You are on page 1of 18

MAKALAH AD-DAKHIL FII TAFSIR

KRITIK TERHADAP TAFSIR SUFISTIK


(Makalah ini disusun guna untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Ad-Dakhil fii
Tafsir)

Dosen Pengampu:
Zainal Arifin Madzkur, MA

Disusun Oleh:
Khildaniyah Ridho (191410093)
Shafa Kamalia (191410101)

FAKULTAS USHULUDDIN
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
UNIVERSITAS PTIQ JAKARTA
2023
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur senantiasa kami panjatkan kepada Allah SWT. Karena
atas rahmat, taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan tugas makalah mata
kuliah Ad-Dakhil fii Tafsir yang berjudul “Kritik Terhadap Tafsir Sufistik” dengan
baik dan lancar. Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Nabi Muhammad
SAW, yang telah menjadi suri tauladan terbaik dan mencerahkan ilmu pengetahuan.
Dalam penulisan makalah ini, kami ingin mengucapkan terimakasih kepada
Bapak Zainal Arifin Madzkur, MA. selaku dosen mata kuliah Ad-Dakhil fii Tafsir
yang telah membimbing kami, juga kepada teman-teman yang selalu mendukung
proses belajar di kelas. Menyadari pentingnya makalah ini kami persembahkan
kepada pembaca semoga bermanfaat, serta dapat dijadikan perbandingan untuk
penyusunan makalah yang akan datang.
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak terdapat
kekurangan, baik dalam segi kata maupun penyusunan. Saran dan kritik yang
membangun terhadap makalah ini sangat kami harapkan demi perbaikan selanjutnya.

Jakarta, 29 Maret 2023

Penyusun

I
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR I

DAFTAR ISI II

BAB I 1

PENDAHULUAN 1

A. Latar Belakang 1

B. Rumusan Masalah 1

C. Tujuan Penulisan 1

BAB II 3

PEMBAHASAN 3

A. Pengertian Al-Dakhil dalam Tafsir 3

B. Pengertian Sahabat dan Tabi’in 5

C. Al-Dakhil dari Jalur Sahabat dan Tabi’in dan Contohnya 7

D. Kritik dan model mafsir sufistik


8

BAB III 13

PENUTUP 13

A. Kesimpulan 13

DAFTAR PUSTAKA 13

II
III
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Al-Qur’an adalah wahyu dan sabda Allah SWT. yang tiada tandingannya,
sekaligus sebagai pedoman pertama dan utama bagi umat Islam yang diturunkan
kepada umat manusia sekalian melalui Nabi yang terakhir yakni Nabi Muhammad
SAW. Dengan perantara malaikat Jibril, Al-Qur’an diyakini pula sebagai kitab
petunjuk dalam kehidupan manusia, yang terdapat kandungan keilmuan yang luas di
dalamnya. Meskipun Al-Quran berfungsi sebagai tuntunan dan pegangan hidup, tidak
semua umat islam memiliki kapabilitas dan kemampuan untuk memahami Al-Quran
langsung dari teksnya. Oleh karena itulah dibutuhkan penafsiran agar maksud dari
ayat-ayat Al-Quran bisa difahami dan Al-Quran bisa berfungsi sebagai tuntunan
dalam kehidupan. Meskipun begitu, karya tafsir adalah produk manusia yang tidak
terlepas dari salah dan lupa.
Dalam Ad-Dakhil mengajak para pengkaji Al-Qur'an untuk melakukan kritik
penafsiran. Bahwa sepandai apa pun manusia dia adalah makhluk biasa yang
berpotensi untuk melakukan kesalahan, termasuk kesalahan dalam menafsirkan Al-
Qur'an, salah satu yang menjadi titik fokus dalam kajian kritis terhadap sufi ini ialah
tafsir sufi nazari, bahwa mayoritas ulama’ menolak akan model tafsir sufi nazari ini
dikarenakan telah melanggar jauh syarat keilmuan, salah satunya ialah dalam tafsir
sufi nazari ini tidak mementingkan gramatika penggunaan bahasa Arab, sehingga
menafsirkan sesuai dengan kehendak mufasir. Kemudian hal inilah perlu adanya
penjelasan lebih lanjut mengenai kritik tafsir sufistik.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan tafsir sufistik?
2. Bagaimana perkembangan tafsir sufistik?
3. Bagaimana penafsiran kaum sufi terhadap tafsir sufistik?
4. Bagaimana kritik dan model tafsir sufistik?
5. Bagaimana contoh penafsiran kritik terhadap tafsir sufi?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui sekilas tentang tafsir sufistik.
2. Untuk mengetahui perkembangan tafsir sufistik.

1
3. Untuk mengetahui penafsiran kaum sufi terhadap tafsir sufistik.
4. Untuk mengetahui kritik dan model tafsir sufistik.
5. Untuk mengetahui contoh penafsiran kritik terhadap tafsir sufi.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sekilas Tentang Tafsir Sufistik


Istilah tafsir berasal dari kata serapan ‫يفس ر‬-‫ر‬
ّ ‫فس‬
ّ yang bermakna menafsrikan.
1

Secara etimologi, kata tafsir berarti ‫ الش رح و البي ان‬yang berarti menerangkan dan

menjelaskan. Selain itu, kata tafsir juga bermakna ‫ كش ف املراد عن اللف ظ املش كل‬yakni

menyingkap maksud dari lafadz yang sulit. Ada juga yang mengatakan bahwa tafsir
adalah sebuah usaha untuk menyingkap sesuatu yang tertutup.2 Sedangkan menurut
Al-Zarkasyi dalam Al-Burhan Fii ‘Ulum Al-Quran mengatakan bahwa tafsir secara
terminologis merupakan suatu ilmu yang digunakan untuk memahami Al-Qur’an
yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW serta menjelaskan makna-makna,
hukum-hukum dan hikmah yang terkandung di dalamnya.3
Adapun kata sufi jika ditinjau secara etimologis mempunyai banyak arti, ada
yang menyebut kata sufi berasal dari kata suffah yang berarti serambi sederhana yang
terbuat dari tanah dengan bangunan sedikit lebih tinggi daripada tanah masjid. Orang
sufi memang dulunya merupakan sekelompok sahabat Rasul yang gemar melakukan
ibadah dan mereka tinggal di serambi masjid Nabawi.4
Selain daripada diatas ada juga yang menjelaskan bahwa kata suf (‫)ص وف‬

berasal dari kata ‫ صاف – يصوف‬yang berarti tenunan dari bulu domba (wol).5 Adapun

orang yang berpakaian dari bulu domba disebut mutasawif sedangkan perilakunya
disebut dengan tasawuf. Pemaknaan ini merujuk pada orang-orang yang menjalani
hidup zuhud dari hal-hal duniawi serta tekun beribadah untuk membersihkan jiwa
mereka, sehingga sekarang dapat dikenal dengan sebutan kaum sufi. Dijelaskan pula
bahwa pemilihan pakaian yang berbahan dasar dari bulu domba ini sebagai simbol
kesederhanaan. Dari sinilah muncul istilah sufistik untuk memberikan kata sifat dari

1
Muhammad Zaenal Muttaqin, Geneologi Tafsir Sufistik dalam Khazanah Penafsiran Al-Qur’an,
Tamaddun, Vol.7 (1), 2019, Hal.118.
2
Muhammad Said, Metodologi Penafsiran Sufistik: Perspektif Al-Ghazali, Jurnal Diskursus Islam,
Vol.2 (1), 2014, Hal.145.
3
Muhammad Zaenal Muttaqin, Geneologi Tafsir Sufistik dalam Khazanah Penafsiran Al-Qur’an,
Hal.118.
4
Irwan Muhibudin, Tafsir Ayat-Ayat Sufistik (Studi Komparatif Antara Tafsir Al-Qusyairi dan Tafsir
Al-Jailani), (Jakarta: Penerbit UAI Press, 2018), Hal.68.
5
Dewi Murni, Penafsiran Sufistik di dalam Al-Qur’an, Jurnal Syahadah, Vol.V (2), 2017, Hal.65.

3
kata sufi.6 Para ulama’ berpendapat bahwa kata sufi berasal dari kata ‫ صفا يصفو‬yang

artinya jernih ataupun bersih. Tentunya hal ini menekankan pada kemurnian hati dan
jiwa.7
Melihat dari beberapa penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa tafsir
sufistik bermakna menakwilkan ayat-ayat Al-Qur’an yang berfokus pada makna
dibalik zahir ayat dengan mengemukakan isyarat yang hanya tampak pada orang yang
telah menempuh jalan suluk dan bentuk riyadhah lainnya dalam tasawuf. Dari
pengertian tersebut terlihat bahwa tafsir sufistik dapat dibentuk dari pemahaman
seseorang terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang bercorakkan tasawuf yang muncul dari
pemahaman tasawuf itu sendiri. Artinya, tafsir sufistik merupakan salah satu corak
tafsir yang tidak terikat dengan makna nash secara lahir saja, tetapi lebih cenderung
mengungkap isyarat-isyarat makna batin dari ayat-ayat Al-Qur’an melalui jalan
ta’wil.8
Tafsir Al-Qur’an dari sudut pandang sufi merupakan khazanah, kekayaan
intelektual Islam yang paling unik, dibandingkan dengan tinjauan lainnya. Tafsir sufi
mengkaji ayat-ayat Al-Qur’an dari segi mistik yang sifatnya batiniah dan sulit
dipahami oleh rasio dan logika sehingga sulit dipahami oleh beberapa orang.9
Sehingga perlu untuk diketahui bahwa yang menjadi landasan tafsir sufi ialah
ilmu tasawuf. Tasawuf sendiri diketahui merupakan perilaku yang dilakukan untuk
dapat menjernihkan jiwa dan menjauhkan diri dari kemegahan duniawi melalui
zuhud, kesederhanaan dan ibadah. Al-Ghazali mengungkapkan bahwa terdapat dua
hal dalam tasawuf yakni ketulusan kepada Allah SWT dan membaguskan pergaulan
yang baik dengan sesama. Dalam Ilmu tafsir Al-Qur’an klasik dijelaskan bahwa tafsir
yang bernuansa sufi sering didefinisikan sebagai suatu tafsir yang berusaha
menjelaskan makna ayat-ayat Al-Qur’an dari sudut esoterik atau berdasarkan isyarat-
isyarat terseirat yang tampak oleh seorang sufi dalam suluk atau perjalanan
spiritualnya.10

6
Muhammad Zaenal Muttaqin, Geneologi Tafsir Sufistik dalam Khazanah Penafsiran Al-Qur’an,
Hal.118-119.
7
Dewi Murni, Penafsiran Sufistik di dalam Al-Qur’an, Hal.65.
8
Muhammad Zaenal Muttaqin, Geneologi Tafsir Sufistik dalam Khazanah Penafsiran Al-Qur’an,
Hal.120.
9
Dewi Murni, Penafsiran Sufistik di dalam Al-Qur’an, Hal.66.
10
Dewi Murni, Penafsiran Sufistik di dalam Al-Qur’an, Hal.66-67.

4
B. Perkembangan Tafsir Sufistik
Pertumbuhan tafsir sufistik tidak terlepas dari perkembangan tasawuf itu
sendiri. Menurut Al-Dzahabi dijelaskan bahwa perilaku tasawuf sebenarnya sudah ada
sejak masa Nabi dan para sahabat, beberapa sahabat pada waktu itu cenderung
meninggalkan kenikmatan duniawi. Mereka lebih senang hidup dalam ke-zuhud-an,
sungguh-sungguh dalam beribadah, mengisi malam-malam mereka dengan qiyamul
lail, sedangkan pada siang hari mereka isi dengan puasa sebagai bagian dari riyadhah
ruhaniyyah.11 Kaum sufi merasa ingin dekat dengan Allah melalui cara hidup menuju
penyatuan dengan Allah dan membebaskan diri dari keterikatan pada kehidupan
dunia, sehingga tidak diperbudak oleh kesenangan yang bersifat duniawi tersebut.12
Praktek hidup sederhana ini sesungguhnya telah dilakukan sejak generasi awal
Islam, Rasulullah SAW. merupakan sosok yang pertama kali mencontohkan praktek
hidup sederhana. Di kalangan sahabat juga banyak yang mempraktekan pola hidup
sederhana (zuhud) menjauhkan diri dari hiruk pikuk keduniawian. Meskipun perilaku
tasawuf telah ada sejak masa awal Islam sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi dan
para sahabat, namun secara eksplisit terma tasawuf belum dikenal ketika itu.
Secara eksplisit term tasawuf mulai muncul dalam dunia Islam pada abad ke-2
H. Dimana pada masa ini, secara berangsurangsur kehidupan umat Islam telah
mengalami pergeseran nilai sehingga orientasi kehidupan umat Islam semakin kabur.
pada masa inilah ada umat Islam yang berupaya mempertahankan pola hidup
sederhana yang dikenal dengan kaum sufi. Orang yang pertama kali secara disebut
sebagai sufi pada periode ini berdasarkan informasi yang diperoleh Muhammad
Husein Al-Dzahabi adalah Abu Hashim Al-Sufi.
Perilaku zuhud yang dilakukan oleh sebagian umat Islam periode pertama dan
kedua berlanjut hingga masa pemerintahan daulat Abbasiyyah (abad ke-4 H), ketika
itu umat Islam mengalami kemakmuran dan kejayaan yang membahwa pada perilaku
hidup bermewah-mewahan di kalangan papan atas dan menengah (pejabat). Pada
masa ini perkembangan tasawuf tidak hanya pada aspek praksis saja, tetapi sudah
mulai ditandai dengan penjelasan-penjelasan teoritis yang ini menjadi embrio
munculnya disiplin ilmu tasawuf. Pada masa ini pula, mulai adanya persinggungan

11
Muhammad Zaenal Muttaqin, Geneologi Tafsir Sufistik dalam Khazanah Penafsiran Al-Qur’an,
Hal.120.
12
Leni Lestari, Epistemologi Corak Tafsir Sufistika, Syahadah, Vol.2 (1), 2014, Hal.4.

5
kuat antara tasawuf dengan filsafat dan kalam (theosofi), sehingga muncul aliran
tasawuf nazari dan tasawuf ‘amali.13
Secara sistematis, dalam buku  The Blackwell Companion to The
Qur’an dijelaskan mengenai pembagian periodisasi perkembangan corak tafsir
sufistik yang terbagi menjadi lima fase:
1. Fase Pertama (Abad Ke-2 H)
Pada fase pertama ini merupakan fase dasar dari perkembangan
interpretasi sufistik terhadap Al-Quran. Fase ini terbagi menjadi dua tahap,
tahap pertama diawali oleh tiga tokoh sufi utama, yaitu: Hasan Al-Bashri,
Ja’far Ash-Shadiq, dan Sufyan Ats-Tsauri. Kemudian, pada tahap kedua
dilanjutkan oleh Abu ‘Abdurrahman Muhammad al-Sulami
penulis Haqaiq At-Tafsir. Tafsir tersebut memiliki rujukan utama terhadap
pemikiran tujuh tokoh sufi ternama.
2. Fase Kedua (Abad Ke-5 H)
Pada era ini tafsir sufistik yang muncul terbagi menjadi tiga varian
yang berbeda: pertama, tafsir sufistik moderat, yaitu produk tafsir sufistik
yang masih mencantumkan rujukan dari hadis Nabi, atsar Sahabat, dan
mengutip beberapa pendapat dari para mufasir periode awal. Sehingga
dalam tafsir tersebut masih terdapat kajian aspek kebahasaan, konteks
historis, dan muatan ulumul Qur’an lainya. Kedua adalah produk tafsir
yang dipengaruhi oleh hasil penafsiran dan pemikiran sufistik Al-Sulami,
seperti Futuh al-Rahman fi Isyarat Al-Quran karya Abu Tsabit al-Dailami
dan Ara’is Al-Bayan fi Haqaiq Al-Quran karya Abu Muhammad Ruzbihan
Al-Shirazi. Ketiga  adalah produk tafsir sufistik yang ditulis dalam bahasa
Persia, seperti Kasyf Al-Asrar wa ‘Uddat Al-Abrar karya Al-Maybudi dan
karya tafsir dari Al-Darwajiki.
3. Fase Ketiga (Abad Ke-7 H)
Pada fase ini, muncul dua tokoh sufi yang sangat berpengaruh dalam
perkembangan tafsir sufistik, yaitu Najmuddin Al-Kubra dengan karyanya
yang berjudul Al-Ta’wilat Al-Najmiyyah fi Al-Tafsir Al-Isyariy Al-Shufiy,
dan Muhyiddin Ibn Arabi dengan dua karya magnum opusnya, yaitu Al-
Futuhat Al-Makkiyah dan Fushus Al-Hikam. Dua tokoh sufi tersebut

13
Badruzzaman M. Yunus, Pendekatan Sufistik dalam Menafsirkan Al-Qur’an, Syifa Al-Qulub, Vol.2
(1), 2017, Hal.7.

6
kemudian sama-sama membentuk madrasah tafsir sufistik masing-masing,
yaitu madzhab Kubrawiyyun dan madzhab Ibnu Arabi.
4. Fase Keempat (Abad Ke-13 H)
Fase ini menjelaskan tentang produk tafsir sufistik yang ditulis di India
selama pemerintahan Turki Utsmani dan Dinasti Timurid. Salah satu
produk tafsir sufistik yang ditulis secara komprehensif pada era ini
adalah Ruh al-Bayan karya tokoh sufi yang menghabiskan hidupnya di
Istanbul dan Bursa yaitu Ismail Haqqi.
5. Fase Kelima (Abad Ke-13 H- Sekarang)
Beberapa produk tafsir sufistik yang muncul pada masa ini adalah Al-
Bahr Al-Madid fi Tafsir Al-Quran Al-Majid karya tokoh sufi asal Maroko
yang bernama Ahmad Ibn Ajiba, Ruh Al-Ma’ani fi Tafsir Al-Quran
Al-’Adzim wa Sab’al-Matsani karya Syihabuddin Al-Alusi, Bayan Al-
Sa’adah fi Maqamat al-Ibadah karya Sultan Ali Shah dan Bayan al-
Ma’ani ‘ala Hasab Tartib Al-Nuzul karya Abdul Qadir Mulla Huwaish.14

C. Penafsiran Kaum Sufi Terhadap Tafsir Sufistik


Secara umum, kaum sufi mengatakan bahwa Al-Qur’an memiliki makna lahir
dan batin. Makna lahir adalah pemahaman yang ditarik dari teks sesuai kaidah bahasa
Arab, sementara makna batin adalah pemahaman dibalik makna lahir teks Al-Qur’an.
Imam Al-Ghazali pun mengeluarkan pendapat bahwa pengetahuan mufasir
tentang makna lahir harus sangat mendalam sebelum ia menafsirkan ayat secara batin.
Sebab barangsiapa mengaku mengetahui makna batin suatu ayat sebelum memahami
dengan baik makna lahirnya, maka sama halnya dengan orang yang mengaku masuk
ke dalam rumah tanpa melewati pintu utama.
Dengan pemahaman yang semacam ini, kaum sufi kemudian melakukan
penafsiran dengan metode dan penekanan yang berbeda-beda, akan dijelaskan sebagai
berikut:
1. Menggabungkan antara penafsiran lahir dan batin dalam satu kitab yang
dilakukan oleh Al-Alusi dalam kitabnya Ruh Al-Ma’ani.
2. Ada pula yang kadar penafsiran batinnya jauh lebih banyak daripada
penafsiran lahiriyyah-nya seperti yang dilakukan oleh Sahl Al-Tustari.
14
Moch Rafly Try Ramadhani, “Corak Tafsir Sufistik; Sejarah Perkembangan Dan Periodisasinya,”
Tafsir Al Quran Referensi Tafsir Di Indonesia, https://tafsiralquran.id/corak-tafsir-sufistik-sejarah-
perkembangan-dan-periodisasinya/.

7
3. Selain itu juga ada juga yang menafsirkan secara batin tanpa memasukkan
penafsiran lahir sama sekali dalam kitabnya, seperti yang dilakukan oleh
Abu ‘Abd Al-Rahman Al-Sulami dalam kitabnya Haqaiq Al-Tafsir dan
Ibn ‘Arabi dalam Al-Futuhat Al-Makkiyah dan Fusus Al-Hikam.

Terkait dengan tafsir sufistik ini, terdapat dua parameter untuk mengukur
keabsahannya yakni; muwafaqat al-arabiyah (kesesuaian dengan kaidah bahasa arab)
dan syahadat al-syar’i (kepatutan dengan aturan syariat). Sepanjang penafsiran
sufistik itu memenuhi dua persyaratan dimaksud, maka ia dapat diterima dan
dijadikan data ilmiah.15

D. Kritik dan Model Tafsir Sufistik


Setelah melihat penjelasan mengenai metode penafsiran yang digunakan oleh
kaum sufi di atas, maka disini para ulama’ membagi macam-macam penafsiran
sufistik secara garis besar, secara besar dibagi menjadi dua aliran, yakni sufi nazari
dan sufi ‘amali. Mayoritas ulama’ salaf menolak tafsir yang masuk kategori tafsir sufi
nazari dan membolehlan tafsir sufi ‘amali.
Pertama, tafsir sufi teoritik atau sufi nazari. Tafsir sufistik model ini dianggap
sebagai model penafsiran yang terlarang, karena metodologinya cenderung
mendewakan isyarat kebatinan tanpa mengindahkan makna lahiriyah teks. 16 Atau
dapat juga dipahami sebagai sebuah tafsir yang cenderung menafsirkan Al-Qur’an
berdasarkan teori atau faham tasawuf yang umumnya bertentangan dengan makna
lahir ayat dan menyimpang dari pengertian bahasa.17
Ulama’ yang dianggap representatif dalam tafsir sufi nazari ialah Muyiddin
Ibn Al-‘Arabi. Ibn ‘Arabi diangap sebagai ulama’ tafsir sufi nazari yang
menyandarkan beberapa teori-teori tasawufnya dengan Al-Qur’an.18
Muhammad Husein Al-Dzahabi mengatakan bahwa tafsir sufi nazari pada
praktiknya merupakan penafsiran yang tidak memperhatikan aspek bahasan dan
menegaskan apa yang hendak dikehendaki oleh syara’. Selain itu, Muhammad Husein
Al-Dzahabi menjelaskan karakteristik atau ciri-ciri dalam penafsiran sufistik adalah
sebagai berikut: pertama, dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an, tafsir sufi nazari
sangat kuat dipengaruhi oleh disiplin ilmu filsafat. Kedua, dalam tafsir sufi nazari,
15
Muhammad Ulinnuha, Metode Kritik Ad-Dakhil fit Tafsir, (Jakarta: Penerbit QAF, 2019), Hal.174-
176.
16
Muhammad Ulinnuha, Metode Kritik Ad-Dakhil fit Tafsir, Hal.174-176.
17
Dewi Murni, Penafsiran Sufistik di dalam Al-Qur’an, Hal.69.
18
Badruzzaman M. Yunus, Pendekatan Sufistik dalam Menafsirkan Al-Qur’an, Syifa Al-Qulub, Hal.5.

8
hal-hal yang bersifat ghaib ditarik ke dalam sesuatu yang nyata atau tampak dengan
perkataan lain menganalogikan yang ghaib kepada yang nyata. Ketiga, terkadang
mengabaikan struktur gramatika bahasa Arab dan hanya menafsirkan apa yang sejalan
dengan keinginan penafsir.19 Hal-hal inilah yang kemudian menimbulkan berbagai
kesalahpahaman dan menjadi kritik atau dakhil dalam sebuah penafsiran. Sehingga
pada pembahasan tafsir sufi nazari ini menjadi penting dalam pembahasan ini.
Kedua, tafsir sufi praktis atau biasa disebut dengan sufi ‘amali. Tafsir sufi
‘amali ini cenderung dapat diterima karena penafsiran kelompok ini masih berbasis
pada makna lahiriyah teks yang dikombinasikan dengan isyarat-isyarat batin. Isyarat
batin tersebut merupakan output dari riyadhah serta amal shaleh yang dilakukan
secara konsisten.20 Adapun pengertian lain mengenai tafsir sufi ‘amali yakni
pentakwilan ayat-ayat Al-Qur’an yang berbeda dengan makna lahirnya sesuai dengan
petunjuk khusus yang diterima oleh para tokoh sufisme tetapi diantara kedua makna
tersebut masih dapat dikompromikan. Atau bisa juga diartikan sebagai penafsiran
yang mampu menyingkap apa yang ada di dalam makna lahir suatu ayat untuk
mengetahui hikmah-hikmahnya. Maka perlu untuk diketahui bahwa metode yang
sering dipakai dalam tafsir sufistik ialah metode kedua ini yakni tafsir sufi praktis atau
sufi ‘amali.
Muhammad Husein Al-Dzahabi memberikan penjelasan mengenai perbedaan
antara tafsir sufi nazari dengan tafsir sufi ‘amali sebagai berikut:
1. Tafsir sufi nazari dibangun atas dasar pengetahuan ilmu sebelumnya yang
ada dalam seorang sufi kemudian menafsirkan Al-Qur’an yang dijadikan
sebagai landasan tasawufnya. Sedangkan tafsir ‘amali bukan didasarkan
pada adanya pengetahuan ilmu sebelumnya, namun didasari pada
ketulusan hati seorang sufi yang mencapai derajat tertentu sehingga
tersingkap isyarat-isyarat Al-Qur’an.
2. Dalam tafsir sufi nazari, seorang sufi berpendapat bahwa semua ayat-ayat
Al-Qur’an mempunyai makna-makna tertentu dan bukan makna lain
dibalik ayat. Sedangkan tafsir sufi ‘amali mengasumsikan bahwa pada
dasarnya ayat-ayat Al-Qur’an mempunyai makna lain yang ada dibalik

19
Badruzzaman M. Yunus, Pendekatan Sufistik dalam Menafsirkan Al-Qur’an, Hal.5.
20
Muhammad Ulinnuha, Metode Kritik Ad-Dakhil fit Tafsir, Hal.176.

9
makna lahiriyahnya. Dengan perkataan lain bahwa Al-Qur’an terdiri dari
makna dzhahir dan makna batin.21

E. Contoh Penafsiran Kritik Terhadap Tafsir Sufi


Diantara contoh penafsiran sufistik yang mendapat kritik Fayed adalah
penafsiran Ibn ‘Arabi terhadap QS. Al-Baqarah [2]: 6-7
‫) َختَ َم ال ٰلّهُ َع ٰلى ُقلُ ْوهِبِ ْم َو َع ٰلى مَسْعِ ِه ْم ۗ َو َع ٰلٓى‬٦( ‫اِ َّن الَّ ِذيْ َن َك َف ُر ْوا َس َواۤءٌ َعلَْي ِه ْم ءَاَنْ َذ ْرَت ُه ْم اَْم مَلْ ُتْن ِذ ْر ُه ْم اَل يُْؤ ِمُن ْو َن‬

)٧( ࣖ ‫اب َع ِظْي ٌم‬ ِ ِ ‫اَب‬


ٌ ‫صا ِره ْم غ َش َاوةٌ َّوهَلُ ْم َع َذ‬
َْ
Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, engkau (Muhammad) beri
peringatan atau tidak engkau beri peringatan, mereka tidak akan beriman. (6) Allah
telah mengunci hati dan pendengaran mereka, penglihatan mereka telah tertutup, dan
mereka akan mendapat azab yang berat.(7).
Ketika menafsirkan ayat ini, secara fantastis sang maha guru sufi ini berkata:
“Wahai Muhammad, sesungguhnya rasa cinta orang-orang kafir kepada-Ku
telah menutup hati mereka. Maka baik engkau beri bengingatan dengan ancaman,
mereka tetap tidak akan beriman kepadamu. Mereka tidak akan memikirkan selain
diri-Ku, walaupun engkau memperingatkan. Mereka tetap tidak akan mendengar dan
memperhatikan peringatanmu itu. Bagaimana mungkin mereka beriman kepadamu,
sementara Aku telah mencap dan menetapkan hati mereka bahwa tidak ada ruang
dalam hati mereka selain diri-Ku. Penglihatan mereka aku tutup dengan keagungan-
Ku sehingga mereka tidak akan melihat selain kepada-Ku.. Aku ridha kepada mereka,
maka Aku tidak akan memarahi mereka selamanya.”
Melihat penafsiran diatas maka pembaca pasti terheran-heran. Bagaimana
tidak, penafsiran tersebut telah membalik pemahaman pada umumnya seratus delapan
puluh derajat. Ayat di atas secara lahiriah berbicara tentang sifat buruk kaum kafir
yang tidak mau mendengarkan peringatan dan ajaran Nabi SAW., tapi ternyata
dipahami oleh Ibn ‘Arabi sebaliknya. Menurutnya, ayat itu berisi tentang pujian Allah
terhadap kaum kafir.
Penafsiran semacam ini dianggap telah jauh melampaui konteks ayat. Sebab
secara kronologis, bagian awal surah Al-Baqarah berbicara tentang tipologi manusia;
mukmin, kafir dan munafik. Maka pada ayat 1-5 dibicarakan tentang tipologi kaum

21
Badruzzaman M. Yunus, Pendekatan Sufistik dalam Menafsirkan Al-Qur’an, Hal.5.

10
mukminin yang selalu taat, beriman dan patuh kepada peringatan dan ajakan Nabi
saw., kemudian pada ayat 8 dibicarakan tentang tipologi kaum munafik yang berbeda
antara ucapan dan isi hatinya.
Penafsiran diatas adalah pemahaman yang dipegangi oleh mayoritas ulama
berdasarkan analisis kronologis teks dan konteks ayat. Dengan demikian, pemahaman
Ibn ‘Arabi tersebut tak lebih dari sebuah celotehan (syatahat) yang menyeruak dari
diri seorang penggagas dan pengaut setia mazhab wihdat al-wujud.
Hemat penulis, contoh penafsiran diatas digolongkan dalam penafsiran tafsir
sufi nazari, karena pada penafsiran diatas sesuai dengan karakteristik tafsir sufi nazari
itu sendiri yakni mengabaikan struktur gramatika bahasa Arab dan hanya menafsirkan
apa yang sejalan dengan keinginan penafsir. Sehingga penafsiran di atas perlu adanya
kritisi atau ad-dakhil dalam penafsiran, hal ini dikarenakan agar kedepannya para
calon mufasir tidak menafsirkan ayat sesuai dengan kehendaknya masing-masing
tanpa mempelajari struktur keilmuan yang mendukung.
Contoh lain adalah penafsiran Al-Junayd Al-Baghdadi terhadap QS. Al-A’la:

َ ‫)ۖ َس ُن ْق ِرُئ‬. Ketika menafsirkan ayat tersebut dia berkata: la tansa al-amal bih
6 (‫ك فَاَل َتْن ٰس ٓى‬

(janganlah kamu lupa mengamalkannya [Al-Qur’an]). Kemudia ketika ditanya


mengenai penafsiran QS. al-A’raf ayat 169 Al-Junayd berkata: taraku al-‘amal bih
(mereka tidak mengamalkannya [al-kitab]).
Penafsiran ini tidak sesuai dengan kaidah bahasa Arab. Pada kasus surah Al-
a’la ayat 6, Al-Junayd memahaminya sebagai susunan kalimat larangan (nahy),
padahal sebagai gramatikal, ayat tersebut merupakan khobar (informasi) yang artinya
fa ma tansa (maka kamu tidak akan lupa). Hal ini terbukti dengan kata tansa yang
dibaca panjang tanpa membuang huruf ‘ilat (ya). Seandainya ayat tersebut
dimaksudkan sebagai kalimat larangan (nahy), maka tentunya ia akan dibaca jazm
(dengan membuang huruf ya-nya).
Kemudian pada kasus kedua surah Al-A’raf:169, Al-Junayd memaknai kata
darasu dengan taraku (mereka meninggalkan), padahal yang dimaksud kata darasu
pada konteks ayat tersebut adalah al-dars yang berarti al-tilawah (membaca atau
mempelajari) sebagaimana dalam surah Ali-‘Imran ayat 79. Dengan demikian, pada
kasus ini Al-Junayd terlihat kurang teliti dalam memilih makna kata, sehingga

11
kesimpulannya jauh dari konteks ayat. Dan karenanya, penafsirannya termasuk al-
dakhil yang patut dikritisi.22

22
Muhammad Ulinnuha, Metode Kritik Ad-Dakhil fit Tafsir, Hal.177-181.

12
BAB III
KESIMPULAN

Dapat disimpulkan bahwa tafsir sufistik bermakna menakwilkan ayat-ayat Al-


Qur’an yang berfokus pada makna dibalik zahir ayat dengan mengemukakan isyarat
yang hanya tampak pada orang yang telah menempuh jalan suluk dan bentuk
riyadhah lainnya dalam tasawuf. Mengenai perkembangan corak tafsir sufistik terbagi
menjadi lima fase, dan macam-macam penafsiran sufistik secara garis besar, secara
besar dibagi menjadi dua aliran, yakni sufi nazari dan sufi ‘amali. Mayoritas ulama’
salaf menolak tafsir yang masuk kategori tafsir sufi nazari dan membolehlan tafsir
sufi ‘amali. Pertama, tafsir sufi teoritik atau sufi nazari. Tafsir sufistik model ini
dianggap sebagai model penafsiran yang terlarang, karena metodologinya cenderung
mendewakan isyarat kebatinan tanpa mengindahkan makna lahiriyah teks.

13
DAFTAR PUSTAKA

Lestari, Leni. 2014. Epistemologi Corak Tafsir Sufistika. Syahadah. Vol.2 (1).
M. Yunus, Badruzzaman. 2017. Pendekatan Sufistik dalam Menafsirkan Al-Qur’an. Syifa Al-Qulub.
Vol.2 (1).
Moch Rafly Try Ramadhani. “Corak Tafsir Sufistik; Sejarah Perkembangan Dan Periodisasinya,”
Tafsir Al Quran Referensi Tafsir Di Indonesia. https://tafsiralquran.id/corak-tafsir-sufistik-
sejarah-perkembangan-dan-periodisasinya/.
Muhibudin, Irwan. 2018. Tafsir Ayat-Ayat Sufistik (Studi Komparatif Antara Tafsir Al-Qusyairi dan Tafsir Al-
Jailani). Jakarta: Penerbit UAI Press.
Murni, Dewi. 2017. Penafsiran Sufistik di dalam Al-Qur’an. Jurnal Syahadah. Vol.V (2).
Said, Muhammad. 2014. Metodologi Penafsiran Sufistik: Perspektif Al-Ghazali. Jurnal Diskursus Islam. Vol.2
(1).
Ulinnuha, Muhammad. 2019. Metode Kritik Ad-Dakhil fit Tafsir. Jakarta: Penerbit QAF.
Zaenal Muttaqin, Muhammad. 2019.Geneologi Tafsir Sufistik dalam Khazanah Penafsiran Al-Qur’an.
Tamaddun. Vol.7 (1).

14

You might also like