You are on page 1of 3

Sekilas Mengenai Betawi

Suku Betawi merupakan orang-orang yang merupakan keturunan dari penduduk di Kota Batavia.
Kota ini merupakan nama lama Kota Jakarta saat berada dalam masa penjajahan Belanda. Nama
Betawi sendiri berasal dari Batavia, lalu berubah menjadi Batavia, Batawi dan kemudian
menyesuaikan lidah masyarakat lokal menjadi Betawi.
Secara keseluruhan, baik dari tradisi, budaya, kebiasaan, kesenian, kuliner, suku Betawi banyak
terinspirasi dari Melayu, Islam, dan Tionghoa. Terlebih corak Melayu dan Islam sangat kental di sana.

1. Kebaya Encim
Salah satu pakaian adat Betawi yang paling sering ditampilkan adalah Kebaya Encim untuk
wanita.

Di masa lalu, saat budaya Eropa masih memiliki pengaruh yang kuat di Batavia atau Jakarta,
kebaya ini terbuat dari kain berbahan lace atau brokat buatan Eropa yang dikombinasikan
dengan bordiran penduduk lokal. Hasilnya, kebaya tersebut tampak seperti langsung dibordir.
Bordiran tersebut biasanya bermotif bunga yang dapat Anda temukan pada bagian bawah
kebaya atau pergelangan tangan.

Bordiran yang digunakan dalam Kebaya Encim ini juga beragam, salah satunya bordiran
yang berlubang banyak yang disebut kerancang. Jaman dulu, kerancang lembut dan
tampilannya halus mendekati sempurna.

Sekarang, pembuatan kerancang banyak yang menggunakan bantuan teknologi komputer.


Hasilnya memang lebih cepat dan lebih inovatif namun kerancang tersebut terasa agak kasar,
keras, dan kurang sempurna. Jika dibandingkan dengan kerancang yang dibuat dengan
tangan, hasilnya sangat jauh.

Bagian leher membentuk huruf V (V-neck). Model asli Kebaya Kerancang meruncing ke
bawah di bagian muka bawahnya. Runcingan tersebut berukuran 12 cm sampai 30 cm dari
dasar panggul wanita. Model meruncing ini disebut dengan Kebaya Sonday.

Kemudian bawah lengan melebar sehingga tampak agak sedikit besar dibandingkan ukuran
lingkaran di pangkal lengan. Model yang disebut Kebaya Model Goeng ini kembali diminati
oleh banyak kalangan wanita masa kini. Kebaya Encim mengalami modifikasi dan
modernisasi dengan adanya bahan-bahan seperti brokat, silk, organdi, sutra alam, dan
lainnya.

Sebagai bawahannya, Kebaya Encim dipadukan dengan kain sarung dengan model yang
beragam. Mulai dari model buket, pucuk rebung, kain pagi sore (kain panjang yang
disarungkan di pinggang, buket, tumbak, atau belah ketupat. Namun demikian, banyak
remaja putri yang memadukan Kebaya Encim dengan celana panjang ataupun rok panjang.

Pada awalnya, tidak terdapat selendang pada setelan Kebaya Encim. Namun seiring
berjalannya waktu, penambahan selendang menjadi modifikasi pakaian adat Betawi ini.
Hasilnya di luar dugaan, penggunaan selendang ternyata dapat menjadikan wanita yang
mengenakannya lebih berwibawa dan lebih resmi.

Untuk menambah kecantikan, para wanita mengenakan perhiasan berupa anting air seketel
atau giwang asur, peniti rantai susun tiga, cincin bermata, gelang listering atau gelang ular,
dan kalung tebar. Yang terpenting, perpaduan perhiasan dan pakaian serasi. Sehingga terserah
mana saja yang ingin dipakai

Para wanita menggunakan selop tertutup sebagai alas kaki. Paduan Kebaya Encim dari atas hingga
bawah bertujuan untuk memelihara kehormatan dan keanggunan perempuan. Filosofi dari pakaian
adat Betawi satu ini adalah keindahan, kedewasaan, kecantikan, keceriaan, kearifan, serta taat aturan
dan tuntunan leluhur.

2. Baju Sadaria
Baju Sadaria digunakan oleh para laki-laki Betawi dan seringkali dipasangkan dengan
Kebaya Encim. Pakaian ini sering digunakan dalam festival Abang None dan juga Pekan
Raya Jakarta. Penampilan pakaian yang sederhana namun bersahaja ini tentu familiar bagi
Grameds semua.

Baju Sadaria ini berupa baju taqwa atau baju koko yang berkerah Shanghai (kerah tertutup)
setinggi 3-4 cm. Umumnya pakaian ini berwarna putih dan berlengan panjang. Jika dilihat
dari sejarah, pakaian ini banyak terinspirasi oleh budaya China yang para lelakinya banyak
mengenakan baju koko. Disebut baju koko karena pakaian ini banyak dipakai oleh para koko

(kakak laki-laki dalam bahasa Mandarin).

Baju Sadaria terbuat dari kain katun, namun terkadang ada juga yang terbuat dari kain sutra
dan sutera alam linen. Baju ini berkancing dari atas sampai bawah serta mempunyai saku di
sisi kanan dan kiri bagian bawahnya. Tidak jarang di sisi samping bagian bawah diberi
belahan sekitar 15 cm agar pria yang mengenakannya tidak merasa terlalu ketat dan agak
bebas.

Terkadang, Baju Sadaria diberi bordiran pada kerah bagian tengah atau sebelah kanan kiri.
Bahan yang dipilih dalam membuat bordiran tersebut bisa katun, sutera alam, atau lainnya.

Baju Sadaria dipadankan dengan dua pilihan celana. Yakni, celana bahan yang panjang
berwarna gelap atau celana panjang komprang dengan motif batik.

Pemilihan celana akan mempengaruhi alas kaki yang harus dikenakan. Jika celana panjang
gelap yang dipilih, maka sepatu pantofel yang pantas dikenakan agar tampak selaras. Jika
celana panjang batik dengan model komprang yang digunakan, maka sandal terompah lebih
cocok untuk dipilih sebagai alas kaki.
Sebagai pelengkap, para pria Betawi menggunakan kopiah (peci) berwarna hitam polos
sebagai penutup kepala. Kemudian terdapat kain sarung yang dilipat (cukin) digantungkan di
leher yang biasanya dipegang dengan kedua tangan saat sesi foto. Tujuan pemakaian cukin
untuk dijadikan sarung atau sajadah saat melakukan ibadah shalat, senjata atau alat untuk
melawan penjahat yang ditemui.

Baju Sadaria ini dipakai oleh karyawan dari instansi pemerintah ataupun swastapada waktu-
waktu tertentu, acara adat, atraksi pariwisata, menyambut tamu istimewa, dan peringatan hari
besar. Tidak ada filosofi khusus dari pakaian ini. Hanya saja pakaian ini untuk menunjukkan
identitas pemakainya sebagai laki-laki yang rendah hati, dinamis, sopan, dan memiliki
wibawa.

You might also like