You are on page 1of 17

PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA

PADA MASA AWAL KEMERDEKAAN


MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Pendidikan Islam
pada Fakultas Tarbiyah Institute Agama Islam Syarifuddin Wonerojo Lumajang
Dosen pengampu:
Nurhafid Ishari S. PdI., M.A.

Disusun oleh:
Kharis Al Farizi (2022100260612)
Wildan Eldaroin (2022100260647)

PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH
FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUTE AGAMA ISLAM SYARIFUDDIN
WONOREJO KEDUNJAJANG LUMAJANG
2023-2024
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat ALLAH SWT yang telah memberi
rahmat serta karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini
dengan baik. Sholawat serta salam semoga dilimpahkan kepada nabi Muhammad
SAW. Teladan bagi umat manusia dan rahmat bagi seluruh alam.
Terima kasih kami ucapkan kepada dosen yang telah mendukung dan
membimbing kami demi terselesainya makalah ini. Kami mengakui bahwa tugas ini
tidaklah sempurna, maka dari itu kami mohon kritik dan saran guna untuk
menyempurnakan tugas selanjutnya. Harapan kami semoga tugas yang kami buat
dapat memberi manfaat bagi pembaca.

Lumajang, 11 Maret 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................... i


DAFTAR ISI ................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1
A. Latar Belakang ..................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................... 1
C. Tujuan Masalah .................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN ................................................................................ 2
A. Definisi Pendidikan Islam .................................................................... 2
B. Pendidikan Islam di Pesantren pada Masa Awal Kemerdekaan .......... 4
C. Pendidikan Islam di Madrasah pada Masa Awal Kemerdekaan .......... 6
D. Pendidikan Islam di Sekolah pada Masa Awal Kemerdekaan ............. 10
BAB III PENUTUP ........................................................................................ 13
A. Kesimpulan .......................................................................................... 13
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 14

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam pergerakan perjuangan kemerdekaan Indonesia, kaum Muslim
memberikan kontribusi besar dan memainkan peran penting demi tercapainya
kemerdekaan. Lebih khusus lagi, pesantren melalui tokoh-tokohnya banyak
memberikan sumbangan-sumbangan perjuangan bagi pergerakan kemerdekaan
Indonesia.
Banyaknya tokoh Muslim yang berperan pada pergerakan kemerdekaan
Indonesia mengakibatkan beberapa hal, selain ide dasar negara Indonesia adalah
Islam, juga ide-ide tentang pendidikan agama di sekolah.
Makalah ini akan mengkaji tentang pendidikan agama Islam di
Indonesia pada masa awal kemerdekaan Indonesia. Sejarah pendidikan Islam di
Indonesia pada masa awal kemerdekaan bisa ditelusuri kepada pesantren,
madrasah dan pendidikan agama Islam di sekolah umum. Karena itu, makalah ini
akan mengkaji tentang pesantren, madrasah dan sekolah umum (dalam
hubungannya dengan pendidikan agama Islam) pada masa awal kemerdekaan.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana definisi pendidikan islam?
2. Bagaimana pendidikan islam di pesantren pada masa kemerdekaan?
3. Bagaimana pendidikan islam di madrasah pada masa awal kemederdekaan?
4. Bagaimana pendidikan islam di sekolah pada masa awal kemerdekaaan?
C. Tujuan Maalah
1. Mengetahui definisi pendidikan islam
2. Mengetahui pendidikan islam di pesantren pada masa kemerdekaan
3. Mengetahui pendidikan islam di madrasah pada masa awal kemederdekaan
4. Mengetahui pendidikan islam di sekolah pada masa awal kemerdekaaan

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Pendidikan Islam
Dalam Kamus Bahasa Indonesia, istilah pendidikan berasal dari kata
“didik” dengan memberikan awalan “pe” dan akhiran “an”, berarti “perbuatan”
(hal, cara, dan sebagainya). Kata “pendidikan” berasal dari bahasa Yunani, yaitu
paedagogos berarti pergaulan dengan anak-anak. Dalam paedagogos, adanya
seorang pelayan atau bujang pada jaman Yunani kuno, yang pekerjaannya
mengantar dan menjemput ke dan dari sekolah. Paedagogos berasal dari kata
paedos (anak) dan agoge (saya membimbing, memimpin). Perkataan yang
awalnya berarti “rendah” (pelayan, bujang), sekarang dipakai untuk pekerjaan
mulia. Peadagog (pendidik atau ahli didik) adalah seseorang yang tugas
membimbing anak. Istilah ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris
dengan “education” yang berati pengembangan atau bimbingan.
Secara terminology, pendidikan banyak dikemukakan oleh para ahli
pendidikan. Pertama menurut Ahmad D. Marimba seperti dikutip oleh Ramayulis,
pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap
perkembangan jasmani dan rohani si terdidik menuju terbentuknya kepribadian
yang utama. Senada dengan Marimba, John Dewey sebagaimana dikutip oleh
Rukiyati dan L. Adriyani Purwastuti menjelaskan bahwa pendidikan adalah jalan
untuk kelanjutan kehidupan sosial. Setiap orang adalah bagian dari kelompok
sosial yang dilahirkan dalam kondisi yang belum memiliki alat kehidupan sosial
seperti bahasa, kepercayaan, ide atau norma sosial. Keberlanjutan kehidupan sosial
itulah yang menjadi pengalaman hidupmanusia. Definisi yang simple lagi
dijelaskan oleh Ki Hadjar Dewantara sebagaimana dikutip oleh Nanang Purwanto

2
bahwa pendidikan adalah segala upaya untuk memajukan budi pekerti (kekuatan
batin), pikiran (intelek) dan jasmani peserta didik1
Menurut Hasan Langgulung sebagaimana dikuti oleh Ramayulis,
lembaga pendidikan adalah suatu sistem peraturan yang bersifat mujarrod, suatu
konsepsi yang terdiri dari kode-kode, norma-norma, ideologi-idiologi dan
sebagainya, baik tertulis atau tidak, termasuk perlengkapan material dan organisasi
simbolik: kelompok manusia yang terdiri dari personal-personal yang dibentuk
dengan sengaja atau tidak, untuk mencapai tujuan tertentu dan tempat-tempat
kelompok yang melaksanakan peraturan-peraturan tersebut adalah mesjid, sekolah,
kuttab, dan sebagainya.2
Sementara pengertian pendidikan Islam menurut para Ahli sangat
beragam, di bawah ini pengertian pendidikan Islam menurut para pakar:
1. Menurut M. Yusuf al-Qaradhawi seperti dikutip oleh Azyumardi Azrabahwa
pendidikan Islam adalah pendidikan manusia seutuhnya; akal dan hatinya;
rohani dan jasmaninya; akhlak dan keterampilannya. Karena itu, pendidikan
Islam menyiapkan manusia untuk dalam segala kondisi, baik dalam waktu
berperang, damai maupun dalam kondisi mengadapi masyarakat dengan
segala perangainya.3
2. Menurut Zakiah Daradjat pendidikan Islam adalah pembentukan kepribadian
muslim."4
3. Menurut Hasan Langgulung pendidikan Islam adalah proses penyiapan
generasi penerus bangsa untuk berperan, mentransfer pengetahuan dan nilai-

1
Asep Abdurrohman, Pemikiran Pendidikan Muhammad Tholchah Hasan, (Banjarsari: A-Empat,
2021), h. 47.
2
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2015), h. 30.
3
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, (Jakarta: Logo
Wacana Ilmu, 2000), h. 5.
4
Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), h. 28

3
nilai Islam yang disesuaikan dengan fungsi insan agar dapat beramal di dunia
dan di akherat kelak mendapatkan hasilnya.5
4. Menurut M. Athiyah al-Abrasyi pendidikan Islam adalah suatu proses
menyiapkan manusia agar hidup dengan sempurna dan bahagia, mencintai
tanah air, jasmaninya sehat, sempurna akhlaknya, pemikirannya teratur,
perasaannya halus, pekerjaannya baik, bicaranya tidak menyakitkan baik
secara lisan maupun tulisannya.6
5. Menurut Omar Mohammad al-Thoumi al-Syaibani pendidikan Islam adalah
satu usaha mengubah perbuatan setiap individu pada kehidupan pribadi,
masyarakat, dan alam sekitarnya melalui pengajaran sebagai aktivitas asasi
dan sebagai profesi dari sekian profesi asasi lainnya.7
Berdasarkan pendapat para pakar pendidikan Islam di atas, meskipun
berbeda-beda satu sama lain, tetapi terdapat titik temu yang dapat dijadikan satu
pengertian umum tentang pendidikan Islam. kesimpulannya pengertian pendidikan
Islam secara umum adalah pendidikan manusia seutuhnya. Baik menyangkut
aspek jasmani, akal ataupun rohani. Semua itu dilakukan agar manusia bahagia di
dunia maupun di akherat.
B. Pendidikan Islam di Pesantren Pada Masa Kemerdekaan
Dalam sejarahnya mengenai peran pesantren, dimana sejak masa
kebangkitan Nasional sampai dengan perjuangan mempertahankan kemerdekaan
RI, pe senantiasa tampil dan telah mampu berpartisipasi secara aktif. Oleh karena
itulah setelah kemerdekaan pesantren masih mendapatkan tempat dihati
masyarakat. Ki Hajar Dewantara saja selaku tokoh pendidikan Nasional dan
menteri Pendididkan Pengajaran Indonesia yang pertama menyatakan bahwa

5
Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran tentang Pendidikan Islam, (Bandung: al-Ma'arif, 1980), h.
87
6
Muhammad Arifin, Ilmu Pendidikan Islam Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan
Interdisipliner, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), h. 8.
7
Jusuf Amir Feisal, Reorientasi Pendidikan Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), h. 119-120.

4
pondok pesantren merupakan dasar pendidikan nasional, karena sesuai dan selaras
dengan jiwa dan kepribadian Bangsa Indonesia.8
Begitupula halnya dengan Pemerintah RI, mengakui bahwa pesantren
dan madrasah merupakan dasaar pendidikan dan sumber pendidikan nasional, dan
oleh karena ituharus dikembangkan, diberi bimbingan dan bantuan. Sejak awal
kehadiran pesantren dengan sifatnya yang lentur (flexible) ternyata mampu
menyesuaikan diri dengan masyarakat sera memenuhi tuntutan masyarakat. Begitu
juga pada era kemerdekaan dan pembangunan sekarang, pesantren telah mampu
menampilkan dirinya aktif mengisi kemerdekaan dan pembangunan, terutama
dalam rangka pengembangan sumber daya manusia yang berkualitas.
Berbagai inovasi telah dilakukan untuk pengembangan pesantren baik
oleh masyarakat maupun pemerintah. Masuknya pengetahuan umum dan
keterampilan ke dalam dunia pesantren dalah sebagai upaya mmberikan bekal
tambhan agar para santri bila telah menyelesaikan pendidikannya dapat hidup
layak dalam masyarakat.
Dewasa ini pondok pesantren mempunyai kecenderungan-
kecenderungan baru udalam rangka renovasi terhadap sistem yang selama ini
dipergunakan, diantaranya adalah mulai akrab dengan metodologi ilmiah modern,
den semakin berorientasi pada pendidikan dan fungsional, artinya terbuka atas
perkembangan di luar dirinya. Juga diversifikasi program dan kegiatan makin
terbuka dan ketergantungannya pun absolute dengan kiai, dan sekaligus dapat
membekali para santri dengan berbagai pengetahuan di luar mata pelajaran agama
maupun keterampilan yang diperlukan di lapangan kerja dan juga dapat berfungsi
sebagai pusat pengembangan masyarakat.9
Dalam rangka menjaga kelangsungan hidup pesantren, pemerintah
berusaha untuk membantu mengembangkan pesantren dengan potensi yang

8
Alamsyah Ratu Prawiranegara, Pembinaan Pendidikan Agama, (Jakarta: Depag. RI, t.t), h. 41.
9
Rusli Karim, Pendidikan Islam di Indonesia dalam Transformasi Sosial, ( Yogyakarta: Tiara
Wacana, 1991), h. 134.

5
dimilinya. Arah perkembangan itu dititik beratkan pada, pertama, peningkatan
tujuan institusional pondok pesantren dalam kerangka pendidikan nasional dan
pengembangan potensinya sebagai lembaga social pedesaan. Kedua, peningkatan
kurikulum dengan metode pendidikan agar efisiensi dan efektifitas pesantren
terarah.
Ketiga, menggalakkan pendidikan keterampilan di lingkungan pesantren
untuk mengembangkan potensi pesantren dalam bidang prasarana social dan taraf
hidup masyarakat, dan yang terakhir, menyempurnakan bentuk pesantren dengan
madrasah menurut keputusan tiga menteri tahun 1975 tentang peningkatan mutu
pendidikan pada madrasah.
Akhir-akhir ini pesantren mempunyai kecenderungan-kecenderungan
yang tampaknya ditujukan untuk meningkatkan mutu penyelenggaraan pendidikan
yang ada, sebagaimana telah dikemukaakan terdahulu. Pertumbuhan dan
perkembangan pesantren di Indonesia sepertinya cukup mewarnai perjalanan
sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Kendatipun demikian pesantren dengan
berbagai kelebihannya, juga tentunya tidak akan dapat menghindar dari segala
kritik dan kekurangannya.
C. Madrasah Pada Masa Awal Kemederdekaan
Perkembangan madarasah pada orde lama-sejak awal kemerdekaan-
sangat terkait dengan peran Departemen Agama, yang mulai resmi berdiri pada 3
Januari 1946. Lembaga inilah yang secara intensif memperjuangkan politik
pendidikan Islam di Indonesia. Orientasi usaha Departemen Agama dalam bidang
pendidikan Islam bertumpu pada aspirasi umat Islam agar pendidikan agama
diajarkan di sekolah-sekolah, di samping pada pengembangan madrasah itu
sendiri. Dalam salah satu dokumen disebutkan bahwa tugas bagian pendidikan di
lingkungan Departemen Agama meliputi: 1) memberi pengajaran agama di
sekolah negeri dan partikulir, 2) memberi pengetahuan umum di madrasah dan 3)
mengadakan pendidikan guru agama (PGA) dan Pendidikan Hkim Islam Negeri
(PHIN).

6
Institusi ini pada dasarnya merupakan representasi aspirasi umat Islam
dalam kebijkan negara. Sehingga tidak mengherankan, intitusi ini menjadi kunci
utama peningkatan usaha pencerahan terhadap masa depan madarasah di
Indonesia.
Setidaknya terdapat dua usaha pokok yang muncul dalam
perkembangan madarasah di Orde Lama, yaitu pertama berdiri dan
berkembangnya Pendidikan Guru Agama dan Pendidikan Hakim, kedua
terciptanya variasi kurikulum antar berbagai organisasi sosial keagamaan. yang
pertama dapat dilihat dari pengaruh yang dtimbulkan oleh kedua madrasah (PGA
dan PHIN), bahwa kedua madrasah ini amat menandai perkembangan yang sangat
strategis, di mana madarah di samping bertujujan melahirkan tenaga-tenaga
profesional keagamaan, juga mempersiapkan tenaga yang siap pakai untuk
mengembangkan madrasah. Tingginya intensitas terhadap kedua tujuan di atas,
dapat dicermati dari pertumbuhan madrasah dalam dekade 50-an, yakni jumlah
PGA yang mencapai 25 buah pada tahun 1951 dan meningkat menjadi 30 pada
tahun 1954.
Pada dekade 60-an, madarasah sudah tersebar di berbagai wilayah
Indonesia dengan jumlah madrasah tingkat ibtidaiyah berjumlah 13057 buah.
Dengan jumlah ini, sedikitnya 1.927.777 siswa telah terserap untuk mengenyam
pendidikan agama. Adapun madrasah pada tingkat tsanawiyah dan tingkat aliyah
masing-masing telah mencapai 776 buah dan 16 buah, dengan jumlah siswa
masing-masing sebanyak 87.932 orang dan 1881 orang. Dari laporan ini, jumlah
keseluruhan madrasah telah mencapai 13.849 buah dengan jumlah keseluruhan
siswa sebanyak 2.017.590. orang.10 Dari perkembangan ini dapatlah dikatakan
bahwa sudah sejak awal, pendidikan madrasah memberikan kontribusi yang
siginifikan dalam proses pencerdasan dan pembinaan akhlak bangsa.

10
Maksum, Madrasah: Sejarah dan Perkembangan, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 132.

7
Kedua, mengenai beragamnya kurikulum. Kurikulum merupakan entitas
inheren dalam sebuah institusi madrasah. Dalam perkembangannya, bahwa
mengingat kondisi perpolitikan bagnsa yang tengah mengalami kerja besar
mengkonsolidasikan kekuatannya membangun bangsa, mengakibatkan pengaturan
sistem pendidikan madrasah lebih dititikberatkan kepada penyerahan otoritas
sepenihnya kepada Departemen agama. Akibatnya, dalam upaya pengembangan
madrasah pada umumnya, versi kurikulum antar berbagai organisasi sosial
keagamaan tidak dapat terelakkan. Walaupun belakangan, muncul ide untuk
menyeragamkan kurikulum di semua level pendidikan madrasah.
Selanjutnya, dalam perkembangan madrasah muncul tarik menarik yang
kuat antara kelompok Islam dan non-muslim tentang sejauh mana lingkup
pendidikan Islam. Bagi kalangan Islam, lebih cenderung mengatakan bahwa
pendidikan Islam harus dikembangkan di Indonesia sejauh mungkin. Sementara
kalangan non-muslim berpendapat bahwa pendidikan Islam harus dibatasi hanya
dalam lingkup yang pengajaran agama an sich. Akhirnya, dari polemik ini lahirlah
sebuah rekomendasi yang dikeluarkan oleh Badan Pekerja Komite Nasional
Indonesia Pusat (BPKINP) yang mengatakan:
“madrasah dan pesantren pada hakekatnya adalah satu alat dan sumber
pendidikan dan pencerdasan rakyat jelata dan sudah berurat berakar dalam
masyarakat Indonesia umumnya, hendaklah mendapat perhatian dan bantuan yang
nyata berupa bantuan materil dari pemerintah.
Rekomendasi di atas kemudian dipertegas lagi oleh Menteri P dan K
yang saat itu dijabat oleh R. Suwandi (2 Oktober 1946-27 Juni 1947) yang
mengeluarkan kebijaksanaan yang menyatakan bahwa pengajaran yang bersifat
pondok pesantren dan madrasah perlu untuk dipertinggi dan dimodernisasikan
serta diberi bantuan biaya dan lain-lain.11

11
Abdurrahman Saleh, Penyelenggaraan Madrasah Peraturan Perundangan, (Jakarta: Dharma
Bhakti, 1984), h. 19.

8
Dalam rangka memperkukuh eksistensi madrasah sebagai komponen
pendidikan nasional, artinya diakui sebagai penyelenggara belajar, maka keluarlah
Undang-Undang Pokok Pendidikan dan Pengajaran No. 4 Tahun 1950. Pada pasal
10 ayat (2) dinyatakan bahwa belajar di sekolah-sekolah agama yang telah
mendapat pengakuan dari Menteri Agama dianggap telah memenuhi kewajiban
belajar. Untuk itu pemerintah menggariskan kebijaksanaan bahwa madrasah yang
diakui dan memenuhi syarat untuk menyelenggarakan kewajiban belajar harus
terdaftar pada kementrian agama, dengan syarat madrasah yang bersangkutan
harus memberikan pelajaran agama sebagai mata pelajaran pokok paling sedikit 6
jam seminggi, secara teratur di samping mata pelajaran umum.
Selanjutnya dalam rangkan meningkatkan madrasah sesuai dengan
sasaran BPKNIP agar madrasah mendapat bantuan materil dan bimbingan dari
pemerintah, maka kementrian agama mengeluarga Peraturan Menteri Agama No. I
Tahun 1952. Menurut ketentuan ini, yang dinamakan madrasah adalah “tempat
pendidikan yang telah diatur sebagai sekolah dan memuat pendidikan dan ilmu
pengetahuan agama Islam menjadi pokok pengajarannya”.
Berdasarkan ketentuan di atas, jenjang pendidikan pada madrasah
tersusun sebagai berikut:
1. Madrasah rendah atau dikenal dengan madrasah Ibtidaiyah, yaitu madrasah
yang memuat pendidikan dan ilmu pengetahuan agama Islam menjadi pokok
pengajarannya, lama pendidikannya adalah 6 tahun.
2. Madrasah Lanjutang Tingkat Pertama atau dikenal dengan nama Madrasah
Tsanawiyah yaitu madrasah yang menerima murid-murid tamatan madrasah
rendah atau sederajat serta memberikan pendidikan dalam ilmu pengetahuan
agama Islam sebagai pokok, lama pendidikannya adalah 3 tahun.
3. Madrasah Lanjutan Atas atau dikenal sebagai Madrasah Aliyah yaitu
madrasah yang menerima murid-murid tamatan madrasah lanjutan pertama

9
atau sederajat, memberik pendidikan ilmu pengetahuan agama Islam sebagai
pokok, lama belajarnya adalah 3 tahun.12
Pada tahun 1954, madrasah-madrasah yang telah memenuhi syarat-
syarat tertentu dan telah terdaftar di kementrian agama berhak mendapatkan
bantuan dari pemerintah, baik berupa dana, fasilitas maupun tenaga skill. Pada
tahun 1958, Departemen Agama, dalam rangka melaksanakan program
pengembangan madrasah sebagai pelaksaan kewajiban belajar, memperkenalkan
Madrasah Wajib Belajar (MWB). Madrasah Wajib Belajar dimaksudkan sebagai
awal untuk membeikan bantukan dan pembinaan madrasah dalam rangka
penyeragaman materi kurikulum dan sistem penyelenggaraannya dengan madrasah
Ibtidaiyah yang diselenggarakan oleh masyarakat.
D. Sekolah Pada Masa Awal Kemerdekaaan
Setelah Indonesia Merdeka, usaha yang pertama kali muncul agar
penyelenggaraan pendidikan agama di Indonesia mendapat perhatian serius dari
pemerintah adalah melalui rapat BPKNIP pada tanggal 27 Desember 1945. Rapat
itu membicarakan tentang garis besar pendidikan nasional. Hasil pembicaraan
tersebut membentuk komisi khusus untuk merumuskan lebih terperinci mengenai
garis besar pendidikan di Indonesia. Dalam laporan yang disusun oleh BPKNIP
diusulkan beberapa rekomendasi berkaitan dengan pelajaran agama di semua
sekolah, yaitu:
1. Pelajaran agama dalam semua sekolah diberikan pada jam pelajaran sekolah.
2. Para guru agama dibayar oleh pemerintah.
3. Pada sekolah dasar, pendidikan ini diberikan mulai kelas IV.
4. Pendidikan tersebut diselenggarakan seminggu sekali pada jam tertentu.
5. Para guru diangkat oleh Departemen Agama.
6. Para guru agama diharuskan juga cakap dalam pendidikan umum.
7. Pemerintah menyediakan buku pendidikan agama.

12
Depag RI, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Dirjen Binbaga, 1986), h. 77.

10
8. Diadakan pelatihan bagi guru agama.
9. Kualitas pesantren dan Madrasah harus diperbaiki.
10. Pengajaran bahasa Arab tidak dibutuhkan.13
Perkembangan selanjutnya dapat ditelusuri kepada keputusan Menteri P
& K dan Menteri Agama pada tanggal 2 Desember 1946 yang menentukan adanya
pelajaran agama di sekolah rakyat dimulai dari kelas IV dan berlaku efektif pada
tanggal 1 Januari 1947. Dengan demikian, tanggal 1 Januari 1947 merupakan
tonggal dimulainya pengajaran pendidikan agama di sekolah negeri.
Setelah sekian tahun, pelajaran agama diselenggarakan di sekolah-
sekolah umum, pada tahun 1950 diundangkan pula pengajaran agama di sekolah-
sekolah negeri yang mentakan bahwa:
1. Di sekolah-sekolah negeri diadakan pelajaran agama, orang tua murid
menetapkan apakah anaknya akan mengikuti pelajaran tersebut atau tidak.
2. Cara penyelenggaraan pendidikan agama diatur dalam peraturan yang
ditetapkan oleh Menteri P & K.14
Lebih lanjut, peraturan Menteri P & K juga mengetur bahwa pendidikan
agama diberikan mulai kelas IV Sekolah Rakyat selama 2 jam perminggu.
Sementara itu, khusus di lingkungan di mana Islam kuat, pendidikan agama mulai
diajarkan di kelas I dan jam pelajaran ditambah 4 jam perminggu. Di Sekolah
Menengah Pertama, pelajaran agama diberikan 2 jam perminggu, sesuai agama
para murid. Untuk mata pelajaran ini, harus hadir sekurang-sekurang 10 orang
murid untuk agama tertentu. Selama berlangsungnya pelajaran agama, murida
yang beragama lain boleh meninggalkan ruang belajar. Sedangkan kurikulum dan
bahan pelajaran ditetapkan Menteri Agama, dengan persetujuan Menteri P & K.
Peraturan demikian berlaku sampai ditetapkannya hasil sidang MPRS
tahun 1960. Dalam bab II pasal (3) Tap MPRS Tahun 1960 dinyatakan bahwa
pendidikan agama menjadi mata pelajaran di sekolah-sekolah umum, mulai dari

13
Karel A. Stebrink, Pesantren, Madrasah dan Sekolah, (Jakarta: LP3ES, 1986), h. 90.
14
Dazkiah Drajat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), h. 91.

11
sekolah dasar sampai universitas, dengan pengertian bahwa murid berhak tidak
ikut serta dalam pendidikan agama jika wali murid atau murid dewasa menyatakan
keberatannya.15 Dengan demikian, murid yang belum dewasa jika tidak diizinkan
orang tua atau walinya memiliki hak untuk tidak mengikuti pendidikan agama, dan
bagi kalangan mahasiswa di universitas diberi kebebasan untuk mengikuti atau
tidak mengikuti pendidikan agama. Peraturan ini berlaku sampai ditetapkannya
peraturan baru yang termaktub dalam Tap MPRS Tahun 1966.
Bila dicermati dari peraturan yang berlaku tentang pendidikan agama di
sekolah umum pada fase ini (1946-1965) terlihat bahwa pendidikan agama di
sekolah umum belum memegang peran penting. Hal demikian dapat ditandai
bahwa dalam fase ini pengajaran agama tidak mempengaruhi kenaikan kelas,
diberikan kebebasan untuk mengikuti atau tidak mengikuti pelajaran agama, dan
yang paling mendasar adalah adanya pembatasan pengajaran agama di Sekolah
Rakyat boleh diajarkan setelah kelas IV, padahal pelajaran agama di sekolah
sangat penting diajarkan sejak kelas I SR.

15
Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Raja Grapindo Persada, 1996), h. 78.

12
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sejarah pendidikan agama Islam pada masa awal kemerdekaan
Indoneseia dapat ditelusuri kepada perkembangan pesantren, madrasah dan
pendidikan agama di sekolah umum.Pesantren pada masa awal kemerdekaan
Indonesia telah mendapat perhatian pemerintah meski dengan nada motivasi untuk
perbaikan kualitas yang terpusat pada inovasi kurikulum dengan memasukkan
pelajaran umum.
Sementara itu, perkembangan madarasah pada masa awal kemerdekaan
terkait erta dengan peran Departemen Agama. Pendirian PGA dan PHIN
merupakan bukti perhatian pemerintah terhadap madrasah. Selain pendirian dua
madrasah tersebut, masalah variasi kurikulum antar berbagai organisasi sosial
keagamaan juga menjadi fenomena yang muncul pada masa ini. Pesatnya
perkembangan madrasah dapat dilihat dari jumlah madrasah yang bertambah
banyak.
Sementara pendidikan agama di sekolah umum pada masa awal
kemerdekaan terlihat bahwa pendidikan agama di sekolah umum belum
memegang peran penting. Hal demikian dapat ditandai bahwa dalam fase ini
pengajaran agama tidak mempengaruhi kenaikan kelas, diberikan kebebasan untuk
mengikuti atau tidak mengikuti pelajaran agama, dan yang paling mendasar adalah
adanya pembatasan pengajaran agama di Sekolah Rakyat boleh diajarkan setelah
kelas IV, padahal pelajaran agama di sekolah sangat penting diajarkan sejak kelas
I SR.

13
DAFTAR PUSTAKA

Abdurrohman Asep, 2021. Pemikiran Pendidikan Muhammad Tholchah Hasan.


Banjarsari: A-Empat.
Arifin Muhammad, 2009. Ilmu Pendidikan Islam Tinjauan Teoritis dan Praktis
Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner. Jakarta: Bumi Aksara.
Azra Azyumardi, 2000. Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium
Baru. Jakarta: Logo Wacana Ilmu.
Daradjat Zakiah. 2008. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
Depag RI, 1986. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Dirjen Binbaga.
Drajat Dazkiah, 1992. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
Feisal Jusuf Amir, 1995. Reorientasi Pendidikan Islam. Jakarta: Gema Insani Press.
Hasbullah, 1996. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Raja Grapindo
Persada.
Karel A. Stebrink, 1986. Pesantren, Madrasah dan Sekolah. Jakarta: LP3ES.
Karim Rusli, 1991. Pendidikan Islam di Indonesia dalam Transformasi Sosial.
Yogyakarta: Tiara Wacana.
Langgulung Hasan, 1980. Beberapa Pemikiran tentang Pendidikan Islam. Bandung:
al-Ma'arif.
Maksum, 1999. Madrasah: Sejarah dan Perkembangan. Jakarta: Logos Wacana
Ilmu.
Prawiranegara Alamsyah Ratu, Pembinaan Pendidikan Agama. Jakarta: Depag RI, t.t.
Ramayulis, 2015. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia.
Saleh Abdurrahman, 1984. Penyelenggaraan Madrasah Peraturan Perundangan.
Jakarta: Dharma Bhakti.

14

You might also like