You are on page 1of 15

ISSUE YANG DIHADAPI KONSELOR PEMULA

Dosen Pengampu
Drs. M. Husen, M.Pd
Fitra Marsela, S.Pd., M.Pd

Disusun Oleh

Keisya Rahmadanti Taufik 2006104030046


Intan Azzahra 2106104030067
Alfiana 2006104030001

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN


JURUSAN BIMBINGAN DAN KONSELING
UNIVERSITAS SYIAH KUALA
TAHUN 2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami ucapkan kepada Allah SWT karena atas rahmat dan hidayahnya, kami dapat
menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi
tugas mata kuliah Pengembangan Pribadi Konselor yang dimana materinya “Issue Yang
Dihadapi Konselor Pemula”.
Sholawat serta salam tak lupa pula kita panjatkan kepaada baginda Rasurullah
Muhammad SAW, yang mana telah membawa kita dari zaman jahiliyah menuju ke jalan terang
benderang, yakni Addinul Islam. Tak lupa pula kami ucapkan terima kasih kepada Bapak Drs.
M. Husen, M.Pd. selaku dosen pengampu mata kuliah Pengembangan Pribadi Konselor yang
telah memberikan bimbingan dan arahan sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini
dengan baik.

Kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari sempurna. Untuk itu dari kritik dan saran
yang bersifat membangun sangat kami harapkan. Semoga makalah ini bermanfaat bagi teman –
teman yang membacanya terkhusus untuk kita semua.

Darusalam 25 Januari 2023

Penulis
DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Konseling adalah pelayanan bantuan oleh tenaga professional kepada seseorang atau
sekelompok individu untuk mengembangkan kehidupan efektif sehari-hari dan penanganan
kehidupan efektif sehari-hari terganggu dengan fokus pribadi mandiri dan mampu
mengendalikan diri melalui penyelenggaraan berbagai jenis layanan dan kegiatan pendukung
dalam proses pembelajaran (Prayitno, 2014). Sebagai sebuah kegiatan professional tentulah
kegiatan konseling dilakukan oleh orang-orang yang sudah professional. Hal ini menunjukkan
bahwa kegiatan konseling dalam praktiknya dilakukan atas dasar keilmuan. Pelayanan konseling
menuntut para praktisinya untuk memahami dan mampu melaksanakan kegiatan konseling sesuai
dengan yang diharapkan. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Mortensen dan Schmuller bahwa
konseling adalah jantung hatinya program bimbingan (Mortensen dan Schmuller, 1976). Oleh
karena itu, para petugas bimbingan dan konseling perlu memahami dan dapat melaksanakan
usaha layanan konseling dengan sebaik-baiknya.

Sebelum menjadi seorang konselor profesional, biasanya seseorang mengalami


kebingungan dan berbagai kecemasan saat menjalani profesi konseling. konselor yang telah lulus
dari pendidikannya tentu telah memiliki sertifikat, lisensi, pengakuan dan segudang ilmu yang
siap untuk diaplikasikan. Namun tak bisa dipungkiri bahwa ketika hendak memasuki dunia
praksis, banyak konselor pemula menghadapi berbagai masalah yang mengganggu proses
konseling. Permasalahan ini muncul ketika mereka baru menyelesaikan program studi dan mulai
menghadapi proses konseling. Mereka mulai berpikir bagaimana menerapkan apa-apa yang
mereka telah pelajari. Pada titik ini muncul kekhawatiran-kekhawatiran yang menyangkut
kelayakan mereka sebagai terapis dan sebagai pribadi serta mengenai apa yang bisa dibawa dari
diri mereka sendiri ke dalam hubungan konseling (Corey, 2010). Umumnya konselor pemula
akan merasakan adanya kecemasan, keraguan pada diri, dan ketakutan tidak mampu memenuhi
ekspektasi dirinya (Corey, 2007). Hal ini berdampak pada munculnya perasaan tidak kompeten
yang melahirkan konsekuensi berupa terganggunya proses konseling, dan munculnya rasa
penurunan nilai diri (Theriault, Gazzola, & Richardson, 2009).
Masalah-masalah tersebut secara psikologis dapat menyebabkan terganggunya pelayanan
yang diberikan oleh konselor kepada klien. Temuan Setiyowati (2011) menunjukkan bahwa
sebagian besar layanan konseling yang diberikan jauh dari kriteria profesional karena konselor
pemula sering mengalami kebingungan mengenai teori dan teknik konseling yang harus
digunakan dalam membantu menyelesaikan permasalahan. Terkait hal ini, perasaan tidak
mampu atau tidak kompeten akan menjadi semakin besar. Semakin merasa tidak kompeten,
maka konselor pemula akan semakin mudah mengalami burn-out dalam bekerja (Gladding,
2012). Kejenuhan dan stres kerja kemudian akan membawa konselor pada tingkat yang semakin
jauh dari profesional.

Contoh di atas menunjukkan bahwa permasalahan yang bersifat pikiran negatif muncul
di benak konselor pemula justru menghambat dan mengganggu proses konseling baik itu proses
yang dijalani oleh konselor maupun proses yang sedang dijalani oleh konseli. Permasalahan ini
jika terus dibiarkan bisa mengganggu efektivitas kinerja konselor dalam melaksanakan proses
konseling. Hal ini bisa berdampak pada diri konselor sehingga ia berpikir bahwa ia tidak
memiliki kualitas pribadi dan professional yang mumpuni. Lambat laun maka kinerja konselor
tersebut menjadi rendah. Salah satu alternatif yang bisa dilakukan oleh para konselor pemula
dalam menghadapi berbagai problem saat melaksanakan konseling adalah dengan menata ulang
pikiran mereka menggunakan konsep mind skill positif yang membantu para konselor pemula
untuk dapat berpikir lebih jernih, terarah dan sesuai dengan keadaan. Mind skill positif
membantu konselor pemula untuk dapat memahami potensi dan kualitas diri yang ada sembari
memotivasi untuk meningkatkannya. Sehingga permasalahan umum yang sering ditemui oleh
konselor pemula dapat diatasi dengan bijaksana.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang dimaksud dengan konselor pemula?
2. Mengetahui apa saja yang kesalahan yang sering terjadi pada konselor pemula?
3. Apa yang dimaksud dengan potensi diri?
4. Mengetahui jenis-jenis dan cara mengembangkan potensi diri?
C. TUJUAN

1. Mengetahui dan memahami permasalahan yang sering ditemui oleh konselor pemula
2. Mengetahui dan memahami potensi diri, kelemahan serta cara mengatasinya sebagai
konselor pemula

D. METODE

Berdasarkan pada tujuan umum penelitian maka metode yang tepat dalam penelitian ini
adalah metode deskriptif, karena dilakukan pada saat sekarang dengan sebagaimana adanya.
Sebagaimana telah dikemukakan oleh Sudrajat dan Subana (2009: 23) mengatakan “Penelitian
deskriptif menuturkan dan menafsirkan data yang terjadi pada saat penelitian ini berlangsung dan
berlangsung dan menyajikan apa adanya. Metode deskriftif adalah suatu bentuk penguraian dan
penginterpretasian yang memiliki kaitan dengan kondisi-kondisi yang ada, proses yang sedang
berlangsung atau kecenderungan-kecenderungan yang sedang berkembang. Setelah metode
ditentukan, maka bentuk penelitian harus sesuai dengan metode yang digunakan. Karena metode
penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif, maka bentuk penelitian
pun sesuai dengan metode tersebut. Bentuk penelitian yang tepat dalam penelitian ini adalah
bentuk penelitian survei. Bentuk penelitian ini dilakukan dengan cara peneliti mengadakan survei
langsung ke lokasi yang menjadi tempat penelitian.
BAB II

LANDASAN TEORI

A. PERMASALAHAN YANG DITEMUI OLEH KONSELOR PEMULA

umumnya konselor pemula mengalami masalah kecemasan, ketakutan, dan perasaan


tidak kompeten pada masa awal ia bekerja (Corey, 2007; Theriault, Gazzola, & Richardson,
2009; Corey, 2010). Meskipun kecemasan-kecemasan ini bersifat wajar, namun jika terlampau
berlebihan, maka dapat menyebabkan stres. Stres ini selain karena faktor eksternal, juga dapat
disebabkan oleh faktor pribadi seperti mengalami kecemasan kinerja akut, ketakutan akan
ekspektasi orang lain, batas emosional diri yang rapuh atau kaku, pengalaman praktis yang
kurang kuat dan tidak lengkap, penguasaan konseptual teori yang tidak memadai, harapan yang
berlebihan tentang profesi, dan kebutuhan akut untuk memiliki mentor (Skovholt & Rønnestad,
2003).

Secara khusus, permasalahan yang sering muncul bagi konselor pemula dapat
dikelompokkan menjadi:

1. Sebelum memulai hubungan konseling

Menurut Corey (2010) ada beberapa permasalahan yang dihadapi oleh konselor pemula ketika
memulai hubungan konseling. Diantaranya adalah adanya kecemasan ketika hendak memulai
konseling. Kecemasan ini biasanya hadir pada diri konselor pemula. Konselor pemula berpikir
bahwa bagaimana nanti memulai konseling, apa yang harus dikatakan, bagaimana langkah-
langkah selanjutnya dalam melaksanakan konseling yang efektif, serta bagaimana kalau ternyata
konseli lebih banyak tahu daripada konselor.

2. Dalam proses konseling

Penelitian menyebutkan bahwa dalam proses dan hubungan konseling, konselor pemula
teridentifikasi mengalami masalah tentang kecemasan terhadap peran konselor dalam hubungan
terapeutik, persepsi tentang hubungan terapeutik yang kurang direktif dengan hubungan di luar
konseling, percobaan dengan gaya komunikasi interpersonal, kesadaran akan kontratransferensi,
dan dampak proses terapeutik yang telah dilaksanakan dengan kondisi di luar proses konseling
(Schwing, LaFollette; Steinfeldt; & Wong, 2011).

B. MENGENAL POTENSI DIRI


Menurut Prof.DR.Buchori Zainun, MPA, yang disebut potensi adalah daya atau kekuatan

baik yang sudah teraktualisasi tetapi belum optimal maupun belum teraktualisasi. Daya tersebut

dapat bersifat positif yang berupa kekuatan (power), yang bersifat negatif berupa kelemahan

(weakness). Dalam pengembangan potensi diri yang dikembangkan adalah yang positif,

sedangkan yang negatif justru harus dicegah dan dihambat agar tidak berkembang. Potensi-

potensi tersebut merupakan salah satu pembeda antara individu yang satu dengan individu yang

lain.

Pengembangan potensi diri adalah suatu usaha atau proses yang terus menerus ke arah

penguasaan pribadi, sehingga dapat mendorong dan meningkatkan pertumbuhan pribadi demi

kemauan belajar, yang akhirnya membentuk pribadi yang mantap dan sukses. Pribadi yang

mantap memiliki arti pribadi yang dewasa secara mental. Sedangkan pribadi yang sukses

memiliki arti mampu tampil sebagai pemenang dengan mengalahkan semua unsur negatif yang

ada dalam diri seseorang atau dalam diri sendiri. Selain itu, yang disebut dengan sukses adalah

keberhasilan mencapai target. Target tersebut baik berupa kekayaan, kekuasaan, kepandaian,

ketampanan/kecantikan dan sebagainya. Dengan demikian dapat dikatakan sukses merupakan

target yang terus bergerak setahap demi setahap, tidak akan dapat dicapai sepenuhnya dan tidak

akan pernah puas, karena bila kompetensi seseorang meningkat maka target akan semakin tinggi.

Menurut Aa Gym, ciri-ciri pribadi yang sukses adalah : terencana, terampil, tertib, tegar dan

tawadhu.
BAB III

PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN KONSELOR PEMULA

Konseling atau bimbingan konseling adalah sebuah pengalaman baru bagi seseorang,
terutama konselor. Hal-hal yang harus diperhatikan oleh seorang konselor pemula:

a. Psychological health (kesehatan psikologis). Seorang konselor harus sehat jasmani


maupun rohaninya, fisik maupun mentalnya. Seorang konselor tidak akan mampu
mengarahkan sesi konseling/bimbingan konseling dengan baik dan benar bila dirinya
mengalami gangguan. Oleh karena itu, penting adanya kesadaran terhadap diri sendiri,
terhadap kebutuhan diri, sadar akan apa yang dilakukan itu adalah baik atau buruk dan
paham mengapa melakukan hal itu. 
b. Harming people (merugikan/menyakiti orang lain). Hal ini penting untuk diperhatikan
konselor pemula bahwa sebuah bimbingan konseling bukan hanya untuk sekadar saling
memahami atau mengutarakan pikiran, perasaan dan pengalaman. Tetapi, seorang
konselor juga perlu menerima dan menghargai pikiran, perasaan dan pengalaman orang
lain/kliennya secara positif. Pada saat konseling berlangsung, seorang konselor
hendaknya mengantisipasi agar jangan sampai mengeluarkan perkataan, isyarat non-
verbal ataupun tindakan yang dapat menyinggung atau menyakiti klien.
c. Counselor responsibility (tanggung jawab konselor). Seorang konselor adalah manusia
yang terdiri atas satu paket kelebihan beserta keterbatasannya. Meskipun seorang
konselor dituntut untuk profesional, akan tetapi tidak dimungkiri terkadang konselor akan
menghadapi klien dengan kasus yang sebenarnya sudah di luar kesanggupan konselor.
Misalnya, seorang klien sering mengeluhkan rasa sakit di kepala bila dia dihadapkan oleh
suatu permasalahan dan ternyata pada penelusuran riwayatnya, klien tersebut memiliki
gangguan pada fungsi sarafnya yang hanya mampu ditangani oleh ahli medis. Dengan
demikian, konselor perlu bertindak autentik, menyadari keterbatasan areanya dan
mengadakan referral ke ahli medis untuk menangani kasus ini lebih lanjut. Setelah
keperluan diagnosa medis telah ditegakkan oleh ahlinya maka tanggung jawab konselor
adalah kembali membantu klien tersebut untuk mengatasi masalahnya (di luar hal medis)
bila kliennya meminta. Dengan menyadari keterbatasan konselor, maka permasalahan
klien pun tidak akan terlunta dalam beberapa sesi konseling tanpa adanya keputusan atau
penyelesaian.
d. Caring and accepting (kepedulian dan penerimaan). Kedua hal ini sangat penting demi
membangun raport yang baik antara klien-konselor. Raport yang baik akan membawa
kenyamanan pada pihak klien dan konselor sehingga mereka dapat menerima kehadiran
dan diri satu sama lain. Bila ingin menunjukkan kepedulian terhadap klien, hendaknya
menghindari isyarat non-verbal yang terlalu sering seperti menyentuh bagian tubuh
(misal: pundak, bahu atau paha) klien. Kepedulian cukup ditunjukkan dengan menjadi
pendengar yang aktif dan tidak membuang tatapan mata saat klien sedang berbicara. Konselor
juga sebaiknya menunjukkan penerimaan positif tanpa pamrih (unconditional positive regard) kepada
kliennya. Menunjukkan sikap mau menerima klien apa adanya tanpa meminta balasan dari jasa yang
diberikan kepada kliennya.
e. Lack of experience (kurang pengalaman). Hal ini juga sama pentingnya dengan poin lain.
Seorang konselor perlu meningkatkan pengetahuan/wawasannya terhadap segala aspek
dalam kehidupan. Pengalaman-pengalaman itu dapat diperoleh dengan membaca buku,
majalah/koran/jurnal, mendengarkan cerita positif dari orang lain, berdiskusi dengan
orang lain, dan sebagainya. Semakin kaya pengalaman konselor, maka akan semakin
mahir pula konselor tersebut dalam mengatasi berbagai permasalahan kliennya dan
semakin bijak pula dalam memberikan/membagikan informasi kepada kliennya.
f. Failure (kegagalan). Dalam sesi konseling/bimbingan konseling bisa saja terjadi berbagai
kegagalan untuk menuju suatu keputusan/penyelesaian bila antara klien maupun konselor
tidak ada rasa saling percaya, kurang raport, atau salah satu dari mereka menunjukkan
sikap withdrawl (menjauh). Kegagalan lain pula yang sering terjadi adalah seorang
konselor kurang mampu mengeksplor akan permasalahan klien dengan baik, kurangnya
keterbukaan klien pada konselor, ketidakpuasan klien akan konselor dan lain sebagainya.
Kegagalan seperti ini seringkali terjadi di antara konselor pemula. Oleh karena itu,
seorang konselor penting untuk memahami teknik-teknik yang baik dalam melakukan
konseling.
g. Pitfalls (kesulitan tersembunyi). Beberapa kesulitan yang terkadang tidak disadari
konselor ketika konseling, antara lain:
1. Berusaha terlalu banyak dan terlalu dini. Seorang konselor tidak perlu memaksakan diri
untuk menyelesaikan satu sesi konseling hingga tuntas mulai dari raport, eksplorasi
masalah, feedback, evaluasi, decision-making hingga closing. Hal ini disebabkan klien
yang datang tidak selalu sama tipe dan jenisnya. Terkadang ada klien yang dalam satu
sesi konseling masih sulit untuk memberikan informasi pada konselor sehingga
membutuhkan satu sesi pendekatan secara penuh terlebih dahulu sebelum masuk pada
inti permasalahan.
2. Lebih banyak mengajari daripada membina hubungan. Konseling/bimbingan konseling
bukanlah sarana untuk saling menggurui satu sama lain. Konselor hendaknya
menghindari kata, isyarat atau tindakan yang bermaksud seolah menasehati klien secara
berlebihan. Arahkan klien agar dia mampu mengambil keputusan sendiri selama itu
mampu untuk dia lakukan. Dan, seorang konselor perlu memahami bahwa klien dalam
konseling/bimbingan konseling adalah partner, bukan bawahan atau orang yang lebih di
atas kita. Sehingga, konselor perlu membina hubungan serta pendekatan yang baik
dengan kliennya.
3. Penerimaan yang berlebihan. Sikap, isyarat non verbal atau tindakan penerimaan
terhadap klien yang terlalu berlebihan akan mengakibatkan klien dependent terhadap
konselor. Hal ini sebaiknya diantisipasi konselor. Tidak menutup kemungkinan, konselor
mendapatkan klien yang memiliki kecenderungan untuk bergantung pada orang lain,
merasa sangat terpuruk sehingga memerlukan kasih sayang dan penerimaan yang lebih.
Konselor perlu bersikap tegas dan profesional untuk meghindari hallo effect pada klien.
Konselor dan klien perlu memahami bahwa hubungan mereka adalah sebagai partner
namun bukan untuk berlanjut ke arah yang sangat pribadi. Penerimaan yang berlebihan
seringkali memicu kasus seperti antara konselor dan klien memiliki hubungan khusus di
luar batas konseling. Itu akan merusak kode etik dari konseling.
4. Menampilkan masalah konseling secara berlebihan. Setiap masalah membutuhkan
keterampilan penanganan/penyelesaian yang berbeda dan kadar berat ringannya juga
berbeda. Sebaiknya, konselor menghindari penjabaran permasalahan yang terlalu
dihiperbolakan ataupun terlalu disepelekan. Konselor harus jeli dalam menggali
informasi klien sedalam mungkin dan mengeksplor berbagai pertanyaan yang memiliki
kaitan dengan masalah tersebut. Namun, harus disesuaikan dengan kadar berat ringannya
masalah itu sendiri. Untuk masalah yang tidak terlalu sulit, jangan malah dilebih-lebihkan
seolah tidak ada solusinya, sebaliknya begitu pula dengan masalah yang rumit jangan
dianggap remeh.
5. Cenderung menampilkan kepribadian konseling. Seorang konselor perlu bersikap
dinamis dan fleksibel. Dalam konseling memang terdapat sejumlah peraturan atau kode
etik yang harus ditaati. Namun, bukan berarti konselor menunjukkan kesan kaku dan
terlalu tegas pada klien. Cobalah untuk bersikap dinamis, rileks namun perhatian dan
fleksibel tanpa harus pakem terhadap teknis konseling seperti duduk sangat tegak dan
tidak bergerak sedikit pun.
6. Merenung setelah mengalami sesi yang sulit. Ini seringkali dihadapi oleh konselor dan
kebanyakan tidak disadari. Saat proses konseling mulai memasuki tahap eksplorasi
masalah, terkadang konselor mengalami blank, mendadak tidak tahu apa yang akan
ditanyakan lagi atau dikatakan lagi kepada klien. Sehingga, konselor dan klien mencipta
jeda/diam yang cukup lama. Hal ini perlu dihindari oleh konselor. Untuk
mengantisipasinya, tidak ada salahnya konselor membawa catatan kecil untuk
memetakan masalah klien, apa yang telah diungkapkan klien agar hal tersebut tidak perlu
ditanyakan berulang kali. Bila eksplorasi masalah berbelit, berulang dan sampai
merenung maka hal ini bisa saja membuat konselor dan klien merasa jenuh dan konselor
tidak akan memperoleh informasi yang maksimal terkait klien dan masalah klien.

B. PERMASALAHAN YANG DITEMUI OLEH KONSELOR PEMULA

Ada dua permasalah yang paling sering dihadapi oleh konselor pemulayaitu:
a. Boredom (kebosanan). Hal ini ditandai dengan ciri-ciri menciptakan jarak antara
konselor-klien, kehilangan rasa aman dan penerimaan, konselor terlalu banyak berbicara
atau terlalu banyak diam. Hal seperti ini akan mempengaruhi keseluruhan sesi konseling
dan lebih dari itu, konselor akan kehilangan informasi penting. Untuk mengatasinya,
konselor harus benar-benar memetakan apa akar permasalahan yang telah ditangkap dari
ungkapan tersirat/tersurat dari kien, memberikan feedback kepada klien terkait akar
permasalahan yang konselor ungkapkan apakah itu sudah benar atau tidak dan bila perlu,
gantilah jadwal pertemuan di hari lain.
b. Hostility (permusuhan). Sumber permusuhan yang seringkali terjadi yaitu adanya
ketakutan yang mendalam (takut ketergantungan atau ditantang melakukan sesuatu) baik
pada klien maupun konselor, frustrasi, konselor menjadi simbol konflik, banyak tertekan
dan konselor selalu fokus pada hal negatif. Lalu bagaimana cara mengatasinya? Caranya
ialah konselor harus menanamkan kepada diri sendiri juga klien bahwa mereka adalah
partner yang bersama-sama memiliki tujuan untuk menyelesaikan permasalahan yang
dihadapi saat ini. Selain itu, konselor juga harus mampu menyeimbangkan
perilaku/sikapnya, menjadi orang yang nice (ramah) dan mampu bersikap
tegas/melakukan konfrontasi terhadap klien bilamana terdapat kesimpangsiuran atau
terjadi rambatan permasalahan yang terlalu melebar/tidak fokus.

C. PENGERTIAN POTENSI DIRI

D. JENIS-JENIS DAN CARA MENGEMBANGKAN POTENSI DIRI


BAB IV

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI


DAFTAR PUSTAKA

You might also like