You are on page 1of 100

TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP

TRADISI PEMINANGAN PEREMPUAN


DI DESA KRANJI KECAMATAN PACIRAN KABUPATEN LAMONGAN

MAKALAH

SKRIPSI

DIAJUKAN KEPADA FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
UNTUK MEMENUHI SEBAGIAN SYARAT-SYARAT MEMPEROLEH
GELAR SARJANA STRATA SATU DALAM ILMU HUKUM ISLAM

OLEH :

MOH. AQIL MUSTHOFA


NIM : 11350034

PEMBIMBING :

Drs. H. ABU BAKAR ABAK, M.M.

AL-AHWAL ASY-SYAKHSIYYAH
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2015

i
ABSTRAK

Syariat Islam mengatur masalah perkawinan secara mendetail, dimulai


dari cara mencari pasangan sampai pada berlangsungnya perkawinan, oleh
sebab itu syariat Islam membukakan kesempatan untuk melaksanakan
peminangan. Peminangan dalam ilmu fiqh disebut khiṭbah yang artinya
permintaan atau pernyataan dari seorang laki-laki kepada pihak perempuan
untuk menikahinya, baik dilakukan oleh laki-laki itu secara langsung atau
dengan perantara pihak lain yang dipercayainya sesuai dengan ketentuan
agama. Menurut as-Sayyid Sabiq peminangan adalah seorang laki-laki yang
meminta kepada seorang perempuan untuk menjadi istrinya, dengan cara-cara
yang sudah umum berlaku di tengah-tengah masyarakat.
Dalam masyarakat Indonesia, tata cara peminangan bervariasi
tergantung pada kondisi sosial, budaya, dan adat atau tradisi masyarakat.
Seperti praktek peminangan di Desa Kranji Kecamatan Paciran Kabupaten
Lamongan, praktek yang berlaku ialah peminangan dilakukan oleh pihak
perempuan yang meminta kepada pihak laki-laki untuk dijadikan pendamping
hidupnya. Peminangan seperti ini hanya terjadi jika kedua pihak berasal dari
lingkup Kabupaten Lamongan saja. Praktek tersebut sudah menjadi tradisi
turun temurun dari leluhur, sehingga penyusun perlu melakukan penelitian
lapangan dan nantinya akan dianalisis dalam hukum Islam yang disesuaikan
dengan konteks kekinian.
Penyusun memperoleh data-data hasil dari observasi dan wawancara
kepada warga Desa Kranji. Metode yang digunakan penyusun ialah metode
penelitian kualitatif sedangkan pendekatan yang digunakan ialah pendekatan
normatif yang mana pendekatan ini mengarah kepada persoalan ditetapkannya
sesuatu berdasarkan pada teks-teks al-Qur’an dan Hadis yang ada kaitannya
dengan praktek tradisi peminangan perempuan. Setelah mengumpulkan data-
data dan menentukan pendekatan penelitian, penyusun menganalisis dengan
cara berfikir induktif berdasarkan pada fakta-fakta khusus dan peristiwa-
peristiwa yang terjadi di lapangan kemudian digeneralisasikan sesuai dengan
nash.
Berdasarkan pendekatan dan metode yang digunakan, terungkap
bahwa tradisi peminangan perempuan di Desa Kranji sama sekali tidak
bertentangan dengan hukum Islam. Dalam al-Qur’an, Hadis, ijtihad ulama,
maupun kitab-kitab fikih hanya menerangkan anjuran meminang atau khiṭbah.
justru dengan tidak diatur secara rinci dapat melahirkan hikmah syariat di
dalamnya. Masyarakat Desa Kranji mempunyai praktek peminangan tersendiri
dengan berbagai proses dan tahapan pelaksanaan yang berlaku. Tentunya
tradisi tersebut mengandung kearifan lokal di dalamnya. Dianggap hal yang
kurang patut jika terdapat seseorang yang tidak melaksanakan peminangan
sebagaimana tradisi yang berlaku. Oleh karena itu demi menjaga keutuhan
hubungan sosial kemasyarakatan, dalam tinjauan hukum Islam tradisi tersebut
diperbolehkan atas dasar ‘urf dengan dibantu kaidah fikih yaitu al-Ādah
Muhakkamah yang berarti suatu adat atau tradisi yang berlaku di tengah-
tengah masyarakat dapat dijadikan sebagai pedoman hukum.

ii
MOTTO

‫ادفن وجودك في األرض الحمول فما نبت مما لم يدفن ال يتم نتاجه‬

“Tanamlah wujudmu di tanah kerendahan.


Sesuatu yang tumbuh dengan tanpa ditanam
maka hasilnya tidak akan sempurna.”
(Ibnu ´Atha’illah)

vi
PERSEMBAHAN

Ucapan terimakasihku kepada semua pihak yang membantu


mempermudah dalam proses penulisan skripsi ini. Skripsi ini saya
persembahkan kepada:
All of My Families wabil khusus Ayahanda H. Qomaruddin Mahmud
(Alm.) & Ibunda Hj. Mardhiyah Hayati Tercinta, yang telah mendukung,
memperhatikan dan selalu mendoakan ku setiap hari tanpa henti, dan adik-
adikku Shofiyatul Af’idah, Ahmad Thoyyib, Alawiyah dan Mujib Ibrahim yang
selalu mensuport dan mendoakanku agar cepat menempuh studi S1 dan
memotivasi ku agar cepat selesai dalam menyelesaikan tugas akhirku ini.
Untuk seluruh Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum dan teman-teman
seluruh mahasiswa se-UIN Sunan Kalijaga seperjuangan angkatan 2011,
teman-teman @.POKER.YO (Alumni Pondok Pesantren Tarbiyatut Tholabah
Kranji di Yogyakarta), wabil khusus keluarga Al-Ahwal As-Syakhsiyyah
angkatan 2011 kalian adalah All The Best Forever My Best Friend semoga
kalian selalu dalam perlindungan-Nya dan selalu di beri kemudahan dan
kelancaran dalam segala hal Amin..

vii
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN

Transliterasi Arab-Latin yang di pakai dalam penyusunan skripsi ini


berpedoman pada surat keputusan bersama Menteri Agama dan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor: 158/1987 dan
0543b/u/1987 tertanggal 22 Januari 1988.

A. Konsonan Tunggal

HurufArab Nama Huruf Latin Keterangan


Tidak
‫ا‬ Alīf
dilambangkan
‫ة‬ Ba‟ B Be

‫ت‬ Ta‟ T Te
s (dengan titik di
‫ث‬ ṡa‟ ṡ
atas)
‫ج‬ Jīm J Je
Ha (dengan titik
‫ح‬ Hâ‟ ḥ
dibawah)
‫خ‬ Kha‟ Kh K dan h

‫د‬ Dāl D De
Z (dengan titik
‫ذ‬ Żāl Ż
di atas)
‫ر‬ Ra‟ R Er

‫ز‬ Za‟ Z Zet

‫ش‬ Sīn S Es

‫ش‬ Syīn Sy Es dan ye


Es (dengan titik
‫ص‬ Sâd ṣ
di bawah)
De (dengan titik
‫ض‬ Dâd ḍ
di bawah)
Te (dengan titik
‫ط‬ Tâ‟ ṭ
di bawah)
Zet (denagn titik
‫ظ‬ Zâ‟ ẓ
di bawah)

viii
Koma terbalik ke
‫ع‬ „Aīn „
atas
‫غ‬ Gaīn G Ge

‫ف‬ Fa‟ F Ef

‫ق‬ Qāf Q Qi

‫ك‬ Kāf K Ka

‫ل‬ Lām L „el

‫و‬ Mīm M „em

ٌ Nūn N „en

‫و‬ Wāwu W W

ِ Ha‟ H Ha

‫ء‬ Hamzah „ Apostrof

ً Ya‟ Y Ye

B. Konsonan Rangkap Karena Syaddah ditulis rangkap


‫يتَع ِّددَة‬ Muta’addidah
َ ُ Ditulis

‫ِع َّدة‬ Ditulis ‘iddah

C. Ta’ Marbūtâh di akhir kata


1. Bila ta’ Marbūtâh di baca mati ditulis dengan h, kecuali kata-kata Arab
yang sudah terserap menjadi bahasa Indonesia, seperti salat, zakat dan
sebagainya.
‫ح ْكًة‬ ḥikmah
َ ِ Ditulis

‫ِج ْسيَة‬ Ditulis Jizyah

2. Bila ta’ Marbūtâh diikuti dengan kata sandang “al” serta bacaan kedua
itu terpisah, maka ditulis dengan h

‫َك َرا َيةُ ْاْلَوْ نِيَبء‬ Ditulis Karāmah al-auliyā’

ix
3. Bila ta’ Marbūtâh hidup dengan hârakat fathâḥ, kasraḥ dan dâmmah
ditulis t
ْ ِ‫زَ َكبةُ ْانف‬
‫ط ِر‬ Ditulis Zakāt al-fiṭr

D. Vokal Pendek

‫ﹷ‬ fatḥaḥ Ditulis A

‫ﹻ‬ Kasrah Ditulis I

‫ﹹ‬ ḍammah Ditulis U

E. Vokal Panjang
fatḥaḥ+alif Ditulis Ā
1 ‫َجب ِههِيَّة‬ Ditulis jāhiliyyah

fatḥaḥ+ya’ mati Ditulis Ā


2 ‫تَ ُْ َسي‬ Ditulis Tansā

Kasrah+ya’ Mati Ditulis Ῑ


3 ‫َك ِريْى‬ Ditulis karīm

ḍammah+wawu mati Ditulis Ū


4 ‫فُرُوض‬ Ditulis furūḍ

F. Vokal Rangkap
fatḥaḥ+ya’ mati Ditulis Ai
1 ‫بَ ْيَُ ُك ْى‬ Ditulis bainakum

fatḥaḥ+wawu mati Ditulis Au


2 ‫قَوْ ل‬ Ditulis Qaul

G. Vokal pendek yang berurutan dalam satu kata


Penulisan vokal pendek yang berurutan dalam satu kata dipisahkan dengan
tanda apostrof („).

1 ‫أَأَ َْتُى‬ Ditulis a’antum

2 ‫نَئِ ٍْ َشكَرْ تُ ْى‬ Ditulis La’in syakartum

x
H. Kata Sandang Alīf+Lām
1. Bila kata sandang Alīf+Lām diikuti huruf qamariyyah ditulis dengan al.

ٌ‫أَ ْنقُرْ آ‬ Ditulis Al-Qur’ān

‫ْآنقِيَبش‬ Ditulis Al-Qiyās

2. Bila kata sandang Alīf+Lām diikuti Syamsiyyah ditulis dengan


menggunakan huruf Syamsiyyah yang mengikutinya, serta dihilangkan
huruf l (el)-nya.
‫اَن َّس ًَبَء‬ Ditulis as-Samā

‫اَن َّش ًْص‬ Ditulis as-Syams

I. Huruf Besar
Penulisan huruf besar disesuaikan dengan Ejaan Yang Disempurnkan (EYD).

J. Penulisan kata-kata dalam rangkaian kalimat


Kata-kata dalam rangkaian kalimat ditulis menurut bunyi atau
pengucapannya.

‫َذ ِوى ْانفُرُوْ ض‬ Ditulis Żawȋ al-furūḍ

‫أَ ْه ِم ان ُّسَُّة‬ Ditulis ahl as-Sunnah

xi
KATA PENGANTAR

‫بسم هللا ّالر محن ّالرحمي‬


‫السالم عىل س ّيدان محمّد ابن عبد هللا وعىل‬ ّ ‫الصالة و‬ ّ ‫امحلد هلل و‬
ّ ‫ و‬، ‫الشكر هلل‬
.‫اهل وأحصا به ومن تبعه وال حول وال ّقوة ا ّال اب هلل أ ّما بعد‬
Segala puji bagi Allah SWT, yang senantiasa meberikan karunia-Nya yang

agung, terutama karunia kenikmatan iman dan Islam. Hanya kepada-Nya kita

menyembah dan hanya kepada-Nya kita meminta pertolongan, serta atas

pertolongan-Nya yang berupa kekuatan iman dan islam akhirnya penyusun dapat

menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan

kepada junjungan kita Baginda Nabi Agung Muhammad SAW, yang menyatakan

dirinya sebgai guru, “ Bu’iṡtu Mu’alliman” dan memang beliau adalah pendidik

terbaik sepanjang zaman yang telah berhasil mendidik umatnya. Shalawat salam

juga semoga tercurahkan pada para keluarga, sahabat, dan para pengikut beliau.

Penyusun skripsi dengan judul “Tinjauan Hukum Islam terhadap Tradisi

Peminangan Perempuan di Desa Kranji Kecamatan Paciran Kabupaten

Lamongan” disusun untuk melengkapi dan memenuhi salah satu syarat kelulusan

mahasiswa S1 Al-Ahwal Asy-Syakhsiyyah Fakultas Syari‟ah dan Hukum

Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta. Penyusun menyadari bahwa

penyusunan skripsi ini tidak akan terwujud tanpa adanya bantuan, bimbingan dan

dorongan dari berbagai pihak. Oleh karena itu dengan segala hormat dan

kerendahan hati penyusun menghaturkan terimakasih kepada:

xii
1. Bapak Prof. Dr. H. Akh. Minhaji, M.A., P.hD. selaku Rektor UIN Sunan

Kalijaga Yogyakarta beserta staffnya.

2. Bapak Dr. Syafiq M. Hanafi, S.Ag., M.Ag., selaku Dekan Fakultas Syariah

dan Hukum beserta staffnya.

3. Bapak H. Wawan Gunawan, S.Ag., M.Ag., selaku Ketua Jurusan Al-

Ahwal Asy-Syakhsiyyah beserta staff Jurusan.

4. Bapak Drs. H. Abu Bakar Abak, M.M. yang telah membimbing penyusun

menyelesaikan studi ini. Dengan arahan, kritik dan saran yang telah

diberikan dalam menjawab kegelisahan penulis untuk kesempurnaan

skripsi ini.

5. Seluruh staff pengajar di jurusan Al-Ahwal Asy-Syakhsiyyah. Terima

kasih atas pelajaran yang diberikan selama ini.

6. Kepada semua Guru-guru penyusun, yang telah mengajarkan penyusun

membaca dan menulis.

7. Kepada ayahanda dan ibunda tercinta, yang tengah berusaha menghidupi

buah kasihnya dengan berbagai cara, bermacam usaha dan doa. Kalian

telah mengajarkan arti hidup sebagai menghidupi, menghidupi dengan

ilmu pengetahuan. Walau belum bisa mewujudkan harapan kalian, namun

harapan itu tak akan pernah penulis sia-siakan.

8. Adik-adikku tercinta, terimakasih atas semuanya. Baik dukungan moril

maupun meteril, kalian adalah saudara sedarah yang sangat aku

banggakan.

xiii
9. Arek-arek Alumni Pondok Pesantren Tarbiyatut Tholabah Kranji di

Yogyakarta (@.POKER.YO), terima kasih kepada kalian semua yang telah

memberikan fasilitas tempat tinggal dan dukungan secara penuh mulai dari

awal masa kuliah hingga saat ini. Semoga tetap eksis dan tetap menjadi

kebanggaan almamater Tarbiyatut Tholabah tercinta

10. Teman-teman jurusan AS angkatan 2011, Tanpa kalian kuliah akan terasa

hambar. Terima kasih atas canda, tawa dan diskusinya serta gambaran

akan masa depannya. Semoga kalian semua sukses.

11. Dan pihak-pihak lain yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu dalam

tulisan ini, terima kasih atas dukungannya baik berupa dukungan moril

maupun materil.

Diharapkan skripsi ini tidak hanya berakhir di ruang munaqasyah saja,

tentu masih banyak kekurangan yang membutuhkan kritik dan saran. Oleh karena

itu, demi kepentingan ilmu pengetahuan, penyusun selalu terbuka menerima

masukan serta kritikan. Semoga skripsi ini bisa bermanfaat bagi kita, terima kasih.

Yogyakarta, 25 Jumadil Akhir 1436 H


14 April 2015 M

Penyusun

Moh. Aqil Musthofa


NIM 11350034

xiv
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................. i
ABSTRAK ............................................................................................................ ii
SURAT PERNYATAAN .................................................................................... iii
SURAT PERSETUJUAN SKRIPSI .................................................................. iv
PENGESAHAN ......................................................................................................v
MOTTO ................................................................................................................ vi
PERSEMBAHAN ................................................................................................ vii
TRANSLITERASI ARAB-LATIN ................................................................... viii
KATA PENGANTAR ......................................................................................... xii
DAFTAR ISI .........................................................................................................xv

BAB I PENDAHULUAN ...........................................................................1


A. Latar Belakang Masalah .............................................................1
B. Pokok Masalah ...........................................................................5
C. Tujuan dan Kegunaan ................................................................5
D. Telaah Pustaka ...........................................................................6
E. Kerangka Teoritik ......................................................................9
F. Metode Penelitian.....................................................................15
G. Sistematika Pembahasan ..........................................................19

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEMINANGAN ...................20


A. Pengertian Peminangan dan Dasar Hukum peminangan .........20
1. PengertianPeminangan .......................................................20
2. Dasar Hukum Peminangan .................................................25
B. Tujuan dan Hikmah Peminangan .............................................29
1. Tujuan Peminangan ............................................................29
2. Hikmah Peminangan ..........................................................30
C. Syarat-Syarat Peminangan .......................................................32

xv
D. Melihat Wanita Yang Dipinang ...............................................35

BAB III GAMBARAN UMUM TENTANG KEBERADAAN DAN SISTEM


PEMINANGAN DI DESA KRANJI KECAMATAN PACIRAN
KABUPATEN LAMONGAN .............................................................. 40
A. Deskripsi Wilayah Desa Kranji ................................................40
1. Kondisi Geografis dan Demografis ....................................40
2. Kondisi Ekonomi Masyarakat di Desa Kranji ...................41
3. Kondisi Sosial dan Keagamaan Masyarakat di
Desa Kranji .............................................................................. 43
B. Sejarah dan Latar Belakang Tradisi Peminangan di
Desa Kranji ..................................................................................... 44
C. Tata cara Peminangan Pelaksanaan Tradisi Peminangan di
Desa Kranji...............................................................................51
1. Tahap meminta (Njaluk) ....................................................52
2. Tahap Melamar (Ndudut Mantu) .......................................54
3. Tahap Menentukan Hari (Neges Dino) ..............................56

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP TRADISI


PEMINANGAN PEREMPUAN DI DESA KRANJI
KECAMATAN PACIRAN KABUPATEN LAMONGAN ......58

BAB V PENUTUP .....................................................................................70


A. Kesimpulan ..............................................................................70
B. Saran-Saran ..............................................................................72

DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................73


LAMPIRAN-LAMPIRAN
TERJEMAHAN ............................................................................. I
BIOGRAFI ULAMA .................................................................. IV
CURRICULUM VITAE ............................................................ VII

xvi
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kebahagiaan dan kekalnya kehidupan rumah tangga pada dasarnya

menjadi dambaan serta tujuan dari adanya perkawinan yang dilangsungkan.

Hal ini dapat dimengerti mengingat pada dasarnya perkawinan adalah

manifestasi dari sebuah ikatan dan perjanjian luhur untuk hidup bersama

dalam membangun rumah tangga yang penuh rasa cinta kasih.

Demikian juga halnya target yang ingin dicapai dalam Undang-undang

No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan bahwa tujuan perkawinan adalah

untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan

Yang Maha Esa.1

Hukum Islam mengatur masalah perkawinan secara mendetail, dimulai

dari cara mencari pasangan sampai pada berlangsungnya perkawinan. Hal ini

disebabkan karena membentuk suatu keluarga tidaklah semudah melakukan

urusan muamalah yang lain meskipun perkawinan merupakan suatu akad.

Ketelitian dalam menetapkan seseorang sebagai pasangan hidup itu

tugasnya terletak pada kedua belah pihak, baik pihak wanita maupun pihak

pria. Suatu pilihan akan menghasilkan sesuatu yang baik kalau dilaksanakan

melalui proses meneliti secara mendalam mengenai tingkah laku dan

kehidupan sehari-hari dari calon yang dipilih. Alasannya karena hidup

1
Pasal 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

1
2

berumah tangga itu tidak dalam jangka waktu yang singkat, melainkan

berlangsung selama hidup. Di samping itu, kalau dilihat dalam kehidupan

sehari-hari maka tidak semua orang dapat mengatur rumah tangga secara

baik.2

Prinsip kemerdekaan dan kebebasan menentukan calon pasangan

dijunjung tinggi demi tercapainya suatu tujuan perkawinan, dan terbentuk

suatu kehidupan rumah tangga yang tenang, tentram serta penuh kasih

sayang.3 Pelaksanaan perkawinan yang dilakukan atas dasar paksaan akan

mengundang suatu keadaan yang tidak diinginkan karena bertentangan dengan

prinsip di atas.

Selain itu, perlu ditambahkan bahwa melakukan pilihan yang setepat-

tepatnya sungguh sangat diharapkan dalam setiap perkawinan. Karena itu

dalam Islam dibukakan kesempatan untuk melaksanakan peminangan atau

khiṭbah.4 Maksud dilaksanakannya peminangan bukan saja untuk saling

mengetahui secara lahiriyah, tetapi juga untuk saling mengenal sifat masing-

masing dari kedua mempelai dengan syarat bahwa pertemuan antara keduanya

tidak boleh hanya berdua saja.

Peminangan bukanlah suatu janji perkawinan, namun ia hanyalah suatu

janji untuk atau akan mengadakan ikatan perkawinan. Perkawinan dalam

2
R. Abdul Jamali, Hukum Islam, cet 1 (Bandung: Mandar Maju, 1992), hlm. 76-77.
3
Dadang Hawari, Al-Qur’an Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa, (Yogyakarta:
Dana Bhakti Primayasa, 1995), hlm. 207.
4
Muhammad Abū Zahrah, Al-Aḥwāl as-Syakhṣiyyah (ttp.: Dār al-Fikr al-„Arabi,t.t), II:
hlm. 78.
3

hukum Islam dilaksanakan atas dasar suka sama suka dan kerelaan, bukan

paksaan. Prinsip perkawinan dalam Islam adalah untuk selama hidup bukan

untuk sementara. Untuk mencapai prinsip tersebut, Islam mengatur adanya

khiṭbah sebelum pelaksanaan akad nikah. Dalam masa pertunangan kedua

belah pihak dapat saling mengenal atau saling menjajaki kepribadian masing-

masing. Dari sini diharapkan keputusan yang diambil setelah peminangan itu

adalah yang tepat dan melalui pemikiran yang matang.

Peminangan dalam ilmu fikih adalah permintaan atau pernyataan dari

seorang laki-laki kepada pihak perempuan untuk menikahinya, baik dilakukan

oleh laki-laki itu secara langsung atau dengan perantara pihak lain yang

dipercayainya sesuai dengan ketentuan agama.5

Setiap akad (perjanjian) antara dua pihak yang menyangkut suatu

kepentingan hidup lazim diawali dengan suatu proses pendahuluan agar dapat

diketahui dan ditampung apa yang diinginkan oleh masing-masing pihak.

Setelah masing-masing pihak memahami maksud yang diperjanjikan itu,

kemudian keinginan bersama itu dituang dalam bentuk ijab dan qabul yang

kemudian mengikat kedua belah pihak untuk menepati apa yang diperjanjikan

tersebut dan dengan demikian sempurnalah akad (perjanjian) dimaksud.

Sebagai contoh akad jual beli. Sebelum akad jual beli itu terjadi secara

sempurna, terlebih dahulu diawali dengan kecenderungan pembeli terhadap

barang yang akan dibelinya, kemudian pembeli memperhatikannya dengan

seksama, lalu timbul minat dan hasrat untuk membeli barang yang dimaksud
5
Anwar Harjono, Hukum Islam Keluasan dan Keadilannya, cet. ke-2 (Jakarta: Bulan
Bintang, 1987), hlm. 224-225.
4

kemudian menanyakan harga dan syarat-syarat lainnya, timbullah tawar-

menawar. Barulah kemudian atas dasar kecocokan hati dan suka sama suka

maka terjadilah akad jual beli yang dituang dalam bentuk ijab qabul jual beli

sesuai dengan yang telah disepakati.

Pada umumnya peminangan dilakukan oleh pihak laki-laki. Berbeda

dengan tuntutan agama dan tradisi dalam masyarakat Indonesia pada

umumnya. Di Kabupaten Lamongan adat peminangan dilakukan oleh pihak

perempuan yang mengawali untuk meminta pihak laki-laki. Hal ini terjadi

karena keduanya dianggap mempunyai adat yang sama. Tradisi peminangan

tersebut tidak diberlakukan tatkala salah satu calon mempelai berasal dari luar

daerah Lamongan yang mempunyai adat berbeda. Peminangan tersebut

berawal dari pihak keluarga perempuan dengan menanyakan kepada keluarga

pihak laki-laki baik secara langsung maupun lewat orang ketiga. Jika pihak

laki-laki itu menyetujui maka akan berlanjut dengan beberapa prosesi yang

salah satunya ialah lamaran secara resmi, keluarga perempuan datang kepada

keluarga laki-laki dengan membawa berbagai macam bawaan yang sudah

menjadi ciri khas di sana.

Hal ini menjadi faktor pendorong karena keunikan tradisi peminangan

tersebut yang masih ada hingga sekarang, penyusun perlu mengadakan

penelitian terhadap tradisi peminangan perempuan di Desa Kranji yang

merupakan warisan turun temurun dari generasi ke generasi. Di samping itu

penyusun akan menganalisis tradisi peminangan tersebut dalam tinjauan

hukum Islam. Oleh karena itu penyusun mengambil judul skripsi Tinjauan
5

Hukum Islam terhadap Tradisi Peminangan Perempuan di Desa Kranji

Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan.

B. Pokok Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi pokok masalah

yang perlu diteliti adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana proses pelaksanaan tradisi peminangan perempuan di Desa

Kranji Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan?

2. Bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap tradisi peminangan perempuan

di Desa Kranji Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan?

C. Tujuan dan Kegunaan

Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Memperoleh gambaran yang jelas tentang proses pelaksanaan tradisi

peminangan di Desa Kranji Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan.

2. Menjelaskan tradisi peminangan perempuan di Desa Kranji Kecamatan

Paciran Kabupaten Lamongan yang ditinjau dalam perspektif hukum Islam

Sedangkan kegunaan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk memperkaya khazanah intelektual Islam terutama dalam status

hukum peminangan.

2. Untuk mendapat gambaran baru mengenai perpaduan hukum Islam dengan

hukum adat yang berkembang dalam etnis tertentu dan menjadikan acuan

bagi masyarakat Islam menghadapi persoalan peminangan.


6

D. Telaah Pustaka

Berdasarkan penelusuran literatur-literatur yang ada, sepanjang

pengetahuan penyusun belum ada satu karya ilmiah yang secara khusus

membahas tentang tradisi peminangan perempuan di Desa Kranji Kecamatan

Paciran Kabupaten Lamongan dalam tinjauan hukum Islam.

Dari beberapa karya ilmiah penyusun temukan, terdapat sebuah skripsi

karya Mudhofar yang berjudul “Adat Peminangan Ndudut Mantu di Desa

Ketapangtelu Kecamatan Karangbinangun Kabupaten Lamongan Ditinjau

dari Hukum Islam.”6 Penyusun skripsi tersebut menjelaskan bagaimana proses

pelaksanaan adat peminangan Ndudut Mantu di desa Ketapangtelu. Menurut

hasil penelitiannya disimpulkan bahwa yang mengambil inisiatif peminangan

adalah dari keluarga perempuan, yang mana keluarga perempuan datang ke

rumah keluarga laki-laki, meminta anak laki-lakinya untuk dijadikan

pendamping hidup bagi si anak perempuan. Jika calon mempelai laki-laki

setuju maka keluarga perempuan datang ke rumah keluarga laki-laki untuk

melamar dengan membawa berbagai makanan.

Skripsi karya Fathur Rohman yang berjudul “Peminangan dan

Perkawinan Adat Bali Studi Komparasi Kompilasi Hukum Islam dengan

Hukum Adat Desa Jimbaran.”7 Dalam skripsi tersebut dijelaskan bahwa

6
Mudhofar, ”Adat Peminangan Ndudut Mantu di Desa Ketapangtelu Kecamatan
Karangbinangun Kabupaten Lamongan Ditinjau dari Hukum Islam”, skripsi tidak diterbitkan,
Fakultas Syari‟ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga, 2005.
7
Fathur Rohman, “Peminangan dan Perkawinan Adat Bali Studi Komparasi Kompilasi
Hukum Islam dengan Hukum Adat Desa Jimbaran”, skripsi tidak diterbitkan, Fakultas Syari‟ah
dan Hukum UIN Sunan Kalijaga, 2013.
7

terdapat kesamaan antara Kompilasi Hukum Islam dan Hukum Adat setempat

mengenai pelaksanaan peminangan. Peminangan dapat langsung dilakukan

oleh sesorang yang berkehendak mencari pasangan, selain itu bisa pula

melalui perantara, sebagaimana keterangan dalam pasal 11 Kompilasi Hukum

Islam. Hal ini sama dengan adat Desa Jimbaran yang mana pelaksanaan

peminangan diawali dengan mengirim perantara terlebih dahulu untuk

penjajakan kemudian baru dilaksanakan peminangan secara resmi.

Skripsi karya Buchori Muslim yang berjudul “Batasan Melihat Wanita

dalam Peminangan Perspektif Ibnu Hazm”,8 skripsi tersebut membahas

tentang pandangan Ibnu Hazm dalam pembatasan melihat wanita yang

dipinang. Kesimpulan dalam skripsi ini ialah bahwa Ibnu Hazm membolehkan

melihat bagian tubuh wanita baik yang nampak maupun yang tidak tampak,

berdasarkan zahir nash yang menganjurkan kebolehan melihat aurat wanita

dalam peminangan tanpa disebutkan batasan yang ditentukan.

Skripsi karya Nur Wahid Yasin yang berjudul “Tinjauan Hukum Islam

Terhadap Sanksi Pembatalan Peminangan Studi Kasus di Desa Ngeco

Kecamatan Weru Kabupaten Sukoharjo.”9 Penyusun skripsi tersebut

menyimpulkan bahwa pemberlakuan sanksi pembatalan peminangan bertujuan

agar peristiwa pembatalan peminangan serta akibat yang ditimbulkan tidak

terulang lagi di masa mendatang. Di samping itu juga sebagai solusi alternatif

8
Buchori Muslim, “Batasan Melihat Wanita dalam Peminangan Perspektif Ibnu
Hazm”,skripsi tidak diterbitkan, Fakultas Syari‟ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga, 2012.
9
Nur Wahid Yasin yang berjudul “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Sanksi Pembatalan
Peminangan Studi Kasus di Desa Ngeco Kecamatan Weru Kabupaten Sukoharjo”, skripsi tidak
diterbitkan, Fakultas Syari‟ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga, 2009.
8

guna mengantisipasi dan meredam gejolak negatif jika pembatalan

peminangan benar-benar tidak dapat dihindari.

Sedangkan yang akan dibahas oleh penyusun dalam skripsi ini selain

membahas pelaksanaan tradisi peminangan perempuan, akan dibahas pula

tentang latar belakang dan unsur apa saja yang mendukung perempuan atau

keluarganya meminang sehingga memunculkan tradisi peminangan

perempuan yang berlangsung hingga sekarang ini.

Sejauh ini telah banyak penelitian pembahasan yang berkaitan dengan

adat masyarakat di Kabupaten Lamongan akan tetapi tidak spesifik membahas

tentang masalah peminangan, khususnya di Desa Kranji. Kebanyakan

penelitian atau buku-buku yang ada lebih banyak membahas tentang

kehidupan sosialnya. Sedangkan masalah peminangan masyarakat Desa Kranji

tidak dibahas secara detail.

Dalam hal ini penyusun tertarik untuk menyusun skripsi ini yang

kajiannya difokuskan langsung ke dalam bentuk praktis dengan kata lain

penyusun melakukan observasi secara langsung ke lapangan untuk berdialog

langsung kepada masyarakat Desa Kranji yang pernah melakukan tradisi

peminangan perempuan. Oleh karena itu diharapkan tulisan yang berbentuk

skripsi ini nanti dapat menambah pustaka.

E. Kerangka Teoritik

Hukum Islam pada dasarnya adalah hukum yang mempunyai daya

fleksibilitas yang tinggi. Fleksibilitas hukum Islam dibuktikan dengan


9

kemampuan hukum Islam menerima barbagai pembaharuan sosial. Sehingga

dalam hal-hal tertentu dapat meresepsi nilai-nilai yang secara kategoris berada

di luar konteks Islam.

Al-Qur‟an sebagai sumber pertama dan utama hukum Islam, selalu

memberi peluang bagi pengembang hukum Islam.10 Sebab tidak selamanya al-

Qur‟an memberi jawaban praksis bagi suatu kasus tertentu. Bagi persoalan

yang demikian, Islam memberi solusi dengan mencarinya di luar al-Qur‟an.

Dalil-dalil istimbat yang ditetapkan oleh para ulama sebenarnya dimaksudkan

jalan atau metode menyelesaikan suatu perkara, tanpa keluar dari frame

hukum Islam.11

Dari sudut yang lain, hukum Islam sangat menghormati tradisi-tradisi

atau kebiasaan (adat) yang talah ada dalam masyarakat. Dalam hal ini hukum

Islam tidak mengambil jalan apriori, dengan tidak memperhatikan bentuk dan

tradisi itu sendiri, sebaliknya, Islam memandang suatu tradisi sebagai bagian

dari masyarakat itu sendiri. Jika tradisi telah berlangsung lama dan disepakati

masyarakat, tentunya ada nilai kebaikan dalam memandang tradisi tersebut.

Walau demikian, dibutuhkan prinsip-prinsip dasar dalam memandang tradisi

masyarakat, sebab di setiap masyarakat mempunyai tradisi yang berbeda-

beda.12

10
Fazlur Rahman, Islam, alih bahasa Ahsin Muhammad (Bandung: Pustaka, 1998), hlm.
91.
11
Narus Rusli, Konsep Ijtihad As-Syaukani Relevansinya Bagi Pembaharuan Hukum
Islam di Indonesia, (Jakarta: Logos, 1999), hlm. 18.
12
Nasroen Haroen, Usul Fiqh, (Jakarta: Logos, 1996), hlm. 138.
10

Peminangan merupakan langkah pendahuluan menuju ke arah

perjodohan antara pria dan wanita. Islam mensyariatkannya agar masing-

masing calon mempelai dapat saling mengenal dan memahami pribadi

mereka. Bagi calon suami dengan melakukan khiṭbah (pinangan) akan

mengenal empat kriteria calon istrinya, seperti yang diisyaratkan dalam sabda

Rasulallah SAW:
13
‫حىكخ المزأة ألربع لمالٍا َلذسبٍا َلجمالٍا َلديىٍا فاظفز بذاث الديه حزبج يدك‬

Sebagai dasar dalam menganalisis skripsi ini adalah seperti dalam

Firman Allah SWT:

‫َال جىاح عليكم فيما عزضخم بً مه خطبت الىساء أَ أكىىخم في أوفسكم علم هللا أوكم‬

‫سخذكزَوٍه َلكه ال حُاعدٌَه سزا إال أن حقُلُا قُال معزَفا َال حعزمُا عقدة‬

‫الىكاح دخى يبلغ الكخاب أجلً َاعلمُا أن هللا يعلم ما في أوفسكم فادذرَي َاعلمُا‬
14
‫أن هللا غفُر دليم‬

Ibnu Katsīr menyatakan dalam kitab tafsirnya bahwa seseorang tidak

akan berdosa jika ia meminang wanita dengan sindiran. Maksud sindiran ini

ialah tidak berterus terang kepada wanita yang menjalani masa iddah karena

ditinggal mati suaminya. Selain itu pula, Ibnu ´Abbās menyatakan bahwa yang

dimaksud dengan sindiran misalnya seseorang mengatakan “saya ingin

menikah” atau “saya mencintai seorang wanita dan tentangnya”. Kata-kata itu

13
Al-Bukhārī, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, “Kitāb al-Nikāḥ”, “Bāb al-Ikhfā‟ Fi ad-Dīn”, (Beirut:
Dār al-Fikr, 1981), III: 251. Hadis riwayat Jamaah Ahli Hadis kecuali At-Turmużī dari Abū
Hurairah.
14
Al-Baqarah (2): 235.
11

disampaikan dengan baik dan seseorang yang hendak meminang tidak

meminta kepastian dari si wanita selama dia dalam masa iddah. Hal demikian

berlaku pula untuk meminang wanita yang menjalani iddah talak bā’in.15

Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Al-Bukhārī dari Ibnu Umar

bahwa Rasulullah bersabda:


16
‫ال يخطب أحدكم على خطبة أخيه حتى يترك الخاطب قبله أو يأذن له‬

Menurut Wahbah az-Zuḥailī, khiṭbah adalah mengungkapkan

keinginan untuk menikah dengan seorang perempuan tertentu dan

memberitahukan keinginan tersebut kepada perempuan dan walinya.

Pemberitahuan keinginan tersebut bisa dilakukan secara langsung oleh lelaki

yang hendak meminang, atau bisa juga dengan cara perantara keluarganya.17

Hal yang perlu dimiliki oleh seorang pria atau wanita sebelum

meminang adalah gambaran ideal calon istri atau suami. Bila seorang yang

hendak meminang sudah siap dengan gambaran pria atau wanita yang hendak

dipinang itu, maka ia akan lebih mudah menentukan pilihan suatu gambaran

kulitnya yang sawo matang, pendiam, cerdas, dan sebagainya. Dengan

demikian maka tidak ada alasan bagi seorang wanita untuk menolak lamaran

jika calon suaminya ternyata baik agamanya dan akhlaqnya serta sesuai

dengan apa yang diidamkannya. Tidaklah dibenarkan untuk memilih istri atau

15
Muhammad Nasib Ar-Rifa‟i, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, alih bahasa Syihabuddin,
(Jakarta: Gema Insani, 1999), hlm. 396-397.
16
Aṣ-Ṣan‟ānī, Subul al-Salām, “Kitāb al-Nikāḥ” (Beirut: Dār al Fikr, t.t.), III : hlm. 113.
Hadis riwayat Al-Bukhārī dari Ibnu Umar.
17
Wahbah az-Zuḥailī, al-Fiqh al-Islāmiy wa Adillatuhu, (Damaskus: Dār al-Fikr, 2008),
VII: hlm. 24.
12

suami yang ideal ini dengan cara berpacaran yang di dalamnya pasti

terkandung hal-hal yang melanggar agama, misalnya khalwat dan lebih parah

lagi hamil sebelum nikah.

Dengan memahami landasan teori diatas maka upaya yang ditempuh

dalam menganalisis persoalan ijtihādiyyah tersebut adalah melalui penggalian

terhadap sumber hukum yang relevan, dengan tata urutan yang sesuai dengan

tingkatan derajatnya. Dalam hal ini yang menjadi sumber yang paling tinggi

derajatnya sebagai dalil adalah al-Qur‟an, kemudian secara berurutan di

bawahnya adalah as-Sunnah.

Dalam hukum Islam dimungkinkan adanya akulturasi timbal balik

antara ´urf atau adat kebiasaan dengan Islam. Para ulama‟ bersepakat bahwa

´urf menjadi unsur yang sangat penting dalam menetukan suatu hukum

meskipun sebagai sumber hukum tambahan. Persoalan yang terjadi dalam

skripsi ini adalah persoalan ijtihādiyyah yang terkait dengan hukum adat.

´Urf ialah sesuatu yang telah sering dikenal oleh manusia dan telah

menjadi tradisinya, baik berupa ucapn atau perbuatan.18 Menurut kebanyakan

ulama, ´urf juga dinamakan adat sebab perkara yang sudah dikenal itu

berulang kali dilakukan manusia. Musthafa Ahmad Az-Zarqā mengatakan

bahwa ´urf merupakan bagian dari adat, karena adat lebih umum daripada ´urf.

´Urf harus berlaku pada kebanyakan orang di daerah tertentu bukan pada

pribadi atau kelompok tertentu dan ´urf bukanlah kebiasaan alami

18
Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fikih, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 1996), hlm.
133-134.
13

sebagaimana yang berlaku dalam kebanyakan adat tetapi muncul dari suatu

pemikiran dan pengalaman.19

´Urf ada dua macam yaitu ´urf şaḥīḥ dan ´urf fasīd. Urf şaḥīḥ ialah

sesuatu yang telah saling dikenal oleh manusia dan tidak bertentangan dengan

dalil syara‟ juga tidak menghalalkan yang haram dan juga tidak membatalkan

yang wajib. Sedangkan ‘Urf fasīd ialah sesuatu yang telah saling dikenal

manusia tetapi sesuatu itu bertentangan dengan syara‟ atau menghalalkan yang

haram dan membatalkan yang wajib.20

Untuk menjamin validitas suatu ´urf para ulama menetapkan syarat-

syarat yang harus dipenuhi suatu ´urf agar dapat menjadi salah satu dalil

dalam menetapkan hukum syara‟. Di antara berbagai persyaratan yang

diajukan para ulama setidaknya ada empat yang telah disepakati (mujmā´

´alaih).21 Pertama, ´urf itu berlaku umum artinya suatu ´urf yang berlaku di

sebagian kelompok masyarakat dipandang sebagai ´urf. Kedua ´urf telah

tersosialisasi (memasyarakat) ketika muncul suatu persoalan yang akan

ditetapkan hukumnya. Ketiga ´urf tidak kontradiksi dengan kesepakatan suatu

transaksi. Dan keempat ´urf tidak bertolak belakang dengan nash.22

Bagi sebagian sarjana kontemporer seperti Fazlur Rahman,

berpendapat bahwa persyaratan yang terakhir di atas dianggap bukan sebagai

19
Chaerul Umam Dkk., Ushul Fiqih 1, (Bandung: Pustaka Setia, ), hlm. 160.
20
Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fikih, hlm. 134.
21
Nasroen Haroen, Usul Fiqh, hlm. 143.
22
Ibid., hlm. 144.
14

persyaratan.23 Menurutnya, penilaian bertentangan atau tidak dengan suatu

nash sangat bergantung dengan penafsiran atau interprestasi nash itu sendiri.

Akibatnya terjadi kesimpangsiuran dalam memahami suatu ´urf, sehingga

justru akan meresahkan masyarakat. Dalam hal yang demikian, diperlukan

studi sosiologi hukum yang dengannya mampu memahami suatu kebiasaan

atau ´urf dari masyarakat tertentu. Memahami ´urf sebagai dalil hukum, tidak

dapat dipisahkan dengan maslahah sebagai dalil hukum yang lain.

Selain ´urf hal lain yang dapat dijadikan dasar hukum adalah maşlaḥah

mursalah yaitu maşlaḥah dimana syariat tidak mensyariatkan hukum untuk

mewujudkan maşlaḥah, juga tidak terdapat dalil yang menunjukkan atas

pengakuannya dan pembatalannya.24 Maşlaḥah mursalah merupakan salah

satu metode yang dikembangkan oleh ulama ushul fikih dalam

mengistimbatkan hukum dari nash. Teori maşlaḥah terikat pada konsep bahwa

syariat ditujukan untuk kepentingan masyarakat serta berfungsi untuk

memberikan kemanfaatan dan mencegah kemadharatan.25

Para ulama yang menjadikan maşlaḥah sebagai hujjah sangat berhati-

hati dalam hal itu, sehingga tidak menjadi pintu pembentukan hukum syariat

yang hanya mengikuti hawa nafsu dan kepentingan perorangan. Karena itu

para ulama mensyaratkan dalam maşlaḥah mursalah yang dijadikan sebagai

dasar pembentukan hukum haruslah memenuhi tiga syarat yaitu, bahwa

23
Fazlur Rahman, Islam, hlm. 33
24
Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fikih, hlm. 141.
25
Muhammad Muslehuddin, Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis, alih bahasa
Yudian. W. Asmuni, cet. Ke-1 (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991), hlm. 27.
15

maşlaḥah tersebut harus nyata, bersifat universal, dan tidak bertentangan

dengan prinsip-prinsip yang telah ditetapkan oleh nash dan ijma‟.

Prinsip maşlaḥah berkaitan pada upaya untuk memelihara agama, jiwa,

akal, keturunan, dan kehormatan. Apabila seseorang melakukan suatu

perbuatan yang pada intinya untuk memelihara kelima aspek ini, maka ia

dinamakan maşlaḥah. Demikian pula segala upaya untuk menolak segala jenis

kemadharatan yang berkaitan dengan kelima aspek tujuan syara‟ di atas juga

dinamakan maşlaḥah.

Dengan kerangka berfikir di atas diharapkan dapat memecahkan

masalah peminangan yang terjadi dalam masyarakat desa Kranji secara baik

dan mendapatkan hasil.

F. Metode Penelitian

Dalam penyusunan skripsi ini metode yang digunakan adalah sebagai

berikut:

1. Jenis penelitian

Penyusunan skripsi ini sepenuhnya didasarkan pada penelitian

lapangan (Field Research). Penyusun melakukan observasi secara

langsung ke lapangan atau masyarakat untuk mengetahui secara jelas

tentang berbagai masalah, pelaksanaan, dan tata cara peminangan yang

terjadi di Desa Kranji. Hal tersebut juga ditunjang dengan penelitian

pustaka, yaitu dengan cara membaca, menelaah atau memeriksa bahan-


16

bahan kepustakaan yang terdapat di dalam suatu perpustakaan atau di luar

perpustakaan.26

2. Sifat penelitian

Sifat penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik yaitu

penelitian untuk menyelesaikan masalah dengan cara mendeskripsikan

masalah melalui pengumpulan, penyusunan dan penganalisisan data,

kemudian dijelaskan.27 Dalam hal ini yaitu mengenai kebudayaan atau

tradisi yang berhubungan dengan pelaksanaan peminangan yang ada pada

masyarakat Desa Kranji kemudian dilakukan analisa dari perspektif

hukum Islam.

3. Pendekatan Penelitian

Sudut pandang yang digunakan sebagai pendekatan dalam

penelitian ini adalah pendekatan normatif, yaitu pendekatan yang menuju

dan mengarah kepada persoalan ditetapkannya sesuatu berdasarkan pada

teks-teks al-Qur‟an dan Hadis, kaidah ushul serta pendapat para ulama ahli

yang ada kaitannya dengan permasalahan yang diteliti. Dalam hal ini

penyusun melakukan peninjauan terhadap fakta yang terjadi di lapangan

khususnya mengenai praktik peminangan yang terjadi di Desa Kranji,

kemudian dianalisa dalam perspektif hukum Islam serta konteks kekinian,

sehingga didapatkan hasil yang komprehensif.

26
Dudung Abdurrahman, Pengantar Metode Penelitian, (Yogyakarta: Kurnia Kalam
Semesta, 2003), hlm. 7.
27
Rianto Adi, Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum, (Jakarta: Granit, 2004), hlm.
128.
17

4. Metode Pengumpulan Data

Dalam pengumpulan data agar diperoleh data yang valid dan aktual

maka penelitian ini menggunakan teknik sebagai berikut:

a. Interview (wawancara)

Data utama dalam penelitian ini adalah interview. Metode

interview (wawancara) adalah suatu metode pengumpulan data dengan

tanya jawab sepihak yang dikerjakan secara sistematik dan

berdasarkan pada tujuan penelitian.28 Penyusun mengajukan

pertanyaan dan yang diwawancarai yang memberikan jawaban atas

pertanyaan itu. Penyusun akan mewawancarai sepuluh warga Desa

Kranji yang termasuk di dalamnya para tokoh masyarakat, ulama, dan

orang-orang yang pernah melakukan praktek tradisi peminangan

perempuan.

Adapun teknik interview (wawancara) yang digunakan adalah

interview bebas terpimpin yaitu penulis menyiapkan catatan pokok

agar tidak menyimpang dari garis yang telah ditetapkan untuk

dijadikan pedoman dalam mengadakan wawancara yang penyajiannya

dapat dikembangkan untuk memperoleh data yang lebih mendalam dan

dapat divariasikan dengan situasi yang ada, sehingga kekakuan selama

wawancara berlangsung dapat dihindarkan.

28
Sutrisno Hadi, Metodologi Research II, (Yogyakarta: Andi Offset, 1987), hlm. 193.
18

b. Observasi

Observasi atau pengamatan yang dimaksud di sini adalah

observasi yang dilakukan secara sistematis. Dalam observasi ini

penulis mengusahakan untuk melihat dan mengamati sendiri,

kemudian mencatat data itu apa adanya dan tidak ada upaya untuk

memanipulasi data-data yang ada di lapangan.29 Metode ini digunakan

untuk melihat kesesuaian data dari interview dengan keadaan

sebenarnya.

c. Dokumentasi

Metode dokumentasi yaitu mencari data mengenai hal-hal atau

variabel yang berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah,

prasasti, notulen, rapat agenda dan sebagainya.30 Tujuan dari

penggunaan metode ini adalah untuk memudahkan memperoleh data

secara tertulis tentang Tradisi Peminangan Perempuan di Desa Kranji

Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan dalam Tinjauan Hukum

Islam.

5. Analisis Data

Analisis data adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan

data ke dalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat

ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang

29
Ibid, hlm. 125.
30
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: Rineka
Cipta, 1996), hlm. 234.
19

disarankan oleh data.31 Analisis data yang penyusun gunakan adalah

metode analisis kualitatif.32 Penelitian ini menggunakan analisis induktif

yaitu cara berfikir yang berangkat dari fakta-fakta khusus dan peristiwa-

peristiwa kongkret kemudian digeneralisasikan.

Dalam hal ini penyusun mengumpulkan fakta dan peristiwa yaitu

tradisi peminangan yang dilakukan oleh masyarakat Desa Kranji kemudian

diambil kesimpulan bersifat umum. Dalam arti lain bahwa metode ini

berusaha melihat realita yang ada kemudian disinkronkan dengan teks

yang ada.

G. Sistematika Pembahasan

Untuk memberikan gambaran secara umum tentang pembahasan

skripsi ini penyusun membagi pembahasan ke dalam lima bab yaitu:

Bab pertama merupakan pendahuluan yang meliputi latar belakang

masalah, kemudian dilanjutkan dengan pokok masalah, tujuan dan kegunaan,

telaah pustaka, kerangka teoritik, metode penelitian, dan sistematika

pembahasan untuk mengarahkan para pembaca kepada substansi penelitian

ini.

31
Lexy J Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosda Karya,
2002), hlm. 103.
32
Analisis kualitatif disebut analisis non statistik yang sesuai untuk data deskriptif atau
data tekstular. Data deskriptif sering hanya dianalisis menurut isinya dan karena itu analisis
semacam ini juga disebut analisis isi (content analysis). Suryabrata, Metodologi Penelitian,
(Jakarta: Rajawali, 1988), hlm. 94.
20

Bab kedua memaparkan tentang ketentuan umum peminangan. Dalam

bab ini akan dijelaskan tentang pengertian peminangan secara umum, dasar

hukum peminangan, syarat-syarat peminangan, tujuan dan hikmah

peminangan, dan melihat wanita yang dipinang.

Bab ketiga karena penelitian ini merupakan penelitian lapangan, maka

akan dijelaskan tentang gambaran umum Desa Kranji Kecamatan Kabupaten

Paciran Lamongan. Pada bab ini juga akan dipaparkan mengenai latar

belakang tradisi peminanangan dan proses pelaksanaan tradisi peminangan

perempuan di Desa Kranji.

Bab keempat akan membahas tentang analisis hukum Islam terhadap

tradisi peminangan perempuan di Desa Kranji Kecamatan Paciran Kabupaten

Lamongan.

Bab kelima ini penyusun mengakhiri pembahasan dengan kesimpulan

dan saran-saran. Kesimpulan akan mendeskripsikan dari hasil penelitian,

sementara saran-saran akan merumuskan nilai signifikansi dari penelitian yang

telah dilakukan oleh penyusun.


BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PEMINANGAN

A. Pengertian Peminangan dan Dasar Hukum Peminangan

1. Pengertian Peminangan

Dalam bahasa Indonesia kata “peminangan” berasal dari kata

“pinang meminang” (kata kerja). Meminang sinonimnya adalah melamar.

Peminangan atau lamaran dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah

“khiṭbah.” yang berasal dari kata

‫ خطجخ‬- ‫خطت –خطجب‬ٝ – ‫خطت‬

Yang berarti meminang atau mencari pasangan.


33

Kata khiṭbah. dalam bahasa Arab merupakan bentuk maṣdar dari

kata “kha-ṭa-ba” (‫ )خطت‬yang berarti meminang atau melamar. Kata

khiṭbah ini dalam terminologi Arab merupakan akar kata al-Khiṭāb

(‫ )اىخطبة‬dan al-Khaṭbu (‫)اىخطت‬. al-Khiṭāb berarti pembicaraan. Jika

pembicaraan ini berhubungan dengan ihwal wanita maka yang pertama

kali dapat ditangkap adalah pembicaraan berhubungan dengan persoalan

perkawinan. Oleh karena itu maka peminangan bila ditinjau dari akar

katanya adalah pembicaraan yang berhubungan dengan lamaran atau

33
Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: Haida Karya Agung, 1990), hlm.
118.

21
22

permohonan untuk menikah.34 Sedangkan makna al-Khaṭbu adalah

persoalan kepentingan sehingga makna peminangan dalam hal ini adalah

permohonan oleh seseorang kepada wanita tentang sesuatu persoalan atau

kepentingan yang berada ditangan pihak wanita yakni yang berhubungan

dengan perkawinan. Jadi peminangan menurut bahasa adalah lamaran atau

permohonan seorang pria kepada wanita tertentu untuk menikahinya.

Peminangan tidak hanya pernyataan meminang saja, tapi harus ada

persetujuan atau izin dari pihak yang dipinang, sebagaimana dijelaskan

dalam hadis Nabi SAW:

35
‫ ّفسٖب ٗإرّٖب صَبرٖب‬ٜ‫ٖب ٗاىجنش رسزأرُ ف‬ٞ‫ٌ ادق ثْفسٖب ٍِ ٗى‬ٝ‫اال‬

Berkaitan dengan izin bagi wanita yang masih perawan atau gadis,

maka hendaknya wali mempertimbangkan kepada wanita tersebut.

Sedangkan wanita yang sudah janda maka ia bebas menentukan sendiri

pilihannya.

Dalam pengertian terminologi, peminangan adalah kegiatan upaya

ke arah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang pria dan seorang

wanita.36 Ada juga yang menyatakan bahwa meminang atau khiṭbah.

adalah merupakan langkah-langkah pendahuluan menjelang perkawinan

dimulai, yakni sebelum diadakan akad nikah dengan maksud agar kedua

34
Ahmad Warson Munawwir, Kamus Munawwir, (Surabaya: Pustaka Progresif, 2002),
hlm. 348.
35
Abū Dāwūd, Sunan Abī Dāwūd, (Beirut: Dār al-Fikr, t.t.), II: hlm. 196-197. Hadis no
2089. Hadis diriwayatkan oleh Abū Dāwūd dari Ibn Abbās dari Sulaimān dari Ishāq.
36
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, cet. II (Jakarta: Akademika
Pressindo, 1995), hlm. 114.
23

belah pihak saling kenal mengenal terlebih dahulu sehingga perkawinan

yang akan mereka tempuh betul-betul didasarkan pada saling pengertian

dan keterusterangan.37

Menurut Wahbah az-Zuḥailī, khiṭbah adalah mengungkapkan

keinginan untuk menikah dengan seorang perempuan tertentu dan

memberitahukan keinginan tersebut kepada perempuan dan walinya.

Pemberitahuan keinginan tersebut bisa dilakukan secara langsung oleh

lelaki yang hendak meminang, atau bisa juga dengan cara perantara

keluarganya.38 Menurut as-Sayyid as-Sabiq peminangan adalah seorang

laki-laki yang meminta kepada seorang perempuan untuk menjadi istrinya,

dengan cara-cara yang sudah umum berlaku di tengah-tengah

masyarakat.39

Dalam hukum Islam, khiṭbah. atau peminangan merupakan suatu

langkah pendahuluan dan merupakan proses yuridis yang dibenarkan oleh

hukum, yakni memberi jalan bagi seorang laki-laki yang akan memperistri

seorang wanita melalui prosedur yang layak dan baik menurut pandangan

agama dan masyarakat, dan dilakukan secara legal serta penuh dengan

suasana kekeluargaan.40

37
Ibrāhim Muhammad al-Jamāl, Fiqh Wanita, alih bahasa Anshori Umar, (Semarang:
Asy Syifa’, 1986), hlm. 361.
38
Wahbah az-Zuḥailī, al-Fiqh al-Islāmiy wa Adillatuh, VII: hlm. 24.
39
As-Sayyid as-Sābiq, Fiqh as-Sunnah, (Kuwait: Dār al-Bayān, 1967), VI: hlm. 44.
40
Zahri Hamid, Peminangan Menurut Islam, (Jakarta: Bina Cipta, 1987), hlm. 21.
24

Berdasarkan keterangan-keterangan di atas, maka dapat dipahami

bahwa peminangan tidak lebih dari sebuah permohonan atau kehendak

untuk melaksanakan perkawinan dengan orang yang dikehendaki.

Dari definisi khiṭbah. di atas, secara umum bahwa khiṭbah.

dipandang sebagai suatu inisiatif dari pria, karena secara kodrati pria

diciptakan sebagai sosok yang selalu aktif untuk mendekati dan melamar.

Sedangkan wanita sebagai sumber daya tarik,41 selain itu kaum wanita

secara umum lebih bersifat pemalu daripada pria.

Di dalam syariat Islam dikenal adanya pinangan yang dilakukan

sebelum akad nikah baik dengan memakai tenggang waktu ataupun tidak

memakainya. Di dalam masyarakat Indonesia pinangan tersebut bervariasi

tergantung pada kondisi sosial, adat istiadat atau tradisi masyarakat

setempat. Dalam hal meminang dimaksudkan untuk mendapatkan atau

memperoleh calon isteri yang ideal atau memenuhi syarat menurut syariat

Islam.42

Meskipun secara umum khiṭbah. dinisbatkan kepada inisiatif pihak

pria, namun tidak menutup kemungkinan khiṭbah. tersebut merupakan

kehendak pihak wanita. Karena pada dasarnya Islam tidak menentukan

atau mengharuskan pihak pria yang meminang wanita, hal ini terbukti

dengan hadis yang menceritakan bahwa terdapat seorang perempuan yang

41
Mortezza Mutahhari, Wanita dan Hak-Haknya dalam Islam, alih bahasa M. Hashim,
(Bandung: Penerbit Pustaka, 1986), hlm. 12.
42
Sudarsono, Pokok-Pokok Hukum Islam MKDU, (Jakarta: Rinneka Cipta, 1992), hlm.
605-606.
25

menawarkan dirinya kepada Rasulullah SAW namun beliau tidak tertarik

dengannya, hadis tersebut berbunyi:

‫ دبصً ػِ سٖو ثِ سؼذ أُ اٍشأح جبئذ سس٘ه هللا‬ٜ‫ؼق٘ة ػِ أث‬ٝ ‫جخ دذثْب‬ٞ‫دذثْب قز‬
‫ٖب سس٘ه‬ٞ‫ فْظش إى‬ٜ‫ب سس٘ه هللا جئذ ألٕت ىل ّفس‬ٝ : ‫ٔ ٗ سيٌ فقبىذ‬ٞ‫ هللا ػي‬ٚ‫صي‬
‫ٖب ٗص٘ثٔ ثٌ طأطأ سأسٔ فيَب سأد اىَشأح‬ٞ‫ٔ ٗ سيٌ فصؼذ اىْظش إى‬ٞ‫ هللا ػي‬ٚ‫هللا صي‬
ِ‫ سس٘ه هللا إُ ىٌ رن‬ٛ‫ أ‬:‫ئب جيسذ فقبً سجو ٍِ أصجبثٔ فقبه‬ٞ‫ٖب ش‬ٞ‫قض ف‬ٝ ٌ‫أّٔ ى‬
43
‫ٖب‬ْٞ‫ىل ثٖب دبجخ فضٗج‬

Dari hadits tersebut di atas jelaslah bahwa dalam masalah

peminangan tidak ada ketentuan yang mengharuskan bahwa para pihak

prialah yang berhak mengajukan peminangan, keduanya baik pria maupun

wanita berhak mengajukannya.

2. Dasar Hukum Peminangan

Sebelum berlangsungnya akad nikah, dalam Islam dikenal adanya

ritual peminangan. Peminangan ini bisa dengan tenggang waktu ataupun

tidak. Tata cara peminangan sangatlah bervariasi, hal ini dipengaruhi oleh

kondisi sosial, adat istiadat, dan tradisi masyarakat setempat. Dalam Islam

hal ihwal tentang peminangan diatur dalam al-Qur’an, Hadis dan Ijtihad.

Adapun ayat al-Qur’an yang menjadi dasar peminangan adalah:

ٌ‫ أّفسنٌ ػيٌ هللا أّن‬ٜ‫َب ػشضزٌ ثٔ ٍِ خطجخ اىْسبء أٗ أمْْزٌ ف‬ٞ‫نٌ ف‬ٞ‫ٗال جْبح ػي‬

‫سززمشِّٖٗ ٗىنِ ال ر٘اػذِٕٗ سشا إال أُ رق٘ى٘ا ق٘ال ٍؼشٗفب ٗال رؼضٍ٘ا ػقذح‬

43
Al-Bukhārī, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, III: 160. Hadis riwayat Qutaibah dari Ya´qūb
26

ُ‫ أّفسنٌ فبدزسٗٓ ٗاػيَ٘ا أ‬ٜ‫ؼيٌ ٍب ف‬ٝ ‫جيغ اىنزبة أجئ ٗاػيَ٘ا أُ هللا‬ٝ ٚ‫اىْنبح دز‬
44
ٌٞ‫هللا غف٘س دي‬

Ayat tersebut menerangkan tentang kebolehan melamar secara

ta´rīd (sindiran), yakni dengan menggunakan kata-kata yang tidak secara

langsung bisa dipahami sebagai suatu peminangan. Hal ini berlaku

terhadap wanita yang ditinggal mati suaminya. Dalam masa iddahnya

wanita yang ditinggal mati suaminya dilarang untuk dipinang secara

terang-terangan (şarīh) sampai masa iddahnya selesai.

Sebab larangan peminangan secara terang-terangan terhadap

wanita yang sedang dalam masa iddah adalah karena wanita tersebut

terkadang berdusta mengenai masa iddahnya. Peminangan terhadap wanita

tersebut berarti melanggar hak orang yang mentalak, sedangkan melanggar

hak orang lain hukumnya haram secara syar’i.

Disamping itu dalam firman Allah yang lain juga disebutkan:

‫ش ٍسفذذ ٗال‬ٞ‫فبّنذ٘ا ثئرُ إٔيِٖ ٗأر٘إِ أج٘سِٕ ثبىَؼشٗف ٍذصْذ غ‬


45
ُ‫ٍزخزد أخذا‬

Ayat ini memberikan tuntunan yang jelas bahwa izin wali (ayah,

kakek, atau saudara-saudara) dari wanita yang hendak dinikahi sangatlah

penting. Untuk mendapatkan izin tersebut akan lebih mudah diperoleh

dengan cara peminangan.

44
Al-Baqarah (2): 235.
45
An-Nisā’ (4): 25
27

Rasulullah juga menjelaskan bahwa meminang merupakan suatu

anjuran bagi seseorang yang hendak melaksanakan perkawinan, sejauh

peminangan tersebut akan memantapkan hatinya untuk menuju

perkawinan yang diharapkan. Selain itu seseorang yang hendak menikah

dan mengharapkan masa depan yang bahagia maka hendaklah ia

mengenali lebih seksama tentang keadaan calon pasangannya tersebut.

Berikut hadis riwayat Abū Hurairah, yaitu:

ٌ‫ٔ ٗسي‬ٞ‫ هللا ػي‬ٚ‫قبه سجو إّٔ خطت إٍشأح ٍِ األّصبس فقبه ىٔ سس٘ه هللا صي‬
46
‫ئب‬ٞ‫ِ األّصبس ش‬ٞ‫ أػ‬ٚ‫ٖب فئُ ف‬ٞ‫ قبه فبرٕت فبّظش إى‬.‫ ال‬: ‫ٖب ؟ قبه‬ٞ‫أ ّظشد إى‬

Hadis ini menjadi petunjuk adanya anjuran Rasulullah SAW bagi

peminang untuk melihat dan memperhatikan hal ihwal wanita yang hendak

dipinangnya. Hal ini merupakan sarana penunjang agar lebih

memantapkan hatinya untuk menuju masa depan yang bahagia.

Ada juga hadis riwayat al-Bukhārī dari Ibnu ´Umar yaitu:

47
ٔ‫أرُ ى‬ٝ ٗ‫زشك اىخبطت قجئ أ‬ٝ ٚ‫ٔ دز‬ٞ‫ خطجخ أخ‬ٚ‫خطت أدذمٌ ػي‬ٝ ‫ال‬

Hadis tersebut menjadi petunjuk adanya larangan Rasulullah SAW

bagi kaum muslimin agar tidak melakukan peminangan di atas

peminangan saudaranya sesama muslim, berarti kewajiban menghormati

hak peminang yang telah ada serta tidak melanggar hak dimaksud. Hadis

ini juga mengandung makna pengokohan yang jelas dari Rasulullah SAW

46
Malik bin Anās, Al-Muwaṭṭa’, “Kitāb an-Nikāh”, “Bab Mā Jā’a fī al-Khiṭbah”, (Kairo:
Dār al-Ihyā’ al-Kutub al-´Arabiyyah, 1951), hlm. 28. Hadis diriwayatkan oleh Malik dari Yahyā
bin Ḥibbān dari Al-A´rāj dari Abū Hurairah
47
Aṣ-Ṣan’ānī, Subul as-Salām, III: hlm. 113. Hadis riwayat Al-Bukhārī dari Ibnu Umar.
28

bahwa peminangan itu disyariatkan dalam hukum Islam dan dibolehkan

(mubah), bahwa peminangan merupakan suatu perbuatan hukum yang

dibenarkan.

Mayoritas fuqaha (ahli hukum Islam) berpendapat bahwa hukum

asal peminangan adalah diperbolehkan (mubah), tetapi dalam keadaan

tertentu menjadi haram. Peminangan secara ta´rīd terhadap wanita yang

ditalak raj´ī oleh suaminya dalam menjalani iddahnya tidak diperbolehkan.

Apalagi peminangan kepada wanita terpinang yang mempunyai

kecenderungan kepada peminang pertama. Haram pula peminangan secara

taşrīh kepada wanita dalam menjalani masa iddah wafat (ditinggal mati).

Khāṭib asy-Syarbīnī dalam kitabnya mengungkapkan bahwa

peminangan hukumnya bukanlah suatu kesunnahan, namun beliau

mengutip pendapat Al-Gazālī yang menyebutkan bahwa hukum

peminangan adalah sunnah. Dikatakan pula bahwa hukum peminangan

tersebut disamakan dengan hukum nikah karena didasarkan pada kaidah:


48
‫إر اى٘سبئو مبىَقبصذ‬

Hukum Islam memandang bahwa khiṭbah adalah janji akan

mengadakan akad di waktu yang akan datang, sehingga khiṭbah bukan

suatu perbuatan yang menetapkan adanya perkawinan. Bagi masing-

masing pihak masih ada jalan untuk beralih dari janji tersebut terutama

apabila terdapat hal-hal yang mengharuskannya. Janji untuk melakukan

perkawinan bukanlah akad perkawinan. Namun demikian menepati janji

48
Khāṭib asy-Syarbīnī, Mugni al-Muhtāj, (Beirut: Dār al-Fikr, t.t.), hlm. 136.
29

termasuk menepati janji perkawinan adalah kewajiban moral agama.

Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah di dalam al-Qur’an surat Al-

Isra’ ayat 34 disebutkan:

49
‫ٗ أٗف٘ا ثبىؼٖذ إُ اىؼٖذ مبُ ٍسؤال‬

B. Tujuan dan Hikmah Peminangan

Sebelum seseorang memasuki jenjang perkawinan, Islam

mensyariatkan adanya peminangan. Sebagai sarana saling mengenal bagi

masing-masing calon pasangan, sehingga pada saat perkawinan tiba kedua

belah pihak sudah siap dan mantap.

Peminangan merupakan pendahuluan bagi berkumpulnya manusia

yang berlainan jenis (pria dan wanita) untuk menyatukan satu ciptaan yang

sebelumnya terpisah. Sebelum membangun ciptaan yang utuh tersebut

haruslah ada pelajaran, perhitungan dan rencana yang lebih matang.

1. Tujuan peminangan

Pada dasarnya tujuan disyari’atkannya peminangan tidak jauh

berbeda dengan tujuan perkawinan. Secara eksplisit tujuan peminangan

tidak dijelaskan secara mendetail sebagaimana tujuan perkawinan baik

dalam nash al-Qur’an maupun Hadis. Meskipun demikian secara implisit

tujuan dari peminangan itu bisa dilihat dari syarat-syarat peminangan itu

sendiri.

49
Al-Isrā’ (17): 34.
30

Khiṭbah (peminangan) disyari’atkan dilakukan sebelum

dilangsungkannya pernikahan tujuannya adalah agar masing-masing pihak

baik yang meminang ataupun pihak yang dipinang bisa saling ta’aruf

(mengenal), yakni perkenalan yang dengannya masing-masing dari kedua

belah pihak dapat merasakan adanya kecocokan atau tidak, baik

menyangkut perangai dan tempramen atau kecenderungan dan tujuan yang

ingin dicapai, atau juga menyangkut prinsip dan nilai-nilai.50

Tujuan peminangan tak lain ialah untuk menghindarkan terjadinya

kesalahpahaman di antara kedua belah pihak. Selain itu juga perkawinan

sendiri dapat berjalan atas dasar pemikiran yang mendalam dan

mendapatkan hadiah. Lebih-lebih lagi suasana kekeluargaan yang nantinya

akan berjalan erat antara suami, istri, anak-anak, dan anggota keluarga

yang lainnya.51

2. Hikmah peminangan

Peminangan sebagai langkah awal suatu perkawinan dimaksudkan

agar masing-masing pihak (laki-laki dan perempuan) dapat saling

mengenal pribadi dan identitas masing-masing sesuai dengan langkah-

langkah yang diperbolehkan oleh syara’. Melalui kondisi masing-masing

sehingga kehidupan rumah tangga mereka nantinya dapat saling

50
Muhammad Utsmān al-Khasyṭ, Fiqh Wanita Empat Madzhab, cet. ke-1, alih bahasa
Abu Nafis Ibnu Abdurrahim, ed. Abu Khadijah & Rosyad Ghozali, (Bandung: Khazanah
Intelektual, 2010), hlm. 268.
51
Abdullah Nashih Ulwan, Tata Cara Meminang dalam Islam, (Solo: Pustaka Mantiq,
1993), hlm. 40-41.
31

menyesuaikan diri dan keharmonisan rumah tangga yang diinginkan Islam

dapat mereka ciptakan.

Wahbah az-Zuḥailī menambahkan bahwa khiṭbah merupakan jalan

untuk mempelajari akhlaq, tabiat dan kecenderungan masing-masing dari

keduanya. Akan tetapi hal itu harus dilakukan sebatas yang diperbolehkan

secara syariat dan itu sudah sangat cukup sekali. Jika suda ditemukan

kecocokan dan keselarasan maka sudah mungkin untuk dilangsungkannya

pernikahan yang merupakan ikatan abadi dalam kehidupan.

Dengan demikian kedua belah pihak akan merasa tentram bahwa

mereka berdua akan hidup bersama dengan selamat, aman, bahagia, cocok,

tenang, dan penuh rasa cinta yag kesemuanya itu merupakan tujuan yang

sangat ingin diraih oleh semua pemuda dan pemudi serta keluarga

mereka.52

Dalam fikih diterangkan bahwa setelah terjadinya peminangan tidak

menimbulkan hak dan kewajiban apapun, sehingga keduanya tetap menjadi

orang asing atau satu sama lain yang belum terikat hak dan kewajiban. Oleh

karena itu apabila terjadi saling memberi hadiah dalam masa pertunangan,

maka sifatnya hanyalah pemberian biasa dan tidak bisa diminta kembali

apabila pertunangan diputuskan kecuali dengan kerelaan masing-masing

pihak.53

52
Wahbah az-Zuḥailī, al-Fiqh al-Islāmiy wa Adillatuh, VII: hlm. 24.
53
Abdul Aziz Dahlan, et al. (Eds), Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ikhtiar Baru
Van Hoeve, 1997), III, hlm. 928.
32

C. Syarat-Syarat peminangan

Syarat merupakan sesuatu yang harus dipenuhi sebelum pelaksanaan

sesuatu agar sesuatu tersebut menjadi sah. Menurut Abdul Wahab Khalaf

syarat adalah sesuatu yang ada atau tidaknya hukum tergantung pada ada atau

tidak adanya sesuatu itu.54

Dalam ketentuan pasal 12 KHI menyatakan bahwa:

1. Peminangan dapat dilakukan terhadap seorang wanita yang masih

perawan/terhadap janda yang habis masa iddahnya

2. Wanita yang ditalak suami yang masih berada dalam masa iddah raj´ī

haram dan dilarang untuk dipinang

3. Dilarang juga meminang seorang wanita yang sedang dipinang oleh orang

lain selama pinangan pria tersebut belum putus atau belum ada penolakan

dari pihak wanita

4. Putusnya pinangan pihak pria, karena adanya pernyataan tentang putusnya

hubungan pinangan atau secara diam-diam pria yang meminang telah

menjauh dan meninggalkan wanita yang dipinang.55

Empat syarat yang tersebut dalam KHI dengan jelas menampakkan

watak sosial serta aspek kemanusiaan hukum Islam yang cukup dalam.

Meskipun perkawinan dan peminangan merupakan perkara yang bersifat

individual, namun Islam tetap mengarahkannya agar tidak bersebrangan

apabila berbenturan dengan kepentingan orang lain yang bersangkutan.

54
Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fikih, hlm. 118.
55
Pasal 12 Kompilasi Hukum Islam.
33

Menurut Kamal Mukhtar56 ada dua macam syarat-syarat meminang

yaitu syarat Mustaḥsinah dan syarat Lāzimah.

1. Syarat Mustaḥsinah

Yang dimaksud dengan syarat mustaḥsinah ialah syarat yang

berupa anjuran kepada seorang laki-laki yang akan meminang seorang

wanita agar ia meneliti terlebih dahulu wanita yang akan dipinangnya itu,

sehingga dapat menjamin kelangsungan hidup berumah tangga kelak.

Syarat mustaḥsinah ini bukanlah syarat yang wajib dipenuhi sebelum

peminangan dilakukan, tetapi hanya berupa anjuran dan kebiasaan yang

baik saja. Tanpa memenuhi syarat-syarat ini, peminangan tetap sah

Yang termasuk syarat mustaḥsinah ialah:

a. Wanita yang dipinang hendaklah sejodoh dengan laki-laki yang

meminangnya, seperti sama kedudukannya dalam masyarakat, sama-

sama baik bentuknya, sama dalam tingkat kekayaannya, sama-sama

berilmu dan sebagainya. Sesuai dengan hadis sebagaimana berikut:

‫ِ رشثذ‬ٝ‫ْٖب فبظفش ثزاد اىذ‬ٝ‫رْنخ اىَشأح ألسثغ ىَبىٖب ٗىذسجٖب ٗىجَبىٖب ٗىذ‬
57
‫ذك‬ٝ

b. Wanita yang akan dipinangitu hendaklah wanita yang mempunyai sifat

kasih sayang dan wanita yang dapat melahirkan keturunan

56
Kamal Mukhtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1974), hlm. 28.
57
Al-Bukhārī, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, III: hlm. 251. Hadis riwayat Jamaah Ahli Hadis kecuali
At-Turmużī dari Abū Hurairah.
34

‫ ٍنبثش‬ّٜ‫ق٘ه رضٗج٘ا اى٘دٗد اى٘ى٘د إ‬ٝٗ ‫ذا‬ٝ‫ب شذ‬ّٖٞ ‫ ػِ اىزجزو‬ْٖٚٝٗ ‫أٍش ثبىجبئخ‬ٝ
58
‫بٍخ‬ٞ‫ً٘ اىق‬ٝ ‫بء‬ٞ‫األّج‬

c. Wanita yang akan dipinang itu hendaklah wanita yang jauh hubungan

darah dengan laki-laki yang meminangnya. Agama melarang seorang

laki-laki mengawini seorang wanita yang sangat dekat hubungan

darahnya.

d. Hendaklah mengetahui keadaan-keadaan jasmani, budi pekerti dan

sebagainya dari wanita-wanita yang dipinang. Sebaliknya yang

dipinang sendiri harus mengetahui pula keadaan yang meminangnya.

2. Syarat Lāzimah

Yang dimaksud dengan syarat lāzimah ialah syarat yang wajib

dipenuhi sebelum peminangan dilakukan. Sahnya peminangan tergantung

kepada adanya syarat-syarat lāzimah. Yang termasuk syarat-syarat lāzimah

ialah:

a. Wanita yang tidak dalam pinangan oleh laki-laki lain atau apabila

sedang dipinang oleh laki-laki lain, laki-laki tersebut telah melepaskan

hak pinangannya, berdasarkan hadis:


59
ٔ‫أرُ ى‬ٝ ٗ‫زشك اىخبطت قجئ أ‬ٝ ٚ‫ٔ دز‬ٞ‫ خطجخ أخ‬ٚ‫خطت أدذمٌ ػي‬ٝ ‫ال‬

b. Wanita yang tidak dalam masa iddah. Wanita yang masih menunggu

masa iddah sehabis ditinggal mati suaminya atau diceraikan, baik

58
Ahmad Ibnu Hanbāl, Musnad Ahmad, “Kitāb al-Nikāḥ”, “Bāb Bāqi Musnad al-
Mukaśśirīn”, (Beirut: Dār al-Fikr, 1993), hlm. 217. Hadis riwayat Ahmad dan dinyatakan ṣahih
oleh Ibn Hibbān dari Anas.
59
Aṣ-Ṣan´ānī, Subul as-Salām, III: hlm. 113. Hadis riwayat Al-Bukhārī dari Ibnu Umar.
35

dengan talak raj´ī maupun dengan talak bā’in, wanita seperti ini belum

boleh dipinang oleh laki-laki lain.60 Seorang laki-laki hanya boleh

meminang dengan sindiran kepada wanita dalam masa iddah yang

ditinggal mati suaminya.

c. Wanita yang dipinang bukanlah seorang mahram bagi laki-laki yang

meminangnya.

Sedangkan menurut H. Muhammad Anwar, sebagaimana dikutip oleh

Soedarsono bahwa syarat-syarat peminangan itu ada 4 hal yaitu:

1. Wanita yang dipinang tidak terikat dalam suatu pernikahan atau iddah

dengan pria lain

2. Ditemukan wanitanya, yakni sudah positif

3. Antar peminang dengan yang dipinang tidak ada hubungan mahram, baik

mahram nasab, raḍā´ah, maupun muşāharah

4. Wanita yang dipinang beragama Islam atau ahli kitab bukan kafir waśānī

maupun atheis, kecuali wanita tersebut telah diislamkan terlebih dahulu

D. Melihat Wanita yang Dipinang

Melihat wanita yang dipinang dianjurkan oleh agama. Tujuan melihat

itu ialah untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya dari calon istri, sehingga

suatu perkawinan baru dilaksanakan setelah masing-masing pihak telah

menyukai diri mereka masing-masing.61 Selain itu pula agar hubungan kedua

60
Ibrāhim Muhammad al-Jamāl, Fiqh Wanita, hlm. 362.
61
Kamal Mukhtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, hlm. 32-33.
36

pasangan ketika sudah menikah dapat langgeng. Rasulullah SAW

menganjurkan agar melihat wanita yang dipinang berdasarkan Hadis:

ّٔ‫ٖب فئ‬ٞ‫ اّظش إى‬: ٌ‫ٔ ٗسي‬ٞ‫ هللا ػي‬ٚ‫ صي‬ٜ‫شح اثِ شؼجخ أّٔ خطت اٍشاح فقبه اىْج‬ٞ‫ػِ اىَغ‬
62
‫ْنَب‬ٞ‫ؤدً ث‬ٝ ُ‫ أ‬ٙ‫أدش‬

Juga hadis:

63
‫فؼو‬ٞ‫ ّنبدٖب في‬ٚ‫ذػ٘ٓ إى‬ٝ ‫ ٍب‬ٚ‫ْظش ٍْٖب إى‬ٝ ُ‫إرا خطت أدذمٌ اىَشأح فئُ اسزطبع أ‬

Tentang cara melihat dan apa yang boleh dilihat, para ahli fikih

berbeda pendapat. Dalam hal melihat wanita yang dipinang, Jumhur Ulama

termasuk ulama Syāfi’iyah dan Mālikiyah di dalamnya, berpendapat bahwa

yang diperbolehkan bagi lelaki hanyalah melihat wajah dan telapak tangan

saja. Karena dengan melihat wajah itu sudah cukup menjadi dasar untuk

menilai kecantikan wanita itu, dan dengan sekedar melihat telapak tangan

sudah bisa diketahui segarkah ia atau tidak.64 Demikian pula bagi wanita, ia

boleh melihat siapa yang melamarnya. Karena sebagaimana lelaki bisa tertarik

atau tidak kepada seorang wanita, wanita pun demikian.

Imam Abū Hānifah membolehkan untuk melihat kedua telapak kaki

perempuan yang hendak dipinang. Sedangkan para ulama Ḥambaliah

membolehkan melihat anggota badan yang tampak tatkala si perempuan

beraktivitas anggota badan tersebut ada enam yaitu muka, tangan, telapak

62
At-Tirmiżī, Sunan Tirmiżī, “Kitāb an-Nikah”, “Bāb Mā Jā’a Fī an-Naẓari ilā al-
Makhṭūbah”, (Beirut: Dār al-Kutub al-Ilmiyah, t.t.), II, hlm. 174. Hadis riwayat Ahmad dari Abī
Zāi’dah.
63
Aṣ-Ṣan´ānī, Subul as-Salām, III: hlm. 113. Hadis riwayat Ahmad dan Abū Dāwūd dari
Jābir.
64
Ibrāhim Muhammad al Jamāl, Fiqh Wanita, hlm. 363.
37

kaki, lutut, betis dan kepala. Dikarenakan melihat keenamnya merupakan

kebutuhan yang mendukung berlangsungnya pernikahan, hal ini juga

berdasarkan kemutlakan hadits Nabi “lihatlah perempuan tersebut” dan

perbuatan Umar serta Jābir. Wahbah az-Zuḥailī berpendapat bahwa pendapat

tersebut rājih namun beliau tidak menfatwakannya65

Lain halnya dengan Abū Hānifah dan Ahmad Ibnu Ḥambal, Abū

Dāwūd az-Źāhirī dan Ibn Ḥazm, seorang ulama tekstualis punya pendapat

tersendiri, bahwa boleh melihat semua anggota badan perempuan kecuali alat

kelaminnya, bahkan tanpa baju sekalipun. Alasannya hadis yang

memperbolehkan melihat calon isteri tidak membatasi sampai dimana

diperbolehkan melihat. Imam al-Auza´ī berpendapat bahwa laki-laki boleh

berupaya melihat apa yang ia kehendaki untuk dilihat dari wanita yang

dipinang kecuali aurat. Ketiga ulama ini berhujjah dengan kemutlakan hadis

di atas.

Muhammad Utsmān al-Khasyṭ memberi pemahaman atas hadis di atas

bahwa melihat yang diperintahkan dalam hadits ini adalah melihat yang

disyariatkan, yakni peminang laki-laki hanya dibolehkan melihat muka dan

telepak tangan dari wanita yang dipinangnya. Jika memungkinkan, boleh juga

untuk saling mengenali ciri-ciri fisik dari masing-masing kedua belah pihak.

Adapun pada obyek yang selain itu, maka cara untuk mengenalinya adalah

dengan cara mencari berita dan informasi mengenainya66

65
Wahbah az-Zuḥailī, al-Fiqh al-Islāmiy wa Adillatuh, VII: hlm. 37.
66
Muhammad Utsmān al-Khasyṭ, Fiqh Wanita Empat Madzhab, hlm. 274.
38

Beliau menambahkan bahwa merupakan sebuah kebenaran jika

dikatakan bahwa saling melihat antara peminang dan pinangannya merupakan

sesuatu yang wajib dan harus dilakukan. Sebab termasuk sesuatu yang telah

ditaqdirkan adalah bahwa maksud masing-masing dari keduanya (sehubungan

dengan hubungan keduanya) tidaklah mungkin dapat terwujud kecuali setelah

masing-masing dari keduanya dapat saling melihat dan saling berkenalan.

Kalau dilihat hubungan antara laki-laki dan wanita dalam pergaulan

sehari pada bangsa-bangsa di dunia, terdapat hubungan yang bebas, hubungan

yang sedang dan ada pula yang hampir tidak ada hubungan sama sekali. Oleh

sebab itu dalam hal melihat wanita yang akan dipinang itu, sebaikya

disesuaikan dengan kebiasaan setempat sesuai dengan kesopanan dan akhlaq

yang ditetapkan oleh agama. Yang terpenting dalam hal ini ialah bagaimana

caranya agar masing-masing pihak dari calon-calon mempelai mengetahui

pihak yang lain dan sebaliknya sehingga menimbulkan persetujuan dan

kerelaan dalam arti yang sebenarnya.67

Waktu melihat itu hendaklah pihak calon mempelai wanita ditemani

oleh mahramnya sebab agama melarang laki-laki dan wanita yang bukan

mahram berkhalwat berdasarkan hadis:

‫خي٘ سجو‬ٝ ‫ ال‬: ‫ ٗقبه‬, ً‫ ٍذش‬ٛ‫خيُ٘ أدذمٌ ثئٍشأح إال ٍغ ر‬ٝ ‫ ال‬: ً ‫قبه سس٘ه هللا ص‬
68
ُ‫طب‬ٞ‫ثئٍشأح إال مبُ ثبىثَٖب اىش‬

67
Kamal Mukhtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, hlm. 34.
68
As-Syaukānī, Nayl al-Auṭar, “Kitāb al-Nikāḥ”, “Bāb al-Nahyu ´an al-Khalwah bi al-
Ajnābiyah”, (Beirut : Dār al-Kutub al-Ilmiyah, t.t.), VI : 118. Hadis riwayat Ahmad dari ´Amir ibn
Rābi´ah dan menurut Ibnu Abbās hadis ini termasuk Muttafaq ´Alaih.
39

Mengenai waktu dan syarat melihat perempuan para ulama Syāfi´iyah

berpendapat bahwa hendaknya si lelaki melihat perempuan sebelum

dilaksanakannya khiṭbah. Demikian juga hendaknya dilakukan secara

sembunyi-sembunyi tanpa pengetahuan si perempuan dan keluarganya. Hal itu

demi menjaga harga diri perempuan tersebut dan keluarganya. Jika ia

menyukai perempuan tersebut maka ia boleh meminangnya tanpa

mengganggu dan menyakiti keluarganya.

Cara di atas memang masuk akal. Akan tetapi pendapat yang rājih dan

sesuai dengan teks-teks hadits bahwasannya laki-laki tersebut boleh melihat si

perempuan, baik dengan seizinnya maupun tidak.

Sedangkan para ulama Mālikiyah berpendapat bahwa boleh melihat

wajah dan kedua telapak tangan calon istri sebelum akad nikah. Hal itu agar ia

mengetahui hakikat keadaan calon istrinya tersebut baik dari dia langsung

maupun dari walinya. Melihat si perempuan boleh langsung dilakukan sendiri

atau diwakilkan selagi tidak bertujuan untuk bersenang-senang dengan melihat

perempuan tersebut. Jika tidak demikian, hal tersebut dilarang sebagaimana

dilarangnya melihat anggota tubuh selain wajah dan kedua telapak tangan

karena itu adalah aurat.69

69
Wahbah az-Zuḥailī, al-Fiqh al-Islāmiy wa Adillatuh, VII: hlm. 37.
BAB III

GAMBARAN UMUM TENTANG

KEBERADAAN DAN SISTEM PEMINANGAN DI DESA KRANJI

KECAMATAN PACIRAN KABUPATEN LAMONGAN

A. Deskripsi Wilayah Desa Kranji

1. Kondisi Geografis dan Demografis

Wilayah Desa Kranji merupakan bagian dari salah satu wilayah

yang ada di Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan Provinsi Jawa

Timur yang mempunyai ketinggian dari permukaan laut 2 M, jarak dari

Kecamatan Paciran 3 Km, jarak dari Kabupaten Lamongan 48 Km, dan

jarak dari ibukota provinsi 74 Km.

Desa Kranji mempunyai batas-batas wilayah sebagai berikut:70

a. Sebelah utara : Laut Jawa

b. Sebelah timur : Desa Banjarwati dan Desa Drajat

c. Sebelah Selatan : Desa Payaman

d. Sebelah Barat : Desa Tunggul

Secara administratif Desa Kranji terbagi ke dalam 4 dusun, 15 RW,

57 RT, 3 dusun tersebut ialah:

a. Dusun Kranji

b. Dusun Tepanas

c. Dusun Sidodadi

70
Buku Data Statistik Potensi Desa Kranji, 2014.

40
41

d. Dusun Tegalrejo

Desa Kranji mempunyai luas wilayah 5,633 Ha. Jumlah penduduk

Desa Kranji terhitung pada bulan Januari 2014 berjumlah 14,271 Jiwa,

dengan perincian menurut jenis kelamin laki-laki berjumlah 6,817 Jiwa,

perempuan berjumlah 7,454 Jiwa.71

2. Kondisi Ekonomi Masyarakat di Desa Kranji

Perekonomian di Desa Kranji dapat dinilai cukup baik, hal terlihat

dari segi beraneka ragamnya mata pencaharian masyarakat di Desa Kranji

tersebut.

Wilayah Desa Kranji merupakan wilayah yang berada di pesisir

pantai utara sehingga mayoritas masyarakatnya bermata pencaharian

sebagai nelayan. Ada pula yang sebagai petani. Selain nelayan dan petani,

mata pencaharian masyarakat ada yang bekerja sebagai pengrajin buruh

industri, buruh bangunan, pedagang, sopir, pegawai negeri sipil, pensiunan

(PNS) dan peternak.72

Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dari tabel di bawah ini:73

TABEL I
MATA PENCAHARIAN PENDUDUK
No. Mata Pencaharian Jumlah Penduduk
1. Nelayan 8574

71
Buku Monografi Desa Kranji, 2014.
72
Buku Data Penduduk, 2014.
73
Buku Data Statistik Potensi Desa Kranji,2014.
42

2. Petani 7593
3. Pengusaha 26
4. Pengrajin/Industri kecil 32
5. Buruh Industri kecil 46
6. Buruh bangunan 83
7. Buruh Tani 175
8. Pedagang 162
9. Pengangkutan 24
10. PNS 85
11. Pensiunan 10
12. Pengajar/Guru/Dosen 68
13. Peternak 257
14 TKI 136

Dari tabel tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa masyarakat di

Desa Kranji sebagian besar bermata pencaharian sebagai nelayan. Untuk

sarana perekonomian ada beberapa macam yang antara lain: Tempat

Pelelangan Ikan (TPI), Koprasi, Pasar, Toko, dan Bank.

Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut ini:74

TABEL II
SARANA PEREKONOMIAN
No. Sarana Perekonomian Jumlah
1 Tempat Pelelangan Ikan (TPI) 1
2 Pasar 1
3 Toko 27
4 Warung 12
5 Koprasi 1

74
Buku Data Statistik Desa Kranji, 2014.
43

6 Bank 2
7 Mini Market 1
8 Kandang Ternak 13

Dari tabel tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa sarana perekonomian

yang paling banyak jumlahnya di Desa Kranji adalah toko

3. Kondisi Sosial Keagamaan Masyarakat di Desa Kranji

Masyarakat Desa Kranji yang seluruh penduduknya beragama

Islam dan mempunyai sarana ibadah antara lain:

a. Masjid sebanyak 4 buah

b. Musholla sebanyak 25 buah

Tingkat pendidikan di Desa Kranji semakin maju dibandingkan

dengan tahun-tahun sebelumnya. Terbukti semakin banyaknya masyarakat

yang menempuh jenjang hingga pendidikan S1 yaitu di PTN, PT, PTAIN,

dan STAI. Di Desa Kranji juga terdapat dua pondok pesantren yang sudah

dikenal oleh masyarakat luas. Kedua Pondok pesantren tersebut adalah

Pondok Pesantren Tarbiyatut Tholabah dan Pondok Pesantren

Muhammadiyah. Jumlah kiai dan santri di pondok pesantren tersebut yaitu

10 orang kiai dan 2237 santri.

Untuk lebih jelasnya sarana sosial dan keagamaan dapat dilihat

dalam tabel berikut:75

75
Buku Data Statistik Desa Kranji, 2014.
44

TABEL III
SARANA SOSIAL DAN KEAGAMAAN
No. Sarana Sosial dan Keagamaan Jumlah
1 Masjid 4
2 Musholla 25
3 Pondok Pesantren 2
4 TK 5
5 SD/MI 4
6 SMP/MTs 2
7 SMA/MA/SMK 2
8 Perguruan Tinggi 1

B. Sejarah dan Latar Belakang Tradisi Peminangan di Desa Kranji

Sebagaimana umumnya kebiasaan dalam hal perkawinan, menurut

syariat Islam sebelum dilaksanakan suatu perkawinan dianjurkan suatu

pendahuluan yang disebut dengan meminang.76 Sudah menjadi ketentuan

Allah SWT bahwa tiap-tiap mahluk hidup diciptakan secara berpasang-

pasangan. Peminangan merupakan sebuah media untuk mempertemukan

antara pihak pria maupun wanita yang keduanya berkehendak melanjutkan

hubungan mereka ke jenjang yang lebih tinggi yaitu perkawinan. Menjadi

suatu hal yang baik untuk dilakukan sebelum melangkah lebih jauh lagi

apabila di antara kedua belah pihak memiliki rasa saling menerima terhadap

keadaan masing-masing.

Pengertian peminangan dalam persepsi masyarakat Desa Kranji tidak

jauh berbeda dengan pengertian dalam syariat Islam yang telah dipaparkan

76
Abdullah Siddik, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Tintamas, 1968), hlm. 29.
45

dalam bab dua. Hanya saja faktor agama sangat menjadi perhatian di samping

ketentuan-ketentuan adat yang harus dilangsungkan. Masyarakat Kranji

mengenal peminangan dengan sebutan lamaran atau ngelamar yaitu

permintaan kepada seseorang untuk dijadikan calon pasangan hidupnya yang

dilakukan oleh pihak perempuan kepada pihak laki-laki dengan membawa

berbagai barang bawaan untuk diserahkan kepada pihak laki-laki sebagai

tanda pengikat.

Tradisi peminangan tersebut muncul karena masyarakat Kranji

beranggapan bahwa pada zaman dahulu perempuan itu jumlahnya banyak

maka perempuanlah yang merasa membutuhkan laki-laki sehingga keluarga

pihak perempuanlah yang pada akhirnya meminang laki-laki. Agar tidak

didahului oleh orang lain maka timbullah kehendak perempuan untuk

meminang. Beda halnya dengan laki-laki yang mempunyai banyak pilihan

karena jumlah perempuan lebih banyak. Laki-laki dapat dikatakan lebih

tenang dalam hal memilih jodohnya walaupun dia berusia sudah tua,

masyarakat memandang itu hal yang wajar karena dia fokus dulu dengan

pekerjaannya.77

Tidak banyak yang mengetahui secara persis sejarah kemunculan

tradisi lamaran yang berlangsung dari dulu hingga sekarang di Desa Kranji.

Tetapi terdapat beberapa peristiwa yang mungkin bisa menjadikan praktek di

masa lampau tersebut diikuti oleh masyarakat setempat mengenai sebab

adanya tradisi lamaran.


77
Wawancara dengan bapak H. Ach. Sjafi’ Ali selaku tokoh masyarakat juga sebagai
Guru di Pondok Pesantren Tarbiyatut Tholabah, Kranji, Paciran, Lamongan, 10 Februari 2015.
46

Bapak M. Nashiruddin menyatakan bahwa adanya peminangan

perempuan bermula pada peminangan Khadijah kepada Rasulullah SAW.

Beliau kala itu yang masih meperdagangkan barang-barang Khadijah beliau

dikenal dengan seseorang yang jujur dalam berdagang. Dari kejujuran inilah

yang membuat Khadijah tertarik kepada Rasulullah SAW, sehingga muncul

motivasi dalam diri Khadijah untuk meminang beliau meskipun secara umur

lebih tua Khadijah daripada Rasulullah SAW.78

Bapak M. Lubabul Hadziq menambahkan pula bahwa Rasulallah SAW

pernah didatangi oleh seorang perempuan yang mana perempuan tersebut

berkehendak menawarkan dirinya kepada beliau, namun Rasulullah tidak

tertarik dengannya. Wanita yang menawarkan diri tersebut sudah termasuk

meminang karena atas niat dan keinginan yang kuat.79

Menurut Bapak Rahmad Dasy, peristiwa peminangan oleh perempuan

di Lamongan bermula dari Panji Laras dan Panji Liris yang dipinang oleh

Andansari dan Andanwangi. Panji Laras dan Panji Liris merupakan dua

saudara kembar, anak dari pasangan Bupati Lamongan yaitu Raden Panji

Puspokusumo dengan putri Sunan Pakubuwono II Raja Surakarta Adiningrat.

Raden Panji Puspokusumo memerintah di Lamongan tahun 1640 sampai 1665

M. kedua anak dari Bupati Lamongan, Panji Laras dan Panji Liris berparas

tampan, gagah, dan memiliki sifat yang baik.

78
Wawancara dengan Bapak M. Nashiruddin Amin, S.H.I., M.Hum. selaku Kiai di
Pondok Pesantren Tarbiyatut Tholabah juga sebagai Dosen di Sekolah Tinggi Agama Islam Sunan
Drajat (STAIDRA), Kranji, Paciran, Lamongan, tanggal 15 Februari 2015.
79
Wawancara dengan Bapak H. M. Lubabul Hadziq, Lc., M.H.I. selaku Kiai di Pondok
Pesantren Tarbiyatut Tholabah juga sebagai Dosen di Sekolah Tinggi Agama Islam Sunan Drajat
(STAIDRA), Kranji, Paciran, Lamongan, tanggal 16 Februari 2015.
47

Ketampanan, kegagahan serta sifat baik kedua pemuda ini terkenal ke

berbagai penjuru Lamongan bahkan sampai ke luar daerah Lamogan. Banyak

gadis-gadis yang jatuh cinta dan berusaha memikat hati kedua putra Bupati

Lamongan tersebut. Suatu hari Panji Laras dan Panji Liris pergi keluar

Lamongan untuk menghindari kemarahan ibunya. Kedua pemuda ini

walaupun punya sifat baik namun mereka memiliki kegemaran berjudi dan

menyabung ayam. Saat itu mereka mengikuti sabung ayam di Kabupaten

Wirasaba (sekarang Kertosono Nganjuk). Pelaksanaan sabung ayam tersebut

tepat berada di halaman depan rumah Kabupaten Wirasaba. Andansari dan

Andanwangi, putri Bupati Wirasaba merasa dikejutkan dengan suara

keramaian orang-orang di halaman depan rumahnya.

Keduanya mengintip dari jendela dan diketahuinya terdapat orang-

orang yang ramai menyabung ayam. Ketika memandang di sisi lain, putri

Bupati Wirasaba ini mendapati dua pemuda tampan yang tak lain ialah Panji

Laras dan Panji Liris. Seketika itu pula Andansari dan Andanwangi terpesona

dan langsung jatuh cinta pada pandangan pertama. Kedua putri Bupati

Wirasaba tersebut sebenarnya sudah dalam pingitan namun keduanya terlanjur

cinta kepada kedua pemuda yang dilihatnya. Andansari dan Andanwangi

membujuk ayahnya untuk segera meminang Panji Laras dan Panji Liris.

Awalnya ayahnya tidak mau memenuhi keinginan anaknya, terlebih lagi

seorang wanita harusnya diam di rumah saja menunggu pinangan dari laki-laki

yang mendatanginya. Karena didesak terus menerus oleh kedua putrinya,

Bupati Wirasaba akhirnya mau memenuhi keinginan putrinya dan bersedia


48

melamar Panji Laras dan Panji Liris. Bupati Wirasaba mengutus seseorang

untuk mengirim surat lamaran kepada Bupati Lamongan.

Setelah surat diterima oleh Bupati Lamongan, beliau menanyakan

kepada Panji Laras dan Panji Liris apakah sudah kenal dengan Andansari dan

Andanwangi. Keduanya menjawab tidak pernah walaupun sering menyabung

ayam di halaman rumah Bupati Wirasaba. Panji Laras dan Panji Liris juga

menegaskan bahwa mereka belum ingin menikah. Mendengar hal itu, Untuk

menjaga hubungan baik antara Kabupaten Lamongan dengan Kabupaten

Wirasaba, Raden Panji Puspokusumo menyarankan agar kedua puteranya

jangan menolak secara terang-terangan lamaran kedua puteri kembar Bupati

Wirasaba. Sebaiknya ditolak secara halus dengan cara mengajukan

persyaratan yang sulit diwujudkan.

Panji Laras dan Panji Liris mengajukan persyaratan agar kedua puteri

kembar Bupati Wirasaba ini datang ke Lamongan sambil masing-masing

membawa sebuah genuk (gentong) yang dibuat dari batu berisi air penuh, dan

membawa kipas dari batu yang akan dijadikan prasasti tentang pernikahan

jejaka kembar putera Bupati Lamongan dengan gadis kembar puteri Bupati

Wirasaba, dan diletakkan di alun-alun Kabupaten Lamongan. Selanjutnya

persyaratan ini disampaikan kepada utusan dari Wirasaba agar disampaikan

kepada Bupati Wirasaba.

Setelah mengetahui hasil lamarannya, Bupati Wirasaba memenuhi

persyaratan tersebut dan mengirim utusan kembali ke Kabupaten Lamongan

agar kedua putera Bupati Lamongan menjemput kedatangan Andansari dan


49

Andanwangi di seberang sungai Lamong yang merupakan perbatasan bagian

selatan wilayah Kabupaten Lamongan. Sesuai dengan janjinya kepada utusan

dari Kabupaten Wirasaba, maka Panji Laras dan Panji Liris menjemput

kedatangan Andansari dan Andanwangi di tepi sungai Lamong.

Setelah waktu yang disepakati tiba, Andansari dan Andanwangi yang

telah dibekali kesaktian oleh ayahnya, berangkat ke Lamongan sambil masing-

masing membawa sebuah genuk dari batu berisi air penuh, dan sebuah kipas

dari batu, dengan disertai beberapa orang pengawal. Sesampainya mereka di

sebelah selatan sungai Lamong, tampak di seberang sungai, yaitu di sebelah

utara sungai, rombongan Panji Laras dan Panji Liris yang telah menunggu

kedatangan rombongan dari Wirasaba. Pada waktu itu sungai Lamong tersebut

belum ada jembatannya.

Setelah ditunggu-tunggu, ternyata Panji Laras dan Panji Liris tidak

juga menyeberang menjemput kedatangan Andansari dan Andanwangi. Kedua

jejaka ini masih tetap berada di atas kuda tunggangannya. Karena didorongkan

rasa rindunya segera ingin bertemu dengan jejaka pujaan hatinya, dan merasa

kedua puteri ini yang ingin mendapatkan suami putera Bupati Lamongan

tersebut, maka Andansari dan Andanwangi mengalah, dan segera memulai

menyeberangi sungai Lamong. Karena air sungai makin ke tengah makin

dalam, dan agar kain yang dipakai tidak basah, maka Andansari dan

Andanwangi terpaksa harus menyingsingkan kainnya, sehingga kedua betis

gadis-gadis ini kelihatan.


50

Panji Laras dan Panji Liris yang sejak tadi memperhatikan dari

seberang sungai sangat terkejut setelah melihat bahwa betis kedua puteri

cantik itu penuh ditumbuhi rambut layaknya betis laki-laki. Di dalam hatinya

Panji Laras dan Panji Liris tidak dapat menerima Andansari dan Andanwangi

yang meskipun cantik tetapi betisnya penuh ditumbuhi rambut. Dengan segera

Panji Laras dan Panji Liris memutar kudanya dan melarikan dengan kencang

menuju Kabupaten Lamongan.80

Selain itu bapak Abdul Karim Djabir juga menyatakan bahwa

peristiwa Sunan Drajat yang dipinang oleh santrinya juga termasuk salah satu

kejadian yang menyebabkan adanya tradisi peminangan di Desa Kranji.

Ketika itu terdapat seseorang yang hendak menikahkan anaknya dengan Sunan

Drajat. Posisi beliau dalam pandangan masyarakat dipandang menempati

tingkat strata sosial yang tinggi. Kewibawaan yang disandang oleh Sunan

karena beliau termasuk waliyullah sehingga masyarakat sangat menghormati

beliau. Seseorang yang hendak menikahkan anak perempuannya ini termasuk

santri dari Sunan Drajat sehingga bagaimanapun juga orang tersebut bersikap

ta´ẓīm kepada Sunan Drajat. Melihat kondisi seperti ini dipandang tidak

semestinya jika Sunan Drajat yang melamar terlebih dahulu. Akhirnya

80
Wawancara dengan bapak H. Rahmad Dasy, M. Ag. selaku Kiai di Pondok Pesantren
Tarbiyatut Tholabah juga sebagai dosen di Sekolah Tinggi Agama Islam Sunan Drajat
(STAIDRA), Kranji, Paciran, Lamongan, tanggal 11 Februari 2015.
51

seseorang sekaligus santri ini memberanikan diri meminang Sunan Drajat,

karena hal ini sebagai penghormatan kepada beliau.81

Itulah beberapa peristiwa yang digunakan sandaran sebagai awal mula

terjadinya peminangan perempuan di Lamongan. Masyarakat setempat setelah

mengetahui peristiwa tersebut lambat laun banyak yang mengikuti praktek

peminangan tersebut. Praktek peminangan perempuan belangsung dan

berulang-ulang hingga sampai saat ini, sehingga muncul suatu tradisi yaitu

tradisi peminangan perempuan dengan berbagai tata cara pelaksanaannya.

Adat peminangan ini berlaku bagi kedua calon yang berasal dari

daerah Lamongan pantura (meliputi kecamatan Brondong dan kecamatan

Paciran) karena mempunyai adat yang sama. Hal ini masih berlaku hingga saat

ini. Jika salah satu calon mempelai berasal dari luar daerah dan mempunyai

adat yang berbeda maka hal ini tergantung kesepakatan bersama mengenai

siapa yang hendak melamar dahulu. Jika salah satu calon mempelai berasal

dari luar daerah namun memiliki adat yang sama maka akan lebih mudah dan

tinggal menyesuaikan saja dengan adat tersebut.

C. Tata Cara Pelaksanaan Tradisi Peminangan di Desa Kranji

Peminangan ialah menghubungkan kemauan antara laki-laki dan

perempuan terkait dengan jejodohan dengan perantara antar keluarga kedua

belah pihak. Menghubungkan kemauan disini mempunyai arti yaitu meminta

81
Wawancara dengan Bapak Drs. H. Abdul Karim Djabir, M.Ag. selaku Kiai di Pondok
Pesantren Tarbiyatut Tholabah juga sebagai Penghulu di KUA Kecamatan Paciran, Kranji,
Paciran, Lamongan, tanggal 14 Februari 2015.
52

restu kepada orang tua agar hubungan tersebut dapat berkelanjutan ke jenjang

yang lebih serius.82

Dalam tradisi peminangan di desa kranji terdapat beberapa tahapan

antara lain tahap meminta (njaluk), tahap melamar (ndudut mantu), dan tahap

menentukan hari akad nikah (neges dino atau golek dino). Di bawah ini akan

dijelaskan beberapa tahapan tersebut:

1. Tahap meminta (njaluk)

Sebelum tahapan ini dimulai, bermula dari perkenalan antara

seorang laki-laki dan perempuan dahulu. Dalam masa sekarang ini

biasanya dikenal dengan istilah pacaran. Sudah menjadi kebiasaan

masyarakat Kranji bahwa jika seseorang mempunyai anak perempuan

yang sudah dewasa merasa gelisah jika anak perempuannya tidak segera

menikah. Mind set seperti ini sering dijumpai di semua masyarakat Jawa

khususnya di Desa Kranji. Memang hal tersebut sedikit demi sedikit

disangkal masyarakat yang berwawasan luas, tapi tetap saja mayoritas

masyarakat ber-mind set demikian mengalahkan minoritas yang

berwawasan luas.

Fenomena pacaran sekarang ini memang semakin meluas, bahkan

banyak dijumpai remaja yang berusia belia sudah berpacaran. Orang tua

yang mengetahui anak perempuan sudah mempunyai pacar sangatlah

82
Wawancara dengan Bapak Drs. M. Ali Syamsuri selaku tokoh masyarakat juga sebagai
Dosen di Sekolah Tinggi Agama Islam Sunan Drajat (STAIDRA) Kranji, Paciran, Lamongan,
tanggal 10 Februari 2015.
53

mendukung anaknya karena mereka tidak bersusah payah mencarikan

pendamping hidup untuk anaknya, selain itu pula didukung dengan mind

set diatas. Mereka dengan bangga mengatakan kepada tetangga sekitarnya

bahwa anaknya telah laku.83

Apabila pasangan laki-laki dan perempuan yang berpacaran

mempunyai kehendak melanjutkan ke hubungan yang lebih serius maka

masing-masing pasangan tersebut memberitahukan kepada orang tua

mereka. Setelah orang tua mengetahui keseriusan anaknya yang

menghendaki untuk menikah maka yang berinisiatif melakukan

pendahuluan adalah pihak perempuan. Orang tua dari pihak perempuan

atau dengan mengutus seseorang yang berasal dari kalangan keluarganya

datang bersilaturrahmi ke rumah orang tua pihak laki-laki. Mereka

memberitahukan keseriusan hubungan anak perempuannya dengan anak

laki-laki yang didatanginya. Pihak dari anak perempuan meminta kepada

keluarga laki-laki bahwa anak laki-lakinya hendak dilamar oleh keluarga

pihak perempuan. Permintaan orang tua perempuan kepada orang tua laki-

laki inilah yang dinamakan dengan tahapan meminta atau masyarakat

Kranji menyebutnya dengan njaluk.84

83
Wawancara dengan Ibu Saidatul Maghfiroh, selaku warga juga sebagai Guru di Taman
Pendidikan al-Qur’an Tarbiyatut Tholabah, Kranji, Paciran, Lamongan, tanggal 13 Februari 2015.
84
Wawancara dengan Bapak H. Moh. Thoha Thoyyib selaku tokoh masyarakat, Kranji,
Paciran, Lamongan, tanggal 8 Februari 2015.
54

2. Tahap melamar (ndudut mantu)

Apabila masing-masing orang tua sudah deal atau setuju maka

dilanjutkan pada tahap ke dua yaitu melamar secara resmi atau masyarakat

menyebutnya dengan ndudut mantu. Dikatakan lamaran secara resmi

karena dalam tahapan ini dilaksanakan beramai-ramai dengan diikuti

seluruh keluarga baik dari pihak laki-laki maupun pihak perempuan.

Menurut Ibu Shofiyah yang dikatakan lamaran secara resmi ialah

keluarga perempuan datang kepada keluarga laki-laki dengan tujuan

meminta anaknya agar dapat dijadikan pendamping hidup bagi si anak

perempuan dari keluarga perempuan yang melamar tersebut dengan

membawa berbagai macam makanan dan jajanan. Tidak lupa membawa

sejumlah makanan khas yang dianggap sebagai syarat yang berupa

gemblong, wingko, lemet, lemper, dan sejenisnya.85

Berbagai jajanan lengket yang terbuat dari ketan seperti gemblong,

wingko, wajik, dan lemet memiliki makna agar seseorang yang dilamar

dapat menjadi pasangan yang saling mencintai seperti halnya sifat lengket

dari jajanan yang dibawa tersebut.

Ada juga sebagian orang yang selain makanan khas tersebut juga

ada yang disertai dengan buah-buahan, dan jenis buah-buahannya sesuai

dengan keinginan masing-masing orang. Mengenai jumlah atau harga

makanan tidak ada ketentuan khusus tergantung kemampuan masing-

85
Wawancara dengan Ibu Shofiyah selaku warga, Kranji Paciran, Lamongan, tanggal 9
Februari 2015.
55

masing orang dan jenisnya selalu ada serta tak pernah ketinggalan atau

terlupakan.

Pemberian jajan dan makanan tersebut oleh keluarga laki-laki

dibagikan seluruh keluarga, sanak kerabat, dan juga seluruh tetangga yang

ada di kanan kiri rumahnya. Hal tersebut merupakan kebanggaan keluarga

laki-laki dan sebagai bukti bahwa anak laki-lakinya telah mendapat

penghargaan yang sangat besar dan menganggap tidak sia-sia jerih payah

orang tuanya yang selama ini merawat sejak kecil.86

Makanan yang dibuat adalah berupa gemblong, lemet, wingko, dan

sebagainya. Sebenarnya ketiga jajan tersebut memiliki sifat yang sangat

lengket, semakin lama semakin lengket. Oleh masyarakat setempat hal itu

dimaksudkan agar kedua mempelai itu selalu lengket seumur hidup

sebagai mana lengketnya gemblong, lemet, dan wingko.

Tradisi lamaran di desa Kranji mempunyai landasan filosofis.

Bapak M. Ali Syamsuri mengungkapkan bahwa landasan filosofis adanya

adat atau tradisi lamaran perempuan ialah bahwa laki-laki yang diminta

oleh perempuan tersebut akan menjadi anggota baru keluarga perempuan

sekaligus akan menempati tempat tinggal di rumah perempuan selamanya.

Laki-laki ditarik dari keluarga asalnya kemudian menempati tempat baru

dengan mengemban tanggung jawab bagi keluarganya yang baru tersebut

sehingga pantas dirinya diminta oleh perempuan. Sejatinya laki-laki yang

diminta perempuan itu mempunyai makna bahwa laki-laki tersebut dinilai


86
Wawancara dengan Bapak H. Moh. Thoha Thoyyib selaku tokoh masyarakat, Kranji,
Paciran, Lamongan, tanggal 8 Februari 2015.
56

mahal karena orang tua laki-laki tersebut selama bertahun-tahun mendidik

anaknya dari kecil hingga besar dengan biaya yang banyak. Dapat

dikatakan bahwa biaya yang dikeluarkan keluarga pihak perempuan pada

waktu meminang diartikan sebagai biaya pengganti karena anak laki-laki

tersebut ditarik dari keluarga asalnya dan laki-laki diharuskan menempati

tempat tinggal atau lingkungan yang baru.87

3. Tahap Menentukan Hari (Neges Dino)

Setelah prosesi ndudut mantu dengan diserahkannya berbagai

makanan kepada pihak laki-laki, kemudian keluarga kedua mempelai

bermusyawarah mengenai apa yang masyarakat Kranji disebut neges dino.

Neges dino yaitu menentukan hari baik untuk melaksanakan akad nikah

dan resepsinya. Dalam mencari hari baik ini kedua belah pihak harus

sepakat mengenai pelaksanaan akad nikah dan resepsinya. Dalam

menentukan hari baik ini kedua belah pihak harus sepakat mengenai

pelaksanaan akad nikah tersebut, yaitu sesuai dengan keputusan yang telah

ditentukan bersama. Dengan demikian kesepakatan dalam peminangan

hanyalah merupakan janji akan melaksanakan akad nikah yang sah yang

menyebabkan kehalalan hubungan sebagai suami istri.

Dalam tahapan neges dino dapat dilakukan selang beberapa hari

setelah ndudut mantu. Kadang-kadang setelah ndudut mantu dilaksanakan,

87
Wawancara dengan Bapak Drs. M. Ali Syamsuri, selaku tokoh masyarakat juga sebagai
Dosen di Sekolah Tinggi Agama Islam Sunan Drajat (STAIDRA), Kranji, Paciran, Lamongan,
tanggal 10 Februari 2015.
57

minimal dua hari setelahnya keluarga laki-laki bergantian datang ke rumah

pihak perempuan untuk bersilaturrahmi dan membahas penentuan hari

akad nikah tersebut. Jadi penentuan hari akad nikah kedua mempelai atau

neges dino tidak harus dilaksanakan langsung seusai proses seserahan

makanan-makanan khas ketika ndudut mantu, namun dapat pula

dilaksanakan selang beberapa hari sesuai pelaksanaan ndudut mantu

tersebut.88

88
Wawancara dengan Ibu Nur Fadhillah selaku warga dan sebagai Guru di Taman
Pendidikan Al-Qur’an, Kranji, Paciran, Lamongan, tanggal 13 Februari 2015.
BAB IV

ANALISIS HUKUM ISLAM

TERHADAP TRADISI PEMINANGAN PEREMPUAN DI DESA KRANJI

KECAMATAN PACIRAN KABUPATEN LAMONGAN

Sebagaimana telah penyusun jelaskan dalam tulisan yang terdapat pada

bab-bab terdahulu mengenai peminangan atau lamaran yang berlaku di Desa

Kranji Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan maka pada dasarnya pihak

perempuan yang berinisiatif melaksanakan lamaran.

Pada dasarnya syariat Islam tidak menentukan keharusan dari salah satu

pihak untuk siapa yang harus memulai meminang dulu. Islam hanya menetapkan

adanya lamaran (khiṭbah) terlebih dahulu sebelum diadakannya pernikahan

supaya tidak terjadi kekecewaan. Islam juga tidak menentukan bentuk dan cara

pelaksanaan peminangan. Dengan demikian adat yang dilakukan oleh masyarakat

Desa Kranji dalam kaitannya dengan khiṭbah itu tidak bertentangan dengan

norma-norma yang ada dalam Islam. Di samping itu terdapat tuntunan dari

Rasulullah SAW tentang memilih pasangan yang hendak dinikahi sebagaimana

hadis di bawah ini:


89
‫حىكخ المزأة ألربع لمالٍا َلذسابٍا َلجمالٍا َلديىٍا فاظفز بذاث الديه حزبج يدك‬

89
Al-Bukhārī, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, III: hlm. 251, Hadis riwayat Jamaah Ahli Hadis kecuali At-
Turmużī dari Abū Hurairah.

58
59

Di dalam al-Qur’an dan Hadis ada isyarat dalam lafadz bahwa laki-laki itu

melamar perempuan seperti ayat dalam surat Al-Baqarah ayat 235 yang berbunyi:

‫َال جىاح عليكم فيما عزضخم بً مه خطبت الىساء أَ أكىىخم في أوفسكم علم هللا أوكم‬

‫سخذكزَوٍه َلكه ال حُاعدٌَه سزا إال أن حقُلُا قُال معزَفا َال حعزمُا عقدة الىكاح دخى‬
90
‫يبلغ الكخاب أجلً َاعلمُا أن هللا يعلم ما في أوفسكم فادذرَي َاعلمُا أن هللا غفُر دليم‬

Berdasarkan ayat di atas dapat diketahui bahwa apabila laki-laki telah

mempunyai kehendak untuk menikahi perempuan maka ia diperbolehkan

meminang dengan sindiran.

Juga hadis Nabi SAW:


91
‫ال ٌخطب أحدكم على خطبة أخٌه حتى ٌترك الخاطب قبله أو ٌأذن له‬

Ada juga hadis nabi yang menunjukkan adanya seorang perempuan yang

menawarkan dirinya kepada Rasulullah SAW yang berbunyi:

‫حدثنا قتٌبة حدثنا ٌعقوب عن أبً حازم عن سهل بن سعد أن امرأة جائت رسول هللا صلى‬

‫ ٌا رسول هللا جئت ألهب لك نفسً فنظر إلٌها رسول هللا صلى هللا‬: ‫هللا علٌه و سلم فقالت‬

‫علٌه و سلم فصعد النظر إلٌها وصوبه ثم طأطأ رأسه فلما رأت المرأة أنه لم ٌقض فٌها شٌئا‬
92
‫ أي رسول هللا إن لم تكن لك بها حاجة فزوجنٌه‬:‫جلست فقام رجل من أصجابه فقال‬

90
Al-Baqarah: (2): 235..
91
Aṣ-Ṣan´ānī, Subul as-Salām, III: hlm. 113. Hadis riwayat Al-Bukhārī dari Ibnu Umar.
92
Al-Bukhārī, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, III: 160. Hadis riwayat Qutaibah dari Ya´qūb
60

Menurut ulama Madzhab Maliki sebagaimana dikutip oleh Zahri Hamid

membolehkan wanita menentukan pilihannya di antara para peminangnya atau

sebagaimana wanita berhak mengabulkan sesuatu apabila hatinya cenderung

kepada satu maksud.93

Dalam pendapat ulama Madzhab Syafii tidak ditemukan penjelasan yang

menegaskan tentang boleh atau tidaknya wanita memulai atau mengambil inisiatif

meminang, namun kaidah yang berlaku tidak menghalangi terjadinya hal

demikian itu. Apabila setelah terdapat bukti riwayat tentang seorang sahabat

wanita yang menawarkan dirinya kehadapan Rasulullah SAW sebagaimana telah

penyusun kemukakan. Hanya saja perempuan meminang laki-laki dipandang

kurang lazim, kurang patut, mengandung rasa kurang menghormati, dan

mengurangi harga diri. Dalam keadaan biasa kurang sepatutnya wanita

mengambil inisiatif meminang, tetapi boleh jadi dalam keadaan tertentu hal ini

diperlukan dan diperbolehkan.

Di dalam nash maupun pendapat-pendapat ulama tidak ditemukan adanya

keharusan dari pihak mana yang meminang. Apabila dalam suatu nash tidak

diterangkan adanya perintah khusus dan begitu pula tidak ada larangan khusus

maka dapat dipastikan bahwa praktek peminangan di tengah-tengah masyarakat

itu diperbolehkan. Ketentuan seperti ini bersandar pada kaidah

93
Zahri Hamid, Peminangan Menurut Hukum Islam, hlm. 9.
61

94
‫األصل في األشياء اإلبادت‬

Dalam Kompilasi Hukum Islam pada pasal 1 huruf a bahwa “Peminangan

ialah kegiatan upaya ke arah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang pria

dengan seorang wanita”. Selain itu pada pasal 11 KHI juga disebutkan

“Peminangan dapat langsung dilakukan oleh orang yang berkehendak mencari

pasangan jodoh, tapi dapat pula dilakukan oleh perantara yang dapat dipercaya”.95

Dalam ketentuan peminangan tersebut di atas tidak ditentukan bahwa seorang pria

lah yang berhak untuk meminang. Hal ini mengindikasikan bahwa pada

prinsipnya KHI membolehkan peminangan yang dilakukan oleh pihak wanita

terhadap pria.

Pelaksanaan peminangan atau lamaran yang berlaku di Desa Kranji yang

mana keluarga dari pihak perempuan berinisiatif melakukan peminangan dan

sebagai pihak yang banyak mengeluarakan tenaga dan biaya. Bila dalam

masyarakat terdapat suatu adat yang berlaku sedemikian rupa hingga telah setara

dengan pernyataan lisan maka ´urf tersebut dapat menggantikan dalam tindakan

hukum, sebagaimana yang telah diungkapkan oleh ´Izzu ad-Dīn ibn Abdi as-

Salām dalam kitabnya Qawā´id al-Ahkām fī Maşālih al-Anām.96

94
Abdul Hamid Hakim, Mabādī’ Awwaliyah, (Jakart: Maktabah Sa’diyah Putra, t.t.), hlm. 47.
95
Pasal 1 dan Pasal 11 Kompilasi Hukum Islam
96
´Izzu ad-Dīn ibn ´Abdi as-Salām, Qawā´id al-Ahkām fī Maşālih al-Anām, (Kairo : Al-
Mutanabbi, t.t.), II :148-149.
62

Beberapa fuqaha mempunyai pendapat yang berbeda-beda mengenai

berlakunya adat atau ‘urf. Abu Hanifah memasukkan adat sebagai salah satu

fondasi dari prinsip istihsān. Sarakhsī dalam kitab Al-Mabsūṭ mengabarkan

bahwa Abu Hanifah menginterpretasikan makna aktual dari suatu adat sesuai

dengan makna yang secara umum dipakai masyarakat, namun adat tersebut harus

ditolak jika bertentangan dengan nash. Malik bin Anas percaya bahwa aturan-

aturan adat dari suatu negeri harus dipertimbangkan dalam memformulasikan

suatu ketetapan, walaupan beliau sendiri memandang adat Ahlul Madinah

(penduduk madinah) sebagai suatu variabel yang paling otoritatif dalam teori

hukumnya.

Syafi’I dan Ahmad Ibn Hambal tidak begitu memperhatikan adat dalam

keputusannya. Namun begitu, bukti adanya Qaul Jadīd Syāfi´ī yang

dikompilasikan setelah sampainya beliau di Mesir, ketika dikontraskan dengan

Qaul Qadīmnya yang dikompilasikan di Irak, merefleksikan adanya pengaruh dari

tradisi adat kedua negeri yang berbeda. Selain itu sikap menerima Ahmad Ibn

Hambal terhadap hadis yang lemah ketika beliau mendapatkan hadis tersebut

bersesuaian dengan adat setempat.97

Dari segi keabsahannya dalam pandangan syara’ ‘urf dibagi menjadi dua:

97
Ratno Lukito, Pergumulan antara Hukum Islam dan Adat di Indonesia, (Jakarta: INIS,
1998), hlm. 18-19
63

1. ‘Urf Şaḥīḥ ialah sesuatu yang telah saling dikenal oleh manusia dan tidak

bertentangan dengan dalil syara’ juga tidak menghalalkan yang haram dan

juga tidak membatalkan yang wajib.

2. ‘Urf Fasīd ialah sesuatu yang telah saling dikenal manusia tetapi sesuatu itu

bertentangan dengan syara’ atau menghalalkan yang haram dan membatalkan

yang wajib.98

Para ulama’ fiqh merumuskan kaidah-kaidah yang berkaitan dengan ‘urf

di antaranya yang paling mendasar adalah:


99
‫الثابج بالعزف كالثابج بالىص‬

Tentang syarat-syarat ‘urf yang bisa dijadikan sandaran para ulama ushul

fiqh menyatakan bahwa ‘urf baru dapat dijadikan sebagai salah satu hukum syara’

apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

1. ‘Urf itu berlaku secara umum. Artinya ‘urf itu berlaku dalam mayoritas kasus

yang terjadi di tengah-tengah masyarakat dan keberlakuannya dianut oleh

masyarakat tersebut.

2. ‘Urf itu telah memasyarakat ketika ada persoalan yang akan di tetapkan

hukumnya itu muncul. Artinya ‘urf yang akan dijadikan sandaran hukum itu

lebih dahulu ada sebelum kasus yang akan ditetapkan hukumnya.

98
Abdul Wahab Khalaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, hlm. 134.
99
´Izzu ad-Dīn ibn ´Abdi as-Salām, Qawā´id al-Ahkām fī Maşālih al-Anām, II: 165.
64

3. ‘Urf itu tidak bertentangan dengan yang diungkapkan secara jelas dalam

transaksi. Artinya dalam suatu transaksi apabila kedua belah pihak telah

menentukan secara jelas hal-hal yang harus dilakukan.

4. ‘Urf itu tidak bertentangan dengan nash sehingga menyebabkan hukum yang

dikandung nash itu tidak diterapkan.100

Dalam kitab Mabādī’ Awwaliyah terdapat kaidah fiqh sebagai berikut:


101
‫العادة مذكمت‬

Berdasarkan kaidah ushul fiqh yang telah penyusun jelaskan di atas,

menurut analisis penyusun bahwa tradisi peminangan perempuan di desa Kranji

tidak bertentangan dengan hukum Islam. Karena peminangan perempuan

merupakan adat atau tradisi yang sesuai dengan kriteria adat (´urf şaḥīḥ). Menurut

Imam Syafii ´urf şaḥīḥ itu bisa dijadikan sebagai sandaran istimbat hukum.

Begitu juga dengan pendapatnya Nasroen Harun dalam bukunya yang berjudul

Ushul Fiqh, ´urf itu baru dapat dijadikan sebagai salah satu hukum syara’ apabila

´urf şaḥīḥ itu tergolong ´urf şaḥīḥ.102

Dengan demikian dalam hukum Islam peminangan tidak harus dilakukan

oleh keluarga laki-laki yang meminang perempuan ataupun sebaliknya

perempuan yang harus melamar laki-laki. Dalam nash tidak dijelaskan secara

100
´Izzu ad-Dīn ibn ´Abdi as-Salām, Qawā´id al-Ahkām fī Maşālih al-Anām, hlm. 179.
101
Abdul Hamid Hakim, Mabādī’ Awwaliyah, hlm. 36.
102
Nasroen Haroen, Ushul Fiqh, hlm. 142.
65

terperinci mengenai peminangan sehingga masyarakat mempunyai praktek sendiri

dalam melangsungkan peminangan. Praktek peminangan perempuan inipun

kemudian menjadi tradisi masyarakat Desa kranji yang turun temurun diwariskan

dari nenek moyang terdahulu kepada anak cucu sekarang ini.

Perilaku masyarakat Desa Kranji atas peminangan perempuan yang

kemudian menjadi tradisi. Dalam istilah Antropologi Hukum dinamakan norma,

sebagaimana Hilman menyatakan bahwa norma merupakan pola ulangan perilaku

yang sering terjadi.103 Sebagai usaha manusia dalam masyarakat untuk

memelihara kemasyarakatannya, maka ia menghasilkan kesamaan dan keserasian

perilaku dari para anggota individu dalam masyarakat atau sebagian masyarakat

itu.

Telah dijelaskan pula pada bab sebelumnya beberapa peristiwa di masa

lampau yang menjadi latar belakang tradisi peminangan perempuan di Desa

Kranji. Peristiwa tersebut tidak terjadi satu atau dua kali saja, melainkan terjadi

berulang-ulang di tengah masyarakat. Karena kejadian yang berulang-ulang inilah

sehingga muncul suatu tradisi yang diakui masyarakat, dalam hal ini tradisi

peminangan perempuan.

Di dalam masyarakat yang bersifat dinamis selalu terjadi perubahan

termasuk berkembangnya penggunaan ungkapan-ungkapan tertentu secara

menyimpang dari pengertian aslinya. Dalam aneka hubungan dan tindakannya

103
Hilman Hadikusuma, Antropologi Hukum Indonesia, (Bandung: PT Alumni, 2010), hlm.
10.
66

subyek hukum tidak mungkin bisa lepas dari adat yang berlaku secara mapan di

masyarakatnya. Oleh karena itu dalam penerapan hukum di tengah-tengah

masyarakat kebenararan adat perlu diperhatikan. Perilaku-perilaku dan pernyataan

hukum seseorang atau masyarakat haruslah dianggap terikat dengan kebiasaan

semasa dan setempat.104

Seiring berkembangnya zaman tradisi peminangan perempuan sedikit

demi sedikit mulai ditinggalkan masyarakat. Masyarakat Desa Kranji dengan

kemajemukannya mempunyai karakteristik yang berbeda-beda. Tingkat

pendidikan menjadi indikator untuk mengetahui sejauh mana cara berpandangan

masyarakat mengenai lingkungan sekitarnya. Masyarakat yang berpendidikan

tinggi mulai meninggalkan tradisi peminangan perempuan. Mereka beranggapan

bahwa seorang perempuan seakan-akan tidak mempunyai harga diri sampai-

sampai harus melamar laki-laki.

Sedangkan bagi masyarakat yang tingkat pendidikannya rendah masih

menganggap tradisi peminangan perempuan harus tetap dijalankan sebagaimana

mestinya. Kalangan ini bersikap fanatik dengan tradisi peminangan perempuan

hingga sering kali muncul rasa gengsi. Jika terdapat dua pihak misalnya, pihak

laki-laki dari kalangan yang fanatik dengan tradisi sedangkan pihak perempuan

dari kalangan yang berwawasan luas karena pendidikannya tingggi keduanya

tidak akan menemuai titik kesepakatan dalam hal siapa yang meminang dahulu.

104
Lahmuddin Nasution, Pembaharuan Hukum Islam dalam Madzhab Syafii, cet I,
(Bandung:Remaja Rosdakarya, 2001), hlm. 155.
67

Bahkan kedua pasangan yang sudah lama menjalin ikatan cintanya dapat putus di

tengah jalan dan tidak direstui dikarenakan kedua pihak orang tua yang tidak

bersepakat tersebut.

Menyikapi hal di atas diperlukan rumusan yang tepat yaitu maşlaḥah

mursalah. Perlu menggunakan maşlaḥah mursalah agar menemukan kebijakan

hukum yang sesuai dengan cara pandang kedua pihak sebagaimana di atas.

Kemaslahatan kepada tradisi tentunya diutamakan mengingat tradisi itu hal yang

tidak dapat dilepaskan dari hubungan sosial kemasyarakatan. Kedua pihak yang

karakternya berbeda tersebut hendaknya salah satunya mengalah dengan

mengikuti tradisi yang ada, demi kemaslahatan agar kedua pasangan yang ingin

melanjutkan ke jenjang yang lebih serius tidak putus di tengah jalan. Lebih dari

itu, tradisi peminangan tidak hanya berkaitan dengan kedua pasangan laki-laki

dan perempuan tapi juga hubungan antar kedua keluarga. Maka demi terciptanya

hubungan yang harmonis dari pihak satu ke pihak lain maka diambil yang lebih

maşlaḥah yaitu dengan melaksanakan peminangan sebagaimana melaksanakan

tradisi peminangan yang semestinya.

Seseorang yang melaksanakan tradisi pemingangan dengan berbagai

proses dan tahapan yang ada harus mengetahui situasi dan kondisi. Tradisi

merupakan sebuah kepatutan, bukan sesuatu yang wajib. Ketika seseorang dalam

kondisi ekonomi yang tidak memungkinkan maka lebih baik ia melaksanakan

peminangan dengan sederhana. Islam mengajarkan manusia untuk melaksanakan

sesuatu sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya, dan syariat Islam pada
68

dasarnya untuk mencari kemudahan. Jika terdapat seseorang melaksanakan tradisi

peminangan yang mana biaya pelaksanaan tersebut diperoleh dari hasil utang

piutang agar diketahui oleh orang-orang di sekitarnya bahwa ia sedang

melaksanakan peminangan, maka hal tersebut dipandang kurang baik.

tidak diatur secara rinci dalam nash mengenai peminangan dikarenakan

terdapat hikmah syariat bagi masyarakat yang menjalankannya. Salah satunya

ialah ketika proses penentuan hari akad nikah atau neges dino yang dilaksanakan

setelah ndudut mantu. Kebutuhan dan kemampuan manusia itu berbeda-beda,

dengan itu manusia dapat berfikir mengira-mengirakan pada hari apa

melaksanakan akad nikah karena pelaksanaan akad nikah juga membutuhkan

biaya yang terbilang banyak.

Pelaksanaan jarak antara peminangan dengan hari akad nikah itu

tergantung kepada situasi dan kondisi, namun perlu digaris bawahi bahwa

semakin cepat dilaksanakan akad nikah semakin baik karena untuk menghindari

hal-hal yang tidak diinginkan. Hubungan antara laki-laki dan perempuan yang

baru dibingkai dengan peminangan, belum dibingkai dalam akad nikah itu belum

dikatakan sah. Demikian pula seseorang yang dilamar itu belum tentu menjadi

jodoh karena disebabkan beberapa hal.

Dalam realitanya banyak masyarakat yang menentukan hari akad nikah

dengan rentang waktu yang lama. Gangguan bisa muncul kapan saja jika rentang

waktunya lama. Terkadang ada pula pihak yang sudah dilamar kemudian selang

beberapa hari muncul tawaran-tawaran dari orang lain dikarenakan tidak segera
69

melaksanakan akad nikah. Tawaran-tawaran dari orang lain itu muncul ketika

pihak yang menjalankan tidak berkomitmen menjaga perjanjian yang telah dibuat.

Jika tawaran dari orang lain itu diterima maka kemungkinan besar lamaran yang

terdahulu itu dibatalkan. Jika terjadi pembatalan maka akan memicu rasa

ketidakharmonisan antara dua pihak bahkan bisa terjadi permusuhan. Maka dari

itu sangatlah perlu menjaga komitmen untuk menjaga hubungan dari kedua

keluarga yang sudah menyepakati hari akad nikah.


BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Setelah memberikan beberapa uraian serta melakukan analisis terhadap

permasalahan-permasalahan yang diteliti maka dapat ditarik kesimpulan sebagai

berikut:

1. Dari hasil penelitian di lapangan bahwa yang berperan dan yang berinisiatif

melakukan peminangan adalah dari keluarga perempuan. Pelaksanan tradisi

peminangan di Desa Kranji dilakukan dengan tiga tahapan. Pertama, njaluk

yaitu seorang utusan dari pihak laki-laki atau perempuan mendatangi rumah

orang tua seseorang yang dipinang untuk meminta anaknya dijadikan sebagai

calon suami atau istri bagi anak dari pihak yang meminang. Kedua, ndudut

mantu yaitu keluarga perempuan datang ke rumah keluarga laki-laki dengan

membawa seserahan berupa makanan khas yang bersifat lengket seperti

gemblong, wingko, lemet, dan sejenisnya. Ketiga, neges dino yaitu penentuan

hari di mana akan dilaksanakan akad nikah bagi calon pasangan suami istri

tersebut.

2. Pada dasarnya dalam hukum Islam tidak menentukan keharusan laki-laki yang

meminang perempuan ataupun sebaliknya pihak perempuan yang harus

melamar laki-laki, tapi hukum Islam hanya menganjurkan adanya lamaran

telebih dahulu sebelum diadakannya pernikahan supaya tidak terjadi

70
71

kekecewaan dalam rumah tangga. Tidak dijelaskannya aturan peminangan

secara rinci justru dapat diambil hikmahnya, yaitu masyarakat Desa Kranji

mempunyai praktek peminangan tersendiri dengan berbagai macam proses

dan tahapan yang diwariskan secara turun temurun dari leluhur. Praktek

tersebut dilakukan secara berulang-ulang hingga diakui kebenarannya.

Menurut hukum Islam tradisi tersebut diperbolehkan berdasarkan karen tradisi

tersebut termasuk ´urf . Tradisi yang sudah berlaku tidak dapat ditinggakan

begitu saja karena jika ditinggalkan seseorang tersebut akan menjadi bahan

pergunjingan masyarakat. Selain itu peminangan tidak semata-mata hanya

menjalin hubungan calon kedua pasanngan tetapi juga menjalin silaturrahmi

antar kedua keluarga. Agar dapat tercipta suasana yang harmonis maka

semestinya kedua keluarga menyadari pentingnya menjaga ikatan

peminangan.

B. Saran-saran

Setelah selesai melakukan penelitian sampai dengan kesimpulan tinjauan

hukum Islam terhadap tradisi peminangan perempuan di Desa Kranji Kecamatan

Paciran Kabupaten Lamongan, maka penyusun memberikan beberapa saran yang

berarti langkah selanjutnya dalam menghadapi problematika perubahan zaman

dan peradaban yang sedemikian maju dan beragam. Adapun saran itu sebagai

berikut:
72

1. Masyarakat Desa Kranji jika hendak melaksanakan peminangan dengan

mengikuti tradisi yang ada hendaknya mengetahui situasi dan kondisinya.

Terkadang terdapat suatu keluarga yang sangat menjunjung tinggi tradisi

tersebut tetapi kondisi ekonominya tidak memungkingkan sehingga ia rela

berhutang piutang demi menjalankan tradisi itu, maka hal ini tidaklah baik.

Sebaiknya peminangan dilakukan secara sederhana saja dengan modal

seadanya. Begitu juga bagi siapa yang berinisiatif meminang sebaiknya pula

memperhatikan pada situasi dan kondisi. Jika keluarga dari pihak laki-laki

mempunyai inisiatif yang lebih tinggi untuk meminang karena ia mempunyai

modal yang cukup maka semestinya laki-laki yang melamar perempuan

2. Ketika hendak mengambil keputusan dalam menghadapi problematika yang

semakin kompleks di zaman yang serba modern ini diperlukan suatu rumusan

yang sesuai. Maqāsid as-Syarī’ah merupakan rumusan yang paling tepat

karena melalui rumusan tersebut dapan diketahui sisi maslahat dan

madharatnya. Selain itu dibutuhkan pula ilmu-ilmu bantuan selain ilmu fiqh

dan ushul fiqh yaitu sosiologi hukum Islam dan antropologi hukum Islam

guna melengkapi analisis sehingga didapat suatu keputusan hukum yang

relevan sesuai dengan perkembangan zaman.

Demikianlah skripsi yang berjudul Tinjauan Hukum Islam terhadap

Tradisi Peminangan Perempuan di Desa Kranji Kecamatan Paciran Kabupaten

Lamongan yang dapat penyusun kemukakan. Pembahasan di dalamnya tentu saja

tidak dapat dilepaskan dari kekurangan dan kekhilafan.


73

Penyusun sangat mengharapakan kritik serta saran konstruktif dari

berbagai pihak khususnya yang konsen di bidang sosial kemasyarakatan dan

kebudayaan terhadap hasil analisis ini agar nantinya dapat dilakukan perbaikan.

Semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang

membacanya.
74

DAFTAR PUSTAKA

A. Kelompok al-Qur’an dan Ulum al-Qur’an

Al-Qur’an dan Terjemah, Departemen Agama RI, Semarang: PT Tanjung Mas


Inti, 1982.

Rifa’i, Muhammad Nasib Ar, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, alih bahasa
Syihabuddin, Jakarta: Gema Insani, 1999.

B. Kelompok Hadis dan Ulum al-Hadis

Bukhārī, al-Imām Abī Abdillah Muhammad Ibn Ismā´īl al, Şaḥīḥ al-Bukhārī,
Beirut: Dār al-Fikr, 1981.

Dāwūd, Abū, Sunan Abī Dāwūd, Beirut: Dār al-Fikr, t.t.

Anās, Malik bin, Al-Muwaṭṭa’, Kairo: Dār al-Ihyā’ al-Kutub al-´Arabiyyah, 1951.

Muslim, Imam, Şaḥīḥ Muslīm, Beirut: Dār al-Fikr, t.t.

Ṣan’ānī aṣ, Subul al-Salām, Beirut: Dār al Fikr, t.t.

Syaukānī as, Nayl al-Auṭar, Beirut: Dār al-Kutub al-Ilmiyah, t.t.

Ṭayib, Muhammad Abī aṭ, ´Aun al-Ma´būd bi Syarh Sunan Abī Dāwūd, Beirut:
Dār al-Fikr, 1979.

Tirmiżī, Muhammad bin ´Isā bin Sauroh at, Sunan Tirmiżī, Beirut: Dār al-Kutub
al-Ilmiyah, t.t.

C. Kelompok Fikih dan Ushul Fikih

Chaerul Umam dkk., Ushul Fiqih 1, Bandung: Pustaka Setia, 2003.

Djamil, Fathurrahman, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Logos, 1997.

Hakim, Abdul Hamid, Mabādī’ Awwaliyyah, Jakarta: Maktabah Sa’diyah Putra,


t.t.

Hamid, Zahri, Peminangan Menurut Islam, Jakarta: Bina Cipta, 1987.


75

Harjono, Anwar, Hukum Islam Keluasan dan Keadilannya, Jakarta: Bulan


Bintang, 1987.

Haroen, Nasroen, Usul Fiqh, Jakarta: Logos, 1996.

Jamāl, Ibrāhim Muhammad al, Fiqh Wanita, alih bahasa Anshori Umar,
Semarang: Asy Syifa’, 1986.

Jamali, R. Abdul, Hukum Islam, Bandung: Mandar Maju, 1992.

Khalaf, Abdul Wahab, Ilmu Ushul Fikih, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 1996.

Khasyṭ, Muhammad Utsmān al, Fiqh Wanita Empat Madzhab, alih bahasa Abu
Nafis Ibnu Abdurrohim, ed. Abu Khadijah & Rosyad Ghozali, Bandung:
Khazanah Intelektual, 2010.

Lukito, Ratno Pergumulan antara Hukum Islam dan Adat di Indonesia, Jakarta:
INIS, 1998.

Mudhofar, ”Adat Peminangan Ndudut Mantu di Desa Ketapangtelu Kecamatan


Karangbinangun Kabupaten Lamongan Ditinjau dari Hukum Islam”,
skripsi tidak diterbitkan, Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan
Kalijaga, 2005.

Mukhtar, Kamal, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Jakarta: Bulan


Bintang, 1974.

Muslim, Buchori, “Batasan Melihat Wanita dalam Peminangan Perspektif Ibnu


Hazm”, skripsi tidak diterbitkan, UIN Sunan Kalijaga, 2012.

Mutahhari, Mortezza, Wanita dan Hak-Haknya dalam Islam, alih bahasa M.


Hashim, Bandung: Penerbit Pustaka, 1986.

Nasution, Lahmuddin, Pembaharuan Hukum Islam dalam Madzhab Syafii, cet I,


Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001.

Rohman, Fathur, “Peminangan dan Perkawinan Adat Bali Studi Komparasi


Kompilasi Hukum Islam dengan Hukum Adat Desa Jimbaran”, skripsi
tidak diterbitkan, UIN Sunan Kalijaga, 2013.

Rusli, Narus, Konsep Ijtihad As-Syaukani Relevansinya Bagi Pembaharuan


Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Logos, 1999.
76

Sābiq as, Sayyid as, Fiqh as-Sunnah, Kuwait: Dār al Bayān, 1967.

Salām, ´Izzu ad-Dīn Ibn as, ´Abdi Qawā´id al-Ahkām fī Maşālih al-Anām, Kairo,
Al-Mutanabbī, t.t.

Siddik, Abdullah Hukum Perkawinan Islam, Jakarta: Tintamas, 1968

Sudarsono, Pokok-Pokok Hukum Islam MKDU, Jakarta: Rinneka Cipta, 1992.

Syarbīnī, Khātib asy, Mugni al-Muhtāj, Beirut: Dār al-Fikr, t.t.

Ulwan, Abdullah Nashih, Tata Cara Meminang dalam Islam, Solo: Pustaka
Mantiq, 1993.

Yasin, Nur Wahid, yang berjudul “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Sanksi
Pembatalan Peminangan Studi Kasus di Desa Ngeco Kecamatan Weru
Kabupaten Sukoharjo”, skripsi tidak diterbitkan, UIN Sunan Kalijaga,
2009.

Zahrah, Muhammad Abū, Al-Aḥwāl asy-Syakhşiyyah, Beirut: Dār al-Fikr, t.t.

Zuhaili, Wahbah az, al-Fiqh al-Islāmiy wa Adillatuh Juz VII, Damaskus: Dār al-
Fikr, 2008.

D. Lain-lain

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Akademika


Pressindo, 1995.

Abdurrahman, Dudung, Pengantar Metode Penelitian, Yogyakarta: Kurnia


Kalam Semesta, 2003.

Adi, Rianto, Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum, Jakarta: Granit, 2004.

Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta:


Rineka Cipta, 1996.

Aṭar, Abdun Nāşir Taufiq al, Saat Anda Meminang, alih bahasa, Abu Syarifah
dan Ummu Afifah, Jakarta: Pustaka Azzam, 2001.

Dahlan, Abdul Aziz et al. (Eds), Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT. Ikhtiar
Baru Van Hoeve, 1997.
77

Hadi, Sutrisno, Metodologi Research II, Yogyakarta : Andi Offset, 1987.

Hadikusuma, Hilman, Antropologi Hukum Indonesia, Bandung: PT Alumni,


2010.

Hawari, Dadang, Al-Qur’an Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa,


Yogyakarta: Dana Bhakti Primayasa, 1995.

Kompilasi Hukum Islam.

Moleong, Lexy J, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosda


Karya, 2002.

Munawwir, Ahmad Warson, Kamus Munawwir, Surabaya: Pustaka Progresif,


2002.

Rahman, Fazlur, Islam, alih bahasa Ahsin Muhammad, Bandung: Pustaka, 1998.

Suryabrata, Metodologi Penelitian, Jakarta: Rajawali, 1988.

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Yunus, Mahmud, Kamus Arab-Indonesia, Jakarta: Haida Karya Agung, 1990.


Lampiran I

TERJEMAHAN

No Hlm. Foot Note Terjemahan Teks-teks Arab

BAB I

Wanita itu dinikahi karena empat perkara: karena


hartanya, karena kebangsawanannya, karena
1 10 13 kecantikannya, da karena agamanya. Maka pilihlah
yang beragama, mudah-mudahan engkau memperoleh
keberuntungan.
Dan tidaklah salah bagi kamu meminang perempuan-
perempuan dengan sindiran atau kamu rahasiakan di
dalam hatimu sendiri. Allah mengetahui bahwa kamu
sesungguhnya akan selalu mengenang mereka, tetapi
2 10 14 janganlah kamu mengikat janji kepada mereka secara
rahasia kecuali untuk menyatakan perkataan yang baik,
dan janganlah kamu menginginkan mengikat tali
perkawinan sebelum habis iddah mereka. Ketahuilah
bahwa Allah mengetahui rahasia di dalam hatimu
karena itu berhati-hatilah kamu kepada-Nya.
Janganlah salah seorang diantara kamu meminang
3 11 16 pinangan saudaranya hingga peminang itu
mengizinkannya.
BAB II
Seorang janda lebih berhak menentukan (pilihan)
4 22 32 dirinya daripada walinya, dan seorang gadis diajak
berembuk, dan tanda izinnya adalah diamnya.
Bahwa terdapat seorang perempuan mendatangi Nabi
Rasulullah, wanita tersebut berkata: wahai Rasulullah
aku datang ke sini untuk menyerahkan diriku.
Kemudian Rasulullah menatapnya kemudian beliau
5 25 43 menurunkan pandangannya dan menundukkan
kepalanya. Ketika perempuan tersebut melihat
Rasulullah tidak memenuhi permintaannya, ia duduk.
Kemudian ada seorang laki-laki berdiri dari golongan
sahabat dan ia berkata: wahai Rasulullah, jika engkau

I
tidak mempunyai keinginan untuk menikah dengan
perempuan tersebut maka nikahkanlah aku
dengannya…
25-
6 44 Sama dengan Foot Note 14, hlm 10.
26
Karena itu nikahilah mereka dengan izin orang tuanya
dan berilah mereka maskawin yang pantas karena
7 26 45 mereka adalah perempuan-perempuan yang memelihara
diri, bukan pezina dan bukan (pula) perempuan yang
mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya.
Berkatalah bahwa pernah seorang sahabat meminang
seorang perempuan Anshor maka Rasulullah berkata
8 27 46 kepadanya: “sudahkah engkau melihatnya? Sahabat tadi
menjawab: belum. Rasulullah bersabda: pergilah dan
lihatlah dia karena sering pada mata orang Anshor ada
cacatnya.
9 27 47 Sama dengan Foot Note 16, hlm 11.

10 28 48 Karena hukum lantaran itu sama dengan hukum


tujuannya
11 29 49 Dan penuhilah janji, karena janji itu pasti diminta
pertanggungjawabannya
12 33 57 Sama dengan Foot Note 13, hlm 10.
Rasulullah menyuruh kawin dan melarang dengan
sangat hidup sendirian (tidak kawin) dan beliau
13 34 58 bersabda: kawinilah olehmu perempuan yang pecinta
dan peranak. Maka sesungguhnya aku bermegah-
megahan dengan banyaknya kamu itu terhadap Nabi-
Nabi yang lain di hari kiamat.
14 34 59 Sama dengan Foot Note 16, hlm 11.
Dari Mughirah bin Syu’bah bahwa ia meminang
36 62 perempuan, kemudian Nabi SAW bersabda: lihatlah
perempuan yang kau pinang karena dari hal itu
hubunganmu dapat langgeng
Jika seseorang dari kamu mau meminang seorang
36 63 perempuan kalau bisa lihat terlebih dahulu apa yang
menjadi daya tarik untuk mengawininya, maka
hendaknya lakukanlah
39 68 Rasulullah bersabda: janganlah salah satu dari kalian

II
menyepi dengan seorang perempuan yang mana
diantara dua orang tersebut tidak ada hubungan
mahram, dan Rasulullah bersabda: tidak menyepi antara
laki-laki dan perempuan kecuali terdapat orang ketiga
yaitu syetan
BAB III

BAB IV
58 84 Sama dengan Foot Note 13, hlm 11.
59 85 Sama dengan Foot Note 14, hlm 11.
59 86 Sama dengan Foot Note 16, hlm 11.
59 87 Sama dengan Foot Note 43, hlm 25.
61 89 Pada dasarnya segala sesuatu itu diperbolehkan

63 94 Sesuatu yang ditetapkan berdasarkan adat seperti yang


ditetapkan oleh nash
64 96 Adat itu bisa ditetapkan menjadi hukum

III
Lampiran II

BIOGRAFI ULAMA

A. Imam Bukhārī
Beliau lahir di Bukhara tahun 194 H dan wafat di Kartanak tahun 256 H.
Nama lengkapnya adalah Abdullah Muḥammad Ibn Ismā´īl Ibn al-Mughīrah
Ibn Bardizbah al-Bukhārī. Beliau adalah seorang periwayat dan ahli hadis
terkenal. Beliau lebih dikenal dengan gelar al-Bukhārī yang dibangsakan pada
tempat kelahirannya yaitu Bukhara. Ayahnya bernama Ismail terkenal sebagai
ulama yang saleh. Diantara kitab-kitabnya yang terkenal adalah Al-Jamī´ as-
Ṣaḥīḥ, At-Tarīkh aṣ-Ṣagīr, At-Tarīkh al-´Au’āt dan lain sebagainya.

B. Imam Muslim
Nama lengkapnya adalah Abu al-Husain Muslim Ibn al-Hijjaj al-Qusyairi an-
Naisaburi. Lahir pada tahun 202 H/ 817 M. Beliau dinisbatkan dengan nama
an-Naisaburi karena beliau lahir dan meninggal di Naisaburi.
Imam Muslim terkenal sebagai seorang yang dalam ilmunya, terutama dalam
bidang hadis. Ia mampu menghafalkan ribuan hadis dan mewariskannya
kepada generasi-generasi berikutnya melalui karya tulisnya dalam bidang
hadis dan ilmu hadis, yang mencapai jumlah sekitar 20 kitab. Di antara
kitabnya yang amat terkenal dan hingga kini tetap menjadi buku rujukan
utama hadis-hadis ṣaḥīḥ adalah: Al-Jamī´ as-Ṣaḥīḥ Muslim atau yang lebih
dikenal dengan nama Sahih Muslim berdasarkan topik-topik atau bab-bab
yang terdapat dalam kitab-kitab fiqh yang mencakup delapan pokok agama
yaitu: al-´Aqā’id, (aqidah) al-Aḥkām (hukum), as-Sīr (sejarah), at-Tafsīr
(tafsir), al-Fitnah (fitnah), Asyrat as-Sā´ah (kemasayarakatan), dan al-
Manāqib (ibadah).

IV
C. Abū Dāwūd
Nama lengkapnya adalah Sulaiman Ibn al-As´ād Ibn Ishāq Ibn ´Imrān al-Azdi
Abū Dāwūd as-Sijistānī. Beliau dilahirkan pada tahun 202 H dan wafat pada
tahun 257 H di Basrah. Beliau pernah mengembara ke berbagai kota untuk
mencari ilmu dan menulis hadis. Beliau terkenal lewat karyanya yang berjudul
as-Sunan yaitu kitab yang berisi himpunan hadis Nabi SAW lengkap dengan
sanadnya. Ulama sunni sepakat bahwa karya beliau itu termasuk ke dalam
kelompok lima hadis standar.

D. Imam Abū Hānifah


Nama lengkapnya adalah Abu Hanifah an-Nu’man Ibn Sabit bin Zuta at-
Tamimi dan terkenal dengan sebutan Abu Hanifah. Beliau adalah keturunan
Persia dan dilahirkan di Kuffah 86 H/700 M dan wafat pada tahun 150 H/770
M. Beliau memiliki pemikiran yang banyak menggunakan ra’yu daripada
qiyas. Ini karena beliau hidup da dibesarkan di Kufah jauh dari kota Makkah
dan Madinah tempat Nabi Muhammad membawa pertumbuhan dan
perkembangan umat islam. Disamping itu beliau memiliki kesibukan
berdagang sehingga untuk berhubungan langsung dengan hadis atau sunnah
Nabi dalam pertumbuhan dan perkembangan mazhabnya merupakan suatu
kesulitan. Menurut prinsip fiqh Hanafi diletakkan atas dasar member
kemudahan dalam beribadah dan bermu’amalah, menjaga pihak fakir miskin
dan duafa’. Memberikan kebebasan untuk berbuat sekedar kemampuannya
menjaga kemerdekaan dan kemanusiannya serta menjaga manfaat.

E. Imam Malik Ibn Anas


Nama lengkap beliau adalah Abu Abdullah Malik bin Anas al-Asybahi dan
terkenal dengan sebutan Imam Dar al-Hijrah (Imam Kota Madinah). Sebutan
ini diberikan kepadanya karena dalam sejarah hidupnya ia tidak pernah
meninggalkan kota Madinah kecuai hanya menunaikan ibadah haji ke
Makkah. Beliau wafat pada tahun 179 H/798 M. paman dan neneknya adalah
perawi hadis terkenal di Madinah dan banyak memberikan pelajaran hadis

V
kepada Imam Malik. Dengan demikian tidak mengherankan kalau beliau
menjadi salah satu seorang perawi hadis pula dan pemikiran hukumnya
banyak dipengaruhi oleh sunnah atau hadis

F. Imam asy-Syafi´ī
Nama lengkap beliau adalah Abu Abdullah bin Idris bin Syafi’I al-Hasyim al-
Mutallabi al-Quraisy dan terkenal dengan sebutan Imam Syafi’i. sesuai
dengan silsilah yang dimilikinya, beliau memiliki hubungan darah yang dekat
dengan Nabi Muhammad SAW yaitu melalui Abdul Muthalib dari suku
Quraisy. Beliau lahir di Gazza tahun 150 H/767 M dan wafat pada bulan pada
tahun 204 H/820 M di Fustat. Beliau adalah seorang ahli pikir Islam yang
besar di bidang fiqh. Metode pemikirannya bersifat menggabungkan aliran
naqli dan aliran ra’yu. Prinsip yang dipakai dalam hal ini adalah menekankan
penggunaan hadis yang benar-benar sahih dan meminimalisir penggunaan
pendapatnya sendiri secar bebas. Bagi beliau suatu hadis dapat dan tidak dapat
dipercaya tergantung pada sahihnya isnad atau sanad perawi hadis. Di
samping itu ia tidak saja berpijak pada materi fiqh semata tetapi juga meneliti
metode prinsip dari fiqh melalui ilmu ushul fiqh. Beliau merupakan perintis
utama dari ilmu ushul fiqh.

G. Imam Aḥmad Ibn Ḥanbāl


Nama lengkap beliau adalah Ahmad Ibn Muhammad Ibn Hanbāl Ibn Hilāl Ibn
Aswad Ibn Idrīs Ibn Abdullah Ibn Ḥasan as-Syaibānī al-Marwāzī. Lahir di
Baghdad pada tahun 164 H dan meninggal pada tahun 241 H. Beliau ahli di
bidang fiqh, hadis, dan ‘arabiyah serta mengetahui benar-benar mazhab para
sahabat dan tabi’in. Beliau menyusun kitab Musnād yang berisi 40.000 hadis.
Kitab beliau lainnya adalah Tafsīr al-Qur’ān, al-´Illah, An-Nāsikh wa al-
Mansūkh, Manāsik al-Kabīr, Manāsik aṣ-Ṣagīr, Al-Warā´ī, As-Ṣalah, Az-
Zuhūd, Al-Masā’il dan lain-lain.

VI
CURRICULUM VITAE
Nama : Moh. Aqil Musthofa
Tempat/Tanggal Lahir : Lamongan, 14 Juli 1993
Alamat Asal : Jl. KH. Musthofa RT.01 RW.05 Kranji Paciran
Lamongan Jawa Timur 62264
Riwayat Pendidikan : MI Tarbiyatut Tholabah (lulus tahun 2005)
MTs Tarbiyatut Tholabah (lulus tahun 2008)
MAK Tarbiyatut Tholabah (lulus tahun 2011)
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (Angkatan 2011)
Nama Orang Tua
a. Ayah : H. Qomaruddin Mahmud (Alm.)
b. Ibu : Hj. Mardhiyah Hayati
Alamat Orang Tua : Jl. KH. Musthofa RT.01 RW.05 Kranji Paciran
Lamongan Jawa Timur 62264

VII

You might also like