Professional Documents
Culture Documents
Aisyah Syahida-2120202088-Revisi Jurnal Akhlak Tasawuf
Aisyah Syahida-2120202088-Revisi Jurnal Akhlak Tasawuf
Imam Tauhid
Imamtauhid_uin@radenfatah.ac.id
Abstrak
Aisyah Syahida
Kajian tentang konsep insan kamil (manusia
aisyahidah22@gmail.com
sempurna) adalah salah satu tema kajian
yang penting dalam dunia tasawuf. Salah
satu bukti pentingnya tema ini adalah begitu
sufi. Dan di antara sufi yang mengkaji
secara khusus tema ini adalah Abd al-
Karim al-Jili dengan kitabnya al-Insan al-
Kamil fi Ma’rifat al-Awakhir wa al-Awa’il.
Kajian insan kamil yang tertera dalam
kitabnya ini berbeda dengan kajian insan
kamil para sufi sufi lainnya seperti Ibn
‘Arabi, al-Hallaj, Al Suhrawardi, at-
Tirmidzi. Meskipun al- Jili bukan pencetus
pertama konsep insan kamil, akan tetapi
konsep yang digagasnya berbeda dengan
para pendahulunya. Di tangan al-Jili lah
insan kamil mempunyai kejelasan lebih
komprehensif meskipun konsepnya
hanyalah modifikasi dari konsep insan
kamil yang digagas pendahulunya misalnya
oleh Ibn ‘Arabi sebagai komparatif dalam
penelitian ini. Dari penbacaan sederhana
dan singkat, dapat ditemukan bahwa konsep
insan kamil yang digagas oleh al-Jili bisa
kita sebut insan kamil bercorak teologis
sedangkan insan kamil yang digagas oleh
Ibn ‘Arabi bercorak falsafi.
Akhlak Tasawuf |1
PENDAHULUAN
Pembahasan teori manusia menurut teori ini terhadap manusia sempurna (alInsan al-
Kamil) merupakan pembahasan yang memiliki daya tarik, tidak pada jarak yang terdahulu
yang membahas pada orang-orang ulama sufi antara lain Abu Yazid al- Busthami, al-Hallaj,
Ibn ‘Arabi, al-Qunawi, al- Jili dan lain lain, hingga sekarang pembahasan persoalan insan
kamil masih sangat penting dibahas. Baru-baru ini di lingkungan kita banyak tragedi-tragedi
menuru jalan tersebut mencari pahala insan kamil seperti tragedi antusias para warga ikut
rutinitas zikir tarekat, banyaknya masyarakat melakukan zikir berjam’ah, tragedi ini bisa di
ketahui jika derajat insan kamil sangat di harap. Benarkah?. Dalam pembahasan ini akan di
utarakan pendapat insan kamil tetap diinginkan. Apakah benar? Dalam penelitian ini akan
tersaji sebuah gagasan insan kamil yg tiba berdasarkan seorang tokoh sufi populer yakni
Syaikh Abd al-Karim al-Jili atau yang biasa disebut menggunakan al-Jili. Gagasan yang
tersaji sang tokoh ini mampu dijadikan sebagai pijakan untuk mereka yang saat ini rajin
melatih spiritual demi merain manusia kamil yg menggunakan Tuhan.
Mempelajari konsep Insan Kamil tentunya tidak lepas dari mempelajari pemikiran Syekh
al-Akbar Muhyi al-Din Ibn 'Arabi, yang juga memberikan wawasan awal tentang Kamil
manusia. Oleh karena itu ,studidianggapIbn'Arabi Insan Kamil juga dihadirkan sebagai
pembanding dari kajian Kamil versi al-Jili. Di antaranya adalah buku karya Murtadha
Muthahari, Manusia Perfect Islamic View of Human Nature, yang diterbitkan oleh penerbit
lentera Jakarta.1 Buku yang lainnya yang ada pada lingkup insan kamil yang di kerjakan oleh
Yunasril Ali yang berjudul “Manusia Citra Ilahi yang diterbitkan oleh Paramadina Jakarta.2
Artikel John T. Little berjudul Al-Insan Al- Kamil: The Perfect Man According To Ibn
1 Murtadha Muthahari, Manusia Sempurna; pandangan Islam tentang hakikat manusia, trans. Oleh M. Hasyem
(Jakarta: Lentera, 1993).
2 Yunasril Ali, Manusia Citra Ilahi (Jakarta: Paramadina, 1997).
Akhlak Tasawuf |2
Al-‘Arabi? Yang diterbitkan oleh The Muslim World Journal Vol. 7 Tahun 1987. 3 Rusdin,
Insan Kamil Dalam
Perspektif Muhammad Iqbal,4 Mohsin Afzal Dar, Iqbal’s Concept of Insan-i-Kamil or Mard- i-
Momin (Perfect Man),4 Nicholas Lo Polito, ‘Abd Al-Karim Al-Jili, Tawhid, Transcendence and
Immanence.5
Dari sekian banyaknya analisis yang bisa di dapatkan penulis diatas tadi, yang
mengkerucutkan ke pencarian tentang pemikiran insan kamil Ibn ‘Arabi sebagai bahan untuk
mencari mana yang lebih baik atau mencari perbedaan dan sampai sekarang belumlah di
temukan, Atas dasar itulah, makan ini sangat memiliki daya tari bagi penulis untuk mencari dan
menelurusi atau meneliti.
Penlitian ini berjenis Library Research. Sumbernya berasal yang didapatkan dari karya
yang benar benar di tulis al-jili dan ibn arabi sebagai bahan perimbangan atau pembanding.
Untuk melakukan penelitian jadi, penulis menggunakan memakai beberapa metode antara
lain: conten analisis, komparatif, hermeneutika.
3 John T. Little, “Al-Insan Al-Kamil: The Perfect Man According To Ibn Al-‘Arabi?,” The Muslim World
77, no. 1 (Januari 1987): 43–54, https://doi.org/10.1111/j.14781913.1987.tb02785.x. 4 Rusdin Rusdin, “Insan
Kamil Dalam Perspektif Muhammad Iqbal,” Rausyan Fikr: Jurnal Studi Ilmu Ushuluddin dan Filsafat 12, no. 2
(5 Februari 2018): 251–71, https://doi.org/10.24239/rsy.v12i2.84.
4 Mohsin Afzal Dar, “Iqbal’s Concept of Insan-i- Kamil or Mard-i-Momin (Perfect Man),” Islam and Muslim
Societies: A Social Science Journal 6, no. 2 (2013): 49–56.
5 Nicholas Lo Polito, “‘Abd Al-Karim Al-Jili, Tawhid, Transcendence and Immanence” (University of
Briminghem, 2010).
6 Alwi Shihab, Islam Sufistik: “Islam Pertama” dan Pengaruhnya hingga Kini di Indonesia, (Bandung: Mizan
2001), h. 120.
Akhlak Tasawuf |3
Tasawuf falsafi adalah sebuah konsep ajaran tasawuf yang mengenal Tuhan
(makrifat) dengan pendekatan rasio (filsafat) hingga menuju ketinggkat yang lebih tinggi,
bukan hanya mengenal Tuhan saja (makrifatullah) melainkan yang lebih tinggi dari itu
yaitu wihdatul wujud (kesatuan wujud). Bisa juga dikatakan tasawuf falsafi yakni tasawuf
yang kaya dengan pemikiran-pemikiran filsafat. Di dalam tasawuf falsafi metode
pendekatannya sangat berbeda dengan tasawuf sunni atau tasawuf salafi. Kalau tasawuf
sunni dan salafi lebih menonjol kepada segi praktis ( )الع ميل, sedangkan tasawuf falsafi
menonjol kepada segi teoritis ( ) نا ل طر يsehingga dalam konsepkonsep tasawuf
falsafi lebih mengedepankan asas rasio dengan pendekatanpendekatan filosofis yang ini
sulit diaplikasikan ke dalam kehidupan seharihari khususnya bagi orang awam, atau
bahkan bisa dikatakan mustahil.7
Para sufi falsafi memandang bahwa manusia mampu naik ke jenjang persatuan
dengan Tuhan yang kemudian melahirkan konsep mistik semifilosofis “ittihad” dan
“fana’-baqa” yang dibangun oleh Abu Yazid alBusthami, konsep “hulul” yang dialami
oleh Husein bin Mansur al- Hallaj, maupun konsep tasawufnya Ibn ‘Arabi yang dikenal
dengan “wahdat alwujud”, konsep “isyraqiyah” yang dirumuskan oleh Suhrawardi
almaqtul, alhikmah al-muta’aliyah yang digagas oleh Mulla Shadra, dan lain sebagainya.
Tasawuf falsafi juga adalah tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi mistis
dan visi rasional pengasasnya. Tasawuf falsafi menggunakan terminologi filosofis dalam
pengungkapannya, sedangkan terminologi falsafi tersebut berasal dari bermacam-macam
ajaran yang telah mempengaruhi para tokohnya seperti yang sudah disebutkan
sebelumnya
2. Latar Belakang
Pembahasan tentang asal-usul tasawuf falsafi juga merupakan persoalan yang sangat
kompleks, sehingga tidak bisa dikemukakan jawaban sederhana terhadap pertanyaan
tentang asal-usulnya tersebut. Beberapa kalangan orientalis yang meneliti tasawuf
menyebutkan bahwa tasawuf sendiri bersumber dari luar Islam, termasuk tasawuf falsafi
sebagai cabangnya juga menunjukkan perbedaan pada corak pengalaman tasawuf.
Thoulk menganggap tasawuf ditimba dari sumber Majusi, Dozy mengatakan tasawuf
dikenal kaum Muslim lewat orang-orang Persia; Goldziher, Palqacios dan Nicholson
7 Shihab, Islam Sufistik…, h. 120.
Akhlak Tasawuf |4
menisbahkan tasawuf berasal dari Kristen; Horten dan Hartman berpendapat tasawuf
diambil dari India (Hindu-Budha), sementara yang lain mengungkapkan bahwa Yunani
merupakan sumber tasawuf.8 Meskipun demikian, banyak ilmuwan dan para pengamat
tasawuf yang dengan tegas mengemukakan bahwa sumber-sumber tasawuf secara
otentik berasal dari dalam Islam sendiri. Menurut Julian Baldic, wacana-wacana
AlQuran memang sangat mendukung tasawuf.9 Spencer Trimingham secara afirmatif
menyatakan Sufism was a natural development within Islam the inner doctrine of Islam,
the underlying mystery of the Qur’an.10 Ibn Khaldun melalui telaah historis-
sosiologisnya mengungkapkan bahwa tasawuf bersumber dari Islam (originated in
Islam) dan mengikuti praktekpraktek muslim generasi awal.11
Benih-benih ini berkecambah semasa Nabi Nuh As. dan berbunga semasa Nabi
Ibrahim As. Anggur pun berbentuk pada masa Nabi Musa As. dan buahnya matang pada
masa Nabi Isa As. Kemudian di masa Nabi Muhammad Saw. semua itu dibuat menjadi
hasil air anggur yang murni.13 Meskipun demikian, sebagian ilmuwan Muslim mengakui
sejujurnya bahwa tasawuf dipengaruhi pula oleh agama dan budaya lain. Dasar dan
sumber fundamental tasawuf memang Alquran, Sunnah Nabi, kehidupan para sahabat
8 Taftazani, Sufi dari Zaman…, h. 23-29; Jamil, Cakrawala Tasawuf (Ciputat: Gaung Persada Press, 2004),
h. 18-24.
9 Julian Baldick, Mystical Islam an Introduction to Sufism (New York:New York University Press, 1992), h.
24-26.
10 Spencer Trimingham, The Sufi orders in Islam (New York : Oxford University Press,
1973), h.2
11 Ibn Khaldun, The Muqaddimah, Trans. Franz Rosenthal (Princeton: Princeton University Press, 1989), h.
358.
12 Seyyed Hassein Nasr,”Al-quran sebagai Fondasi Spiritualitas Islam”, Ensiklopedi Tematis
Spiritualitas Islam, terj. Rahmani Astuti, ed. Seyyed Hassein Nasr, Vol. I (Bandung: Mizan, 2003), h. 10.
13 Lynn Wilcox, Ilmu Jiwa Berjumpa Tasawuf, terj. I.G. Harimukti Bagoesoka, (Jakarta: Serambi, 2003), h. 21,
Benih Tasawuf sudah ada sejak Nabi Adam diakui pula oleh Khaja Khan; Mysticism in the World is as old as its
Hills.Adam was perphaps the first mystic who had direct illumination, lihat Khaja Khan, Studies in Tasawuf
(Pakistan : Lahore, 1990), h. 148.
Akhlak Tasawuf |5
dan tabi’in, namun tanpa mengingkari fakta historis, wacanawacana tasawuf dalam
perkembangan selanjutnya telah diwarnai unsurunsur luar, terutama tasawuf falsafi yang
merupakan pengaruh Persia (Yunani) yang rasional dan filsafat India yang mistis.14
Menurut Fazlur Rahman, tasawuf falsafi ini juga terkena pengaruh Grego-gnostik
dan doktrin-doktrin Kristen yang dikembangkan oleh Ibn Arabi. 15 Sehingga bagaimana
pun juga tidak dapat dipungkiri dalam perjalanan selanjutnya sekitar abad ke-VI dan ke-
VII Hijriyah, wacana- wacana tasawuf banyak yang bernuansa filosofis atau tasawuf-
falsafi yang diprakarsai oleh Suhrawardi (w. 587 H), Ibn Arabi (w. 638 H), Ibn Faridh
(w. 632 H), dan lain-lain. Pada fase ini, konsep-konsep tasawuf berkembang dan
diwarnai unsur-unsur diluar Islam, khususnya filsafat Yunani, sekalipun pijakan
fundamental para sufi adalah Alquran dan Sunnah.17
Adanya pemaduan antar tasawuf dan filsafat dalam ajaran tasawuf filosofis, dengan
sendirinya telah membuat ajaran-ajarannya bercampur dengan sejumlah ajaran-ajaran
filsafat di luar Islam, seperti dari Yunani, India, Persia, dan agama Nasrani. Akan tetapi
orsinalitasnya sebagai tasawuf tetap tidak hilang, karena para tokohnya meskipun
mempunyai latar belakang kebudayaan dan pengetahuan yang berbeda dan beraneka,
sejalan dengan ekspansi Islam yang telah meluas pada waktu itu, tetap berusaha
menjaga kemandirian ajaran mereka, terutama bila dikaitkan dengan kedudukan mereka
sebagai umat Islam.16
Corak pemahaman tasawuf falsafi ini tumbuh dan berkembang dimulai pada abad ke-
VI Hijriyah. Tasawuf yang bercorak filosofis ini cenderung dengan ungkapan-ungkapan
ganjil serta bertolak dari keadaan fana’, mulai tenggelam dan kelak akan muncul
14 Komaruddin Hidayat, Wahyu di langit Wahyu di Bumi, (Jakarta: Paramadina, 2003), h.10
15 Fazlur Rahman, Islam (Chicago: University of Chicago Press, 1979), h. 142. 17
Taftazani,
Sufi …, h. 30-47; Jamil, Cakrawala Tasawuf …, h. 18-26.
16 Taftazani, Sufi…, h. 187.
Akhlak Tasawuf |6
kembali dalam bentuk lain pada pribadipribadi sufi yang juga filosof Muslim pada abad
ke-VI dan setelahnya.
3. Ajaran Pokok
Pemaduan filsafat dengan tasawuf pertama kali dilakukan oleh para filsuf Muslim
ketika sedang mengalami helenisme pengetahuan. Misalnya filsuf Muslim yang
membahas tentang Tuhan dengan menggunakan konsep-konsep neo-plotinus seperti al-
Kindi. Dalam filsafat emanasinya Plotinus disebutkan bahwa roh memancar dari diri
Tuhan dan akan kembali kepada Tuhan. Di sisi lain ada Pythagoras yang menyebutkan
bahwa roh masuk ke dalam tubuh manusia yang kotor tidak dapat lagi kembali ke Tuhan.
Selama masih kotor, ia akan tetap tinggal di bumi dan bila ruh terus berusaha untuk
membersihkan diri maka dapat kembali kepada Tuhan. Maka dari konsep ini dapat ditarik
ke dalam ranah konsep tasawuf yang juga berkeyakinan bahwa penciptaan alam semesta
adalah pernyataan cinta kasih Tuhan yang direfleksikan dalam bentuk empirik atau
sebagai Sifat madzohir dari sifat Tuhan. Sehingga jiwa atau ruh harus kembali kepada
Tuhan dan tentunya dalam keadaan yang bersih. Secara umum tasawuf falsafi adalah
tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi mistis dan visi rasional. Tasawuf
ini menggunakan terminologi filosofis dalam pengungkapannyayang berasal dari berbagai
17 Lihat Anwar, Rosihon. Ilmu Tasawuf (Bandung, Pustaka Setia, 2006), h. 89.
Akhlak Tasawuf |7
macam ajaran filsafat yang telah mempengaruhi para tokohnya. Ajarannya tasawuf falsafi
lebih mengarah pada teori-teori yang rumit dan memerlukan pemahaman yang lebih
mendalam dan mengedepankan akal mereka serta ajarannya memadukan antara visi
mistis dan rasional. Adapun yang termasuk kategori ajaran tasawuf falsafi adalah:
Al-Jili bila dilihat dari garis keturunannya dilahirkan di Bagdad. Dari pernyataan
itu diperkuat menurut pengakuannya bahwa beliau ialah keturunan Syekh Abdul Qodir al-
Jaylani (470-561 H) dari keturunan cucu perempuannya. Al-Jili dilahirkan pada awal
bulan Muharam tahun 767 H. Tahun kelahiran ini disetujui oleh para ahli, namun
mengenai tahun wafatnya, para ahli berbeda pendapat. 24 Walaupun ada perbedaan
argumen mengenai tahun wafatnya, akan tetapi ada argumen yang cukup sesuai yaitu yang
dinyatakan oleh Abdullah al-Habasyi yang beliau ambil dari naskah yang masih berbentuk
tulisan tangan yaitu Tuhfah al-Zaman fi Dzikr Sadat alYaman karya al-Ahdal (w. 855 H).
Kitab ini menerangkan bahwa al-Jili wafat pada tahun 826 H. Alasan argumen ini
dianggap kuat yakni bahwa al-Ahdal masih sezaman dengan al-Jili.25
23 Dengan asumsi itu maka dapat membantah bahwa al-Jili adalah seorang pemikir dan sufi Persia. Asumsi ini
diperkuat dengan data bahwa secara mayoritas, karya-karya al-Jili ditulis dengan menggunakan bahasa Arab.
24 A.J Arbery, Sufism: An Account of the Mystic of Islam (London: George Allen & Unwin Ltd, 1979).
Dalam catatan yang terdapat dalam kitab insan kamil dijelaskan bahwa ia meninggal pada tahun 805 H.
Berbeda dengan Nicholson, ia mengatakan bahwa al-Jili meninggal antara 1406 dan 1417 M. Dalam
keterangannya ia menjelaskan bahwa tahun 805 H/14-02-3 M bukanlah tahun wafatnya akan tetapi
tahun paling akhir dalam tulisannya di Zabid. Pendapat yang berbeda datang dari Golzhiher dan
Muhammad Iqbal yang mengatakan bahwa al-Jili meninggal pada tahun 811 H atau antara tahun 811 H
dan 820 H. Lihat, Ali, Manusia Citra Ilahi, 34.
25 Al-Habasyi, ‘Abd Allah, al-Shufiyah wa al- Fuqaha fi al-Yaman (Shan’a, 1969), 131.
26 Besar pengaruhnya terhadap al-Jili membuat ia menyebut gurunya (al-Jabarti) dengan sebutan
Ustadz al-Dunya al-Quthb al-Kamil al-Muhaqqiq al-Fadlil. Lihat Al-Jili, al-Insan alKamil fi Ma’rifat
al-Awakhir wa al-Awa’il (Beirut: Dar al-Fikr, 1975), 39.
27 Untuk mengetahui karya-karya al-Jili yang dimaksud oleh Muhammad Iqbal dapat dilihat dalam
bukunya Muhammad Iqbal, The Development of Metaphysica in Persia (London: Luzac & Co., 1903).
Akhlak Tasawuf |9
berjumlah enam buah kitab.28 penelitian ini disempurnakan oleh Isma’il Pasya al-
Baghdadi, beliau menulis terdapat lima karya al-Jili di samping yang telah dikatakan oleh
haji Khalifah.29 Berlainan dengan argumen di atas, Carl Brockelmann sebagaimana yang
diambil oleh Yunasril Ali menulis bahwa karya al-Jili berjumlah 29 buah. 30 Berlainan
dengan apa yang dicatat oleh Carl Brockelmann, Yunasril Ali menambahi sebagaimana
yang beliau catat dalam buku “Manusia Citra Ilahi” bahwa karya Al jili berjumlah 34
buah.33
28 Haji Khalifah, Kasyf al-Zhunun fi Asami al-Kutub wa al-Funun (Beirut: al-Maktabah al-Mutsanna,
1525).
29 Isma’i Pasya Al-Baghdadi, Idlah al-Maknun fi al-Dzail ‘ala Kasyf al-Zhunun fi Asami al-Kutub wa al-
Funun (Beirut: al-Maktabah al-Mutsanna, t.th.).
30 Ali, Manusia Citra Ilahi, 38-39. 33
Ali,
Manusia Citra Ilahi.
Akhlak Tasawuf | 10
Berhubungan dengan pembahasan dalam karya tulisan ini yakni Insan
Kamil versi Abd al-Karim ibn Ibrahim ibn Abd al-Karim ibn Khalifah ibn Ahmad
ibn Mahmud al-Jili, maka akan tidak banyak dijelaskan mengenai kitab al-Jili, al-
Insan al-Kamil fi Ma’rifat al-Awakhir wa al-Awa’il. Kitab ini adalah kitab
unggulan dari al-Jili, terdiri dari dua jilid, mengandung 63 bab; jilid pertama
berjumlah 41 bab dan jilid kedua berjumlah 22 bab. Kitab ini diterbitkan oleh
beberapa penerbit diantaranya yakni Dar al-Kutub alMishriyah Kairo, Maktabah
Shabih, dan Mustafa al-Babi al-Halabi di Kairo, dan Dar al-Fikr di Beirut.
Keunggulan kitab ini dibandingkan dengan kitab al-Jili lainnya yakni pada edisi
penterjemahan. Kitab ini diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa, diantaranya ke
dalam bahasa Prancis oleh Titus Burckhardt dengan judul Del ‘Homme Universal,
dalam bahasa Inggris oleh Angele Culme Seymour dengan judul Universal man.
Keunggulan kitab ini juga diakui oleh para ulama sesudahnya, sehingga para
ulama merasa penting untuk memberikan kritik (syarah) atas kitab al-Jili tersebut.
Di antara syarah-syarah tersebut ialah: 1). Mudlihat al-Hal fi ba’dl masmu’at al-
Dajjal, kritik atas bab ke 50 dan 54, oleh Ahmad ibn Muhammad al-Madani (w.
1071 H/1660 M). Pernyataan al-Madani ini sungguh disayangkan hingga saat ini
belum dibukukan, karyanya kini tersimpan dalam perpustakaan library of India of
Fice, nomor katalog 667. 2.) Kasy al-Bayan an’ Asrar al-Adyan fi kitab alInsan
al-Kamil wa kamil al-Insan oleh al-Ghani al-Nabulsi (w. 1143 H). 3.) Syarah ‘Ali
zadah ‘Abd al-Baqi ibn’Ali. 4.) Syarah Syekh ‘Ali ibn Hijazi alBayumi (w. 1183
H).31
3. Ibnu Arabi: Riwayat Hidup dan Kontribusi Intelektualnya
Nama lengkap dari Ibnu Arabi adalah Muhammad Ibnu ‘Ali Ibnu
Muhammad Ibnu al-Arabi al-Tai al-Hatimi32. Meskipun demikian, nama
panggilan sebagai Ibnu Arabi, dengan tidak memakai “al” menjadi nama
yang paling dikenal sebagaimana tokoh-tokoh lainnya dalam perkembangan
transformasi ilmu pengetahuan. Penyebutan dengan Ibnu Arabi yang tidak
memakai “al” merupakan suatu upaya untuk membedakan dengan tokoh
lain yang juga biasa disebut dengan panggilan yang sama yang dalam hal
ini adalah Abu Bakar yang merupakan seorang qadi di Seville. Dengan
penggunaan tanpa “al” tersebut khusus untuk Muhammad Ibnu‘Ali Ibnu
Muhammad Ibnu alArabi al-Tai al-Hatimi yang merupakan seoramg
pemikir, sufi, ataupun filosof dalam perkembangan Islam maka kedua tokoh
tersebut dapat dibedakan. Meskipun panggilan dengan menggunakan
sebutan Ibnu alArabi juga masih sering digunakan pada keduanya33.
34 Kautsar Azhari Noer, Ibn al-Arabi: Wahdah al-Wujud dalam Perdebatan, h.18
35 Ibn Arabi, Fusus al-Hikam, Terj. R.W.J. Austin,The Bezels of Wisdom The Missionary
Society of St. Paul the Apostle in the State of New York, (Yogyakarta: Islamika, 2004), h. xxxi
36 Kautsar Azhari Noer, Ibn al-Arabi: Wahdah al-Wujud dalam Perdebatan, h. 2829
Akhlak Tasawuf |
12
diungkapkan oleh Muh. Panji Maulana yang mengemukakan bahwa
keberadaan tokoh yang sangat identik dengan konsep wahdatul wujudnya
ini sudah tidak diragukan lagi terlait kemampuannya dalam hal komitmen
untuk menghadirkan kontribusi intelektual berupa tradisi tulis menulis
sehingga selama hidupnya telah ada kurang lebih 700 karya tulis berupa
buku yang telah dihasilkan dengan tema yang beragam. Dua karyanya
yang sangat terkenal adalah kitab Futuhat al-Makiyyah, dan kitab Fusush
al-Hikam. Kedua karya tersebut disebut-sebut merupakan intisari dari
pemikiran Ibn Arabi baik yang berkaitan dengan tasawuf, ketuhanan
maupun ilmu-ilmu keislaman lainnya37.
37 Muh. Panji Maulana, Filsafat Ketuhanan Ibnu Arabi: Telaah Kitab Hill al
Rumuz wa Mafatih al-Kunuz, (Jurnal Yaqzhan Vol. 4 No. 2 Tahun 2018), h. 332
Akhlak Tasawuf |
13
oleh sesuatu yang tidak (Adam). Jadi menurut
ada tetapi dari apa yang pendapatnya alam dibuat
sudah ada, ialah yang ada dari yang telah ada maka
terhadap keilmuan tentang akan terdapat bentuk lain
ketuhanan. Kebenaran yaitu bentuk tuhan.
terhadap ilmu ketuhanan
itu lalu timbullah sebagai
alam nyata.
3. Nur Muhammd Berpendapat jika cahaya, Pendapat Al-jali
jiwa, nur Muhammad berbeda terhadap
ialah pernyataan Nur
Qadim didalam Muhammad menurut
pengetahuan ilmu Al-jali ialah
ketuhanan dan baru baru alasannya baru
ada pada mengutarakan wujud ialah tuhan dan
kepada ciptaan tuhan. Qadim ialah tuhan
baru
4. Pembagian Ia memberikan urutan Keduduan pertama dan
Martabat pertama pada martabat tertinggi yang diberikan
ahadiyah terhadap proses oleh Al-jali terhadap
tajali tuhan. Karna
martabat ahadiyan adalah martabat uluhiyah, karna
zat, tidak memiliki pada martabat uluhiyah
hubungan terhadap terdapat segenap realitas
apasaja, dari asma dari berbagai hal.
ataupun sifat.yang
tertinggi dalam tajali pada
martabat
ahadiyah ialah tuhan
5. Teori Tajalli dan Pendapat Ibn Arabi ialah kerangka tajalli dan
Taraqqi kerangka tajalli dan taraqqi ialah cara atau
taraqqi ialah cara atau jalan adanya Insan kamil.
jalan adanya Insan kamil.
6. Corak Insan kamil Ibn Arabi berpendapat Teologis ialah corak Insan
bahwa Inasan Kamil Kamil.
berbentuk Farsafi.
7. Insan Kamil Menurut Ibn Arabi Insan Pemberbaharuan yang
Kamil yang kegunaannya dilakukan oleh Ibn
ialah untuk menandai teori Arabi ialah
manusia ideal yang pemberbaharuan yang
merupakan tempat telah dijalankan oleh Al-
mengamati penampakan
jali beliau juga
dari tuhan
menjelaskan dan
meringkas terhadap teori
insan kamil yang dikarang
Akhlak Tasawuf |
14
oleh sufi yang lalu
contohnya Ibn
Arabi
38 A. Carrel, Man The Unknown (New York: Harper & Brothers, 1939).
Akhlak Tasawuf |
15
ini? Jawabannya ialah allah membuat atau mengadakan manusi sesuai
dengan apa yang sudah di citrakan yang maha besar. Citra allah dari
pengertiannya ialah tiadak ada satu pun makhluk yang mampu menerima
tajalli Allah kecuali insan kamil. Pada diri insan kamil terdapat berbagai
rahasia Allah dari berbagai bentuknya Jamal (Maha Indah) dan Jalal-nya
(Maha Mulia). Lalu sifat itu laksankan oleh insan kamil terhadap tingkah
laku untuk menjalani kehidupan di dunia ini.
Kalau dilihat dari maksud atau arti dari insan kamil yang di utarakan
Aljali diatas dan dihubungkan pada kondisi saat ini maka ada yang bisa di
terapkan pada era saat ini:
Untuk tercapainya pada tahap sekarang ini, maka dibutuhkan peran akal
dan intuisi sebagai pembentuk konsep diri. Hal yang bisa diperbuat ialah dengan
selalu menyadarii akan realitas diri, mencari tantangan dan hal-hal baru. Trhadap
39 Nurcholish Madjid, Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi (Jakarta: Paramadina, 1996).
Akhlak Tasawuf |
16
situasi itu maka akan memberikan dampak pembelajaran yang positif bagi
pengembang- an diri.
KESIMPULAN
Sebagai kesimpulan akhir dalam penelitian ini dapat disimpulkan bahwa
konsep yang digagas oleh al-Jili mengenai insan kamil adalah sebuah modifikasi
dari konsep insan kamil yang digagas sebelumnya misalnya oleh Ibn ‘Arabi
sebagai komparatif dalam tulisan ini. Insan kamil yang digagas oleh al- Jili bisa
kita sebut insan kamil bercorak teologis sedangkan insan kamil yang digagas
oleh Ibn ‘Arabi bercorak falsafi.
Jika memperhatikan makna insan kamil seperti yang diungkapkan oleh AlJili di
atas, dan dikaitkan dalam konteks kekinian seti- daknya ada beberapa pemknaan
yang bisa diaplikasikan pada manusia sekarang: Pertama, konsep insan kamil bisa
dimaknai sebagai dasar penguatan konsep personality. Kedua, konsep insan kamil
juga bisa dimaknai sebagai upaya pertumbuhan atau pengembangan personality.
Akhlak Tasawuf |
17
Ketiga, Konsep insan kamil juga dapat dimaknai sebagai pembelajaran bagaimana
menyeimbangkan keserasian antara jasmani dan ruhani.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sebenarnya insan kamil adalah
kesempurnaan manusia yang tercermin melalui sebuah proses perwujudan yang
terjadi antara keseimbangan dan keselarasan pola hidup manusia dalam
mencapai tujuan hidup yang hakiki antara kehidupan manusia dalam konteks
kemanusiaan dan konteks ketuhanan.
DAFTAR PUSTAKA
Arabi, Ibn, Fusus al-Hikam, Terj. R.W.J. Austin,The Bezels of Wisdom The
Missionary Society of St. Paul the Apostle in the State of New York,
Yogyakarta: Islamika, 2004.
‘Arabi, Ibn. Muhy al-Din, al-Futuhat al- Makkiyah. Beirut: Dar al-Fikr, t.th.
Al-Baghdadi, Isma’i Pasya. Idlah al-Maknun fi al-Dzail ‘ala Kasyf al-Zhunun fi
Asami al-Kutub wa al-Funun. Beirut: al- Maktabah al-Mutsanna, t.th.
Al-Habasyi. ‘Abd Allah, al-Shufiyah wa al- Fuqaha fi al-Yaman. Shan’a, 1969.
Al-Jili. al-Insan al-Kamil fi Ma’rifat al- Awakhir wa al-Awa’il. Beirut: Dar alFikr,
1975.
al-Kahf wa al-Raqim fi Syarh bi-Ism Allah al-Rahman al-Rahim. Kairo: al-
maktabah al-mahmudiyah al-Tijariyah, t.th.
Al-Tirmidzi. Al-Hakim, Adab al-Muridun. Diedit oleh Abd al-fatah Barakah. Kairo:
Maktabah al-Sa’adah, t.th.
Ali, Yunasril. Manusia Citra Ilahi. Jakarta: Paramadina, 1997.
Arbery, A.J. Sufism: An Account of the Mystic of Islam. London: George Allen &
Unwin Ltd, 1979.
Alwi Shihab, Islam Sufistik: “Islam Pertama” dan Pengaruhnya hingga Kini di
Indonesia, Bandung: Mizan 2001.
Anwar, Rosihon. Ilmu Tasawuf, Bandung, Pustaka Setia, 2006.
Asmaran As., Pengantar Studi Tasawuf, Jakarta: Rajawali Pers, 1996.
Carrel, A. Man The Unknown. New York: Harper & Brothers, 1939.
Akhlak Tasawuf |
19
Seyyed Hassein Nasr,”Al-Quran sebagai Fondasi Spiritualitas Islam”,
Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam, terj. Rahmani Astuti, ed. Seyyed
Hassein Nasr, Vol. I, Bandung: Mizan, 2003.
Akhlak Tasawuf |
20