You are on page 1of 15

TOKOH-TOKOH KLASIK SEMANTIK DAN

SUMBANGSIHNYA DALAM KEILMUAN SEMANTIK

MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Semantika Al-Qur’an
yang diampu oleh Bapak Dr. Afifullah, M. Sc

Oleh:

Ali Akbar (20384011027)

Mar Atush Shalihah (20384012008)

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN DAN DAKWAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI MADURA

2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur Alhamdulillāh penulis panjatkan kepada Allah Swt. karena


bisa menyelesaikan makalah yang berjudul “Tokoh-tokoh Klasik Semantik dan
Sumbangsihnya Dalam Keilmuan Semantik” pada mata kuliah Semantika
AlQur’an yang diampu oleh Bapak Dr. Afifullah, M. Sc.
Selawat dan salam semoga tetap tercurah limpahkan kepada Nabi
Muhammad saw. yang telah menuntun kita dari jalan kegelapan menuju jalan
yang terang benderang saat ini, dan kepada keluarga serta para sahabat Nabi.
Kami menyadari dalam makalah ini terdapat banyak kesalahan baik dari
susunan kalimat atau penulisannya. Maka dari itu, penulis mengharap kritik dan
saran dari para pembaca untuk memperbaiki makalah di kemudian hari.

Pamekasan, 15 Maret 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................... i

DAFTAR ISI ................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ..................................................................................... 1


B. Rumusan Masalah ................................................................................ 1
C. Tujuan .................................................................................................. 1

BAB II PEMBAHASAN

A. Tokoh-tokoh Klasik Semantik ............................................................. 2


B. Sumbangsih Para Tokoh Terhadap Keilmuan Semantik...................... 5

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan .......................................................................................... 10
B. Saran ..................................................................................................... 10

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 11

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penafsiran Al-Qur’an mengalami perkembangan yang cukup luas
setelah masa Nabi Muhammad saw. dari situ muncul berbagai aliran tafsir
yang kemudian menjadi disiplin ilmu yang dipakai dalam metode penafsiran
seperti, tafsir maudhu’i, tafsir bi al-ra’yi, tafsir isyari dan masih banyak lagi
ragam metode penafsiran yang lain. Saat membicarakan Al-Qur’an, tidak
akan bisa lepas dari bahasa yang digunakan sebab Al-Qur’an menggunakan
bahasa sebagai media komunikasi terhadap pembacanya.
Pada era kontemporer, para ilmuwan mulai tertarik dan
mengalihkan pemikiran mereka pada metode kebahasaan seperti, Amin al-
Khulli dan bintu Syathi’ dengan tafsir bayani, Nashr Hamid Abu Zayd dan
Fazlur Rahman dengan hermeneutika linguistiknya, serta Toshihiko Izutsu
yang lebih menekankan pada semantik historis kebahasaan Al-Qur’an.
Menurut Izutsu, semantik Al-Qur’an itu kajian analitik terhadap istilah-istilah
kata kunci yang terdapat di Al-Qur’an. Kajian terhadap semantik ini sudah
dilakukan sedari dulu baik sejak zaman Yunani Kuno, di India, maupun di
dunia Arab. Dalam makalah ini, penulis berusaha menjelaskan terkait tokoh-
tokoh klasik semantik, beserta sumbangsihnya dalam keilmuan semantik.
B. Rumusan Masalah
1. Siapa saja tokoh-tokoh klasik Semantik?
2. Bagaimana sumbangsih para tokoh terhadap keilmuan Semantik?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui tokoh-tokoh klasik Semantik.
2. Untuk mengetahui sumbangsih para tokoh terhadap keilmuan
Semantik.

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Tokoh-tokoh Klasik Semantik
Sejak zaman Yunani Kuno, Aristoteles (384-322 SM) adalah orang
pertama yang menggunakan kata makna melalui definisinya. Selain
Aristoteles, Plato (429-347 SM) juga membicarakan tentang makna. Meski
para tokoh Yunani Kuno pernah menyinggung tentang makna, tetapi saat itu
belum jelas batas antara etimologi, studi makna, maupun studi makna kata. 1
Berikut tokoh-tokoh klasik semantik yang berperan dalam perkembangan
ilmu tersebut.
1. Ibn ‘Abbas
Nama lengkap beliau ‘Abdullah bin 'Abbas bin Abdul Muttalib bin
Hasyim bin Abdul Manaf al-Quraisyi, dikenal dengan sebutan Ibnu Abbas.
la lahir di Mekkah sekitar 3 tahun sebelum Hijrah, dan wafat di Thaif pada
tahun 68 H./687 M. Ketika Rasulullah wafat ia baru berusia 13 tahun, oleh
karena itu ia tergolong sahabat muda. Namun meski berusia muda, Ibnu
Abbas terkenal karena kecerdasannya, dan menjadi harapan Rasulullah
saw. untuk mengemban tugas sebagai penjelas makna-makna yang
terkandung dalam ayat-ayat Al-Qur'an kepada umat manusia. 2
Ibnu Abbas dikenal dengan gelar Turjuman Al-Qur’an (penafsir
Al-Qur’an), Habrul Ummah (guru umat), dan Ra’isul mufassirin
(pemimpin para mufassir). 3 Meski beliau masih muda pada saat itu, tetapi
selalu diajak oleh khalifah Umar bin Khatthab untuk duduk bersama-sama
dengan sahabat-sahabat seniornya untuk berdiskusi tentang masalah yang
berkaitan dengan Al-Qur’an. 4
2. Al- Zamakhsyari

1
Moh. Matsna HS, Kajian Semantik Arab Klasik dan Kontemporer, Cet. 1 (Jakarta:
Prenadamedia Group, 2016), 5.
2
Ibid., 95.
3
Syarif Idris, “Sejarah Perkembangan Ilmu Tafsir”, Tajdid: Jurnal Pemikiran Keislaman
dan Kemanusiaan, vol. 3, no. 2 (Oktober, 2019), 182.
4
Moh. Matsna HS, Kajian Semantik Arab,……..96.

2
Nama lengkap beliau adalah Abu al-Qasim Mahmud bin ‘Umar bin
Muhammad bin ‘Umar al-Khawarizmi al-Zamakhsyari. Beliau dijuluki
Jārullah (tetangga Allah) karena lamanya beliau bermukim di Makkah. 5
Ia lahir pada masa kejayaan Sultan Saljuk Malik Syah yang di-
dukung oleh Perdana Menterinya yang sangat populer, yaitu Nizham al-
Mulk. Sejak menginjak usia sekolah al-Zamakhsyari sudah senangvilmu
pengetahuan dan kebudayaan yang menurut pendapatnya, dapat
menjanjikan masa depan yang lebih baik. la seorang remaja yang cerdas
dan rajin, sehingga gurunya Abu Mudhar bersedia untuk membimbing dan
mengarahkannya sehingga kelak diharapkan dapat menggantikan
kedudukannya sebagai seorang 'alim. Kesenangannya terhadap ilmu
pengetahuan mendorongnya untuk selalu berpindah-pindah dari satu
daerah ke daerah yang lain. Padahal Kota Zamakhsyar, tempat
kelahirannya pada saat itu, adalah salah satu tempat yang banyak
dikunjungi orang untuk menimba ilmu pengetahuan. 6
Sewaktu keluar dari kota kelahirannya, pertama-tama ia
mengunjungi Bukhara untuk menimba berbagai ilmu dari sumbernya,
kemudian bertandang ke Baghdad, Syam, dan terakhir ke Mekkah untuk
beberapa lama sehingga mendapat julukan Jar Allah (tetangga Allah),
karena lama bermukin di dekat Ka'bah. Al-Zamakhsyari meninggal pada
tahun 1144 M/538 di Desa Jurjaniyyah wilayah Khawarizm setelah
kembali dari Mekkah. 7
3. Muqatil Ibn Sulaiman
Nama lengkap beliau Muqatil bin Sulaiman bin Basyir al- Balkhi
al- Maruzi al- Khurasani. Al- Balkhi adalah nama yang dinisbatkan pada
tempat kelahirannya, Balkh. Mengenai kapan beliau lahir, dari sekian

5
Saifullah Rusmin, M. Galib, Musafir Pabbabari dan Acmad Abu Bakar, “Penafsiran-
penafsiran al-Zamakhsyari Tentang Teologi dalam Tafsir al-Kasysyaf”, Jurnal Diskursus
Islam, vol.5, no.2 (Agustus, 2017), 123.
6
Moh. Matsna HS, Kajian Semantik Arab……..,109.
7
Ibid., 110.

3
literatur tidak ada yang menjelaskan secara eksplisit. Namun, ada beberapa
yang menyebutkan jika beliau lahir pada tahun 80 H. 8
Menurut Muqatil, setiap kata dalam Al-Qur’an memiliki makna
dasar. Generasi penerus beliau terus berkembang dan mulai menggunakan
kesadaran semantiknya dalam penafsiran Al-Qur’an seperti halnya Abd.
Qadir al-Jurjany, Harun bin Musa, al- Jahiz. 9
4. Abd. Qahir al- Jurjany
Al-Jurjani merupakan salah seorang tokoh dalam ilmu balaghah,
adapun nama lengkapnya adalah Abu Bakar Abd al-Qahir bin Abd al-
Rahman bin Muhammad. Sedangkan sebutan al-Jurjani merujuk pada kota
kelahiran beliau, yaitu kota Jurjan yang terletak berada di antara kota
Thibrastan dan Khurasan. Tidak jelas diketahui, kapan persisnya Abd al-
Qahir al-Jurjani dilahirkan. Adapun para peneliti hanya mencatat tahun
kematian beliau, tepatnya yaitu pada tahun 471 H, dan ada pula yang
menyebutkan tahun 474 H. Al Jurjani juga dikenal sebagai peletak dasar-
dasar ilmu balaghah. Jadi tak heran jika al Al-Jurjani mendapat gelar al-
Imam al-Lughawi dan gelar Syaikh al-Balaghah al-‘Arabiyyah.Salah satu
dari karang kitab beliau adalah kitab Dala’il al-I’jaz. Kitab Dala’il al-I’jaz
merupakan karya monumental yang ditulis oleh Abd al-Qahir al-Jurjani. 10
5. Ibn Al-Atsir
Nama lengkap beliau adalah Izzuddin Abu al-Hasan, ‘Ali ibn
Muhammad ibn Abd al-Karim ibn ‘Abd al-Wahid, yang terkenal dengan
nama Ibn Al-Atsir, Abu al-Karam, al-Syaibani, al-Jazari. Al-Jazari adalah
penyandaran ke daerah Jazirah, yang terletak antara sungai Tigris dan
Eufrat. Daerah tersebut terkenal dengan nama Jazirah Ibn ‘Umar.3 Beliau
dilahirkan pada tanggal 4 Jumadil Ula tahun 555 H (1160 M) di Jazirah
Ibn Umar. Kemudian ia pindah dan menetap untuk mencari ilmu di Mosul.

8
Afrohul Banat dan Siti Amilatus Sholihah, “Pandangan Muqatil bin Sulaiman al-Balkhi
(W. 150 H/767 M) Tentang Muḥkamāt Mutasyābihāt”, Al-Itqān Jurnal Studi al-Qur’an, vol
3, no 1 (Januari-Juli, 2017), 27.
9
Fauzan Azima, “Semantik Al-Qur’an (Sebuah Metode Penafsiran)”, Tajdid: Jurnal
Pemikiran Keislaman dan Kemanusiaan, vol. 1, no 1 (April, 2017), 56.
10
Akmal Fajri, Obaidillah, dan Lailiyatur Rohmah, “Pandangan Abdul Qahir al- Jurjany
Terhadap al- Falsafah dalam Kitab Dala’il al-I’jaz, An-Nahdah al-‘Arabiyyah: Jurnal
Bahasa dan Sastra Arab, vol.2, no. 1 (2022), 68.

4
Dia pun beberapa kali pergi ke Baghdad, Syam, al-Quds, dan kemudian
akhirnya kembali ke Mosul dan menetap di rumahnya untuk memfokuskan
diri dalam menulis. 11
Beliau adalah seorang yang sangat terpercaya keilmuannya dalam
bidang sejarah, baik masa lalu maupun yang semasa dengannya. Ibn al-
Atsir tidak hanya mengusai sejarah, tetapi juga menguasai ilmu Hadits,
Sirah Nabi, garis keturunan (‘ilm al-ansâl) bangsa Arab, dan hari-hari
kejayaan mereka. Dia juga menulis riwayat hidup para sahabat Nabi yang
berjudul “Usud al-Ghābah fî Tamyĭz al-Shahābah” yang merupakan kitab
biografi yang memuat kira-kira 700 biografi para shahabat Nabi. Beliau
juga menyusun sebuah kitab berjudul “al-Kāmil fî al-Tārĭkh” yang
merupakan edisi ringkas dari karya at-Thabari, kitab ini yang merupakan
12
karya terbesar yang dihasilkan oleh Ibn al-Atsir.
B. Sumbangsih Para Tokoh Terhadap Keilmuan Semantik
Jika pada zaman Yunani Kuno kajian makna masih tidak jelas batas
antara studi makna, ataupun etimologi, lain halnya di India dimana
pembahasan terkait semantik telah membahas kajian tentang pemahaman
karakteristik kosa kata dan kalimat. Bahkan tidak berlebihan bila dikatakan
mereka telah membahas sebagian besar apa yang kita sebut sekarang sebagai
linguistik terutama semantik. Kajiannya adalah tentang perkembangan
bahasa, hubungan antara lafadz dan makna, dan makna-makna kata. Adapun
di dunia Arab, studi tentang kajian ini sudah banyak dilakukan oleh para
linguis Arab. Adanya perhatian terhadap kajian ini muncul seiring dengan
adanya kesadaran para linguis dalam memahami ayat-ayat Al-Qur'an dan
menjaga kemurnian bahasa Arab. 13
Kajian tentang semantik telah dimulai sejak timbulnya kajian
perkamusan sekitar pertengahan abad kedua Hijriyah yang diprakarsai oleh
al-Khalil ibn Ahmad al-Farahidi dengan kitabnya al-'Ain. Sebenarnya, kalau
ditelusuri lebih jauh, penelitian tentang semantik telah terjadi pada masa

11
Shidqy Munjin dan Satria Setiawan, “Analisis Penulisan Al-Kāmil fĭ Tārĭkh Karya Ibn
Al- Atsir”, Jurnal Rihlah, vol.6, no. 2 (2018), 153.
12
Ibid., 154.
13
Moh. Matsna HS, Kajian Semantik Arab….., 5.

5
sahabat dengan sahabat Ibnu 'Abbas sebagai tokohnya. Apabila ditemukan
kata-kata yang sukar dipahami dalam Al-Qur'an, maka para sahabat, termasuk
Umar, bertanya kepada Ibn 'Abbas, bukan kepada yang lain. Karena Ibn
Abbas dipandang otoritatif di bidang itu seperti diketahui bahwa beliau
didoakan oleh Nabi saw. agar diberi kemampuan menakwil ayat Al-Qur'an
yang mutasyābihāt. 14
1. Kajian Makna Ibn ‘Abbas
Meskipun dipandang sebagai pelopor ahli tafsir, Ibnu Abbas tidak
sempat menulis kitab tafsir, tetapi banyak tafsir yang diriwayatkan darinya.
Keakuratan Ibnu Abbas dalam menafsirkan ayat-ayat suci Al- Qur'an, karena
ia menguasai syair-syair Jahili sebagai bentuk bahasa Arab yang masih murni
(fushha), sementara Al-Qur'an itu sendiri diturunkan Allah Swt. kepada nabi
Muhammad saw. dengan bahasa Arab yang jelas atau murni. Dalam kitab Al-
Itqan karya Al- Suyuthi, ada beberapa kata-kata langka yang diteliti
maknanya oleh Ibnu ‘Abbas. Akan dianalisis juga, apakah syawahid (bukti-
bukti) keautentikan makna berupa syair-syair itu berasal dari sumber yang
bisa dijadikan standar kefasihan bahasa Arab atau tidak menurut norma
kajian kebahasaan. 15
Dari hal tersebut bisa dipahami jika Ibnu ‘Abbas diakui sebagai
pelopor dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an menggunakan pendekatan
semantik atau ilmu, sehingga tafsirnya dianggap sebagai cikal-bakal lahirnya
buku-buku yang mengkaji makna lafaz-lafaz Al-Qur'an yang gharibah
(langka) dengan syair-syair Arab Jahili. Metode kajian makna kata-kata
gharibah dalam Al-Qur'an yang dipakai Ibnu Abbas adalah metode Deskriptif
(Sinkronik), sebab makna kata-kata Al-Qur'an yang dicari, sumbernya adalah
syair-syair dari bangsa Arab Jahiliyyah pedalaman pada kurun waktu tertentu.
Hasil penelitian Ibnu Abbas bisa diterima para linguis Arab dan mufasir
karena memenuhi kriteria keabsahan sumber bahasa Arab, dan kriteria
periwayatan hadis yang disepakati ahli hadis. 16
2. Kajian Makna Al- Zamakhsyari

14
Ibid., 6.
15
Ibid., 96.
16
Ibid., 108.

6
Semua ahli Bahasa Arab sepakat jika bahasa Arab yang merupakan
bahasa Al-Qur’an bisa dijadikan sebagai sumber kebahasaan baik .. Adapun
bahasa Arab syair, seperti telah disinggung di atas, para penyairnya
digolongkan ke dalam empat kelompok, yaitu kelompok penya'ir Jāhili,
Mukhadhram, Islāmi, dan Muwallad. Semua ulama bahasa Arab sepakat
bahwa syair yang bersumber dari dua kelompok pertama bisa dijadikan
sumber bahasa Arab, sementara syair kelompok ketiga, sebagian kecil ulama
bahasa Arab menolaknya sebagai sumber kebahasaan, dan syair kelompok
keempat semua ulama bahasa Arab menolaknya sebagai sumber kebahasaan,
kecuali al-Zamakhsyari yang membolehkan mengambil bahasa dari mereka.
Sikap al-Zamakhsyari ini sejalan dengan sikap Ibnu Jinni yang memandang
kefasihan bahasa tidak dilihat dari keberadaan penutur bahasa dalam kurun
waktu tertentu semata, tetapi dilihat dari siapa orang yang menuturkannya
atau dilihat kemampuannya dalam berbahasa tanpa memandang
kurun waktu tertentu. 17
Al- Zamakhsyari hidup pada abad ke-5-6 H, dimana keadaan masa itu
masyarakatnya multi-etnis tetapi tetap menggunakan satu Bahasa, yaitu
bahasa Arab sebagai bahasa sehari-hari dan bahasa ilmu pengetahuan. Oleh
sebab itu, objek kajian bahasa Arab yang digunakan al-Zamakhsyari tidak
lagi bahasa lisan yang didengar langsung dari penutur suku Arab pedalaman
seperti yang dilakukan oleh para pakar bahasa Arab klasik semasa al-Khalil,
Sibawaih, dan al-Kisa'i. Namun, mendengar dari guru beliau, atau melalui
tokoh-tokoh linguis Arab di masanya. 18
3. Kajian Makna Muqatil Ibn Sulaiman
Kesadaran semantik dalam penafsiran al-Qur’an dimulai sejak masa
Muqatil Ibn Sulayman. Beliau berpendapat, jika setiap kata di dalam Al-
Qur’an memiliki makna definitif (makna dasar) dan memiliki beberapa
alternatif makna lainnya. Contohnya pada kata yadd . Kata yadd memiliki
makna dasar “tangan”. Dalam penafsiran beliau, kata yadd memiliki tiga
alternatif makna, pertama yaitu tangan secara fisik yang merupakan anggota
tubuh dalam surah al-A’raf ayat 108:
17
Ibid., 111.
18
Ibid., 113.

7
ّٰ َ َ َ َ َ َ‫ﱠ‬
19
﴾ ١٠٨ ࣖ ‫﴿وﻧ َﺰع َﻳﺪ ٗه ﻓ ِﺎذا ِ� َي َﺑ ْﻴﻀﺎ ُۤء ِلﻠﻨ ِﻈ ِﺮ ْﻳ َﻦ‬

“Dia menarik tangannya, tiba-tiba ia (tangan itu) menjadi putih


(bercahaya) bagi orang-orang yang melihat(-nya).”

Kedua, bermakna dermawan dalam surah al-Isra’ ayat 29:

َ ُ َْ َ ْ َ ْ ‫َ َ َ ْ َ ْ َ َ َ َ ْ ُ ْ َ ً ٰ ُ ُ َ َ َ َ ْ ُ ْ َ ُﱠ‬
‫﴿و�� ��ﻌﻞ ﻳﺪك ﻣﻐﻠﻮ�� ِا�ى ﻋﻨ ِﻘﻚ و�� ﺗبﺴﻄﻬﺎ �� اﻟبﺴ ِﻂ ﻓﺘﻘﻌﺪ‬
ْ ‫ُ ﱠ‬
20
﴾ ٢٩ ‫َﻣﻠ ْﻮ ًﻣﺎ �� ُﺴ ْﻮ ًرا‬
“Janganlah engkau jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu
(kikir) dan jangan (pula) engkau mengulurkannya secara berlebihan
sebab nanti engkau menjadi tercela lagi menyesal.”

Ketiga, bermakna aktivitas atau perbuatan dalam surah Yasin ayat 35:

21 َ ْ ُ ُ َْ َ ََ ْ ْ َْ ُ ْ َ َ َ َ َ َ ْ ُُْ َْ
﴾ ٣٥ ‫﴿ ِ��ﺄ��ﻮا ِﻣﻦ ﺛﻤ ِﺮ ٖهۙ وﻣﺎ ﻋ ِﻤﻠﺘﻪ اﻳ ِﺪ� ِ�مۗ اﻓ�� ��ﻜﺮون‬

“Agar mereka dapat makan dari buahnya, dan dari hasil usaha
tangan mereka. Mengapa mereka tidak bersyukur?.”
Generasi penerus Muqatil terus berkembang dan mulai menggunakan
kesadaran semantiknya dalam penafsiran al-Qur’an. Ulama-ulama tersebut
antara lain: Harun Ibn Musa, Yahya Ibn Salam, al-Jahiz, Ibn Qutaibah dan
Abd al-Qadir al-Jurjaniy. Ulama-ulama tersebut sangat menekankan
pentingnya pemaknaan konteks dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an.
Mereka juga membedakan antara makna dasar dan makna relasional. 22
4. Kajian Makna Abd. Qahir al- Jurjany
Menurut al-Jurjany, makna harus terlebih dahulu ada dalam jiwa
seorang sastrawan, maka demikian pula halnya dengan lafadz yang
menunjukkan makna tersebut, haruslah yang pertama kali muncul dalam
ucapan. Adapun pernyataan bahwa lafadz muncul sebelum makna, atau
makna kemudian membutuhkan lafadz untuk aktualisasinya adalah tidak

19
Al-Qur’an, al-A’raf (7): 108.
20
Al-Qur’an, al-Isra’ (17): 29.
21
Al-Qur’an, Ya-sin (36): 35.
22
Fauzan Azima, “Semantik Al-Qur’an……, 56.

8
benar. Menurut Tamam Hasan dalam kitab Al-Lughah al- ‘Arabiyyah
Ma’nahā wa Mabnāha, ungkapan beliau tersebut menunjukkan
ketidaksepakatannya dengan pemisahan antara makna dan lafadz. 23
Beliau berusaha menyintesiskan (memberikan paduan) dan
mengintegrasikan antara lafadz dan makna lewat teorinya yang disebut
Nadhm. Teori an-Nadhm oleh Al-Jurjani dikemukakan dalam kedua
karyanya, yaitu : Asrar al-Balaghah dan Dala’il al-I’jaz. Al-Jurjany
mengatakan bahwa an- Nadhm hanyalah menyusun kata-kata sesuai
ketentuan ilmu nahwu, menaati kaidah-kaidahnya, prinsip-prinsipnya, serta
memahami metodologinya. 24
5. Ibn al-Atsir
Ibn al-Atsir termasuk salah satu pencetus posisi aspek estetika pada
makna. Menurutnya, keindahan lafadz dalam kalam 'Arab itu terjadi karena
adanya makna di dalamnya. Lafadz hanya sebagai pembantu bagi
terealisasinya makna, dan oleh sebab itu, yang dibantu (makna) sudah pasti
lebih tinggi tingkatannya daripada yang membantu (lafaz). Di samping itu,
Ibn al-Atsir juga mencela para penyair yang menggunakan sajak untuk
mengungkapkan makna-makna (pikiran-pikiran) mereka. Menurutnya, hal
yang demikian tidak ada hasilnya, dan meremehkan kedudukan makna. 25

23
Moh. Matsna HS, Kajian Semantik Arab……, 140.
24
Balkis Aminallah Nurul Mivtakh, “Sejarah Perkembangan Ilmu Dalalah dan Para
Tokoh- tokohnya, Tatsqifiy: Jurnal Pendidikan Bahasa Arab, vo. 1, no. 2 (Juli, 2020),
94.
25
Matsna HS, Kajian Semantik Arab…….., 143.

9
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan:
1. Berdasarkan sumber yang kami ambil ada lima nama tokoh klasik
seperti; Ibn ‘Abbas, Al-Zamaksyari, Muqatil Ibn Sulaiman, Abd. Qahir
al-Jurjany dan Ibn Al-Atsir.
2. Para tokoh yang berperan dalam keilmuan semantik, masing-masing
mempunyai sumbangsih yang beragam di antaranya sebagai berikut:
a. Ibn ‘Abbas
Ibn ‘Abbas adalah seorang yang terkenal dalam penguasaan
terhadap syair-syair Arab jahili, sehingga penafsirannya dalam al-
Qur’an di anggap sebagai cikal bakal lahirnya buku-buku yang
mengkaji makna lafaz-lafaz Al-Qu’an yang gharibah (langka).
b. Al-Zamaksyari
Al-Zamaksyari bersikap membolehkan mengambil bahasa dari
kelompok penya’ir Muwalid. Dengan sikap demikian Al-
Zamaksyari di anggap berperan dalam ilmu semantik.
c. Muqatil Ibn Sulaiman
Beliau berpendapat bahwasanya setiap kata dalam Al-Qur’an
memiliki makna definitif (makna dasar) dan memiliki makna dasar
lainnya.
Dengan argumen tersebut beliau berhasil menghasilkan generasi
penerus dan mulai menggunakan kesadaran semantiknya dalam
penafsiran Al-Qur’an.
d. Abd. Qadir al-Jurjany
Beliau berpendapat, makna harus terlebih dahulu ada dalam jiwa
seorang sastrawan, maka demikian pula halnya dengan lafadz yang
menunjukkan makna tersebut, haruslah yang pertama kali muncul
dalam ucapan.
e. Ibn Al-Atsir

10
Ibn al-Atsir termasuk salah satu pencetus posisi aspek estetika pada
makna. Menurutnya, keindahan lafadz dalam kalam Arab itu
terjadi karena adanya makna di dalamnya.
B. Saran
Berdasarkan adanya sedikit penjelasan di atas, penulis berharap pembaca
dapat memahami dengan seksama dan mengambil manfaat atau faedah
dari penjelasan di atas.

11
DAFTAR PUSTAKA

HS, Moh. Matsna. Kajian Semantik Arab Klasik dan Kontemporer. Cet. 1.
Jakarta: Prenadamedia Group. 2016.
Idris, Syarif. “Sejarah Perkembangan Ilmu Tafsir”. Tajdid: Jurnal Pemikiran
Keislaman dan Kemanusiaan. vol. 3. no. 2. Oktober, 2019.
Rusmin, Saifullah M. Galib, Musafir Pabbabari dan Acmad Abu Bakar.
“Penafsiran-penafsiran al-Zamakhsyari Tentang Teologi dalam Tafsir al-
Kasysyaf”. Jurnal Diskursus Islam. vol.5. no.2. Agustus, 2017.
Banat, Afrohul dan Siti Amilatus Sholihah. “Pandangan Muqatil bin Sulaiman al-
Balkhi (W. 150 H/767 M) Tentang Muḥkamāt Mutasyābihāt”. Al-Itqān
Jurnal Studi al-Qur’an. vol 3. no 1. Januari-Juli.2017.
Azima, Fauzan. “Semantik Al-Qur’an (Sebuah Metode Penafsiran)”. Tajdid:
Jurnal Pemikiran Keislaman dan Kemanusiaan. vol. 1. no 1. April, 2017.
Fajri, Akmal, Obaidillah, dan Lailiyatur Rohmah, “Pandangan Abdul Qahir al-
Jurjany Terhadap al- Falsafah dalam Kitab Dala’il al-I’jaz, An-Nahdah al-
‘Arabiyyah. Jurnal Bahasa dan Sastra Arab. vol.2. no. 1. 2022.
Munjin, Shidqy dan Satria Setiawan. “Analisis Penulisan Al-Kāmil fĭ Tārĭkh
Karya Ibn Al- Atsir”. Jurnal Rihlah. vol.6. no. 2. 2018.
Mivtakh, Balkis Aminallah Nurul. “Sejarah Perkembangan Ilmu Dalalah dan Para
Tokoh-tokohnya. Tatsqifiy: Jurnal Pendidikan Bahasa Arab. vo. 1. no. 2
.Juli, 2020.

12

You might also like