You are on page 1of 19

MAKALAH

ETIKA PROFESI “HAKIM”


Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Etika Profesi

Disusun Oleh :

Yoga Indra Nuryanto (2215030242)


Galuh Parawangsa (2215030270)
Lavio Defitra Christianto (2215030209)
M. Farhan Faishol Y. (2215030212)
Yayang (2215030257)

Pendidikan Jasmani, Kesehatan, dan Rekreasi


Fakultas Ilmu Kesehatan dan Sains
Universitas Nusantara PGRI Kediri
2022/2023

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapakan kepada Allah SWT, yang telah memberikan
rahmat dan karunia-Nya sehingga makalah yang berjudul “Etika Profesi Hakim”
ini dapat diselesaikan dengan baik. Tidak lupa shalawat dan salam semoga
terlimpahkan kepada Rasulullah Muhammad SAW, keluarganya, sahabatnya, dan
kepada kita selaku umatnya.

Makalah ini penulis buat untuk melengkapi tugas matkul Etika Profesi.
Saya ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam
penyusunan makalah ini. Dan saya juga menyadari akan pentingnya sumber
bacaan dan referensi internet yang telah membantu dalam memberikan informasi
yang akan menjadi bahan makalah.

Saya juga mengucapkan terima kasih kepada Ibu Septyaning Lusi, M.Pd
sebagai dosen mata kuliah yang telah banyak memberi petunjuk dan semua pihak
yang telah memberikan arahan serta bimbingannya selama ini sehingga
penyususan makalah dapat dibuat dengan sebaik-baiknya. Saya menyadari masih
banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini sehingga saya mengharapkan
kritik dan saran yang bersifat membangun demi penyempurnaan makalah ini.

Saya mohon maaf jika di dalam makalah ini terdapat banyak kesalahan
dan kekurangan, karena kesempurnaan hanya milik Yang Maha Kuasa yaitu Allah
SWT, dan kekurangan pasti milik kita sebagai manusia. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi kita semua.

Kediri, 18 Mei 2023

Penyusun

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................... 2
DAFTAR ISI................................................................................................... 3
BAB I PENDAHULUAN............................................................................... 4
1.1 Latar Belakang...................................................................................... 4

1.2 Identifikasi Masalah.............................................................................. 7

1.3 Tujuan Penulisan.................................................................................. 7

BAB II PEMBAHASAN................................................................................. 8
2.1 Profesi Hakim dan Karakteristiknya..................................................... 8

2.2 Persyaratan Calon Hakim..................................................................... 10

2.3 Pendidikan dan Pelatihan Calon Hakim............................................... 11

2.4 Pola Rekrutmen dan Kualitas Hakim................................................... 12

2.5 Tanggung Jawab Profesi....................................................................... 13

2.5 Tanggung Jawab Moral Hakim............................................................ 13

2.6 Sikap Hakim di Luar Kedinasan........................................................... 14

2.7 Tanggung Jawab Hukum Hakim.......................................................... 14

2.8 Tanggung Jawab Teknis Profesi Hakim............................................... 17


BAB III PENUTUP......................................................................................... 18
3.1 Kesimpulan........................................................................................... 18
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 19

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan
Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia. Pernyataan
tersebut merupakan pengertian kekuasaan kehakiman yang tercantum pula dalam
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Sebagai konsekuensi dari sistem pembagian kekuasaan yang diterapkan di negara
ini, fungsi kekuasaan kehakiman atau yudikatif dipegang oleh lembaga-lembaga
yang telah ditentukan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 (UUD 1945). Bab IX UUD 1945 menyebutkan tiga lembaga negara
yang termasuk dalam lingkup kekuasaan kehakiman, yaitu Mahkamah Agung
(MA), Mahkamah Konstitusi (MK), dan Komisi Yudisial (KY).
Namun, menurut Pasal 24 ayat (2), hanya MA (dan badan peradilan di
bawahnya) dan MK yang merupakan penyelenggara kekuasaan kehakiman,
sedangkan KY tidak memiliki kewenangan tersebut sehingga badan ini sering
disebut sebagai lembaga ekstra-yudisial. Pengadilan, sebagai pelaksana kekuasaan
kehakiman, adalah salah satu unsur penting dalam sebuah negara yang
berdasarkan hukum (rechtsstaat). Hanya pengadilan yang memenuhi kriteria
mandiri (independen), netral (tidak berpihak), dan kompeten yang dapat
menjamin pemenuhan hak asasi manusia. Oleh karena itu, posisi hakim sebagai
aktor utama lembaga peradilan menjadi amat vital, terlebih lagi mengingat segala
kewenangan yang dimilikinya. Melalui putusannya, hakim dapat mengubah,
mengalihkan, atau bahkan mencabut hak dan kebebasan warga negara, dan semua
itudilakukan dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan. Besarnya
kewenangan dan tingginya tanggung jawab hakim ditunjukkan melalui putusan
pengadilan yang selalu diucapkan dengan irah-irah "Demi Keadilan Berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa".Hal ini menegaskan bahwa kewajiban menegakkan
keadilan tidak hanya dipertanggungjawabkan kepada sesama manusia, tetapi juga
kepada Tuhan Yang Maha Esa.

4
Setiap profesi di berbagai bidang memiliki nilai-nilai yang dijunjung untuk
dijadikan pedoman dalam kehidupan profesi yang bersangkutan. Demikian halnya
dengan profesi hakim di Indonesia, di mana terdapat suatu kode etik yang
didasarkan pada nilai-nilai yang berlaku di Indonesia serta nilai-nilai yang bersifat
universal bagi hakim sebagai pelaksana fungsi yudikatif. Kode etik penting bagi
hakim untuk mengatur tata tertib dan perilaku hakim dalam menjalankan
profesinya. Kode Etik Profesi Hakim Indonesia pertama kali disusun oleh Ikatan
Hakim Indonesia (IKAHI) pada Kongres III IKAHI tanggal 5-7 April 1965.
Seiring berjalannya waktu, perkembangan berbagai hal seputar IKAHI sebagai
wadah profesi hakim dan Kode Etik Profesi Hakim Indonesia terus berlangsung.
Dan yang paling terkini adalah ketika MA menerbitkan Pedoman Perilaku Hakim
bersamaan dengan disosialisasikannya Pedoman Etika Perilaku Hakim yang
disusun KY, sehingga peristiwa ini menjadi bagian dari ketidaksepahaman antara
MA dan KY.
Berkaitan dengan fenomena yang tengah berkembang di masyarakat
seputar konflik antara MA dan KY, Hakim Agung Ad Hoc Tindak Pidana
Korupsi (Tipikor) Sophian Marthabaya berpendapat bahwa suatu kode etik
berlaku bagi suatu profesi tertentu sehingga sebuah kode etik harus disusun oleh
profesi yang bersangkutan yang akan menjalankan kode etik tersebut. Alangkah
janggalnya apabila kode etik disusun oleh suatu institusi di luar profesi yang akan
menjadikan kode etik itu sebagai pedomannya. Idealnya, sebuah pedoman untuk
melakukan pekerjaan dibuat sendiri oleh pihak yang akan menjalankan pekerjaan
tersebut. Bagaimanapun, kode etik dibuat untuk mengatur perilaku dan sepak
terjang individu profesional dalam menjalankan profesinya.
Penegakan supremasi hukum sebagai bagian dari agenda reformasi telah
menjadi komitmen pemerintah sejak masa keruntuhan rezim Orde Baru hingga
saat ini. Namun demikian, harapan pencari keadilan terhadap lembaga peradilan
sebagai benteng terakhir untuk memperoleh keadilan belum sepenuhnya dapat
memuaskan seluruh pihak. Masyarakat mengkritik bahwa lembaga peradilan
belum seperti yang diharapkan. Lambat menangani perkara, biaya yang mahal,
administrasi yang berbelit-belit, perbuatan dan tingkah laku pejabat peradilan
yang dianggap tercela, hingga dugaan adanya mafia peradilan (judicial corruption)

5
menjadi alasan tidak percayanya sebagian besar masyarakat terhadap lembaga
peradilan. Seiring berjalannya pemerintahan sejak awal reformasi hingga saat ini,
publik sadar bahwa praktik penyalahgunaan wewenang di badan peradilan
cenderung menguat dan merusak seluruh sendi peradilan.
Hal ini mengakibatkan menurunnya kewibawaan dan kepercayaan badan
peradilan terhadap masyarakat dan dunia internasional. Keadaan badan peradilan
yang demikian mendesak pihak- pihak yang berwenang dalam menjalankan
negara ini untuk melakukan upaya- upaya luar biasa yang berorientasi kepada
terciptanya badan peradilan dan hakim yang dapat menjamin masyarakat
memperoleh keadilan, dan diperlakukan secara adil dalam proses pengadilan
sesuai peraturan perundang-undangan. Terjadinya praktik penyalahgunaan
wewenang di lembaga peradilan disebabkan oleh banyak faktor, antara lain adalah
tidak efektifnya pengawasan internal yang diterapkan di badan peradilan selama
ini. Dengan kata lain, tingginya urgensi pembentukan Komisi Yudisial sebagai
lembaga pengawas eksternal didasarkan pada lemahnya pengawasan internal
tersebut. Menurut Mas Achmad Santosa, lemahnya pengawasan internal tersebut
disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:
1. Kualitas dan integritas pengawas yang tidak memadai;
2. Proses pemeriksaan disiplin yang tidak transparan;
3. Belum adanya kemudahan bagi masyarakat yang dirugikan untuk
menyampaikan Pengaduan, memantau proses serta hasilnya (ketiadaan
akses);
4. Semangat membela sesama korps (esprit de corps) yang mengakibatkan
penjatuhan Hukuman tidak seimbang dengan perbuatan. Setiap upaya
untuk memperbaiki suatu
Kondisi yang buruk pasti akan mendapat reaksi dari pihak yang selama ini
mendapatkan keuntungan dari kondisi yang buruk itu; dan
5. Tidak terdapat kehendak yang kuat dari pimpinan lembaga penegak
hukum untuk Menindaklanjuti hasil pengawasan.

Hal-hal yang diuraikan di atas menunjukkan bahwa tidak efektifnya fungsi


pengawasan internal badan peradilan pada dasarnya disebabkan oleh dua faktor

6
utama, yaitu adanya semangat membela sesama korps (esprit de corps) dan tidak
adanya kehendak yang sungguh-sungguh dari pimpinan badan peradilan untuk
menindaklanjuti hasil pengawasan internal terhadap hakim. Akibatnya, peluang
bagi hakim yang terbukti melakukan pelanggaran hukum dan kode etik untuk
mendapat "pengampunan" dari pimpinan badan peradilan yang bersangkutan akan
semakin terbuka. Oleh karena itu, kehadiran suatu lembaga khusus yang
menjalankan fungsi pengawasan eksternal terhadap hakim dirasakan sangat
mendesak.

1.2. Identifikasi Masalah


Identifikasi masalah dalam makalah ini adalah :
a. Bagaimanakah Profesi Hakim dan Karakteristiknya..?
b. Bagaimanakah tangung jawab profesi Hakim...?
c. Bagaimanakah tanggung jawab moral Hakim...?

1.3 Tujuan Penulisan


Tujuan pembuatan Makalah adalah untuk memenuhi salah satu tugas mata
perkuliahan Etika dan Tanggung Jawab Profesi,dan untuk memberikan
pengetahuan bagi pembaca khususnya untuk pembuat Makalah ini dan umumnya
untuk para mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Kuala Kapuas.

7
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Profesi Hakim dan Karakteristiknya

Sebagai sebuah profesi yang berkaitan dengan proses di pengadilan,


definisi hakim tercantum dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana atau yang biasa disebut Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP). Pasal 1 angka 8 KUHAP menyebutkan, hakim adalah
pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk
mengadili. Sedangkan mengadili diartikan sebagai serangkaian tindakan hakim
untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara berdasarkan asas bebas, jujur,
dan tidak memihak di sidang pengadilan dalam hal dan menurut tata cara yang
diatur dalam undang-undang.
Hakim memiliki kedudukan dan peranan yang penting demi tegaknya
negara hukum. Oleh karena itu, terdapat beberapa nilai yang dianut dan wajib
dihormati oleh penyandang profesi hakim dalam menjalankan tugasnya. Nilai di
sini diartikan sebagai sifat atau kualitas dari sesuatu yang bermanfaat bagi
kehidupan manusia, baik lahir maupun batin. Bagi manusia, nilai dijadikan
landasan, alasan, atau motivasi dalam bersikap dan bertingkah laku, baik disadari
maupun tidak. Nilai-nilai itu adalah sebagai berikut

8
1. Profesi hakim adalah profesi yang merdeka guna menegakkan hukum dan
keadilan berdasarkan Pancasila demi terselenggaranya negara hukum
Republik Indonesia. Di sini terkandung nilai kemerdekaan dan keadilan.
2. Selanjutnya, nilai keadilan juga tercermin dari kewajiban hakim untuk
menyelenggarakan peradilan secara sederhana, cepat, dan biaya ringan,
agar keadilan tersebut dapat dijangkau semua orang. Dalam mengadili,
hakim juga tidak boleh membeda-bedakan orang dan wajib menghormati
asas praduga tak bersalah. Kewajiban menegakkan keadilan ini tidak
hanya dipertanggungjawabkan secara horizontal kepada sesama manusia,
tetapi juga secara vertikal kepada Tuhan Yang Maha Esa.
3. Hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara
yang diajukan dengan dalih bahwa hukumnya tidak ada atau kurang jelas.
Apabila hakim melihat adanya kekosongan hukum karena tidak ada atau
kurang jelasnya hukum yang mengatur suatu hal, maka ia wajib menggali
nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Nilai ini dinamakan
sebagai nilai keterbukaan.
4. Hakim wajib menjunjung tinggi kerja sama dan kewibawaan korps. Nilai
kerja sama ini tampak dari persidangan yang berbentuk majelis, dengan
sekurang-kurangnya terdiri dari tiga orang hakim. Sebelum menjatuhkan
putusannya, para hakim ini melakukan musyawarah secara tertutup.
5. Hakim harus senantiasa mempertanggungjawabkan segala sikap dan
tindakannya. Secara vertikal berarti ia bertanggung jawab kepada Tuhan
Yang Maha Esa. Sedangkan pertanggungjawaban secara horizontal berarti
ditujukan terhadap sesama manusia, baik kepada lembaga peradilan yang
lebih tinggi maupun kepada masyarakat luas. Berkaitan dengan
pertanggungjawaban horizontal, Pasal 25 ayat (1) Undang- Undang
tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa: "Segala putusan
pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan tersebut,
memuat pula pasal tertentu dari perundang-undangan yang bersangkutan
atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili."
6. Hakim wajib menjunjung tinggi nilai obyektivitas. Hal ini tercermin dalam
Pasal 29 ayat (3) yang menyatakan bahwa hakim wajib mengundurkan diri

9
dalam pemeriksaan suatu perkara apabila ia mempunyai hubungan darah
dengan pihak-pihak yang terlibat dalam proses pemeriksaan perkara
tersebut, baik dengan terdakwa, jaksa, penasihat hukum, panitera, maupun
sesama majelis hakim. Profesi hakim sebagai salah satu bentuk profesi
hukum sering digambarkan sebagai pemberi keadilan.

Oleh karena itu, hakim juga digolongkan sebagai profesi luhur (officium nobile),
yaitu profesi yang pada hakikatnya merupakan pelayanan pada manusia dan
masyarakat. Setiap profesi memiliki etika yang pada prinsipnya terdiri dari
kaidah-kaidah pokok sebagai berikut.
1. Profesi harus dipandang sebagai pelayanan, oleh karenanya, sifat "tanpa
pamrih" menjadi ciri khas dalam mengembangkan profesi.
2. Pelayanan profesional dalam mendahulukan kepentingan pencari keadilan
mengacu pada nilai-nilai luhur.
3. Pengembanan profesi harus selalu berorientasi pada masyarakat sebagai
keseluruhan.
4. Persaingan dalam pelayanan berlangsung secara sehat sehingga dapat
menjamin mutu dan peningkatan mutu pengemban profesi.

Sebagai suatu profesi di bidang hukum yang secara fungsional merupakan


pelaku utama dalam penyelenggaraan kekuasaan kehakiman, hakim dituntut untuk
memiliki suatu keahlian khusus sekaligus memahami secara mendalam mengenai
ruang lingkup tugas dan kewajibannya. Salah satu unsur yang membedakan
profesi hakim dengan profesi lainnya adalah adanya proses rekrutmen serta
pendidikan bersifat khusus yang diterapkan bagi setiap orang yang akan
mengemban profesi ini.

2.2 Persyaratan Calon Hakim


Berdasarkan Pasal 14 angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum,
seseorang hanya dapat diangkat menjadi hakim jika telah memenuhi persyaratan
sebagai berikut.

10
1. Warga Negara Indonesia.
2. Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
3. Setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
4. Bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia
termasuk organisasi massanya atau bukan seorang yang terlibat langsung
ataupun tak langsung dalam Gerakan Kontra Revolusi G30S/PKI atau
organisasi terlarang lainnya.
5. Pegawai Negeri.
6. Sarjana hukum.
7. Berumur serendah-rendahnya 25 (dua puluh lima) tahun.
8. Berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan baik.

2.3 Pendidikan dan Pelatihan Calon Hakim

Proses pendidikan dan pelatihan (diklat) bagi calon hakim dilaksanakan


pada awal masa pra-jabatan dan sangat erat kaitannya dengan proses rekrutmen
hakim. Selain digunakan sebagai program orientasi bagi para calon hakim, diklat
juga ditujukan untuk menjadi sarana seleksi hakim. Program diklat dimulai dari
kewajiban para peserta untuk memenuhi masa magang selama kurang lebih satu
tahun sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) di pengadilan-pengadilan
negeri di wilayah Indonesia. Program pembinaan yang terarah belum terlihat pada
tahap yang disebut Diklat Praktik I ini. Para peserta diklat masih sebatas
dikaryawankan sebagai staf administrasi pengadilan, hingga saatnya mereka
mengikuti ujian prajabatan, yang merupakan fase seleksi kepegawaian secara
umum.

11
Setelah melalui proses pengangkatan dan memperoleh status Pegawai
Negeri Sipil (PNS), para peserta diikutsertakan dalam Diklat Klasikal yang
diadakan secara terpusat oleh Pusat Pendidikan dan Latihan (Pusdiklat)
Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (Dephukham). Pada tahap ini, para
peserta akan menerima berbagai materi keahlian di bidang hukum, dan mulai
dipersiapkan secara teoritis untuk mengemban jabatan sebagai hakim.
Apabila dinyatakan lulus, para peserta diharuskan memenuhi masa
magang kembali dengan status sebagai calon hakim di berbagai pengadilan negeri
selama minimal satu tahun. Pada tahapan yang disebut Diklat Praktik II ini
diterapkan suatu pola pembinaan yang sudah lebih mengarah pada pelaksanaan
tugas hakim. Selanjutnya, Ketua Pengadilan Negeri di mana calon hakim tersebut
ditempatkan akan mengusulkan para peserta yang dianggap layak untuk diangkat
penuh sebagai hakim. Pengangkatannya sendiri akan dilakukan oleh Presiden
melalui Menhukham.

2.4 Pola Rekrutmen dan Kualitas Hakim


Bagaimana mekanisme perekrutan seorang individu untuk menjadi hakim
akan menentukan kualitas putusan pengadilan ke depannya. Individu yang sejak
awal memang memiliki kapabilitas dan wawasan hukum yang mendalam sudah
selayaknya terjaring dalam rekrutmen hakim .
Kesulitan mencari hakim, termasuk Hakim Agung (dan para pemangku
otoritas hukum pada umumnya) nyatanya tidak hanya terjadi di Indonesia.
Amerika Serikat pun mengalami keterbatasan jumlah hakim sejak usainya Perang
Sipil di negara itu. Dalam konteks Indonesia, kesulitan ini terutama bersumber
dari tidak adanya model kompetensi yang menjadi acuan mengenai karakter ideal
yang sepatutnya dipunyai oleh setiap individu
hakim.

12
2.5 Tanggung Jawab Profesi
Pada dasarnya, terdapat setidaknya tiga unsur pokok yang harus ada dalam
pelaksanaan suatu fungsi dalam profesi dan bidang apapun. Unsur-unsur tersebut
adalah sebagai berikut.
1. Tugas, yaitu kewajiban dan kewenangan atau kekuasaan yang harus
dilaksanakan untuk kemudian diperinci lebih lanjut tentang cara
melaksanakannya.
2. Aparat, yaitu pelaksana tugas tersebut yang terdiri atas komponen
pelaksana, pendukung, dan penunjang.
3. Lembaga, yaitu wadah (struktur dan organisasi) beserta sarana dan
prasarana tempat para aparat melaksanakan tugasnya.

2.6 Tanggung Jawab Moral Hakim


Secara filosofis, tujuan akhir profesi hakim adalah ditegakkannya
keadilan. Cita hukum keadilan yang terapat dalam das sollen (kenyataan normatif)
harus dapat diwujudkan dalam das sein (kenyataan alamiah) melalui nilai-nilai
yang terdapat dalam etika profesi. Salah satu etika profesi yang telah lama
menjadi pedoman profesi ini sejak masa awal perkembangan hukum dalam
peradaban manusia adalah The Four Commandments for Judges dari Socrates.
1. Sari, berarti hakim haruslah berbudi luhur atau tidak tercela; dan
2. Tirta, berarti seorang hakim harus jujur.
3. Harus menjaga kewibawaan dan kekhidmatan persidangan; dan
4. Bersungguh-sungguh mencari kebenaran dan keadilan.

Sebagai perwujudan dari sikap dan sifat di atas, maka sebagai pejabat hukum,
hakim harus memiliki etika kepribadian, yakni:
a. percaya dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b. menjunjung tinggi citra, wibawa, dan martabat hakim;
c. berkelakuan baik dan tidak tercela;
d. menjadi teladan bagi masyarakat;

13
e. menjauhkan diri dari perbuatan asusila dan kelakuan yang dicela oleh
masyarakat;
f. tidak melakukan perbuatan yang merendahkan martabat hakim;
g. bersikap jujur, adil, penuh rasa tanggung jawab;
h. berkepribadian, sabar, bijaksana, berilmu;
i. bersemangat ingin maju (meningkatkan nilai peradilan);
j. dapat dipercaya; dan
k. berpandangan luas

Sementara itu, terhadap profesinya sendiri, seorang hakim juga harus menjaga
perilakunya, baik kepada atasan, sesama rekan, maupun bawahan. Terhadap
atasan, seorang hakim harus bersikap:
a. taat kepada pimpinan;
b. menjaankan tugas-tugas yang telah digariskan dengan jujur dan ikhlas;
c. berusaha memberi saran-saran yang membangun;
d. mempunyai kesanggupan untuk mengeluarkan serta mengemukakan
pendapat tanpa meningalkan norma-norma kedinasan; dan
e. tidak dibenarkan mengadakan resolusi terhadap atasan dalam
bentukapapun.

2.7 Sikap Hakim Di Luar Kedinasan


Di samping itu, di luar kedinasannya berprofesi di pengadilan, hakim juga
harus senantiasa menjaga sikap dan perilakunya. Terhadap diri pribadi, seorang
hakim harus:
1. memiliki kesehatan jasmani dan rohani;
2. berkelakuan baik dan tidak tercela;
3. tidak menyalahgunakan wewenang untuk kepentingan pribadi maupun
golongan;
4. menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan asusila dan kelakuan yang
dicela oleh masyarakat; dan
5. tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang merendahkan martabat hakim.

14
Sedangkan dalah kehidupan bermasyarakat, hakim harus selalu:
1) selaku anggota masyarakat tidak boleh mengisolasi diri dari pergaulan
masyarakat;
2) dalam hidup bermasyarakat harus mempunyai rasa gotong- royong; dan
3) harus menjaga nama baik dan martabat hakim.

2.8 Tanggung Jawab Hukum Hakim


Beberapa peraturan perundang-undangan yang memiliki kaitan dengan
hakim dan peradilan mencantumkan dan mengatur pula hal-hal seputar tanggung
jawab hukum profesi hakim. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman mencantumkan beberapa tanggung jawab profesi yang
harus ditaati oleh hakim, yaitu:
a. bahwa hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai
hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat (Pasal 28 ayat
(1));
b. bahwa dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim
wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa
(Pasal 28 ayat (2)); dan
c. bahwa hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila
terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat
ketiga, atau hubungan suami isteri meskipun telah bercerai, dengan
ketua, salah seorang Hakim Anggota, Jaksa, Advokat, atau Panitera
(Pasal 29 ayat (3)).

Selain peraturan perundang-undangan yang menguraikan tanggung jawab


profesi hakim sebagai penyelenggara kekuasaan kehakiman secara umum,
terdapat pula ketentuan yang mengatur secara khusus mengenai tanggung jawab
profesi Hakim Agung, yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang
Mahkamah Agung. Undang-undang ini mengatur ketentuan-ketentuan yang harus
ditaati dan menjadi tanggung jawab Hakim Agung, di antaranya sebagai berikut.

15
Pasal 10 ayat (1) menyatakan bahwa Hakim Agung tidak boleh merangkap
menjadi:
a) pelaksana putusan Mahkamah Agung;
b) wali, pengampu, dan pejabat yang berkaitan dengan suatu perkara yang
akan atau sedang diperiksa olehnya;
c) penasehat hukum; dan
d) pengusaha.

Pasal 12 ayat (1) menyatakan bahwa Hakim Anggota Mahkamah Agung dapat
diberhentikan tidak dengan hormat dengan alasan:
a. dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan karena melakukan
tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau
lebih;
b. melakukan perbuatan tercela;
c. terus menerus melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas
pekerjaannya;
d. melanggar sumpah atau janji jabatan; dan
e. melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10.

Pasal 41 ayat (1) menyatakan bahwa hakim wajib mengundurkan diri dari suatu
persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai
derajat ketiga, atau hubungan suami atau isteri meskipun telah bercerai dengan
salah seorang Hakim Anggota atau Panitera pada majelis hakim.

Pasal 41 ayat (4) menyatakan jika seorang hakim yang memutus perkara dalam
tingkat pertama atau tingkat banding, kemudian telah menjadi Hakim Agung,
maka Hakim Agung tersebut dilarang memeriksa perkara yang sama.
Pasal 42 ayat (1) menyatakan bahwa seorang hakim tidak diperkenankan
mengadili suatu perkara yang ia sendiri berkepentingan, baik langsung maupun
tidak langsung. Di samping kedua undang-undang di atas, peraturan berbentuk
undang- undang lainnya yang mencantumkan ketentuan mengenai tanggung
jawab profesi hakim adalah:

16
1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama;
2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial;
3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum;
4) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara;
5) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi;
6) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak; dan
7) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.

2.9 Tanggung Jawab Teknis Profesi Hakim


Jenis tanggung jawab yang terakhir adalah tanggung jawab teknis profesi.
Pada jenis tanggung jawab ini, penilaian terhadap sesuai atau tidaknya tindakan
yang dilakukan oleh hakim dengan ketentuan yang berlaku menjadi hal yang
paling diutamakan. Selain itu, penilaian terhadap kinerja dan profesionalisme
hakim dalam menjalankan tugasnya juga menjadi perhatian. Setiap hakim dituntut
mampu mempertanggungjawabkan tindakannya sebagai profesional di bidang
hukum, baik di dalam maupun di luar kedinasan, secara materi dan formil. Oleh
karena itu, adalah suatu hal yang mutlak bagi para hakim untuk memahami secara
mendalam aturan-aturan mengenai hukum acara di persidangan. Ketidak
mampuan hakim dalam mempertanggungjawabkan tindakannya secara teknis atau
dikenal dengan istilah unprofessional conduct dianggap sebagai pelanggaran yang
harus dijatuhi sanksi.

17
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Setiap hakim dituntut mampu mempertanggungjawabkan tindakannya sebagai
profesional dibidang hukum, baik di dalam maupun di luar kedinasan, secara
materi dan formil. Oleh karena itu, adalah suatu hal yang mutlak bagi para hakim
untuk memahami secara mendalam aturan-aturan mengenai hukum acara di
persidangan. Ketidak mampuan hakim dalam mempertanggungjawabkan
tindakannya secara teknis atau dikenal dengan istilah unprofessional conduct
dianggap sebagai pelanggaran yang harus dijatuhi sanksi.

18
DAFTAR PUSTAKA

Kamil, Iskandar. "Kode Etik Profesi Hakim" dalam Pedoman Perilaku Hakim
(Code of Conduct), Kode Etik Hakim dan Makalah Berkaitan. Jakarta:
Mahkamah Agung RI, 2006.

Kansil, C.S.T. dan Christine S.T. Kansil. Pokok-Pokok Etika Profesi Hukum.
Jakarta:Pradnya Pramita, 1996.

Konsorsium Reformasi Hukum Nasional dan Lembaga Kajian dan Advokasi


untuk Independensi Peradilan. Menuju Independensi Kekuasaan
Kehakiman.

Jakarta: Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) dan Lembaga Kajian
dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP), 1999.

Mahendra, Yusril Ihza. Mewujudkan Supremasi Hukum di Indonesia. Jakarta:


Tim Pakar Hukum Departemen Kehakiman dan Hak Asasai Manusia RI
bersama Sekretariat Jenderal Departemen Kehakiman dan Hak Asasi
Manusia RI, 2002.

Mahkamah Agung RI. Pedoman Perilaku Hakim. Jakarta: Mahkamah Agung RI,
2006.

Makalah Berkaitan. Jakarta: Mahkamah Agung RI, 2005. Muhammad,


Abdulkadir.
Etika Profesi Hukum. Cet. ke-2. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001.

Suyuthi, Wildan. "Etika Profesi, Kode Etik, dan Hakim dalam Pandangan
Agama"
dalam Pedoman Perilaku Hakim (Code of Conduct), Kode Etik Hakim dan
Makalah Berkaitan. Jakarta: Mahkamah Agung RI, 2006.

Tasrif, S. "Kemandirian Kekuasaan Kehakiman" dalam Kemandirian Kekuasaan


Kehakiman. Editor Paul S. Baut dan Luhut M.P. Pangaribuan. Jakarta:
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, 1989.

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Undang-


Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian
PerselisihanHubungan Industrial. Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Undang- Undang Nomor 3 Tahun
2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman. Usman, Suparman, Etika Dan Tanggung Jawab
Profesi Hukum Di Indonesia, Jakarta,Gaya Media Pratam, 2008.

19

You might also like