You are on page 1of 5

Zubda dan Dama

Kisah ini tentang seekor burung dalam sangkar dan seekor ikan kecil di dalam kolam.
Zubda dan Dama. Dua makhluk yang membentuk sebuah persahabatan unik bahkan di
anggap aneh. Sudah bertahun-tahun mereka hidup dalam perguruan para burung dan
perguruan para ikan. Tempat perguruan mereka saling bersebelahan. Meskipun antara dua
perguruan itu tidak ada unsur permusuhan tetapi persahabatan antar murid perguruan tidak
terjalin dengan baik. Bagi mereka sebuah hal yang aneh bahkan memalukan jika berteman
dengan beda spesies. Entah siapa yang menanamkan pemahaman itu. Padahal guru-guru dari
masing-masing perguruan selalu menganjurkan murid-muridnya untuk saling menjalin
persahabatan

“ Kalian selalu tidak mau tahu bahwa sikap kalian ini tanda akan kesombongan kalian yang
terus hidup dalam diri kalian. Bukankah Tuhan tidak membeda-bedakan makhluk-Nya?
Kenapa kalian harus membeda-bedakan seperti itu? Bukankah bersama tidak harus sama?”
perkataan itu tak bosan-bosannya selalu di berikan kepada murid-murid di masing-masing
perguruan, tapi kenyataannya nasehat itu hanyalah angin yang berhembus.

Tetapi berbeda dengan dua makhluk ini. Mereka tidak peduli jika berkali-kali mereka
disindir bahkan di ejek. Bagi mereka selama seseorang itu baik dan memberikan pengaruh
positif tak ada salahnya jika persahabatan itu terjalin sekalipun mereka berbeda. Pernah pada
suatu hari teman-teman Zubda mengolok-ngolok persahabatan mereka. “Hei kau, Zubda!
Bukankah seseorang yang menjadi sahabat kita bisa menjadi cerminan dari diri kita?
mungkin burung satu ini sebentar lagi tidak akan bisa terbang lagi melainkan bisa berenang di
lautan,”

Dengan tanpa rasa takut Zubda menjawab,” Kau memang benar, Kawan. Seseorang
yang menjadi sahabat kita bisa menjadi cerminan dari diri kita. Maka dari itu aku lebih
memilih untuk tidak berteman dengan yang kalian sekalipun kalian satu spesies denganku.
Karena kalian hanya bisa mengolok, sombong dan meremehkan orang lain. Karena aku tidak
ingin menjadi seperti itu.” Seketika tawa para burung terhenti. Dan bukan hanya Zubda yang
mengalami hal yang seperti itu, Dama pun tidak beda jauh.

Malam kembali datang menghiasi alam semesta. Semesta kembali menyapa penduduk
bumi. Bulan purnama bersinar terang berhasil menggeser awan yang dari tadi terus berusaha
menghalangi cahayanya. Bintang pun selalu setia menemani sang rembulan. Pengajaran di
masing-masing perguruan telah usai. Murid-murid baik dari bangsa ikan atau burung memilih
menghabiskan sisa malam untuk tidur daripada menghabiskan sisa malam seperti yang
dilakukan oleh Zubda dan Dama. Mereka berdua tidak bisa bertemu sebelum pengajaran di
perguruan mereka usai. Dan waktu malam adalah waktu yang tepat untuk bertemu. Sekalipun
tidak terlalu lama, karena mereka tentunyya harus segera istrahat pula, tetapi mereka begitu
menikmati waktu singkat itu. Mereka bercengkrama, bercerita apa saja yang mereka alami,
bercanda bahkan tidak jarang mereka berdiskusi dan berdebat tentang pelajaran yang mereka
dapatkan. Bahkan perdebatan mereka sering tidak ada titik terangnya, karena mereka berdua
memang murid yang kritis.
Tetapi malam ini berbeda. Mereka tidak berdebat, tidak bercanda. Zubda sudah
berdiri di tepi sungai, tempat perguruan Dama, menunggu Dama dengan memandang
purnama dengan pandangan kosong. Tidak lama kemudian Dama muncul. Separuh kepalanya
muncul ke permukaan air. Dama mengikuti apa yang di lakukan Zubda.

“Kawan, apa yang aku fikirkan saat ini sama seperti yang ada di fikiranmu?” Tanya Zubda.

“Mungkin juga, Kawan. Entah kenapa hari-hari ini ada perasaan aneh yang mengusikku.
Seperti ada kekuatan yang mendorongku untuk melangkah jauh setiap aku melihat lautan
yang luas dari batas pagar perguruanku. Aku ingin seperti ikan-ikan yang menari riang dalam
kebebasan.” Ujar Dama.

“Bukan Hanya kamu. Setiap senja datang, saat aku mengintip angkasa dari balik dedaunan
ada kekuatan yang mendorongku untuk terbang jauh, melesat sama seperti gerombolan
burung-burung di senja hari yang melantunkan lagu kebebasan dengan riang. Aku bisa
merasakan itu. Mereka terlihat bahagia sekali.” Kata Zubda.

“mungkin kebebasan lebih menjanjikan akan kebahagiaan dibandingkan dengan keterbatasan.


Kita bisa bebas memilih jalan apa yang kita tempuh,” sahut Dama.

Saat ini mereka mengalami kejenuhan. Mereka memang sudah lama berguru. Tetapi
anehnya guru-guru mereka tidak segera mengizinkan mereka unutk pergi ke alam bebas
seperti teman-teman mereka yang lainnya. Awalnya mereka bisa menerima hal itu, karena
mereka selalu berprasangka baik bahwa di balik keputusan guru-guru mereka pasti ada sisi
baiknya. Tetapi lama-kelamaan mereka merasa bosan. Di perguruan mereka murid-murid
dilarang terbang jauh di angkasa dan bagi para ikan mereka di larang berenang dl lautan
selama perguruan mereka belum tuntas dan belum mendapatkan izin guru-guru mereka. Jika
dikatakan bebal, kenyataaanya mereka sekarang sudah menjadi anak yang amatlah kritis.
Tetapi dalam kesiapan menghadapi alam bebas,mungkin masih dipertanyakan.

“ Kapan guru-guru kita mengangap kita mampu? Apakah dengan sekian tahun kita belajar
dan mengapdi dengan sungguh-sungguh masih dianggap tidak mampu? Apakah kita tidak
bisa meminta guru-guru kita untuk mengizinkan kita pergi? Apakah seumur hidup kita akan
habiskan dengan kebosanan ini? Bukankah kau juga tahu air yang tidak mengalir dan terus
menerus diam lama-kelamaan ia justru akan semakin busuk. Kita sudah memiliki yang cukup
untuk menghadapi dunia luar sama seperti teman-teman kita,”Dama mengeluarkan semua
pertanyaanyang selama ini mati-matian ia buang dari fikirannya tapi kenyataannya
pertanyaan itu masih saja bersemayam di dalam fikiranya. Zubda menasehati Dama untuk
tidak emosi. Sekalipun sebenarnya Zubda pun juga ingin protes akan hal itu tapi prasangka
baiknya kepada guru-gurunya lebih besar hingga mengalahkan keinginannya.

“Apakah benar kebebasan adalah segala-galanya, Nak?” Suara yang tak asing bagi Zubda itu
memutus pedebatan mereka. Guru para burung teryata sudah berdiri tidak terlalu jauh dari
mereka berdua. Ternyata ia sejak dari tadi mendengar permbicaraan dua makhluk ini. Zubda
dan Dama seketika diam.
“ Seekor sapi yang hanya dilihat dari kejauhan bisa jadi ia tampak seperti batu kecil. Saat kita
hanya melihat sekilas, melihat kejauhan dan menyimpulkan bahwa itu adalah bongkahan batu
maka kita telah tertipu. Sama seperti kalian saat ini. Kalian hanya melihat sekilas dan dari
kejauhan, tanpa tahu akan kebenarannya.”

Tiba-tiba guru para ikan ikut bergabung. Kedua guru itu bertegur sapa, tampak begitu akrab
seperti kawan lama yang lama tidak bertemu. Tanpa dijelaskan lagi kedua guru ini sudah tahu
apa yang menjadi kegundahan kedua murid mereka. Rindu akan kebebasan. Itulah yang
selalu menjadi impian hampir semua murid di kedua perguruan ini. Bukan karena betapa
bebalnya mereka berdua. Pada kenyataannya pengetahuan yang mereka miliki lebih luas
dibandingkan dengan teman-teman mereka tapi ke siapan mereka untuk menghadapi
kebebasan itu masih dipertanyakan. Di dunia kebebasan, begitu banyak pilihan yang
disuguhkan dan amat menggiurkan. Terkadang antara ke baikan dan keburukan sekilas
tampak tak ada bedanya karena keburukan di dunia kebebasan amatlah licik. Ia membungkus
dirinya dengan kebaikan sehingga tak sedikit orang yang terjebak. Hanya orang-orang bijak
dan perprinsip teguh yang mampu melihat mana yang baik dan buruk.

“ Kakak-kakak kalian yang kami izinkan untuk hidup di alam bebas dengan segenap
pengetahuan mereka yang tingkatannya berbeda-beda, tidak selalu mendapatkan kebahagian
seperti yang mereka bayangkan. Awalnya memang mereka akan merasa nyaman dan bahagia
tapi lama-kelamaan mereka akan merasakan kegersangan jiwa dan kebingungan. Karena
tidak sedikit dari mereka yang terjebak dalam keburukan yang dibungkus dengan kebaikan.
Pada akhirnya suara hati nurani mereka yang terus menjerit-jerit semakin lama suaranya
semakin melemah. Memang, terkadang kebebasan itu sendiri bisa menjadi belenggu,” kata
guru para ikan.

“Kami tahu guru. Kakak-kakak kami seperti itu karena mereka mudah terpengaruh dengan
kehidupan luar. Hanya untuk menggapai semua itu mereka rela merenggangkan prinsip-
prinsip yang sudah dipelihara dalam diri mereka. Tapi kami yakin kami tidak akan seperti itu.
Kami memiliki ilmu, kami memiliki prinsip, maka kami tidak akan terpengaruh,” jawab
Dama dengan tegas. Zubda dari tadi hanya bisa diam. Ia tidak bisa membantah gurunya
karena rasa hormatnya yang begitu besar ia juga tidak bisa menghentikan Dama karena Dama
memang keras kepala. Kedua guru itu tersenyum. Mereka sudah terlalu sering mendengar
pernyataan itu. Hampir semua siswa-siswa mereka yang tidak bisa menahan hasratnya untuk
segera bebas selalu mengatakan demikian.

Bagaikan sebuah kapur yang diletakan di samping gelas, tentu ia tidak akan hancur
dan larut. Tetapi berbeda lagi jika ia sudah dimasukkan ke dalam air. Perlahan-lahan air akan
menenggelamkannya, melarutkannya dan menghancurkannya. Hanya kapur berkualitas bagus
saja yang tidak akan mudah hancur. Itulah gambaran tentang keadaan siswa-siswa yang
mengatakan “aku tidak akan terpengaruh”. Tapi saat mereka sudah berkecimpung di dalam
kebebasan, kenyataan ternyata tak semanis ucapan.

Zubda dan Dama masih diam mendengarkan dengan seksama nasehat guru-gurunya.
Entah apakah sama apa yang ada difikiran Zubda dengan Dama.
belenggu.

*****************

“Aku akan tetap disini, Kawan,” Dama terkejut dengan pernyataan Zubda. Bukankah
Zubda juga ingin hidup bebas?

Disenja yang selalu menyanyikan lagu kebebasan? Ayolah, Zubda. Kita adalah sahabat. Kita
punya keinginan yang sama untuk bisa hidup bebas. Bukankah ini kesemapatan emas bagi
kita. Tanpa banyak pertimbangan guru kita memberi kita pilihan untuk tetap di sini atau
hidup di luar. Itu sebuah pertanda bahwa guru-guru kita merestui kita untuk bebas. Apakah
kau takut? Sejak kapan sahabatku ini bisa dikalahkan dengan ketakutan?”

Zubda masih diam. Ia mereka pilihan yang diberikan kepada mereka tampak begitu gamang.
Ia masih ragu untuk melangkah. Tiba-tiba kemarin guru-guru mereka kembali menemui
Zubda dan Dama di tepi sungai dan menyampaikan mereka diperbolehkan untuk hidup di
alam bebas. Mendengar pernyataan yang tidak di sangka-sangka itu, Dama seketika meloncat
riang dari air. Begitu pula Zubda yang terbang tinggi, berputar-putar. Saat-saat inilah yang
mereka nantikan. Tapi Zubda kembali berfikir. Keputusan guru mereka terasa begitu aneh.
Hingga akhirnya ia memutuskan untuk tidak mengikuti Dama.

“justru itulah yang janggal. Hidup itu ada waktunya. Aku tidak tahu kapan aku diciptakan,
kapan aku akan hidup d alam bebas dan kapan aku akan mati. Semua pasti ada waktunya.
Dan hati nuraniku berkata aku memang belum waktunya untuk hidup di alam bebas. Aku
merasa guru kita sedang menguji kita. Pernyataan guru itu, terasa begitu aneh. Lebih baik
memang kita di sini dulu, Dama,” ujar Zubda.

Dama justru marah kepada Zubda. Ia menganggap Zubda tidak tegas dan tekat Zubda begitu
ciut. Ia sudah tidak peduli lagi. Tidak mungkin ia menyia-nyiakan kesempatan ini. Tidak
peduli jika memang pada akhirnya persahabatan mereka berakhir di sini. Memang benar kata
teman-temannya. Berteman dengan beda jenis tak ada untungnya.

“Baiklah! aku putuskan untuk pergi! Aku tidak mengikuti sahabat yang lebih memilih
menuruti ketakutannya. Aku kira kau sahabat yang pemberani. Tapi aku kecewa dengan
ketidak ketegasanmu. Aku akan pergi menggapai kebebasanku. Selamat hidup didalam
kebosananmu.”

Dama pergi. Membawa kemarahan dan kekecewaan atas sahabatnya. Tetapi ia menangis.
Kata-katanya amat menyakitkan dan didalam hatinya ia benar-benar tidak ingin memutus
persahabatan dengan Zubda. Dialah sahabat terbaiknya. Sedangkan Zubda hanya memandang
kosong Dama yang berenang semakin jauh.

“Suatu hari nanti kau akan kembali. Aku tetap sahabatmu, Dama.”

***********

Malam ini bulan purnama. Cahayanya begitu indah menyapa penduduk bumi bersama
kerlip bintang yang tak pernah absen untuk ikut menyapa. Tetapi seindah apapun malam ini,
malam tetap terasa begitu sunyi. Desau angin malam yang dulu terasa seperti nyanyian merdu
hanyalah nyanyian sunyi yang menyayat hati Zubda. Entah purnama ke berapa saat ini, yang
ia lewatkan seorang diri. Ia bertengger di atas bongkahan batu besar di tepi sungai. Biasanya
Dama selalu datang tidak lama setelah kedatangan Zubda. Ia merindukan sahabatnya.tak
sekalipun Dama berkunjung menemuinya. Mungkin Dama benar-benar kecewa kepadanya
hingga ia tak tak mau menemuinya lagi. Hanya Dama sahabat terbaiknya. Sekalipun ia amat
keras kepala.

Malam semakin dingin. Sudah saatnya ia kembali ke perguruannya. Tapi ia masih


enggan pergi. Barangkali di purnama kali ini Dama akan datang. “Zubda, kau harus segera
kembali. Sekarang sudah tengah malam,” tegur temannya yang tiba-tiba datang
membuyarkan lamunannya. “Oh.. iya. Aku akan segera pulang. Kau duluan saja. Sebentar
lagi aku akan menyusul.” Teman Zubda langsung pergi. Setelah lima menit berlalu Zubda
memutuskan pergi. Baru saja ia membalikan badan, mengepakkan sayap, siap untuk terbang,
tiba-tiba ada yang memanggilnya.

“Zubda, bagaimana kabarmu, Kawan,” zubda terbelalak saat tahu Dama muncul di atas
permukaan air. Apakah ini kenyataan atau hanya imajinasi yang ia buat sendiri. Ia masih tak
percaya Dama ada di hadapannya.

“Da...Dama? Kamu kah itu?”

“Aku lelah, Kawan,” mata Dama perlahan tertutup. Ia tak sadarkan diri. Tubuhnya mulai
mengambang di atas permukaan air dan perlahan menepi.

“Dama! Ada apa dengan dirimu?! Bangun Dama! Bangun!” Zubda terus berteriak
membangunkan Dama. Air matanya meleleh. Apa yang terjadi pada diri sahabatnya sehingga
ia menjadi seperti ini. Teriakan Zubda di tengah malam membuat penghuni dua perguruan ini
terkejut. Cepat-cepat mereka pergi ke tepi sungai. Dan betapa terkejutnya mereka saat tahu
Dama-yang dikenal semua siswa akan kisahnya- kembali tetapi dalam keadaan yang
menyedihkan.

You might also like