Golongan Khawarij mempunyai keyakinan teramat kuat terhadap agama yang
dipeluknya , sehingga menolak terhadap segala bentuk perbuatan dosa kendati amat sepele. Sikap itu melahirkan dogma-dogmanya yang lain, seperti keyakinan bahwa setiap perbuatan merupakan bagian penting dari iman. Mereka menganggap kesalehan sebagai watak dan pribadi setiap muslim yang tidak dapat ditawar sehingga mewujudkan persaam hak diantara setiap orang. Jika kepercayaan Khawarij diterjemahkan kedalam perilaku politik, maka hak mutla tidak hanya untuk menentang tetapi juga memberontak terhadap pemerintah yang berkuasa, bila terbukti bahwa tindakan atau karakternya tidak segaris dengan standar undang-undang pemerintahan atau imam. Karena pemujaan berlebihan terhadap Al-Qur’an, mereka seringkali meremehkan arti Sunnah dan Hadist. Penyimpangan sekecil apapun didalam Al-Qur’an yang dilakukan setiap muslim dianggap cukup unuk menyebutkan sebagai penghina Tuhan, sehingga patut diganjar dengan hukuman yang paling keras, tak peduli apakah ia rakyat jelata atau penguasa. Konsep Khawarij secara kaku dan keras menolak pemerintahan seperti itu seraya menegaskan bahwa siapapun, bangsawan Arab maupun budak dari Ethiopia, laki-laki atau perempuan, berhak memerintah umat islam selama ia mampu menunjukan kecakapan dan determinasinya untuk melakasanakan ajaran-ajaran Al- Qur’an serinci mungkin. Menurut salah satu sumber, para pakar Syi’ah adalah muslim pertama yang melahirkan teori tentang Imamah. Mereka berpendapat bahwa imamah tidak hanya merupakan suatu sisteam pemerintahan, tetapi juga rancangan Tuahan, suatu kepercayaan yang dianggap sebagai penegas keimanan. Kaum Syi’ah mengembangkan teori mereka tentang imamah segaris dengan ketentuan imam yang dipilih oleh Tuhan dan bukan hasil pilihan umat manusia. Perilaku Tuhan itu disebut Lutf atau Rahmat, sedangkan urutan imam-imam yang ditunjuk Allah dikenal dengan sebutan Imamah. Bahkan golongan Syi’ah mengklaim bahwa Nabi Muhammad atas perintah Allah, menunjuk Ali sebagai Imam pertama; kemudian Ali menunjuk penerusnya dan demikian seterusnya sampai dengan Imam yang ke-12, Muhammad. Secara etimologis, kata kekhalifahan berarti menggantikan seseorang. Tetapi, dalam semboyan politik islam sunni, kata itu merujuk pada wewenang seseorang yang berfungsi sebagai pengganti Nabi, dalam kapasitasnya sebagai pemimpin masyarakat, namun bukan dalm fungsi kenabiannya. Ada tiga bentuk rumusan tentang kekahalifahan yang diajukan oleh Ann Lambton, yaitu Rumusan para penasihat raja, Rumusan para filosuf dan Rumusan para fuqaha. Pada saat-saat tertentu terdapat kesepakatan umum yang berkembang di kalangan unsur-unsur politik Islam atau Ummah, berkaitan dengan permasalahan yang timbul dan secara kolektif kemudian mencapai suatu kesepakatan bulat. Inilah Ijma’ atau konsensus yang merupakan sumber hukum otoritatif peringkat ketiga. Sedang sumber hukum keempat adalah Qiyas atau analogi logis. Bentuk-bentuk pertimbangan rasional yang lain dapat diklasifikasikan dibawah kategori tersebut. Lembaga khilafah yang muncul setelah wafat Nabi saw. mempunyai kedudukan sebagai lembaga politik tertinggi dalam Isläm yang menimbulkan kesatuan ummat Islam di mana pun. Menurut Ibnu Taimiyah. suatu negara Islam tidak wajib mempunyai seorang khalifah sebagai pucuk pimpinan atau demi menandai ciri umum dalam rangka mewujudkan masyarakat yang “Islami”. Suatu bentuk pemerintahan yang menetapkan syariat sebagai penguasa tertinggi adalah gambaran dari pemerintahan Islam yang memenuhi syarat. Ibnu Taimiyah bahkan melihat semua warga di berbagai Negara islam sebagai satu masyarakat yang disebut dengan Ummah. Dalam berbagai Negara islam itu setiap individu dapat hidup berdampingan secara damai dengan individu lain walaupun indepensi dan konstitusi negaranya masing-masing tidak sama. Dalam Islam, meskipun banyak menyinggung tujuan kehidupan etis, tetapi Etika Islam adalah bagian dan paket dari serangkaian kewajiban agama deontologis dan bukan produk dari sistem filosofis rasional teleologis seperti yang ditemukan dalam teori Yunani kuno, secara pasti, etika deontologis menekankan ide tersebut. Seperti halnya teori politik, hukum Islam tentang bangsa-bangsa kebanyakan merupakan produk dari berbagai tulisan mengenai hukum. Para ahli hukum Islam (fuqaha) mengembangkan suatu cabbang syariat yang disebut dengan siyar (didasarkan pada sumber-sumber syariat: al-Qur’an dan as-Sunnah) dan diterjemahkan sebagai hukum Islam tentang bangsa-bangsa. Pokok-pokok pembahasannya terdiri dari berbagai tema seperti perang suci (jihad), rampasan perang (ghanimah), gencatan senjata (sulh), perjanjian keamanan (amn) dan lain-lain. Al-Qur’an, begitupara perumus teori ini mengajukan argumentasi, mencakup ayat-ayat yang menetapkan syarat-syarat khusus bagi izin tindakan militer terhadap orang-orang kafir. Ayat 190-3 dalam surat ke-2 dan ayat 39 dalam surat ke-22 menegaskan sikap islam tentang jus ad bellum atau saat yang tepat untuk bertindak keras. Tiga syaratnya adalah: demi mempertahankan diri dari agresi lawan (‘udwan), demi memperbaiki kezaliman atau demi menggagalkan tindakan subversif yang bermaksud untuk memecah-belah ummat Islam dan menebarkan fitnah di kalangan mereka. Menurut sebuah sumber, “jihad tidak selalu berani perang tanpa henti. Tujuan jihad tidak semata-mata untuk berperang. Dalam sistem internasional kontemporer, “pola hubungan-hubungan” itu selaras dengan tubuh aturan-aturan perilaku internasional yang secara kolektif dikenal sebagai hukum internasional, subyek-subyek kunci (Negara-negara kuasa) yang membentuk “unit-unit dasar politik”. Secara umum dapat dikatakan bahwa persoalan yang paling mendesak adalah masalah kepentingan nasional dan perangkat-perangkat yang digunakan untuk mencapai tujuan-tujuan itu berkembang dari insentif-insentif ekonomi kepada kekuatan militer yang kasar. Mengenai sumber-sumber hukum, dapat dikatakan bahwa suatu kesejajaran (persamaan) resmi yang tampak antara hukum internasional dan hukum Islam cenderung untuk mengaburkan perbedaan pokok antara dua aturan normative itu. Perbedaan pokok itu terletak pada asas yang menjadi dasar masing-masing. Tidak salah jika dinyatakan bahwa hukum internasional berkembang pada titik tertentu dalam sejarah, yakni sebagai tanggapan terhadap suatu situasi tertentu dalam sistem bangsa dan Negara dengan maksud untuk melembagakan pola tingkah laku yang telah mapan, bukan untuk mencoba memodifikasi atau mengualifikasikan tingkah laku tersebut. Perihal hukum Islam, adalah suatu keyakinan bahwa hukum yang ada tidak pernnah mengalami perkembangan, sebab hukum tersebut berasal dari wahyu dan kebijakan asal-usul a historis hukuman Islam secara teoritis mampu mentransendensikan situasi sejarah yang oleh karenanya tidak mengenal perubahan atau modifikasi. Memang benar bahwa kepercayaan bukanlah fakta, tetapi tidak salah juga jika kepercayaan telah menjelma menjadi tingkah laku yang dituntun hukum. Sisi lain yang memungkinkan adanya pertentangan antara hukum Islam dan hukum Internasional adalah pandangan masing-masing tentang dunia dan hukum- hukum yang mengaturnya. Telah diketahui bahwa hukum internasional berasumsi bahwa dunia terbagi menjadi unit-unit atau Negara-negara politik yang beraneka ragam dengan kekuasaan penuh masing-masing jika ditilik dari sudut pandang hukum.