You are on page 1of 13

MAKALAH SOSIOLOGI HUKUM

LGBT DALAM PERSPEKTIF HUKUM DAN


HAM DI INDONESIA

Oleh:
Farid Teguh Prasetiawan
A. Latar Belakang
LGBT adalah istilah yang dipakai untuk mewakili mereka yang tergolong
dalam kelompok lesbian, gay, biseksual dan transgender. Meski demikian, istilah
ini dibuat untuk mewakili berbagai budaya berdasarkan perbedaan identitas
seksualitas dan gender. Sehingga istilah ini pun digunakan untuk mewakili orang
non heteroseksual dan kelompok cisgender lainnya selain kelompok lesbian, gay,
biseksual dan transgender1.
Secara ilmiah LGBT dikenal dengan istilah Homoseksualitas.
Homoseksualitas berasal dari bahasa Yunani yaitu homoios, sama dengan bahasa
Latin sexus jenis kelamin merupakan pengertian umum mencakup banyak macam
kecenderungan seksual terhadap kelamin yang sama, atau secara lebih halus
adalah suatu keterarahan kepada kelamin yang sama homotropie; tropos arah,
haluan. Istilah homoseksualitas tampak terlalu menekankan aspek seksual dalam
arti sempit. Maka dianjurkan menggunakan istilah ’homophili’ philein mencintai.
Sedangkan defenisi umum adalah seorang homophil ialah seorang pria atau
wanita, tua atau muda, yang tertarik atau jatuh cinta kepada orang yang berjenis
kelamin sama, dengan tujuan mengadakan persatuan hidup, baik untuk sementara
maupun untuk selamanya. Dalam persatuan ini, mereka mengahayati cinta dan
menikmati kebahagiaan seksual yang sama seperti dialami oleh orang
heteroseksual.
Homoseksualitas sendiri adalah rasa ketertarikan romantis dan atau seksual
atau perilaku antara individu berjenis kelamin atau gender yang sama. Sebagai
orientasi seksual, homoseksualitas mengacu kepada pola berkelanjutan atau
disposisi untuk pengalaman seksual, kasih sayang, atau ketertarikan romantis
terutama atau secara eksklusif pada orang dari jenis kelamin sama,
Homoseksualitas juga mengacu pada pandangan individu tentang identitas pribadi
dan sosial berdasarkan pada ketertarikan, perilaku ekspresi, dan keanggotaan
dalam komunitas lain yang berbagi itu.

1
Swain, Keith W. 21 Juni 2007. Gay Pride Needs New Direction. Denver Post,
https://www.denverpost.com/2007/06/21/gay-pride-needs-new-direction/. Diakses tanggal 29-04-
2021
Kartono mendefenisikan homoseksual sebagai relasi seks jenis kelamin
yang sama, atau rasa tertarik dan mencintai jenis seks yang sama. Homoseksual
dapat dimasukkan ke dalam kajian abnormalitas seksual yang terdapat dalam
psikologi abnormal2.
Sedangkan Dede Oetomo memberikan defenisi homoseksual sebagai
orientasi atau pilihan seks yang diarahkan kepada seseorang yang berjenis
kelamin sama atau ketertarikan orang secara emosional dan seksual kepada
seseorang dari jenis kelamin yang sama3.
Pada awalnya istilah homoseksual digunakan untuk mendeskripsikan
seorang pria yang memiliki orientasi seksual terhadap sesamanya. Namun dalam
perkembangannya, istilah homoseksual digunakan untuk mendefenisikan sikap
seorang individu (pria maupun wanita) yang memiliki orientasi seksual terhadap
sesamanya. Adapun ketika seorang pria memiliki orientasi seksual terhadap
sesama pria maka fenomena tersebut dikenal dengan istilah gay, sementara
fenomena wanita yang memiliki orientasi seksual terhadap sesamanya disebut
lesbian. Baik gay maupun lesbian, pada saat ini keduanya memiliki citra yang
negatif dalam masyarakat.
Dalam konteks penyimpangan sosial, LGBT dikatakan menyimpang karena
tidak sesuai dengan norma dan nilai yang berlaku dalam masyarakat. Secara
sosiologis LGBT dianggap sebagai perilaku yang tidak sesuai dengan nilai-nilai
kesusilaan dalam sudut pandang masyarakat luas. Robert M.Z. Lawang
menyatakan bahwa4: “Perilaku menyimpang sebagai sebuah tindakan yang
menyimpang dari norma-norma yang berlaku dalam suatu sistem sosial
masyarakat dan menimbulkan usaha dari mereka yang berwenang untuk
memperbaiki hal tersebut. Gay dan lesbian merupakan salah satu bentuk perilaku
menyimpang yang bukan hanya secara gamblang telah menyalahi norma-norma
yang ada dalam masyarakat namun turut mendorong terciptanya upaya sadar dari

2
Kartini Kartono. Psikologi Abnormal dan Abnormalitas Seksual. (Bandung: CV. Mandar Maju.
1989), hal. 247.
3
Dede Oetomo, Memberi Suara Pada yang Bisu. (Yogyakarta: Galang Press 2001), hal. 6-7.
4
Remina Tarigan, Masalah-masalah sosial, http://reminatarigan.blogspot.co.id/2014/11/masalah-
sosial-homoseksualitas_10.html. Diakses pada 29-04-2021.
sebagian elemen masyarakat yang berwenang untuk menekan perkembangan
komunitas gay dan lesbian dalam suatu masyarakat.”
LGBT merupakan topik yang sangat kontroversial, bukan hanya dari sisi
akademis, tetapi juga di dalam realitas pragmatis dalam masyarakat. LGBT acap
kali disepelekan dan dianggap sebagai subjek yang tidak penting di dalam
khazanah ilmiah, terlebih di komunitas keagamaan yang secara mutlak telah
menfatwakan LGBT adalah haram. Alasannya sederhana, LGBT merupakan
wujud keganjilan dan upaya melawan takdir Tuhan.

B. Permasalahan
Pada umumnya, Kelompok LGBT di bawah payung Hak Asasi Manusia
meminta masyarakat dan Negara untuk mengakui keberadaan komunitas ini.
Atas dasar itu pula, komunitas LGBT seakan-akan memiliki payung hukum
(legalitas) dalam mengaktualisasikan dan mengembangkan komunitasnya. Selain
itu, komunitas LGBT cenderung meminta kepada masyarakat luas dan negara
khususnya untuk menghormati keberadaannya agar dapat berinteraksi dengan
masyarakat lainnya sebagaimana mestinya. Atas fenomena yang berkembang
tersebut, menarik untuk dikaji tentang LGBT dalam perspektif hukum positif di
Indonesia, dalam hal ini di Indonesia tidak mengakui keberadaan dari komunitas
LGBT.
Berdasarkan uraian di atas maka menjadi rumusan masalah yaitu:
Bagaimana kedudukan LGBT dalam ketentuan hukum dan HAM di Indonesia?

C. Pembahasan
Sebagai gambaran umum tentang hak asasi LGBT di Indonesia, hukum
nasional dalam arti luas tidak memberi dukungan bagi komunitas LGBT
walaupun tidak ditetapkan sebagai tindak pidana. Perspektif hukum positif
Indonesia belum mengatur secara eksplisit tentang LGBT, misalnya Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia dan Rancangan Undang-
Undang KUHP Indonesia tidak melarang biseksual dan transeksual atau
transgender dan tidak menentukan hukuman bagi orang yang melakukan LGBT.
Pasal 292 KUHP menyebutkan bahwa: Hukuman bagi pelaku persetubuhan
sejenis kelamin dengan orang belum dewasa yaitu dikenakan penjara paling lama
lima tahun. Pasal 492 RUU KUHP hanya melarang persetubuhan sejenis kelamin
dengan orang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun, dikenakan
hukuman penjara paling singkat satu tahun paling lama tujuh tahun.
Reaksi penentangan yang kuat terhadap kaum LGBT yang dianggap sebagai
ancaman bagi bangsa mungkin mengejutkan, namun tidak terjadi begitu saja.
Khusus untuk isu homoseksualitas, Boellstorff, pada 2007, menyatakan bahwa,
”Saat bangsa dianggap terancam terdisintegrasi, upaya dari orang-orang yang
berada di luar norma untuk masuk ke dalam masyarakat sipil bisa dianggap
sebagai ancaman untuk bangsa itu sendiri5.
Pandangan kaum LGBT di Indonesia dalam hal ini berkaitan dengan hukum
nasionalnya dalam arti luas tidak memberi dukungan bagi kelompok LGBT
walaupun homoseksualitas sendiri tidak ditetapkan sebagai tindak pidana. Baik
perkawinan maupun adopsi oleh orang LGBT tidak diperkenankan. Tidak ada
undang-undang anti diskriminasi yang secara tegas berkaitan dengan orientasi
seksual atau identitas gender. Hukum Indonesia hanya mengakui keberadaan
gender laki-laki dan perempuan saja, sehingga orang transgender yang tidak
memilih untuk menjalani operasi perubahan kelamin, dapat mengalami masalah
dalam pengurusan dokumen identitas dan hal lain yang terkait.
Berikut adalah undang-undang yang paling berkenaan dengan konteks
seksualitas.
1. Pasal 292 KUHP yang berbunyi: “Orang dewasa yang melakukan
perbuatan cabul dengan orang lain sesama kelamin, yang diketahuinya
atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa, diancam dengan pidana
penjara paling lama lima tahun”. Pasal ini memang melarang aktivitas
seksual antara sesama jenis, namun subyek hukum yang diatur dalam pasal
tersebut adalah orang yang belum dewasa. Dalam pasal tersebut juga tidak
ada unsur mengkriminalisasi seseorang murni semata-mata karena

5
Boellstorff, A Coincidence of Desires, (Durham, NC: Duke University / Duke University Press,
April 2007), hal. 176.
orientasi seksualnya, melainkan karena perbuatan cabul orang tersebut.
Sehingga masih dimungkinkan bagi seseorang untuk terbuka mengenai
seksualitasnya, tanpa ada resiko kriminalisasi terhadapnya. Terdapat upaya
untuk memperluas cakupan pasal ini agar juga mengatur kaum LGBT
secara lebih luas, tidak terbatas pada subjek dibawah umur saja. Upaya
juga dilakukan untuk memperluas cakupan pasal 284 dan pasal 285 untuk
mencakup kelompok LGBT. Upaya tersebut dilancarkan dalam bentuk
permohonan uji materi terhadap ketiga pasal KUHP tersebut, yang
kemudian ditolak oleh MK melalui Putusan MK Nomor
46/PUU-XIV/2016.
2. Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang
berbunyi: “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan
seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga
atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa”. Dalam rumusannya pasal ini jelas mendefinisikan subyek
hukum dari sebuah perbuatan perkawinan, yaitu seorang pria dan seorang
wanita, sehingga mengacu pada rumusan tersebut, perkawinan antar
sesama pria atau sesama wanita tidak diperbolehkan. Hal ini dapat dilihat
sebagai pembatasan terhadap hak-hak kaum LGBT, karena secara hukum
tidak diberikan kemampuan untuk berkeluarga sesuai dengan preferensi
mereka.
3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006, tentang Administrasi
Kependudukan yang ketentuan mengenai perkawinan yang sah dalam
undang-undang tersebut mengikuti ketentuan Undang Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan, jelas tidak mengakomodasi kebutuhan
kaum LGBT. Pasal 64 undang-undang tersebut juga menetapkan dua jenis
kelamin, laki-laki dan perempuan. Hal ini jelas mempersulit kelompok
transgender dan mereka yang tidak mengidentifikasi diri dengan dua jenis
kelamin tersebut, untuk melakukan pengurusan Kartu Tanda Penduduk,
yang berimbas pada kesulitan dalam melakukan perbuatan administratif
lainnya yang membutuhkan Kartu Tanda Penduduk. Undang-Undang
Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi dalam penjelasannya
menafsirkan istilah “Persenggamaan yang menyimpang” sebagai
persenggamaan atau aktivitas seksual lainnya dengan mayat, binatang, oral
seks, anal seks, lesbian dan homoseksual. Dalam konteks pornografi, dari
undang-undang ini dapat dipahami mindset dan pandangan pembuat
hukum, serta pandangan mayoritas masyarakat Indonesia terhadap
homoseksualitas. LGBT secara luas masih dipandang sebagai
ketidakwajaran. Anomali ditengah-tengah masyarakat.

Melihat beberapa Undang-Undang di atas, dapat diketahui bahwa sejauh ini


di dalam undang-undang sendiri tidak ada upaya kriminalisasi terhadap kelompok
LGBT dan kelompok interseksual lainnya. Setidaknya tidak secara eksplisit.
Namun yang dapat dilihat secara jelas adalah tidak adanya bentuk akomodasi
apapun terhadap hak-hak dari kelompok LGBT. Bahkan pada titik ekstrim
homoseksual diklasifikasikan tidak bermoral. Hal ini semakin menunjukan betapa
lemahnya kelompok lesbian dan gay dimata hukum. Perlu diperhatikan juga
bahwa dalam rumusan peraturan-peraturan diatas, hanya ada dua klasifikasi
gender yang disebutkan, yaitu laki-laki dan perempuan. Tidak berarti bahwa
kelompok transgender tidak mengalami ketimpangan. Justru sebaliknya, hal ini
mengindikasikan tidak adanya pengakuan sama sekali di mata hukum untuk
kelompok transgender. Berakibat pada sulitnya kelompok ini untuk mendapat
pelayanan administratif.
Ketika perilaku LGBT dihubungkan dengan Hak Asasi Manusia, timbul
permasalahan yang lebih luas. Konstitusi Indonesia memandang HAM memiliki
batasan, dimana batasannya adalah tidak boleh bertentangan dengan moral, nilai-
nilai agama, keamanan dan ketertiban umum; Indonesia memang bukan Negara
yang berdasarkan Agama namun Pancasila jelas menyatakan dalam sila
pertamanya “Ketuhanan Yang Maha Esa” sehingga nilai-nilai agama menjadi
penjaga sendi-sendi konstitusi dalam mewujudkan kehidupan demokratis bangsa
Indonesia6.
Begitu juga ditegaskan pula dalam UU Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia Pasal 70 yang menyatakan sebagai berikut: “Dalam menjalankan
hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang
ditetapkan oleh Undang-undang dengan maksud untuk menjamin pengakuan serta
penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan
yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, keamanan, dan ketertiban umum
dalam suatu masyarakat demokratis”.
Pasal 73 UU HAM juga yang menyatakan, ” Hak dan kebebasan yang diatur
dalam Undang-undang ini hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan undang-
undang, semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak
asasi manusia serta kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban umum, dan
kepentingan bangsa”.
Pembatasan-pembatasan HAM memungkinkan demi penghormatan kepada
hak asasi manusia oleh karenanya Negara hadir dalam melakukan batasan-batasan
tersebut untuk kepentingan bangsa.
Sebagai gambaran umum tentang hak asasi LGBT di Indonesia, hukum
nasional dalam arti luas tidak memberi dukungan bagi kelompok LGBT walaupun
homoseksualitas sendiri tidak ditetapkan sebagai tindak pidana. Baik perkawinan
maupun adopsi oleh orang LGBT tidak diperkenankan, tidak ada undang-undang
anti diskriminasi yang secara tegas berkaitan dengan orientasi seksual atau
identitas gender. Hukum Indonesia hanya mengakui keberadaan gender laki-laki
dan perempuan saja, sehingga orang yang transgender yang tidak memilih untuk
menjalani operasi perubahan kelamin, dapat mengalami masalah dalam
pengurusan dokumen identitas dan hal lain yang terkait.
Hak asasi manusia tidak bisa dijadikan kedok untuk menganggu hak orang
lain atau kepentingan publik. Tidak ada argument yang relevan untuk mengahapus
larangan pernikahan sesama jenis dengan dasar pengahapusan diskriminasi. Gay

6
Ramulyo Idris Moh, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Analisis UU No 1 Tahun 1974 dan
Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 1994), hlm. 15
dan lesbian bukanlah kodrat manusia melainkan penyakit sehingga tidak relevan
mempertahankan kemauan mereka yakni legalisasi pernikahan sesama jenis atas
dasar persamaan7.
Persamaan diberlakukan dalam hal pelayanan terhadap orang yang berbeda
suku, warna kulit, dan hal lain yang diterima di masyarakat. Gay dan lesbian perlu
diobati agar normal kembali sehingga tidak merusak masyarakat dan oleh
karenanya kewajiban negara untuk mengobati mereka bukan melestarikannya.
Tidak ada satupun pasal di kitab perundang-undangan di negeri ini yang
membolehkan atau sekedar mengisyaratkan pembolehan seks sesama jenis dan
nikah sesama jenis, tidak ada. Justru aktivitas LGBT melanggar hak asasi orang
lain untuk mendapatkan kebutuhan seks sesama jenis sebagamana kodratnya dan
melanggar hak asasi orang lain untuk mendapatkan keturunan.
Ketentuan selanjutnya yang perlu ditegaskan adalah kehadiran LGBT di
Indonesia melanggar kaidah moral, agama dan ketertiban umum sebagaimana
diatur dalam Pasal 28 J ayat (1) dan (2). Pasal 28 J ayat (1) dan ayat (2) Undang
Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyebutkan:
(1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam
tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
(2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk
kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan
maksud sematamata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan
atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang
adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan
dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Melihat isi dalam pasal tersebut maka setiap orang wajib menghormati hak
orang lain ayat (1), serta wajib tunduk kepada peraturan yang berlaku ayat (2),
sebab hak setiap individu dibatasi oleh hak individu yang lain. Jika seseorang
melanggar hal tersebut artinya ia juga melanggar peraturan yang telah ditetapkan,
sehingga dapat dimasukkan dalam kategori pelanggaran HAM. Pasal 28 J sengaja

7
Adian Husaini, Seputar Paham Kesetaraan Gender, (Depok: Adabi Press, 2012), hlm. 7
ditempatkan diakhir bab yang mengatur tentang HAM dalam konstitusi, karena
Pasal 28 J merupakan kewajiban asasi manusia8.
Seluruh hak asasi manusia yang tercantum dalam Bab X A Undang Undang
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 keberlakuannya dapat dibatasi. Maksud
asli pembentuk UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa hak asasi manusia dapat
dibatasi juga diperkuat oleh penempatan Pasal 28 J sebagai pasal penutup dari
seluruh ketentuan yang mengatur tentang hak asasi manusia dalam Bab X A
Undang Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut. Oleh karena itu
kebebasan setiap manusia dibatasi oleh hak asasi orang lain. Ini berarti bahwa
setiap orang mengemban kewajiban mengakui dan menghormati hak asasi orang
lain9.
Kewajiban ini juga berlaku bagi setiap organisasi dalam tataran manapun.
Terutama negara dan pemerintah. Dengan demikian, negara dan bertanggung
jawab untuk menghormati, melindungi, membela, dan menjamin hak asasi
manusia setiap warga negara dan pendudukya tanpa diskriminasi.
Namun demikian, penerapan hak asasi manusia sebenarnya berbeda-beda di
setiap negara, karena disesuaikan dengan sejarah dan keadaan sosial, ekonomi dan
budaya negara tersebut, sehingga batasan hak asasi manusia di tiap negara belum
tentu sama. Sehingga, jika seseorang dianggap telah melanggar hak asasi orang
lain di suatu negara, belum tentu orang tersebut dianggap telah melanggar hak
asasi orang lain di negara lainnya untuk kasus yang sama10.
Sejalan dengan pandangan diatas, Pancasila sebagai dasar negara
mengandung bahwa manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa dengan
menyandang dua aspek yakni, aspek individualitas (pribadi) dan aspek sosialitas
(bermasyarakat)11.
Dilihat dari nilai-nilai kesusilaan nasional perbuatan yang berkaitan dengan
perilaku seksual yang menyimpang merupakan perbuatan yang tidak sesuai dan
bertentangan dengan prinsip dan falsafah yang menjiwai Pancasila. Mengetahui
8
Esmi Warassih, Pranata Hukum; Sebuah Telaah Sosiologis, (Semarang: Badan Penerbit Undip,
2011), hal. 141.
9
Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum, (Yogyakarta: Genta Publishing. 2002), hal. 108-114
10
Ibid.
11
Kaelan. Pendidikan Pancasila, (Yogyakarta:Paradigma, 2010), hal. 75
nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, maka Pancasila berfungsi sebagai
jiwa seluruh bangsa Indonesia. Dengan demikian Pancasila menjadi dasar serta
batas perubahan atau pembaharuan bagi Hak Asasi Manusia juga hukum menuju
pada kemajuan demi kebahagian dan kesejahteraan bangsa Indonesia.
Indonesia adalah negara hukum, maka sudah sepatutnya seluruh tindak-
tanduk penyelenggaraan negara tunduk pada hukum yang berlaku. Namun yang
perlu diketengahkan adalah sistem hukum modern ini tidak bertumpu pada
legalisme-liberal yang menerangkan bahwa kehidupan masyarakat menjadi tertib
apabila sekalian orang tanpa diskriminasi dibiarkan untuk melakukan
perbuatannya dalam kerangka yang telah disediakan, atau dengan kata lain orang
bisa melakukan apa saja menurut apa yang diperbolehkan oleh negara.
Negara hukum Indonesia adalah negara dengan sistem hukum Pancasila
yang menjelaskan bahwa negara hukum dengan suatu idealisme tertentu, yaitu
Pancasila. Oleh karena itu sistem hukum Pancasila hanya final sebagai identitas,
tetapi tidak
akan pernah bisa mencapai tujuannya secara bulat.
Dari segi sosiologis, didapati masyarakat Indonesia sangatlah religius.
Kehidupan sosial masyakarat bangsa ini akan terganggu jika LGBT dibiarkan
merajalela. Secara sosiologis, kebebasan hidup warga bangsa ini dari zaman pra
kemerdekaan hingga kini terbukti dalam kajian sejarah bukanlah masarakat yang
menuntut kebebasan yang sebebas bebasnya. Nilai-nilai sosial dalam masyarakat
menjadi koridor sosilogisnya. Maka ruang sosial keindonesiaan tak mengenal
LGBT, malah akan menjadi penyakit sosial serta meresahkan dan menggagu
tatanan sosial masyarakat Indonesia yang pekerti.
Dari segi filosofis, bisa ditemukan pada ideologi bangsa dan landasan
fundamental negara yakni Pancasila. Pada sila pertama pancasila dengan tegas
menyatakan bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa. Maka salah satu landasan
fundamental negara ialah harus tunduk pada nilai Ketuhanan Yang Maha Esa. Itu
artinya negara ini juga harus tunduk pada ketentuan-ketentuan ajaran agama
masing-masing pemeluknya.
D. Kesimpulan
Berdasarkan uraian yang telah dijabarkan pada bab sebelumnya, maka dapat
ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Eksistensi LGBT di Indonesia tidak mungkin diakui secara yuridis di
Indonesia apabila dihadapkan pada Pancasila. Sistem hukum Pancasila
final sebagai identitas dan tidak akan pernah mencapai tujuannya yang
bulat dan utuh. Bentuk, rumusan, isi dan tujuan yang akan dicapai
kesemuanya masuk dalam ranah identitas Pancasila. Dengan demikian
sistem hukum Indonesia sudah memiliki ketentuan-ketentuan sendiri
sesuai dengan Pancasila dan tidak bisa menerima LGBT.
2. Pasal 28 J Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
menyebutkan setiap orang wajib menghormati hak orang lain ayat (1),
serta wajib tunduk kepada peraturan yang berlaku ayat (2), sebab hak
setiap individu dibatasi oleh hak individu yang lain. Jika seseorang
melanggar hal tersebut artinya ia juga melanggar peraturan yang telah
ditetapkan, sehingga dapat dimasukkan dalam kategori pelanggaran
HAM. Pasal 28 J sengaja ditempatkan diakhir bab yang mengatur
tentang HAM dalam konstitusi, karena Pasal 28 J merupakan kewajiban
asasi manusia.
DAFTAR PUSTAKA

Boellstorff, A Coincidence of Desires, (Durham, NC: Duke University / Duke


University Press, April 2007),.
Husaini, Adian, Seputar Paham Kesetaraan Gender, (Depok: Adabi Press, 2012),
Ibid.
Kaelan. Pendidikan Pancasila, (Yogyakarta:Paradigma, 2010),.
Kartono, Kartini. Psikologi Abnormal dan Abnormalitas Seksual. (Bandung: CV.
Mandar Maju. 1989),.
Keith, Swain W. 21 Juni 2007. Gay Pride Needs New Direction. Denver Post,
https://www.denverpost.com/2007/06/21/gay-pride-needs-new-direction/.
Diakses tanggal 29-04-2021.
Moh, Ramulyo Idris, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Analisis UU No 1 Tahun
1974 dan Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 1994),.
Oetomo, Dede, Memberi Suara Pada yang Bisu. (Yogyakarta: Galang Press 2001),.
Rahardjo, Satjipto, Sosiologi Hukum, (Yogyakarta: Genta Publishing. 2002),
Tarigan, Remina, Masalah-masalah sosial,.
http://reminatarigan.blogspot.co.id/2014/11/masalah-sosial
homoseksualitas_10.html. Diakses pada 29-04-2021.
Warassih, Esmi, Pranata Hukum; Sebuah Telaah Sosiologis, (Semarang: Badan
Penerbit Undip, 2011),.

You might also like