air. Ganbar Molekul hidrofilik tersusun dari ion (seperti sulfonat, sulfat,
karboksilat, fosfat, dan ammonium kuartener), grup polar (seperti amina primer,
amina oksida) dan grup non polar dengan keelektronegatifan atom (seperti oksigen
didalam eter, aldehid, ester, dan amina). Molekul-molekul ini akan membentuk
ikatan hidrogen didalam air.

Surfaktan dapat digolongkan menjadi dua golongan besar, yaitu surfaktan yang larut
dalam minyak dan surfaktan yang larut dalam air.
1. Surfaktan yang larut dalam minyak
Ada tiga yang termasuk dalam golongan ini, yaitu senyawa polar berantai
panjang, senyawa fluorokarbon, dan senyawa silikon.
2. Surfaktan yang larut dalam pelarut air
20

Golongan ini banyak digunakan antara lain sebagai zat pembasah, zat
pembusa, zat pengemulsi, zat anti busa, detergen, zat flotasi, pencegah korosi,
dan lain-lain.
Klasifikasi Surfaktan Ada empat yang termasuk dalam golongan ini, yaitu
surfaktan anion yang bermuatan negatif, surfaktan yang bermuatan positif,
surfaktan nonion yang tak terionisasi dalam larutan, dan surfaktan amfoter yang
bermuatan negatif dan positif bergantung pada pH.

Jenis-jenis Surfaktan Menurut Sifat Pengionan dalam Air

1. Surfaktan anionik.
surfaktan jenis ini memiliki kepala bermuatan negatif didalam air, dan banyak
digunakan pada industri laundri. Surfaktan ini dapat bereaksi dengan ion-ion
bermuatan positif yang menyebabkan sadah, seperti kalsium dan magnesium.
Reaksi ini menyebabkan deaktifasi parsial pada surfaktan.
2. Surfaktan kationik.
Surfaktan jenis ini adalah lawan dari surfaktan anionik, oleh karena itu tidak
cocok jika digunakan sebagai detergen dan zat pembasah. Bagian hidrofobik
surfaktan kationik mengandung senyawa organik ammonium atau piridinium[4].
Surfaktan kationik biasanya digunakan sebagai lubricant atau zat antistatik.
Dalam jumlah yang sedikit direkomendasikan sebagai zat pembantu dalam
proses pengurangan berat dengan NaOH pada kain polyester. Surfaktan
kationik digunakan sebagai pelembut, zat perata, dan pengemulsi.
3. Surfaktan non-ionik
Surfaktan non-ionik tidak mengandung gugus yang dapat berionisasi didalam air
dan tidak memiliki muatan elektrolit, sehingga kinerja dari surfaktan non-ionik
tidak bergantung pada ion yang ada dalam larutan proses. Surfaktan non-ionik
bebas dari pengendapan dan redoposisi dalam kain, dan aman digunakan
dalam suasana basa. Surfaktan non-ionik digunakan sebagai emulsifier,
lubricant, pelembut dan zat pembasah. Contoh pelembut non-ionik Honol GA
dan Honol MGR.
4. Surfaktan amfoter
Surfaktan amfoter dapat berupa kationik, non-ionik atau anionik tergantung pada
kondisi pH larutan.

Pada halaman 21 adalah efek pH terhadap surfaktan amfoter


21

Tabel 2.1 Efek pH terhadap Surfaktan Amfoter

Struktur pH Muatan ion


(-) (+)
Cl NH2 CH2 CH2 COOH Asam Kationik
(+) (-)
R NH2 CH2 CH2 COO Isoelectric range Non-ionik
(-) (+)
R NH CH2 CH2 COO Na Alkali Anionik

Sumber : S.R. Karmakar, Textile Science and Technology, Chemical Technology In


The Pre-treatment Proceses of Textiles, Elsevier : New York, 1999. hal 98.

Surfaktan amfoter memberikan kemampuan yang sangat baik sebagai lubricant, zat
pembasah, dan dapat meningkatkan perlindungan pada proses sutera dan wol.
Jika dibandingkan dengan surfaktan jenis lainnya surfaktan amfoter relatif lebih
mahal, dan tidak stabil jika digunakan pada temperatur tinggi.

2.6 Pelembut
Proses soft finish merupakan salah satu hal yang penting dalam penyempurnaan
tekstil, dengan proses soft finish dapat menghasilkan pegangan yang lembut dan
kenyamanan. Pelembut bertindak sebagai pelumas serat dan akan mengurangi
koefesien gesek antara serat, benang, kain dan obyek abrasif.

Proses soft finish ditujukan agar pelembut membentuk lapisan pelindung pada serat
yang berufungsi untuk menurunkan gesekan permukaan, sehingga dapat
membantu proses selanjutnya dalam pemintalan menjadi benang. Pembentukan
lapisan pada permukaan serat tergantung pada sifat ionik molekul pelembut dan
hidrofobisitas relatif dari permukaan serat. Pelembut jenis non-ionik akan
terorientasi berdasarkan dari sifat permukaan serat, dengan bagian hidrofilik
pelembut akan tertarik untuk serat yang bersifat hidrofil, dan bagian hidrofob
pelembut akan tertarik untuk serat yang bersifat hidrofob[5]. Skema orientasi gugus
hidrofob dan hidrofil dapat dilihat pada gambar 2.7 halaman 22. Pelembut yang
digunakan adalah jenis surfaktan. Pelembut sebagai surfaktan meningkatkan
kompatibilitas ukuran polimer, membantu dalam emulsifikasi dan mudah untuk
dihilangkan. Bagian hidrofob pada surfaktan menghasilkan koefisien gesek yang
rendah antara permukaan yang diterapkan dan bertindak sebagai pelumas,
sedangkan bagian hidrofilik untuk kemudahan pada proses penghilangan
selanjutnya. Sifat-sifat pelembut yang ideal untuk digunakan adalah sebagai berikut:
1. Pelumasan sangat baik terhadap serat-serat dan serat-metal.
22

2. Ekonomis.
3. Tidak berpengaruh pada sifat fisik lain seperti kemapuan daya serap serat.
4. Tidak menimbulkan busa.
5. Tidak berpengaruh pada produksi pencelupan.
6. Tidak berpengaruh pada sifat tahan luntur.
7. Tidak menyebabkan yellowing.
8. Mudah dicuci dan
9. Mudah dibiodegradasi.

Dalam menggunakan pelembut jenis surfaktan perhatian khusus ditujukan pada


substrat (hidrofil atau hidrofob) dan substantivitas pelembut pada substrat tersebut.
Pertimbangan penting lain yang harus diperhatikan adalah sifat ionisasi pelembut
didalam air, karena keseimbangan jumlah hidrofilik dan hidfobik pada pelembut
yang dipakai akan berpengaruh pada kompatibilitas.

Bagian hidrofobik pada molekul pelembut


Bagian hidrofilik pada molekul pelembut
Permukaan serat dengan muatan parsial
negative

Sumber : W. D. Schindler and P. J. Hauser, Chemical finishing of textiles,


Woodhead Publishing Limited : Cambridge England, 2004
Gambar 2.8 Orientasi Gugus Hidrofob dan Hidrofil pada Permukaan Serat

2.7 Hidrogen Peroksida (H2O2)


Hidrogen peroksida adalah cairan tidak berwarna yang mudah larut dalam air. Zat
ini stabil apabila berada pada pH asam, dan akan semakin tidak stabil dengan
bertambahnya alkalinitas.Zat ini memiliki ikatan peroksida (-O-O-) dimana paling
tidak satu atom oksigen aktif akan berperan dalam pemutusan ikatan terkonjugasi
dari pigmen warna alam dalam serat. Selain itu hidrogen peroksida dapat
mempercepat pengelantangan dengan NaOCl sekaligus bertindak sebagai
antiklor[6].
23

Mekanisme reaksi dari H2O2 adalah sebagai berikut :

H2O2 H2O + (O) + xkkal (1) Dekomposisi spontan


H2O2 H+ + (2) Disosiasi dalam air
-
OH + (O) (3) Pelepasan oksigen aktif
+
NaHO2 Na + (4) Pelepasan ion pada suasana alkali
2H2O2 2 H2O + O (5) Dekomposisi

Faktor-faktor yang mempengaruhi penguraian H2O2 yaitu :

1. Pengaruh pH
Larutan H2O2 memiliki pH sedikit asam, hal ini ditujukan agar H2O2 tahan terhadap
penyimpanan. Pada proses pengelantangan kondisi pH larutan yang digunakan
dalam keadaan basa. Kondisi pH basa akan mempercepat penguraian H2O2 untuk
meghasilkan oksigen aktif. Kenaikan pH akan menyebabkan naiknya jumlah zat
oksigen aktif yang dapat mengelantang sehingga diperoleh kenaikan derajat putih.
Namun pH yang terlalu alkali dapat menyebabkan penguraian yang terlalu cepat
sehingga dapat merusak serat selulosa. Kerusakan terjadi ditandai dengan adanya
penurunan kekuatan tarik pada serat.
2. Pengaruh Suhu
Penguraian kecepatan H2O2 dipengaruhi oleh suhu larutan. Pada suhu rendah H2O2
lebih stabil dibandingkan pada suhu relatif tinggi.
3. Pengaruh Katalis Logam
Logam akan mempercepat terjadinya penguraian spontan H2O2, kejadian seperti ini
dapat merusak serat.
4. Pengaruh Stabilisator
Pemakaian zat penstabil pada proses pengelantangan dengan H2O2 akan berfungsi
untuk memperlambat proses penguraian pada pH larutan yang basa dan mampu
menetralkan ion-ion logam yang dapat mengkatalis penguraian H2O2. Contoh
stabilisator yang sering digunakan adalah natrium silikat.

You might also like