You are on page 1of 20

TASAWUF FALSAFI : IBNU ARABI, AL-JILI

Imam Tauhid
Imamtauhid_uin@radenfatah.ac.id
Abstrak
Aisyah Syahida
Kajian tentang konsep insan kamil (manusia
aisyahidah22@gmail.com
sempurna) adalah salah satu tema kajian
yang penting dalam dunia tasawuf. Salah
satu bukti pentingnya tema ini adalah begitu
sufi. Dan di antara sufi yang mengkaji
secara khusus tema ini adalah Abd al-
Karim al-Jili dengan kitabnya al-Insan al-
Kamil fi Ma’rifat al-Awakhir wa al-Awa’il.
Kajian insan kamil yang tertera dalam
kitabnya ini berbeda dengan kajian insan
kamil para sufi sufi lainnya seperti Ibn
‘Arabi, al-Hallaj, Al Suhrawardi, at-
Tirmidzi. Meskipun al- Jili bukan pencetus
pertama konsep insan kamil, akan tetapi
konsep yang digagasnya berbeda dengan
para pendahulunya. Di tangan al-Jili lah
insan kamil mempunyai kejelasan lebih
komprehensif meskipun konsepnya
hanyalah modifikasi dari konsep insan
kamil yang digagas pendahulunya misalnya
oleh Ibn ‘Arabi sebagai komparatif dalam
penelitian ini. Dari penbacaan sederhana
dan singkat, dapat ditemukan bahwa konsep
insan kamil yang digagas oleh al-Jili bisa
kita sebut insan kamil bercorak teologis
sedangkan insan kamil yang digagas oleh
Ibn ‘Arabi bercorak falsafi.

Kata Kunci: Insan Kamil, Abd al-Karim


al-Jili, Ibn ‘Arabi.

Akhlak Tasawuf |1
PENDAHULUAN
Pembahasan teori manusia menurut teori ini terhadap manusia sempurna (alInsan al-
Kamil) merupakan pembahasan yang memiliki daya tarik, tidak pada jarak yang terdahulu
yang membahas pada orang-orang ulama sufi antara lain Abu Yazid al- Busthami, al-Hallaj,
Ibn ‘Arabi, al-Qunawi, al- Jili dan lain lain, hingga sekarang pembahasan persoalan insan
kamil masih sangat penting dibahas. Baru-baru ini di lingkungan kita banyak tragedi-tragedi
menuru jalan tersebut mencari pahala insan kamil seperti tragedi antusias para warga ikut
rutinitas zikir tarekat, banyaknya masyarakat melakukan zikir berjam’ah, tragedi ini bisa di
ketahui jika derajat insan kamil sangat di harap. Benarkah?. Dalam pembahasan ini akan di
utarakan pendapat insan kamil tetap diinginkan. Apakah benar? Dalam penelitian ini akan
tersaji sebuah gagasan insan kamil yg tiba berdasarkan seorang tokoh sufi populer yakni
Syaikh Abd al-Karim al-Jili atau yang biasa disebut menggunakan al-Jili. Gagasan yang
tersaji sang tokoh ini mampu dijadikan sebagai pijakan untuk mereka yang saat ini rajin
melatih spiritual demi merain manusia kamil yg menggunakan Tuhan.

Mempelajari konsep Insan Kamil tentunya tidak lepas dari mempelajari pemikiran Syekh
al-Akbar Muhyi al-Din Ibn 'Arabi, yang juga memberikan wawasan awal tentang Kamil
manusia. Oleh karena itu ,studidianggapIbn'Arabi Insan Kamil juga dihadirkan sebagai
pembanding dari kajian Kamil versi al-Jili. Di antaranya adalah buku karya Murtadha
Muthahari, Manusia Perfect Islamic View of Human Nature, yang diterbitkan oleh penerbit
lentera Jakarta.1 Buku yang lainnya yang ada pada lingkup insan kamil yang di kerjakan oleh
Yunasril Ali yang berjudul “Manusia Citra Ilahi yang diterbitkan oleh Paramadina Jakarta.2
Artikel John T. Little berjudul Al-Insan Al- Kamil: The Perfect Man According To Ibn

1 Murtadha Muthahari, Manusia Sempurna; pandangan Islam tentang hakikat manusia, trans. Oleh M. Hasyem
(Jakarta: Lentera, 1993).
2 Yunasril Ali, Manusia Citra Ilahi (Jakarta: Paramadina, 1997).
Akhlak Tasawuf |2
Al-‘Arabi? Yang diterbitkan oleh The Muslim World Journal Vol. 7 Tahun 1987. 3 Rusdin,
Insan Kamil Dalam

Perspektif Muhammad Iqbal,4 Mohsin Afzal Dar, Iqbal’s Concept of Insan-i-Kamil or Mard- i-
Momin (Perfect Man),4 Nicholas Lo Polito, ‘Abd Al-Karim Al-Jili, Tawhid, Transcendence and
Immanence.5
Dari sekian banyaknya analisis yang bisa di dapatkan penulis diatas tadi, yang
mengkerucutkan ke pencarian tentang pemikiran insan kamil Ibn ‘Arabi sebagai bahan untuk
mencari mana yang lebih baik atau mencari perbedaan dan sampai sekarang belumlah di
temukan, Atas dasar itulah, makan ini sangat memiliki daya tari bagi penulis untuk mencari dan
menelurusi atau meneliti.
Penlitian ini berjenis Library Research. Sumbernya berasal yang didapatkan dari karya
yang benar benar di tulis al-jili dan ibn arabi sebagai bahan perimbangan atau pembanding.
Untuk melakukan penelitian jadi, penulis menggunakan memakai beberapa metode antara
lain: conten analisis, komparatif, hermeneutika.

HASIL DAN PEMBAHASAN


1. Pengertian Tasawuf Falsafi
Sekilas telah disebutkan sebelumnya bahwa tasawuf falsafi merupakan tasawuf yang
ajaran-ajarannya memadukan antara pencapaian dan pencerahan mistikal dengan
pemaparan bersifat rasional filosofis. Di dalamnya terkandung pemaduan antar tasawuf
dan filsafat sehingga dengan sendirinya membuat ajaran-ajarannya bercampur dengan
sejumlah ajaran-ajaran filsafat dari luar Islam, seperti dari Yunani, India, Persia, dan
agama Nasrani. Namun orisinalitasnya sebagai tasawuf (mistis Islam) tidak hilang serta
tetap berusaha menjaga kemandirian ajaran Islam terutama bila dikaitkan dengan
kedudukan para sufi tasawuf falsafi beragama Islam. Tasawuf falsafi juga sering disebut
dengan tasawuf teoritis karena cenderung menekankan pada aspek teori atau konsep
pemikiran metafisik dengan memadukan antara filsafat dengan ketasawufan.6

3 John T. Little, “Al-Insan Al-Kamil: The Perfect Man According To Ibn Al-‘Arabi?,” The Muslim World
77, no. 1 (Januari 1987): 43–54, https://doi.org/10.1111/j.14781913.1987.tb02785.x. 4 Rusdin Rusdin, “Insan
Kamil Dalam Perspektif Muhammad Iqbal,” Rausyan Fikr: Jurnal Studi Ilmu Ushuluddin dan Filsafat 12, no. 2
(5 Februari 2018): 251–71, https://doi.org/10.24239/rsy.v12i2.84.
4 Mohsin Afzal Dar, “Iqbal’s Concept of Insan-i- Kamil or Mard-i-Momin (Perfect Man),” Islam and Muslim
Societies: A Social Science Journal 6, no. 2 (2013): 49–56.
5 Nicholas Lo Polito, “‘Abd Al-Karim Al-Jili, Tawhid, Transcendence and Immanence” (University of
Briminghem, 2010).
6 Alwi Shihab, Islam Sufistik: “Islam Pertama” dan Pengaruhnya hingga Kini di Indonesia, (Bandung: Mizan
2001), h. 120.
Akhlak Tasawuf |3
Tasawuf falsafi adalah sebuah konsep ajaran tasawuf yang mengenal Tuhan
(makrifat) dengan pendekatan rasio (filsafat) hingga menuju ketinggkat yang lebih tinggi,
bukan hanya mengenal Tuhan saja (makrifatullah) melainkan yang lebih tinggi dari itu
yaitu wihdatul wujud (kesatuan wujud). Bisa juga dikatakan tasawuf falsafi yakni tasawuf
yang kaya dengan pemikiran-pemikiran filsafat. Di dalam tasawuf falsafi metode
pendekatannya sangat berbeda dengan tasawuf sunni atau tasawuf salafi. Kalau tasawuf
sunni dan salafi lebih menonjol kepada segi praktis ( ‫)الع ميل‬, sedangkan tasawuf falsafi
menonjol kepada segi teoritis ( ‫ ) نا ل طر ي‬sehingga dalam konsepkonsep tasawuf
falsafi lebih mengedepankan asas rasio dengan pendekatanpendekatan filosofis yang ini
sulit diaplikasikan ke dalam kehidupan seharihari khususnya bagi orang awam, atau
bahkan bisa dikatakan mustahil.7

Para sufi falsafi memandang bahwa manusia mampu naik ke jenjang persatuan
dengan Tuhan yang kemudian melahirkan konsep mistik semifilosofis “ittihad” dan
“fana’-baqa” yang dibangun oleh Abu Yazid alBusthami, konsep “hulul” yang dialami
oleh Husein bin Mansur al- Hallaj, maupun konsep tasawufnya Ibn ‘Arabi yang dikenal
dengan “wahdat alwujud”, konsep “isyraqiyah” yang dirumuskan oleh Suhrawardi
almaqtul, alhikmah al-muta’aliyah yang digagas oleh Mulla Shadra, dan lain sebagainya.
Tasawuf falsafi juga adalah tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi mistis
dan visi rasional pengasasnya. Tasawuf falsafi menggunakan terminologi filosofis dalam
pengungkapannya, sedangkan terminologi falsafi tersebut berasal dari bermacam-macam
ajaran yang telah mempengaruhi para tokohnya seperti yang sudah disebutkan
sebelumnya

2. Latar Belakang
Pembahasan tentang asal-usul tasawuf falsafi juga merupakan persoalan yang sangat
kompleks, sehingga tidak bisa dikemukakan jawaban sederhana terhadap pertanyaan
tentang asal-usulnya tersebut. Beberapa kalangan orientalis yang meneliti tasawuf
menyebutkan bahwa tasawuf sendiri bersumber dari luar Islam, termasuk tasawuf falsafi
sebagai cabangnya juga menunjukkan perbedaan pada corak pengalaman tasawuf.
Thoulk menganggap tasawuf ditimba dari sumber Majusi, Dozy mengatakan tasawuf
dikenal kaum Muslim lewat orang-orang Persia; Goldziher, Palqacios dan Nicholson
7 Shihab, Islam Sufistik…, h. 120.
Akhlak Tasawuf |4
menisbahkan tasawuf berasal dari Kristen; Horten dan Hartman berpendapat tasawuf
diambil dari India (Hindu-Budha), sementara yang lain mengungkapkan bahwa Yunani
merupakan sumber tasawuf.8 Meskipun demikian, banyak ilmuwan dan para pengamat
tasawuf yang dengan tegas mengemukakan bahwa sumber-sumber tasawuf secara
otentik berasal dari dalam Islam sendiri. Menurut Julian Baldic, wacana-wacana
AlQuran memang sangat mendukung tasawuf.9 Spencer Trimingham secara afirmatif
menyatakan Sufism was a natural development within Islam the inner doctrine of Islam,
the underlying mystery of the Qur’an.10 Ibn Khaldun melalui telaah historis-
sosiologisnya mengungkapkan bahwa tasawuf bersumber dari Islam (originated in
Islam) dan mengikuti praktekpraktek muslim generasi awal.11

Selanjutnya pendapat sebagian ilmuwan Muslim kontemporer, seperti Seyyed


Hassein Nasr menjelaskan bahwa kehidupan spiritual kaum Sufi berawal dari Nabi Saw,
di mana jiwa Nabi Saw. disinari cahaya Allah Swt. berupa Alquran, sehingga tepat
sekali bila dikatakan bahwa wahyu Alquran sebagai sumber tasawuf12. Bahkan misalnya
Lynn Wilcox, seorang tokoh dan Mursyid Sufi sekaligus guru besar psikologi abad ini,
dengan mengutip pendapat Abu Yazid al-Bustami, secara ekspresif dan ilustratif dia
menyatakan bahwa benih tasawuf sudah ditanam pada masa Nabi Adam As.

Benih-benih ini berkecambah semasa Nabi Nuh As. dan berbunga semasa Nabi
Ibrahim As. Anggur pun berbentuk pada masa Nabi Musa As. dan buahnya matang pada
masa Nabi Isa As. Kemudian di masa Nabi Muhammad Saw. semua itu dibuat menjadi
hasil air anggur yang murni.13 Meskipun demikian, sebagian ilmuwan Muslim mengakui
sejujurnya bahwa tasawuf dipengaruhi pula oleh agama dan budaya lain. Dasar dan
sumber fundamental tasawuf memang Alquran, Sunnah Nabi, kehidupan para sahabat

8 Taftazani, Sufi dari Zaman…, h. 23-29; Jamil, Cakrawala Tasawuf (Ciputat: Gaung Persada Press, 2004),
h. 18-24.
9 Julian Baldick, Mystical Islam an Introduction to Sufism (New York:New York University Press, 1992), h.
24-26.
10 Spencer Trimingham, The Sufi orders in Islam (New York : Oxford University Press,
1973), h.2
11 Ibn Khaldun, The Muqaddimah, Trans. Franz Rosenthal (Princeton: Princeton University Press, 1989), h.
358.
12 Seyyed Hassein Nasr,”Al-quran sebagai Fondasi Spiritualitas Islam”, Ensiklopedi Tematis
Spiritualitas Islam, terj. Rahmani Astuti, ed. Seyyed Hassein Nasr, Vol. I (Bandung: Mizan, 2003), h. 10.
13 Lynn Wilcox, Ilmu Jiwa Berjumpa Tasawuf, terj. I.G. Harimukti Bagoesoka, (Jakarta: Serambi, 2003), h. 21,
Benih Tasawuf sudah ada sejak Nabi Adam diakui pula oleh Khaja Khan; Mysticism in the World is as old as its
Hills.Adam was perphaps the first mystic who had direct illumination, lihat Khaja Khan, Studies in Tasawuf
(Pakistan : Lahore, 1990), h. 148.
Akhlak Tasawuf |5
dan tabi’in, namun tanpa mengingkari fakta historis, wacanawacana tasawuf dalam
perkembangan selanjutnya telah diwarnai unsurunsur luar, terutama tasawuf falsafi yang
merupakan pengaruh Persia (Yunani) yang rasional dan filsafat India yang mistis.14

Menurut Fazlur Rahman, tasawuf falsafi ini juga terkena pengaruh Grego-gnostik
dan doktrin-doktrin Kristen yang dikembangkan oleh Ibn Arabi. 15 Sehingga bagaimana
pun juga tidak dapat dipungkiri dalam perjalanan selanjutnya sekitar abad ke-VI dan ke-
VII Hijriyah, wacana- wacana tasawuf banyak yang bernuansa filosofis atau tasawuf-
falsafi yang diprakarsai oleh Suhrawardi (w. 587 H), Ibn Arabi (w. 638 H), Ibn Faridh
(w. 632 H), dan lain-lain. Pada fase ini, konsep-konsep tasawuf berkembang dan
diwarnai unsur-unsur diluar Islam, khususnya filsafat Yunani, sekalipun pijakan
fundamental para sufi adalah Alquran dan Sunnah.17

Tasawuf filosofis merupakan tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara


pencapaian pencerahan mistikal dan pemaparan secara rasional filosofis. Terminologi
filosofis tersebut berasal dari bermacam-macam ajaran filsafat, yang telah
mempengaruhi para tokoh- tokohnya. Tasawuf filosofis ini mulai muncul dengan jelas
sejak abad keenam Hijriyah, meskipun para tokohnya baru dikenal setelah seabad
kemudian.

Adanya pemaduan antar tasawuf dan filsafat dalam ajaran tasawuf filosofis, dengan
sendirinya telah membuat ajaran-ajarannya bercampur dengan sejumlah ajaran-ajaran
filsafat di luar Islam, seperti dari Yunani, India, Persia, dan agama Nasrani. Akan tetapi
orsinalitasnya sebagai tasawuf tetap tidak hilang, karena para tokohnya meskipun
mempunyai latar belakang kebudayaan dan pengetahuan yang berbeda dan beraneka,
sejalan dengan ekspansi Islam yang telah meluas pada waktu itu, tetap berusaha
menjaga kemandirian ajaran mereka, terutama bila dikaitkan dengan kedudukan mereka
sebagai umat Islam.16

Corak pemahaman tasawuf falsafi ini tumbuh dan berkembang dimulai pada abad ke-
VI Hijriyah. Tasawuf yang bercorak filosofis ini cenderung dengan ungkapan-ungkapan
ganjil serta bertolak dari keadaan fana’, mulai tenggelam dan kelak akan muncul

14 Komaruddin Hidayat, Wahyu di langit Wahyu di Bumi, (Jakarta: Paramadina, 2003), h.10
15 Fazlur Rahman, Islam (Chicago: University of Chicago Press, 1979), h. 142. 17
Taftazani,
Sufi …, h. 30-47; Jamil, Cakrawala Tasawuf …, h. 18-26.
16 Taftazani, Sufi…, h. 187.
Akhlak Tasawuf |6
kembali dalam bentuk lain pada pribadipribadi sufi yang juga filosof Muslim pada abad
ke-VI dan setelahnya.

Pada mulanya tasawuf merupakan perkembangan dari pemahaman tentang makna


institusi Islam.Sejak zaman sahabat dan tabi’in, kecenderungan pandangan orang
terhadap islam secara lebih analitis sudah muncul. Ajaran Islam di pandang dari dua
aspek yaitu aspek lahiriyah dan batiniyah.17 Corak dari pada tasawuf falsafi tentunya
sangat berbeda dengantasawuf yang pernah diamalkan oleh masa sahabat dan tabi’in,
karena tasawuf ini muncul karena pengaruh filasafat Neo-Platonisme. Berkembangnya
tasaawuf sebagai jalan dan latihan untuk merealisir kesucian batin dalam perjalanan
menuju kedekatan dengan Allah, juga menarik perhatian para pemikir muslim yang
berlatar belakang teologi dan filsafat. Dari kelompok inilah (teologi dan filsafat) tampil
sejumlah kelompok sufi yang filosofis atau filosofis yang sufi. Konsep-konsep mereka
yang disebut dengan tasawuf falsafi yakni tasawuf yang kaya dengan pemikiran-
pemikiran filsafat. ajaran filsafat yang paling banyak dipergunakan dalam analisis
tasawuf adalah Paham emanasi neo-Plotinus.

3. Ajaran Pokok
Pemaduan filsafat dengan tasawuf pertama kali dilakukan oleh para filsuf Muslim
ketika sedang mengalami helenisme pengetahuan. Misalnya filsuf Muslim yang
membahas tentang Tuhan dengan menggunakan konsep-konsep neo-plotinus seperti al-
Kindi. Dalam filsafat emanasinya Plotinus disebutkan bahwa roh memancar dari diri
Tuhan dan akan kembali kepada Tuhan. Di sisi lain ada Pythagoras yang menyebutkan
bahwa roh masuk ke dalam tubuh manusia yang kotor tidak dapat lagi kembali ke Tuhan.
Selama masih kotor, ia akan tetap tinggal di bumi dan bila ruh terus berusaha untuk
membersihkan diri maka dapat kembali kepada Tuhan. Maka dari konsep ini dapat ditarik
ke dalam ranah konsep tasawuf yang juga berkeyakinan bahwa penciptaan alam semesta
adalah pernyataan cinta kasih Tuhan yang direfleksikan dalam bentuk empirik atau
sebagai Sifat madzohir dari sifat Tuhan. Sehingga jiwa atau ruh harus kembali kepada
Tuhan dan tentunya dalam keadaan yang bersih. Secara umum tasawuf falsafi adalah
tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi mistis dan visi rasional. Tasawuf
ini menggunakan terminologi filosofis dalam pengungkapannyayang berasal dari berbagai

17 Lihat Anwar, Rosihon. Ilmu Tasawuf (Bandung, Pustaka Setia, 2006), h. 89.
Akhlak Tasawuf |7
macam ajaran filsafat yang telah mempengaruhi para tokohnya. Ajarannya tasawuf falsafi
lebih mengarah pada teori-teori yang rumit dan memerlukan pemahaman yang lebih
mendalam dan mengedepankan akal mereka serta ajarannya memadukan antara visi
mistis dan rasional. Adapun yang termasuk kategori ajaran tasawuf falsafi adalah:

a. Fana’ dan Baqa’, yakni lenyapnya kesadaran dan kekal.


b. Ittihad, yaitu persatuan antara manusia dengan Tuhan.
c. Hulul, yaitu penyatuan sifat ketuhanan dengan sifat kemanusiaan.
d. Wahdah al-Wujud, yaitu alam dan Allah adalah sesuatu yang satu.
e. Isyraq, yaitu pancaran cahaya atau iluminasi.18

1. Mengenal Abd al-Karim al-Jili


Adapun biografi al-Jili berkaitan tempat dan tahun kelahiran, pendidikan dan
peranannya yang begitu kompleks. Dari peristiwa itu dikarenakan al-Jili tidak
mencantumkannya di setiap karyannya serta para anak didiknya pun tidak
menguraikannya. Namun kekelaman yang menutupi sosok al-Jili dapat diungkap dengan
menelusuri berbagai paparan yang ada pada karyanya yang menerangkan tentang
keadaannya. Kemudian dengan metode ini maka para pengkaji bisa melaksanakan
kontemplasi ruang lingkup kehidupannya, baik terpaut dengan tahun kelahirannya, tempat
beliau dilahirkan, dan perjalanannya semasa beliau hidup.
Menurut Yaqut di dalam kitabnya Mu’jam al-Buldan, nama lengkap al-Jili
diuraikan yaitu ‘Abd al-Karim ibn Ibrahim ibn ‘Abd al-Karim ibn Khalifah ibn Ahmad
ibn Mahmud al-Jili.19 Penisbatan nama dengan al-Jili karena beliau berasal dari daerah
Jilian.20 Lain halnya dengan Yaqut, Ighnaz Golziher berpendapat sebaliknya bahwa
penisbatan al-Jili yakni pada suatu perkampungan yang ada pada wilayah Bagdad yaitu
“Jil”, bukan pada Jilan.21 Anggapan Ighnaz Golziher di atas ditentang oleh Nicholson
dengan berlandas pada pembahasan yang terdapat pada karya al-Jili sendiri.22
Menurutnya, alJili memiliki kekerabatan yang kuat dengan masyarakat Jilan yang berasal
18 Asmaran As., Pengantar Studi Tasawuf (Jakarta: Rajawali Pers, 1996), h. 132.
19 Berkat keluhuran ilmunya, maka pada saat ia masih hidup, al-Jili mendapatkan gelar kehormatan “syaikh”.
Dalam hirarkhi kesufi-an ia mendapatkan gelar kehormatan yakni “Qutub al-Din (Poros Agama).
20 Jillian adalah nama sebuah daerah yang berdekatan dengan Tabaristan. Orang-orang non-Arab biasa
menyebut “Kilan”. Daerah ini kini termasuk provinsi dari Republik Islam Iran. Menurut Yaqut jika seseorang di
nisbatkan namanya kepada wilayahnya maka biasanya disebut dengan Jilani, akan tetapi jika dinisbatkan kepada
penduduknya maka disebut dengan Yaqut, Mu’jam al- Buldan (Beirut: Dar al-Shadr, 1986).
21 Hipotesis ini dapat dibenarkan jika mengacu kepada Yaqut yang mengatakan bahwa ada sebuah wilayah di
Bagdad yang dihuni oleh imigran asal Jilan yang diduga tempat al-Jili dilahirkan. Yaqut, Mu’jam al-Buldan.
22 Dalam karya al-Jili terdapat ungkapan “Al-Kilani nasaban wa al-Bagdadi ashlan”. Dalam Nicholson,
Studies in Islamic Mysticicm (New Delhi: Idarah Adabiyat Delhi, 1981).
Akhlak Tasawuf |8
dari kota Bagdad. Dari argumen tersebut dapat disimpulkan bahwa al-Jili berasal dari dua
darah, yakni keturunan Arab-Persia, namun kehidupan pengetahuannya lebih banyak
dihabiskan di tanah Arab yaitu Yaman sekarang.23

Al-Jili bila dilihat dari garis keturunannya dilahirkan di Bagdad. Dari pernyataan
itu diperkuat menurut pengakuannya bahwa beliau ialah keturunan Syekh Abdul Qodir al-
Jaylani (470-561 H) dari keturunan cucu perempuannya. Al-Jili dilahirkan pada awal
bulan Muharam tahun 767 H. Tahun kelahiran ini disetujui oleh para ahli, namun
mengenai tahun wafatnya, para ahli berbeda pendapat. 24 Walaupun ada perbedaan
argumen mengenai tahun wafatnya, akan tetapi ada argumen yang cukup sesuai yaitu yang
dinyatakan oleh Abdullah al-Habasyi yang beliau ambil dari naskah yang masih berbentuk
tulisan tangan yaitu Tuhfah al-Zaman fi Dzikr Sadat alYaman karya al-Ahdal (w. 855 H).
Kitab ini menerangkan bahwa al-Jili wafat pada tahun 826 H. Alasan argumen ini
dianggap kuat yakni bahwa al-Ahdal masih sezaman dengan al-Jili.25

2. Guru dan Karya-karyanya


Di antara guru yang cukup berdampak baginya yaitu Syekh Syaraf al-Din
Isma’il ibn Ibrahim al-Jabarti (w. 806 H). 26 Di antara sahabat yang cukup akrab dengannya
yakni Syihab al-Din Ahmad al-Raddad (w. 821 H). Al-Jili merupakan seorang ulama yang
sangat inventif. Namun jumlah karyanya tidak bisa diketahui dengan pasti. Para ilmuwan
pun berbeda pendapat dalam memastikan jumlah karyanya. Muhammad Iqbal
menyebutkan bahwa karya al-Jili hanyalah tiga dan dan ketiganya hanyalah merupakan
analisis terhadap karya al-Jili,27 Haji Khalifah menyebutkan bahwa karya al-Jili

23 Dengan asumsi itu maka dapat membantah bahwa al-Jili adalah seorang pemikir dan sufi Persia. Asumsi ini
diperkuat dengan data bahwa secara mayoritas, karya-karya al-Jili ditulis dengan menggunakan bahasa Arab.
24 A.J Arbery, Sufism: An Account of the Mystic of Islam (London: George Allen & Unwin Ltd, 1979).
Dalam catatan yang terdapat dalam kitab insan kamil dijelaskan bahwa ia meninggal pada tahun 805 H.
Berbeda dengan Nicholson, ia mengatakan bahwa al-Jili meninggal antara 1406 dan 1417 M. Dalam
keterangannya ia menjelaskan bahwa tahun 805 H/14-02-3 M bukanlah tahun wafatnya akan tetapi
tahun paling akhir dalam tulisannya di Zabid. Pendapat yang berbeda datang dari Golzhiher dan
Muhammad Iqbal yang mengatakan bahwa al-Jili meninggal pada tahun 811 H atau antara tahun 811 H
dan 820 H. Lihat, Ali, Manusia Citra Ilahi, 34.
25 Al-Habasyi, ‘Abd Allah, al-Shufiyah wa al- Fuqaha fi al-Yaman (Shan’a, 1969), 131.
26 Besar pengaruhnya terhadap al-Jili membuat ia menyebut gurunya (al-Jabarti) dengan sebutan
Ustadz al-Dunya al-Quthb al-Kamil al-Muhaqqiq al-Fadlil. Lihat Al-Jili, al-Insan alKamil fi Ma’rifat
al-Awakhir wa al-Awa’il (Beirut: Dar al-Fikr, 1975), 39.
27 Untuk mengetahui karya-karya al-Jili yang dimaksud oleh Muhammad Iqbal dapat dilihat dalam
bukunya Muhammad Iqbal, The Development of Metaphysica in Persia (London: Luzac & Co., 1903).
Akhlak Tasawuf |9
berjumlah enam buah kitab.28 penelitian ini disempurnakan oleh Isma’il Pasya al-
Baghdadi, beliau menulis terdapat lima karya al-Jili di samping yang telah dikatakan oleh
haji Khalifah.29 Berlainan dengan argumen di atas, Carl Brockelmann sebagaimana yang
diambil oleh Yunasril Ali menulis bahwa karya al-Jili berjumlah 29 buah. 30 Berlainan
dengan apa yang dicatat oleh Carl Brockelmann, Yunasril Ali menambahi sebagaimana
yang beliau catat dalam buku “Manusia Citra Ilahi” bahwa karya Al jili berjumlah 34
buah.33

28 Haji Khalifah, Kasyf al-Zhunun fi Asami al-Kutub wa al-Funun (Beirut: al-Maktabah al-Mutsanna,
1525).
29 Isma’i Pasya Al-Baghdadi, Idlah al-Maknun fi al-Dzail ‘ala Kasyf al-Zhunun fi Asami al-Kutub wa al-
Funun (Beirut: al-Maktabah al-Mutsanna, t.th.).
30 Ali, Manusia Citra Ilahi, 38-39. 33
Ali,
Manusia Citra Ilahi.
Akhlak Tasawuf | 10
Berhubungan dengan pembahasan dalam karya tulisan ini yakni Insan
Kamil versi Abd al-Karim ibn Ibrahim ibn Abd al-Karim ibn Khalifah ibn Ahmad
ibn Mahmud al-Jili, maka akan tidak banyak dijelaskan mengenai kitab al-Jili, al-
Insan al-Kamil fi Ma’rifat al-Awakhir wa al-Awa’il. Kitab ini adalah kitab
unggulan dari al-Jili, terdiri dari dua jilid, mengandung 63 bab; jilid pertama
berjumlah 41 bab dan jilid kedua berjumlah 22 bab. Kitab ini diterbitkan oleh
beberapa penerbit diantaranya yakni Dar al-Kutub alMishriyah Kairo, Maktabah
Shabih, dan Mustafa al-Babi al-Halabi di Kairo, dan Dar al-Fikr di Beirut.
Keunggulan kitab ini dibandingkan dengan kitab al-Jili lainnya yakni pada edisi
penterjemahan. Kitab ini diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa, diantaranya ke
dalam bahasa Prancis oleh Titus Burckhardt dengan judul Del ‘Homme Universal,
dalam bahasa Inggris oleh Angele Culme Seymour dengan judul Universal man.
Keunggulan kitab ini juga diakui oleh para ulama sesudahnya, sehingga para
ulama merasa penting untuk memberikan kritik (syarah) atas kitab al-Jili tersebut.
Di antara syarah-syarah tersebut ialah: 1). Mudlihat al-Hal fi ba’dl masmu’at al-
Dajjal, kritik atas bab ke 50 dan 54, oleh Ahmad ibn Muhammad al-Madani (w.
1071 H/1660 M). Pernyataan al-Madani ini sungguh disayangkan hingga saat ini
belum dibukukan, karyanya kini tersimpan dalam perpustakaan library of India of
Fice, nomor katalog 667. 2.) Kasy al-Bayan an’ Asrar al-Adyan fi kitab alInsan
al-Kamil wa kamil al-Insan oleh al-Ghani al-Nabulsi (w. 1143 H). 3.) Syarah ‘Ali
zadah ‘Abd al-Baqi ibn’Ali. 4.) Syarah Syekh ‘Ali ibn Hijazi alBayumi (w. 1183
H).31
3. Ibnu Arabi: Riwayat Hidup dan Kontribusi Intelektualnya
Nama lengkap dari Ibnu Arabi adalah Muhammad Ibnu ‘Ali Ibnu
Muhammad Ibnu al-Arabi al-Tai al-Hatimi32. Meskipun demikian, nama
panggilan sebagai Ibnu Arabi, dengan tidak memakai “al” menjadi nama
yang paling dikenal sebagaimana tokoh-tokoh lainnya dalam perkembangan
transformasi ilmu pengetahuan. Penyebutan dengan Ibnu Arabi yang tidak
memakai “al” merupakan suatu upaya untuk membedakan dengan tokoh
lain yang juga biasa disebut dengan panggilan yang sama yang dalam hal
ini adalah Abu Bakar yang merupakan seorang qadi di Seville. Dengan
penggunaan tanpa “al” tersebut khusus untuk Muhammad Ibnu‘Ali Ibnu
Muhammad Ibnu alArabi al-Tai al-Hatimi yang merupakan seoramg
pemikir, sufi, ataupun filosof dalam perkembangan Islam maka kedua tokoh
tersebut dapat dibedakan. Meskipun panggilan dengan menggunakan
sebutan Ibnu alArabi juga masih sering digunakan pada keduanya33.

Ibnu Arabi lahir pada 27 Ramadhan 560 hijriyah bertepatan dengan


17 Agustus 1165 masehi di sebuah daerah yang bernama Murcia, Spanyol.

31 Ali, Manusia Citra Ilahi, 41.

32 Kautsar Azhari Noer, Ibn al-Arabi: Wahdah al-Wujud dalam Perdebatan,


(Jakarta: Paramadina, 1995), h. 17

33 Moulvi Husaini, Ibnu al-Arabi, (Lahore: SHM Ashraf, 1977), h. 2


Akhlak Tasawuf |
11
Kecintaan Ibnu Arabi terhadap ilmu pengetahuan tidak perlu diragukan lagi
karena latar belakang keluarganya yang mencintai ilmu pengetahuan secara
tidak langsung juga membentuk karakternya yang begitu mencintai ilmu
pengetahuan dimana kecintaan tersebut digambarkan ketika usia yang
masih sangat belia, yang dalam hal ini baru berusia 8 tahun, dia sudah
merantau ke Lisbon untuk menuntut ilmu pengetahuan agama pada Syekh
Abu Bakar Ibn Khallaf dimana dia memperdalam ilmu-ilmu agama seperti
al-Qur’an, hadits, hukum Islam, kalam, filsafat, dan yang lainnya. Berbagai
pengalaman intelektual tersebut ditambah dengan dorongan dari istrinya
yang bernama Maryam untuk istiqamah mengkaji tasawuf telah
mengantarkannya sebagai salah seorang tokoh tasawuf yang disegani yang
secara formal telah mengikrarkan dirinya untuk eksis pada jalan tasawuf
saat dirinya berusia 20 tahun yang bertepatan dengan tahun 580 hijriyah
atau 1184 masehi34.

Sebagai salah seorang tokoh tasawuf, Ibnu Arabi merupakan tokoh


yang memiliki perhatian yang besar dalam transformasi pengembangan
ilmu pengetahuan yang salah satunyandiwujudkan dengan tradisi menulis.
Tidak mengherangkan kemudian apabila berbagai karya tulis yang
dimilikinya dapat dibaca pada saat sekarang ini. Beberapa karya tulis yang
ditulis Ibnu Arabi diantaranya adalah Fusus al-Hikam yang berisi tentang
konsep ajaran mistis yang merupakan garis-garis besar dari ajaran tasawuf
yang dikembangkannya, baik pada tataran konseptual sampai pada tataran
praktis, ang diuraikan secara orisinil dan berimplikasi besar pada
perkembangan dunia tasawuf35. Di samping itu beberapa karya tulis lain
yang telah dipersembahkan Ibnu Arabi sebagai kontribusi intelektualnya di
antaranya adalah Ma la Budda minhu li alMurîd, Syajarat al-Kawn,
Misykat al-Anwar, Mahiyyat al-Qalb, al-Ittihâd al-Kawni fi Hadratal-
Isyhad al-‘Ayni, Isyarat al-Qur’an, al-Insan al-Kulli, Bulghat al-Ghawwas,
Taj al-Rasa’il, Kitab al-Khalwah, Syarh Khal’ al-Na’layn, Mir’at
al-‘Arifin, Ma’rifah al-Kanz al-‘Azim, Mafatih al-Ghayb, Daa’wat
Asma’Allah al-Husna, al-Haqq, dan yang lainnya36. Apresiasi atas
produktivitas Ibnu Arabi dalam mendukung transformasi ilmu lintas ruang
dan waktu melalui tradisi tulis menulis

34 Kautsar Azhari Noer, Ibn al-Arabi: Wahdah al-Wujud dalam Perdebatan, h.18
35 Ibn Arabi, Fusus al-Hikam, Terj. R.W.J. Austin,The Bezels of Wisdom The Missionary
Society of St. Paul the Apostle in the State of New York, (Yogyakarta: Islamika, 2004), h. xxxi
36 Kautsar Azhari Noer, Ibn al-Arabi: Wahdah al-Wujud dalam Perdebatan, h. 2829

Akhlak Tasawuf |
12
diungkapkan oleh Muh. Panji Maulana yang mengemukakan bahwa
keberadaan tokoh yang sangat identik dengan konsep wahdatul wujudnya
ini sudah tidak diragukan lagi terlait kemampuannya dalam hal komitmen
untuk menghadirkan kontribusi intelektual berupa tradisi tulis menulis
sehingga selama hidupnya telah ada kurang lebih 700 karya tulis berupa
buku yang telah dihasilkan dengan tema yang beragam. Dua karyanya
yang sangat terkenal adalah kitab Futuhat al-Makiyyah, dan kitab Fusush
al-Hikam. Kedua karya tersebut disebut-sebut merupakan intisari dari
pemikiran Ibn Arabi baik yang berkaitan dengan tasawuf, ketuhanan
maupun ilmu-ilmu keislaman lainnya37.

Dalam pengembangan pemikirannya, Ibnu Arabi banyak


menggunakan bahasa-bahasa metaforis yang boleh jadi memerlukan suatu
upaya yang keras untuk dapat memahaminya secara utuh. Tidak
mengherangkan kemudian apabila berbagai gagasan inovatif yang
ditawarkannya dalam perkembangan pemikiran Islam khususnya dalam
bidang tasawuf falsafi telah melahirkan banyak penafsiran yang beragama
dan cenderung melahirkan perdebatan intelektual yang sengit. Saking
sengitnya perdebatan yang muncul, kadang-kadang keimanan
dipertaruhkan sehingga perbedaan pendapat yang mengarah pada gagasan-
gagasan Ibnu Arabi telah memunculkan prokontra satu sama lain sehingga
saling klaim kebenaran pun muncul yang disertai dengan pengkafiran bagi
yang berseberangan pandangan.

4. Konsep Insan Kamil Ibn ‘Arabi Vs Al-Jili


Tabel 1 ini adalah perbandingan dari kerangka berfikir Insan Kamil Ibn
‘Arabi dans Al-Jili.
Tabel 1 kerangka berfikir Insan Kamil dari Ibn Arabi dan Al-Jili
No Konsep Ibn Arabi Al-Jili
1. Insan Kamil Tempat tajadi sang Tempat tajadi
pencipta paripurna sang
pencipta paripurna
2. Alam Ibn Arabi berpendapat Penciptaan dikarenakan
bahwa alam tidak dibuat dari yang tidak ada

37 Muh. Panji Maulana, Filsafat Ketuhanan Ibnu Arabi: Telaah Kitab Hill al
Rumuz wa Mafatih al-Kunuz, (Jurnal Yaqzhan Vol. 4 No. 2 Tahun 2018), h. 332

Akhlak Tasawuf |
13
oleh sesuatu yang tidak (Adam). Jadi menurut
ada tetapi dari apa yang pendapatnya alam dibuat
sudah ada, ialah yang ada dari yang telah ada maka
terhadap keilmuan tentang akan terdapat bentuk lain
ketuhanan. Kebenaran yaitu bentuk tuhan.
terhadap ilmu ketuhanan
itu lalu timbullah sebagai
alam nyata.
3. Nur Muhammd Berpendapat jika cahaya, Pendapat Al-jali
jiwa, nur Muhammad berbeda terhadap
ialah pernyataan Nur
Qadim didalam Muhammad menurut
pengetahuan ilmu Al-jali ialah
ketuhanan dan baru baru alasannya baru
ada pada mengutarakan wujud ialah tuhan dan
kepada ciptaan tuhan. Qadim ialah tuhan
baru
4. Pembagian Ia memberikan urutan Keduduan pertama dan
Martabat pertama pada martabat tertinggi yang diberikan
ahadiyah terhadap proses oleh Al-jali terhadap
tajali tuhan. Karna
martabat ahadiyan adalah martabat uluhiyah, karna
zat, tidak memiliki pada martabat uluhiyah
hubungan terhadap terdapat segenap realitas
apasaja, dari asma dari berbagai hal.
ataupun sifat.yang
tertinggi dalam tajali pada
martabat
ahadiyah ialah tuhan
5. Teori Tajalli dan Pendapat Ibn Arabi ialah kerangka tajalli dan
Taraqqi kerangka tajalli dan taraqqi ialah cara atau
taraqqi ialah cara atau jalan adanya Insan kamil.
jalan adanya Insan kamil.
6. Corak Insan kamil Ibn Arabi berpendapat Teologis ialah corak Insan
bahwa Inasan Kamil Kamil.
berbentuk Farsafi.
7. Insan Kamil Menurut Ibn Arabi Insan Pemberbaharuan yang
Kamil yang kegunaannya dilakukan oleh Ibn
ialah untuk menandai teori Arabi ialah
manusia ideal yang pemberbaharuan yang
merupakan tempat telah dijalankan oleh Al-
mengamati penampakan
jali beliau juga
dari tuhan
menjelaskan dan
meringkas terhadap teori
insan kamil yang dikarang
Akhlak Tasawuf |
14
oleh sufi yang lalu
contohnya Ibn
Arabi

5. Penjelasan Mengenai Teori Insan Kamil Terhadap Hal Yang Terbaru


Terdapat pada suatu hadis diterangkan bahwa “al Insan Hayawan Al
Nathiq” jika diterjemahkan perkata berarti manusia ialah “hewan” tetapi
memiliki akal. Tidak sama dengan makhluk yang lain jika dilihat dari
pengetahunnya, manusia mempunya apa yang tidak dimiliki oleh makhluk
yang lain yaitu akal untuk berfikir. Situasi ini menempatkan jika manusia
ialah manusia yang paling sempurna dari segala ciptaan tuhan.

Adanya akal yang berfungsi menjadi alat berfikir sehingga manusia


mempunyai kualitas yang tinggi dan sebaik-baik dan bisa juga paling buruk.
Kalau manusia bisa mengontrol hawa nafsu pasti akan lebih mengarah ke
dalam kebaikan maka manusia mempunya kualitas yang baik untuk menjadi
muttaqin yang baik sebagai ciptaan tuhan. Jika manusia sudah tiba pada
tingkat ini maka pasti derajatnya akan lebih daripada malaikat sekalipun.
Tetapi sebaliknya jika manusia tidak bisa menahan atau mengontol hawa
nafsunya maka manusia akan menjadi makhluk yang lebih hina daripada
binatang sekalipun.

Pada buku A.Carrel yang judulnya Man The Unknown bahwa


“bagaimanapun manusia untuk mengetahui jati dirinya, ia pasti kurang
mempunyai kebendaharaannya yang cukup untuk membuktikan atau
mengetahui siapa dirinya……”38 maka dari masalah itulah ia mendapatkan
cara memecahkan masalahnya, manusia ditekankan agar melihat dirinya
sendiri terhadap kondisi sendiri maupun pada masyarakat. Manusia
disarankan agar lebih intropeksi diri.

Insan Kamil ialah manusia yang mempunyai kemampuan menjadi


khalifah Allah yang sangat baik. Maksudnya ialah ia mampu melaksanakan
tujuannya untuk mnciptakan tatan Moral pada daerah Spiritual ataupun
Kehidupan terhadap alam disekitarnya. Dari perkataan yang lain Insan
Kamil sebagai pengganti allah terhadap sikap dan zatnya. Mengapa seperti

38 A. Carrel, Man The Unknown (New York: Harper & Brothers, 1939).
Akhlak Tasawuf |
15
ini? Jawabannya ialah allah membuat atau mengadakan manusi sesuai
dengan apa yang sudah di citrakan yang maha besar. Citra allah dari
pengertiannya ialah tiadak ada satu pun makhluk yang mampu menerima
tajalli Allah kecuali insan kamil. Pada diri insan kamil terdapat berbagai
rahasia Allah dari berbagai bentuknya Jamal (Maha Indah) dan Jalal-nya
(Maha Mulia). Lalu sifat itu laksankan oleh insan kamil terhadap tingkah
laku untuk menjalani kehidupan di dunia ini.

Persaingan antara dua belah pihak terjadi dan manusia menjadi


substitude Allah, maka manusia diharuskan agar menjaga tingkah lakunya
dengan baik. Entah itu saat melakukan komunikasi dengan sesama
makhluk,ataupun saat berinteraksi atau berkomunikasi pada sang Kholiq.
Lerak insan kamil hanya bisa di dapatkan terhadap pribadi manusia yang
mau berfikir.

Pada bukunya yang judulnya “Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi”,


Nurcholish Madjid memberikan gambaran orang yang bisa mendapat tanda
tanda Allah ini alam semesta ini ialah mereka:

a. berpikir secara bersungguh sungguh (ulul albab).


b. Mempunyai rasa sadar tentang apa itu tujuan hidup yang kekal.
c. Sadar bahwa jagat raya ini dibuat sebagai manifestasi wujud transcendental

d. Bisa tau positif dan optimis terhadap alam raya


e. Mengerti jika kebahagian akan hilang karna pandangan negative- pesimis
terhadap alam.39

Kalau dilihat dari maksud atau arti dari insan kamil yang di utarakan
Aljali diatas dan dihubungkan pada kondisi saat ini maka ada yang bisa di
terapkan pada era saat ini:

Pertama teori insan kamil dapat diartikan ialah landasan penguatan


rancanga personalitas. teori kesempurnaan seorang individu begitu penting.

Untuk tercapainya pada tahap sekarang ini, maka dibutuhkan peran akal
dan intuisi sebagai pembentuk konsep diri. Hal yang bisa diperbuat ialah dengan
selalu menyadarii akan realitas diri, mencari tantangan dan hal-hal baru. Trhadap

39 Nurcholish Madjid, Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi (Jakarta: Paramadina, 1996).
Akhlak Tasawuf |
16
situasi itu maka akan memberikan dampak pembelajaran yang positif bagi
pengembang- an diri.

Kedua, konsep insan kamil bisa juga di artikan sebagai usaha


pertumbuhan atau pengembangan personality. Pengembangan diri menuju
kesempurnaanpasti harus dijalani secara konsisten. Pengembangan diri
memerlukan sikap kesungguhan atau ketekunan dan kesabaran dari waktu ke
waktu.

Ketiga, konsep insan kamil bisa juga di artikan sebagai pembelajaran


bagaimana menyetabilkan keserasian pada jasmani dan ruhani. Usaha
pengembangan diri seorang individu itulah memaksa agar memaksimalkan
kekayaan batin dari eksistensinya. Jadi, tidak bisa tercapai sebuah proses
pengembangan diri dengan baik jika tidak diiringi dengan upaya
menyelaraskan jasmani dan ruhaninya.

KESIMPULAN
Sebagai kesimpulan akhir dalam penelitian ini dapat disimpulkan bahwa
konsep yang digagas oleh al-Jili mengenai insan kamil adalah sebuah modifikasi
dari konsep insan kamil yang digagas sebelumnya misalnya oleh Ibn ‘Arabi
sebagai komparatif dalam tulisan ini. Insan kamil yang digagas oleh al- Jili bisa
kita sebut insan kamil bercorak teologis sedangkan insan kamil yang digagas
oleh Ibn ‘Arabi bercorak falsafi.

Di samping usaha modifikasi yang dila- kukan oleh al-Jili, nampaknya ia


juga memberikan uraian sebagai usaha untuk memperjelas dan
menyederhanakan konsep insan kamil yang digagas oleh sufi sebelumnya
misalnya Ibn ‘Arabi. Antara Ibn ‘Arabi dan al-Jili banyak sekali persamaan dan
perbedaan dalam menguraikan insan kamil. Hal tersebut dipengaruhi oleh
perbedaan setting historis yang melingkupi kedua tokoh tersebut.

Jika memperhatikan makna insan kamil seperti yang diungkapkan oleh AlJili di
atas, dan dikaitkan dalam konteks kekinian seti- daknya ada beberapa pemknaan
yang bisa diaplikasikan pada manusia sekarang: Pertama, konsep insan kamil bisa
dimaknai sebagai dasar penguatan konsep personality. Kedua, konsep insan kamil
juga bisa dimaknai sebagai upaya pertumbuhan atau pengembangan personality.

Akhlak Tasawuf |
17
Ketiga, Konsep insan kamil juga dapat dimaknai sebagai pembelajaran bagaimana
menyeimbangkan keserasian antara jasmani dan ruhani.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sebenarnya insan kamil adalah
kesempurnaan manusia yang tercermin melalui sebuah proses perwujudan yang
terjadi antara keseimbangan dan keselarasan pola hidup manusia dalam
mencapai tujuan hidup yang hakiki antara kehidupan manusia dalam konteks
kemanusiaan dan konteks ketuhanan.

DAFTAR PUSTAKA
Arabi, Ibn, Fusus al-Hikam, Terj. R.W.J. Austin,The Bezels of Wisdom The
Missionary Society of St. Paul the Apostle in the State of New York,
Yogyakarta: Islamika, 2004.
‘Arabi, Ibn. Muhy al-Din, al-Futuhat al- Makkiyah. Beirut: Dar al-Fikr, t.th.
Al-Baghdadi, Isma’i Pasya. Idlah al-Maknun fi al-Dzail ‘ala Kasyf al-Zhunun fi
Asami al-Kutub wa al-Funun. Beirut: al- Maktabah al-Mutsanna, t.th.
Al-Habasyi. ‘Abd Allah, al-Shufiyah wa al- Fuqaha fi al-Yaman. Shan’a, 1969.
Al-Jili. al-Insan al-Kamil fi Ma’rifat al- Awakhir wa al-Awa’il. Beirut: Dar alFikr,
1975.
al-Kahf wa al-Raqim fi Syarh bi-Ism Allah al-Rahman al-Rahim. Kairo: al-
maktabah al-mahmudiyah al-Tijariyah, t.th.
Al-Tirmidzi. Al-Hakim, Adab al-Muridun. Diedit oleh Abd al-fatah Barakah. Kairo:
Maktabah al-Sa’adah, t.th.
Ali, Yunasril. Manusia Citra Ilahi. Jakarta: Paramadina, 1997.
Arbery, A.J. Sufism: An Account of the Mystic of Islam. London: George Allen &
Unwin Ltd, 1979.
Alwi Shihab, Islam Sufistik: “Islam Pertama” dan Pengaruhnya hingga Kini di
Indonesia, Bandung: Mizan 2001.
Anwar, Rosihon. Ilmu Tasawuf, Bandung, Pustaka Setia, 2006.
Asmaran As., Pengantar Studi Tasawuf, Jakarta: Rajawali Pers, 1996.
Carrel, A. Man The Unknown. New York: Harper & Brothers, 1939.

Dar, Mohsin Afzal. “Iqbal’s Concept of Insan-i-Kamil or Mard-i-Momin (Perfect


Man).” Islam and Muslim Societies: A Social Science Journal 6, no. 2 (2013):
49–56.
Akhlak Tasawuf |
18
Fazlur Rahman, Islam, Chicago: University of Chicago Press, 1979.
J. Spencer Trimingham, The Sufi orders in Islam, New York: Oxford University
Press, 1973.
Jamil, Cakrawala Tasawuf, Ciputat: Gaung Persada Press, 2004.
Julian Baldick, Mystical Islam an Introduction to Sufism, New York: New York
University Press, 1992.
Husaini, Moulvi, Ibnu al-Arabi, Lahore: SHM Ashraf, 1977. MagnizSuseno, Frans,
Menalar Tuhan, Yogyakarta; Kanisius, 2006

Ibn Khaldun, The Muqaddimah, Trans. Franz Rosenthal, Princeton: Princeton


University Press, 1989.
Iqbal, Muhammad. The Development of Metaphysica in Persia. London: Luzac &
Co., 1903.
Khalifah, Haji. Kasyf al-Zhunun fi Asami al- Kutub wa al-Funun. Beirut:
alMaktabah al-Mutsanna, 1525.
Komaruddin Hidayat, Wahyu di langit Wahyu di Bumi, Jakarta: Paramadina, 2003.
Little, John T. “Al-Insan Al-Kamil: The Perfect Man According To Ibn Al-
‘Arabi?” The Muslim World 77, no. 1 (Januari 1987): 43–54.
Lynn Wilcox, Ilmu Jiwa Berjumpa Tasawuf, terj. I.G. Harimukti Bagoesoka,
Jakarta: Serambi, 2003.
https://doi.org/10.1111/j.1478- 1913.1987.tb02785.x.

Madjid, Nurcholish. Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi. Jakarta: Paramadina,


1996. Muthahari, Murtadha. Manusia Sempurna; pandangan Islam tentang
hakikat manusia. Diterjemahkan oleh M. Hasyem. Jakarta:
Lentera, 1993.
Maulana, Muh. Panji, Filsafat Ketuhanan Ibnu Arabi: Telaah Kitab Hill alRumuz
wa Mafatih al-Kunuz, Jurnal Yaqzhan Vol. 4 No. 2 Tahun 2018.
Nicholson. Studies in Islamic Mysticicm. New Delhi: Idarah Adabiyat Delhi, 1981.
Noer, Kautsar Azhari, Ibn al-Arabi: Wahdah al-Wujud dalam Perdebatan, Jakarta:
Paramadina, 1995.
Polito, Nicholas Lo. “‘Abd Al-Karim Al-Jili, Tawhid, Transcendence and
Immanence.” University of Briminghem, 2010.
Rusdin, Rusdin. “Insan Kamil Dalam Perspektif Muhammad Iqbal.” Rausyan
Fikr: Jurnal Studi Ilmu Ushuluddin dan Filsafat 12, no. 2 (5 Februari 2018):
251–71. https://doi.org/10.24239/rsy.v12i2.84. Yaqut. Mu’jam al-Buldan.
Beirut: Dar al-Shadr, 1986.

Akhlak Tasawuf |
19
Seyyed Hassein Nasr,”Al-Quran sebagai Fondasi Spiritualitas Islam”,
Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam, terj. Rahmani Astuti, ed. Seyyed
Hassein Nasr, Vol. I, Bandung: Mizan, 2003.

Akhlak Tasawuf |
20

You might also like