You are on page 1of 4

Jum’at, 05 Juni 2020

Nama : Nailil Amani

Nim : 1801110518

Mata Kuliah : Ideologi dan Ketahanan Nasional

IDEOLOGI ISLAM

Golongan Khawarij mempunyai keyakinan teramat kuat terhadap agama yang


dipeluknya , sehingga menolak terhadap segala bentuk perbuatan dosa kendati amat
sepele. Sikap itu melahirkan dogma-dogmanya yang lain, seperti keyakinan bahwa
setiap perbuatan merupakan bagian penting dari iman. Mereka menganggap
kesalehan sebagai watak dan pribadi setiap muslim yang tidak dapat ditawar sehingga
mewujudkan persaam hak diantara setiap orang. Jika kepercayaan Khawarij
diterjemahkan kedalam perilaku politik, maka hak mutla tidak hanya untuk
menentang tetapi juga memberontak terhadap pemerintah yang berkuasa, bila terbukti
bahwa tindakan atau karakternya tidak segaris dengan standar undang-undang
pemerintahan atau imam. Karena pemujaan berlebihan terhadap Al-Qur’an, mereka
seringkali meremehkan arti Sunnah dan Hadist. Penyimpangan sekecil apapun
didalam Al-Qur’an yang dilakukan setiap muslim dianggap cukup unuk menyebutkan
sebagai penghina Tuhan, sehingga patut diganjar dengan hukuman yang paling keras,
tak peduli apakah ia rakyat jelata atau penguasa.
Konsep Khawarij secara kaku dan keras menolak pemerintahan seperti itu
seraya menegaskan bahwa siapapun, bangsawan Arab maupun budak dari Ethiopia,
laki-laki atau perempuan, berhak memerintah umat islam selama ia mampu
menunjukan kecakapan dan determinasinya untuk melakasanakan ajaran-ajaran Al-
Qur’an serinci mungkin.
Menurut salah satu sumber, para pakar Syi’ah adalah muslim pertama yang
melahirkan teori tentang Imamah. Mereka berpendapat bahwa imamah tidak hanya
merupakan suatu sisteam pemerintahan, tetapi juga rancangan Tuahan, suatu
kepercayaan yang dianggap sebagai penegas keimanan. Kaum Syi’ah
mengembangkan teori mereka tentang imamah segaris dengan ketentuan imam yang
dipilih oleh Tuhan dan bukan hasil pilihan umat manusia. Perilaku Tuhan itu disebut
Lutf atau Rahmat, sedangkan urutan imam-imam yang ditunjuk Allah dikenal dengan
sebutan Imamah. Bahkan golongan Syi’ah mengklaim bahwa Nabi Muhammad atas
perintah Allah, menunjuk Ali sebagai Imam pertama; kemudian Ali menunjuk
penerusnya dan demikian seterusnya sampai dengan Imam yang ke-12, Muhammad.
Secara etimologis, kata kekhalifahan berarti menggantikan seseorang. Tetapi,
dalam semboyan politik islam sunni, kata itu merujuk pada wewenang seseorang
yang berfungsi sebagai pengganti Nabi, dalam kapasitasnya sebagai pemimpin
masyarakat, namun bukan dalm fungsi kenabiannya. Ada tiga bentuk rumusan
tentang kekahalifahan yang diajukan oleh Ann Lambton, yaitu Rumusan para
penasihat raja, Rumusan para filosuf dan Rumusan para fuqaha.
Pada saat-saat tertentu terdapat kesepakatan umum yang berkembang di
kalangan unsur-unsur politik Islam atau Ummah, berkaitan dengan permasalahan
yang timbul dan secara kolektif kemudian mencapai suatu kesepakatan bulat. Inilah
Ijma’ atau konsensus yang merupakan sumber hukum otoritatif peringkat ketiga.
Sedang sumber hukum keempat adalah Qiyas atau analogi logis. Bentuk-bentuk
pertimbangan rasional yang lain dapat diklasifikasikan dibawah kategori tersebut.
Lembaga khilafah yang muncul setelah wafat Nabi saw. mempunyai
kedudukan sebagai lembaga politik tertinggi dalam Isläm yang menimbulkan
kesatuan ummat Islam di mana pun. Menurut Ibnu Taimiyah. suatu negara Islam
tidak wajib mempunyai seorang khalifah sebagai pucuk pimpinan atau demi
menandai ciri umum dalam rangka mewujudkan masyarakat yang “Islami”. Suatu
bentuk pemerintahan yang menetapkan syariat sebagai penguasa tertinggi adalah
gambaran dari pemerintahan Islam yang memenuhi syarat. Ibnu Taimiyah bahkan
melihat semua warga di berbagai Negara islam sebagai satu masyarakat yang disebut
dengan Ummah. Dalam berbagai Negara islam itu setiap individu dapat hidup
berdampingan secara damai dengan individu lain walaupun indepensi dan konstitusi
negaranya masing-masing tidak sama.
Dalam Islam, meskipun banyak menyinggung tujuan kehidupan etis, tetapi
Etika Islam adalah bagian dan paket dari serangkaian kewajiban agama deontologis
dan bukan produk dari sistem filosofis rasional teleologis seperti yang ditemukan
dalam teori Yunani kuno, secara pasti, etika deontologis menekankan ide tersebut.
Seperti halnya teori politik, hukum Islam tentang bangsa-bangsa kebanyakan
merupakan produk dari berbagai tulisan mengenai hukum. Para ahli hukum Islam
(fuqaha) mengembangkan suatu cabbang syariat yang disebut dengan siyar
(didasarkan pada sumber-sumber syariat: al-Qur’an dan as-Sunnah) dan
diterjemahkan sebagai hukum Islam tentang bangsa-bangsa. Pokok-pokok
pembahasannya terdiri dari berbagai tema seperti perang suci (jihad), rampasan
perang (ghanimah), gencatan senjata (sulh), perjanjian keamanan (amn) dan lain-lain.
Al-Qur’an, begitupara perumus teori ini mengajukan argumentasi, mencakup
ayat-ayat yang menetapkan syarat-syarat khusus bagi izin tindakan militer terhadap
orang-orang kafir. Ayat 190-3 dalam surat ke-2 dan ayat 39 dalam surat ke-22
menegaskan sikap islam tentang jus ad bellum atau saat yang tepat untuk bertindak
keras. Tiga syaratnya adalah: demi mempertahankan diri dari agresi lawan (‘udwan),
demi memperbaiki kezaliman atau demi menggagalkan tindakan subversif yang
bermaksud untuk memecah-belah ummat Islam dan menebarkan fitnah di kalangan
mereka. Menurut sebuah sumber, “jihad tidak selalu berani perang tanpa henti.
Tujuan jihad tidak semata-mata untuk berperang.
Dalam sistem internasional kontemporer, “pola hubungan-hubungan” itu selaras
dengan tubuh aturan-aturan perilaku internasional yang secara kolektif dikenal
sebagai hukum internasional, subyek-subyek kunci (Negara-negara kuasa) yang
membentuk “unit-unit dasar politik”. Secara umum dapat dikatakan bahwa persoalan
yang paling mendesak adalah masalah kepentingan nasional dan perangkat-perangkat
yang digunakan untuk mencapai tujuan-tujuan itu berkembang dari insentif-insentif
ekonomi kepada kekuatan militer yang kasar.
Mengenai sumber-sumber hukum, dapat dikatakan bahwa suatu kesejajaran
(persamaan) resmi yang tampak antara hukum internasional dan hukum Islam
cenderung untuk mengaburkan perbedaan pokok antara dua aturan normative itu.
Perbedaan pokok itu terletak pada asas yang menjadi dasar masing-masing. Tidak
salah jika dinyatakan bahwa hukum internasional berkembang pada titik tertentu
dalam sejarah, yakni sebagai tanggapan terhadap suatu situasi tertentu dalam sistem
bangsa dan Negara dengan maksud untuk melembagakan pola tingkah laku yang
telah mapan, bukan untuk mencoba memodifikasi atau mengualifikasikan tingkah
laku tersebut.
Perihal hukum Islam, adalah suatu keyakinan bahwa hukum yang ada tidak
pernnah mengalami perkembangan, sebab hukum tersebut berasal dari wahyu dan
kebijakan asal-usul a historis hukuman Islam secara teoritis mampu
mentransendensikan situasi sejarah yang oleh karenanya tidak mengenal perubahan
atau modifikasi. Memang benar bahwa kepercayaan bukanlah fakta, tetapi tidak salah
juga jika kepercayaan telah menjelma menjadi tingkah laku yang dituntun hukum.
Sisi lain yang memungkinkan adanya pertentangan antara hukum Islam dan
hukum Internasional adalah pandangan masing-masing tentang dunia dan hukum-
hukum yang mengaturnya. Telah diketahui bahwa hukum internasional berasumsi
bahwa dunia terbagi menjadi unit-unit atau Negara-negara politik yang beraneka
ragam dengan kekuasaan penuh masing-masing jika ditilik dari sudut pandang
hukum.

You might also like