You are on page 1of 16

NEGARA DAN KONSTITUSI

(BAGIAN 2)

Kajian Ini Disusun untuk Memenuhi Tugas Individu


Mata Kuliah Pendidikan Kewarganegaraan

DISUSUN OLEH:

RULI SYAH RAMADHAN


1104620041

DOSEN PENGAMPU:

Drs. Ahmad Tijari, M.Pd.

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MASYARAKAT


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
2023
NEGARA DAN KONSTITUSI
(BAGIAN 2)

Konstitusi merupakan dasar dari tatanan hukum sebuah negara yang di


dalamnya terdapat perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) dan
mengatur tentang distribusi kekuasaan dalam penyelenggaraan negara. Konstitusi
adalah aturan dasar yang nantinya akan menjadi acuan bagi lahirnya aturan-aturan
hukum lain yang ada di bawahnya.

Hubungan Antarlembaga Negara


Lembaga negara yang ditetapkan pasca amandemen UUD 1945 terdiri
atas; Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR),
Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Mahkamah Agung (MA), Mahkamah
Konstitusi (MK), Komisi Yudisial (KY), dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Dalam melaksanakan tugas pemerintahan, antara satu lembaga negara dengan
lembaga negara lainnya saling bekerja sama dan saling mengendalikan satu sama
lain sesuai dengan prinsip pengawasan dan keseimbangan (check and balance).
Adapun hubungan antar lembaga negara tersebut yakni:
1. Hubungan antara MPR dan Presiden
Hubungan tersebut dapat dilihat dari tugas dan wewenang MPR yang
terkait dengan dengan presiden, yaitu melantik presiden dan/atau wakil
presiden (Pasal 3 Ayat 2), serta menetapkan wakil presiden sebagai
pengganti presiden dalam hal presiden mangkat atau tidak dapat
melaksanakan kewajiban dalam masa jabatannya.

2. Hubungan antara MPR dan DPR


Hubungan tersebut dapat dilihat dari keanggotaannya. Anggota MPR
terdiri atas DPR dan DPD (Pasal 2 Ayat 1), yang artinya anggota DPR
bagian dari anggota MPR. MPR menggunakan DPR sebagai alat dalam
melakukan pengawasan politik dan strategi majelis. DPR dalam hal ini
menggunakan komisi-komisinya seta hak-haknya, meliputi: hak angket,
hak interpelasi, hak budget, dan hak ketetapan. Melalui wewenang DPR,
MPR dapat mengontrol pembuatan UU.

3. Hubungan antara MPR dan DPD


Hubungan tersebut dapat dilihat dari keanggotaanya. Sama halnya seperti
DPR, anggota DPD juga bagian dari anggota MPR. Melalui wewenang
DPD, MPR dapat mengontrol pembuatan UU yang berhubungan dengan
otonomi daerah, hubungan pusat dengan daerah, pemekaran daerah,
pegolahan sumber daya alam, serta perimbangan keuangan pusat dan
daerah agar tidak menyimpang dengan UUD.

4. Hubungan antara DPR dan Presiden


Hubungan tersebut dapat dilihat dari tugas DPR sebagai pengawas
terhadap tindakan-tindakan presiden, apakah tindakan-tindakan presiden
menyimpang atau tidak dengan amanat UUD 1945. Selain itu, hubungan
keduanya juga dapat dilihat dari kerja sama keduanya dalam
menyelenggarakan tugas legislatif. Adapun tugas legislatif DPR dan
presiden yaitu:
a. Membuat UU. DPR memegang kekuasaan untuk membentuk UU
(Pasal 20 Ayat 1). Setiap RUU dibahas oleh DPR dan presiden
untuk mendapat persetujuan bersama. Apabila RUU tidak
mendapat persetujuan bersama, maka RUU tersebut tidak boleh
diajukan lagi dalam sidang DPR.
b. Menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
APBN sebagai wujud dari pengolahan keuangan negara ditetapkan
setiap tahun dengan UU dan dilaksanakan secara terbuka dan
bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat
(Pasal 23 Ayat 1). RUU APBN diajukan oleh presiden untuk
dibahas bersama DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD
(Pasal 23 Ayat 2). Apabila DPR tidak menyetujui RUU APBN
yang diusulkan oleh presiden, maka pemerintah harus menjalankan
APBN tahun lalu.
5. Hubungan antara BPK dan DPR
Hubungan tersebut dapat dilihat dari tugas BPK untuk membantu DPR
dalam usahanya mengawasi apakah pemerintah menyeleweng atau tidak
dari ketentuan-ketentuan APBN yang sudah disetujui oleh DPR. Tugas
lainnya adalah BPK menyerahkan hasil pemeriksa keuangan negara
kepada DPR, DPD, dan DPRD sesuai dengan kewenangannya (Pasal 23 E
Ayat 2). Sehingga, dapat dikatakan BPK menjadi semacam alat dari DPR
yang membantu DPR dalam hal pengawasan keuangan. Jika dilihat dari
segi keanggotaan, BPK dipilih oleh DPR dengan memperhatikan
pertimbangan dari DPD.

6. Hubungan antara MPR, Presiden, DPR, dan MK


Presiden dan/atau wakil presiden dapat diberhentikan MPR dalam masa
jabatannya menurut UUD atas usul DPR. Ini terjadi apabila terbukti
melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara,
korupsi, tindakan pidana berat, atau terbukti tidak lagi memenuhi syarat
sebagai presiden dan/atau wakil presiden. Kemudian MPR meminta
kepada MK untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPR.
Hasilnya dibawa ke rapat paripurna DPR untuk diteruskan ke MPR. MPR
kemudian menyelenggarakan sidang untuk mengambil keputusan yang
minimal dihadiri 3/4 jumlah anggota dan disetujui minimal 2/3 anggota
yang hadir.

7. Hubungan antara DPR dan DPD


Hubungan tersebut dapat dilihat ketika DPD mengajukan RUU yang
berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dengan daerah,
pemekaran daerah, pegolahan sumber daya alam, serta perimbangan
keuangan pusat dan daerah. DPD ikut membahas RUU tersebut dan
melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan UU yang telah disahkan.

8. Hubungan antara MA, DPR, dan Presiden


Hubungan tersebut dapat dilihat dalam pengangkatan calon hakim agung
MA. Calon hakim agung MA diusulkan oleh KY kepada DPR, kemudian
dilanjutkan untuk ditetapkan oleh presiden.
Menanamkan Kesadaran Menghormati Simbol dan Lambang Negara
Menurut Lestari Moerdijat―wakil ketua MPR RI―, saat ini berkembang
fenomena kebencian di sebagian generasi muda terhadap lambang-lambang
negara. Pernyataan tersebut didukung oleh survei Badan Nasional
Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang menghasilkan data bahwa 85% generasi
muda rentan terpapar paham radikal. Persoalan kebencian yang pada akhirnya
menimbulkan beragam penghinaan terhadap lambang negara tidak hanya terkait
dengan urusan hukum semata, tetapi marwah kebangsaan yang harus dijaga dan
dihayati sebagai nilai-nilai kebangsaan yang harus disadari bersama oleh seluruh
elemen bangsa. Hal ini merupakan tanggung jawab besama untuk membangun
kesadaran anak bangsa agar lebih menghargai dan menghormati lambang-
lambang kenegaraan sebagai jati diri bangsa dan mengimplementasikannya dalam
kehidupan sehari-hari. Adapun beberapa cara yang mungkin dapat dilakukan
untuk menanamkan kesadaran menghormati simbol dan lambang kenegaraanm, di
antaranya:
1. Napak tilas sejarah para pendiri bangsa dalam mewujudkan kemerdekaan
serta berbagai simbol dan lambang negara.
2. Memperkenalkan keberagaman budaya yang dikorelasikan dengan
berbagai simbol dan lambang negara.
3. Mengembangkan, mengefektifkan, dan mengoptimalkan pembelajaran
Pendidikan Kewarganegaraan dari jenjang pendidikan dasar sampai
pendidikan tinggi.
4. Menanamkan kesadaran untuk menghormati simbol dan lambang negara
melalui industri kreatif dan teknologi yang relevan dengan tren masa kini.

Hakikat Konstitusi
Istilah “konstitusi” dalam bahasa Inggris disebut dengan “constitution”
dan “constituer” dalam bahasa Perancis. Kedua kata tersebut berasal dari bahasa
Latin yaitu “constitution” yang berarti dasar susunan badan. Adapun dalam
bahasa Belanda, istilah “konstitusi” disebut dengan “grondwet” yang terdiri atas
kata “grond” berarti dasar dan kata “wet” yang berarti undang-undang. Menurut
E. C. Wade sebagaimana disebutkan oleh Miriam Budiarjo, konstitusi adalah
naskah yang memaparkan rangka dan tugas pokok dari badan-badan pemerintahan
suatu negara dan menentukan pokok-pokok cara kerja badan tersebut. Adapun K.
C. Wheare mengemukakan bahwa konstitusi adalah keseluruhan sistem
ketatanegaraan suatu negara yang berupa kumpulan peraturan yang membentuk,
mengatur, dan memerintah dalam pemerintahan suatu negara.

Dari beberapa definisi di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa konstitusi


adalah hukum yang lebih tinggi atau bahkan paling tinggi dan paling fundamental
sifatnya karena konstitusi itu sendiri merupakan sumber legitimasi atau landasan
otorisasi bentuk-bentuk hukum dan peraturan perundang-undangan lainnya1. Oleh
karena konstitusi itu sendiri adalah hukum yang dianggap paling tinggi
tingkatannya, maka tujuan konstitusi sebagai hukum tertinggi itu juga untuk
mencapai dan mewujudkan tujuan yang tertinggi, yang meliputi:
1. Keadilan (justice), meliputi; keseimbangan (balance), kepatutan (equity),
serta kewajaran (proportionality).
2. Kepastian (certainty), meliputi ketertiban dan ketentraman.
3. Kebergunaan (utility), diharapkan dapat menjamin bahwa semua nilai-nilai
sebelumnya akan mewujudkan kedamaian hidup bersama.
Oleh karena itulah, hakikat konstitusi adalah terciptanya keadilan di suatu negara
sehingga kesejahteraan dan peraturan dapat dicapai oleh warga negara.

Menurut Savornin Lohman, terdapat tiga unsur yang terdapat dalam


konstitusi yaitu; 1) konstitusi sebagai perwujudan kontrak sosial sehingga
konstitusi yang ada merupakan hasil atau konklusi dari persepakatan masyarakat
untuk membina negara dan pemerintahan yang akan mengatur mereka, 2)
konstitusi sebagai piagam yang menjamin hak-hak asasi manusia, yang berarti
perlindungan dan jaminan atas hak-hak manusia dan warga negara sekaligus
penentuan batas-batas hak dan kewajiban baik warganya maupun alat-alat
pemerintahannya, dan 3) konstitusi sebagai forma regimenis, yaitu kerangka
bangunan pemerintahan.

1
Jimly Asshidiqie. 2017. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
Macam-Macam Konstitusi
1. Berdasarkan Sifatnya
Konstitusi dilihat dari sifatnya dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
a. Konstitusi yang bersifat kaku (rigid), hanya dapat diubah melalui
prosedur yang berbeda dengan prosedur membuat UU pada negara yang
bersangkutan.
b. Konstitusi yang bersifat supel (flexible), diartikan bahwa konstitusi
dapat diubah melalui prosedur yang sama dengan prosedur membuat
UU pada negara yang bersangkutan.

2. Berdasarkan Bentuknya
Konstitusi dilihat dari bentuknya dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
a. Konstitusi tertulis, yaitu suatu naskah yang menjelaskan kerangka dan
tugas-tugas pokok dari badan-badan pemerintahan serta menentukan
cara kerja dari badan-badan pemerintahan tersebut. Konstitusi tertulis
ini dikenal dengan sebutan UUD.
b. Konstitusi tidak tertulis, suatu aturan yang tidak tertulis yang ada dan
dipelihara dalam praktik penyelenggaraan negara di suatu negara.
Konstitusi tidak tertulis ini dikenal dengan sebutan konvensi.

Mekanisme Perubahan Konstitusi


Konstitusi bukan hanya sebagai kumpulan norma-norma dasar statis yang
merupakan sumber ketatanegaraan, tapi juga memberi ruang untuk mengikuti
perkembangan masyarakat yang terjadi dalam suatu negara. Sejalan dengan
dinamika perkembangan masyarakat pada suatu negara, maka konstitusi dapat
pula mengalami perubahan. Untuk melakukan perubahan tersebut, tiap-tiap
konstitusi mempunyai cara atau prosedur tertentu. Menurut Thaib (2003: 50),
terdapat dua sistem perubahan sistem konstitusi yaitu:
1. Jika suatu konstitusi diubah, maka yang berlaku adalah konstitusi yang
baru secara keseluruhan. Sistem perubahan ini pernah dialami di Indonesia
yaitu perubahan konstitusi dari UUD 1945 menjadi Konstitusi RIS (27
Desember 1949―17 Agustus 1950) dan perubahan dari Konstitusi RIS
menjadi UUDS 1950 (17 Agustus 1950―5 Juli 1959), serta dari UUDS
1950 kembali menjadi UUD 1945 (5 Juli 1959―Oktober 1999).
2. Jika suatu konstitusi diubah, maka konstitusi asli yang tetap berlaku.
Perubahan terhadap konstitusi tersebut merupakan amandemen dari
konstitusi yang asli. Sistem perubahan ini juga pernah dialami di
Indonesia, yaitu terjadi amandemen terhadap UUD 1945, yaitu
amandemen UUD 1945 yang pertama (14―21 Oktober 1999), yang kedua
(7―18 Agustus 2000), yang ketiga (1―9 November 2001), yang keempat
(1―11 Agustus 2002).

Mengenai prosedur perubahan konstitusi, menurut C. F. Strong (dalam


Thaib, 2003: 51), cara perubahan konstitusi ada empat macam, yaitu; (1)
perubahan konstitusi yang dilakukan oleh pemegang kekuasaan legislatif menurut
pembatasan-pembatasan tertentu, (2) perubahan konstitusi yang dilakukan oleh
rakyat melalui suatu referendum, (3) perubahan konstitusi yang dilakukan oleh
sejumlah negara-negara bagian yang terdapat pada negara berbentuk serikat, (4)
perubahan konstitusi yang dilakukan dalam suatu konvensi atau dilakukan oleh
suatu lembaga negara khusus yang dibentuk hanya untuk keperluan perubahan.
Adapun prosedur perubahan konstitusi telah diatur dalam UUD 1945 Pasal 37
yang mencakup dua hal, yakni:
1. Prosedur perubahan sebelum amandemen
a. Pihak yang berwenang mengubah UUD 1945 adalah MPR.
b. Untuk mengubah UUD 1945, sidang-sidang MPR harus dihadiri oleh
sekurang-kurangnya dua pertiga dari seluruh anggotanya (quorum).
c. Keputusan tentang perubahan UUD 1945 dapat dikatakan sah apabila
disetujui oleh sekurang-kurangnya dua pertiga dari anggota MPR yang
hadir dan memenuhi quorum. Cara perubahan demikian dapat
dikatakan tergolong sulit (rigid) karena kurang dari satu anggota saja
yang tidak hadir, quorum dinyatakan tidak sah.
2. Prosedur perubahan setelah amandemen
a. Pasal 37 Ayat (1), usul perubahan pasal-pasal dalam UUD dapat
diagendakan dalam sidang MPR apabila diajukan oleh sekurang-
kurangnya sepertiga dari jumlah anggota MPR.
b. Pasal 37 Ayat (2), setiap usul perubahan pasal-pasal dalam UUD
diajukan secara tertulis dan ditujukkan dengan jelas bagian yang
diusulkan untuk diubah beserta alasannya.
c. Pasal 37 Ayat (3), untuk mengubah pasal-pasal dalam UUD, sidang
MPR dihadiri sekurang-kurangnya dua pertiga dari jumlah anggota
MPR.
d. Pasal 37 Ayat (4), putusan untuk mengubah pasal-pasal dalam UUD
dilakukan dengan persetujuan lima puluh persen ditambah satu
anggota dari seluruh anggota MPR.
e. Pasal 37 Ayat (5), khusus mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik
Indonesia, tidak dapat dilakukan perubahan.

Implikasi Perubahan UUD 1945 terhadap Sistem Ketatanegaraan Indonesia


Telah banyak perubahan yang terjadi pasca amandemen UUD 1945,
meliputi bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, serta pertahanan dan keamanan.
Hasil amandemen UUD 1945 mulai dari perubahan pertama sampai perubahan
keempat (dari tahun 1999―2002) juga menimbulkan implikasi terhadap sistem
ketatanegaraan secara keseluruhan. Berikut implikasinya:
1. Penegasan Negara Hukum
a. Dalam UUD 1945 Pasal 1 Ayat (3) pasca amandemen, menyebutkan
bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Ketentuan ini
merupakan hasil dari perubahan ketiga UUD 1945 (1―9 November
2001). Sebelum perubahan ketiga, tidak ada ketentuan yang secara
tegas menyatakan Indonesia sebagai negara hukum sehingga sering
menimbulkan keraguan. Implikasi dari ketentuan tersebut adalah
kekuasaan yang terbatas dan dibentuknya lembaga yang berfungsi
melakukan penegakan hukum.
b. Dalam UUD 1945 Pasal 24 Ayat (2) pasca amandemen, menyebutkan
bahwa kekuasaan kehakiman di Indonesia dilakukan oleh Mahkamah
Agung dan Mahkamah Konstitusi dengan kompetensi yang berbeda.
Ketentuan ini merupakan hasil dari perubahan ketiga UUD 1945 (1―9
November 2001). Implikasi dari ketentuan tersebut adalah
terbentuknya sebuah lembaga negara yang berfungsi sebagai pengawal
tegaknya hukum.

2. Pemilihan Umum secara Langsung


Sebelum terjadinya amandemen UUD 1945, sistem perpolitikan di
Indonesia didominasi oleh kekuatan tertentu dan cenderung tertutup.
Masyarakat tidak memiliki bargaining position dalam menentukan
kebijakan yang diambil. Tidak adanya partisipasi publik menjadikan
kekuasaan yang ada sulit untuk dilakukan pengawasan dan cenderung
bersifat sewenang-wenang. Untuk mengatasi permasalahan tersebut,
diaturlah kemudian dalam UUD 1945 Pasal 1 Ayat (2) pasca amandemen
yang menyebutkan bahwa kedaulatan adalah di tangan rakyat dan
dilaksanakan menurut UUD. Salah satu implementasi dari ketentuan
tersebut adalah dilaksanakannya pemilihan umum secara langsung.
Secara umum, terdapat dua alasan diadakannya pemilihan secara langsung.
Pertama, pemilihan langsung dianggap lebih membuka peluang bagi
tampilnya para penyelenggara negara yang sesuai dengan kehendak rakyat
sendiri. Kedua adalah untuk menjaga stabilitas pemerintahan agar tidak
mudah dijatuhkan ditengah jalan. Dengan adanya pemilihan secara
langsung, legitimasi yang dimiliki akan sangat kuat karena harus
mempunyai dukungan yang besar dari rakyat sebagai pemegang kekuasaan
tertinggi.

3. Penguatan Sistem Check and Balance


Check and balance adalah sebuah mekanisme untuk selalu melakukan
pengawasan dan penyeimbangan oleh kekuasaan negara yang ada sesuai
dengan fungsi yang diamanatkan oleh konstitusi.
a. MPR tidak lagi berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara dan
pemegang kedaulatan rakyat tertinggi. Penghapusan sistem lembaga
tertinggi negara adalah upaya logis untuk keluar dari perangkap desain
ketatanegaraan yang rancu dimana sebelum amandemen, MPR
berkedudukan sebagai pemegang kedaulatan rakyat sepenuhnya.
Perubahan tersebut dapat dilihat dalam UUD 1945 Pasal 1 Ayat (2)
yang menyatakan bahwa kedaulatan adalah di tangan rakyat dan
dilakukan sepenuhnya oleh MPR.
b. Sebelum dilakukannya amandemen, seluruh mekanisme perubahan
konstitusi didominasi oleh eksekutif, baik proses inisiatif maupun
proses pengesahannya. Pada saat itu hampir dipastikan tidak ada RUU
yang datangnya dari DPR yang notabennya sebagai representasi
rakyat. Dengan adanya amandemen terhadap UUD 1945, lembaga
eksekutif sebagai pembuat, pelaksana, dan penafsir sebuah UU
direduksi dan diberikan kepada lembaga lainnya untuk melaksanakan
fungsi pengawasan. Lembaga lain tersebut adalah lembaga legislatif
(meliputi; MPR, DPR, dan DPD). Dalam hal pembentukan sebuah UU,
DPR memiliki peranaan yang sangat besar. Sebuah RUU yang
diajukan oleh eksekutif harus melalui pembahasan bersama di DPR
untuk mendapat persetujuan bersama. Apabila tidak terjadi sebuah
kesepakatan, maka RUU yang diajukan oleh eksekutif tadi tidak boleh
diajukan kembali pada sidang masa itu.
c. Jika pada masa orde baru presiden dapat membatalkan RUU yang telah
disetujui oleh DPR, maka hal tersebut sangat sulit untuk dilakukan
pada masa kini. Dalam hal ini, Pasal 20 Ayat (5) UUD 1945 menutup
celah untuk itu. Dimana di dalam pasal tersebut disebutkan bahwa
apabila sebuah RUU yang telah disetujui bersama tidak disahkan oleh
presiden, maka setelah 30 hari semenjak rancangan tersebut disetujui,
maka rancangan tersebut menjadi sah dan wajib untuk diundangkan.

Kesadaran Berkonstitusi dan Menghayati Hak-Hak Konstitusi sebagai WNI


Agar tiap-tiap tujuan nasional dapat tercapai, pelaksanaan aturan-aturan
dasar konstitusi dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi syarat
mutlak yang harus dipenuhi. Selain itu, dalam sebuah kontitusi juga terkandung
hak dan kewajiban dari setiap warga negara. Oleh karenanya, konstitusi harus
dikawal dengan pengertian agar selalu benar-benar dilaksanakan.
Untuk mengimbangi pelaksanaan konstitusi oleh seluruh warga negara,
maka dibutuhkan adanya kesadaran berkonstitusi warga negara untuk
melaksanakan peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang telah dibuat
berdasarkan UUD 1945, dan melakukan kontrol pelaksanaan UUD 1945 baik
dalam bentuk peraturan perundang-undangan, kebijakan, maupun tindakan
penyelenggara negara. Kesadaran berkonstitusi secara konseptual diartikan
sebagai kualitas pribadi seseorang yang memancarkan wawasan, sikap, dan
perilaku yang bermuatan cita-cita dan komitmen luhur kebangsaan dan
kebernegaraan Indonesia. Kesadaran berkonstitusi merupakan salah satu bentuk
keinsyafan warga negara akan pentingnya mengimplementasikan nilai-nilai
konstitusi.

Kesadaran berkonstitusi sangat ditentukan oleh pengetahuan dan


pemahaman akan isi konstitusi. Oleh karenanya, perlu upaya-upaya sosialisasi
atau pemasyarakatan dan internalisassi (pembudayaan) konstitusi kepada seluruh
komponen bangsa. Dalam konteks ini, institusi-institusi pendidikan memegang
peranan strategis bagi upaya-upaya sosialisasi dan internalisasi konstitusi dengan
mentransformasikan pengetahuan, ilmu, dan budaya kepada peserta didik.

Kesadaran berkonstitusi merupakan salah satu bagian dari kesadaran


moral. Sebagai bagian dari kesadaran moral, kesadaran konstitusi mempunyai tiga
unsur pokok yaitu: (1) perasaan wajib atau keharusan untuk melakukan tindakan
bermoral yang sesuai dengan konstitusi kepada siapapun, di manapun, dan
kapanpun; (2) kesadaran berkonstitusi merupakan hal yang bersifat rasional dan
dapat dinyatakan pula sebagai hal objektif yang dapat diuniversalkan, artinya
dapat disetujui serta berlaku pada setiap waktu dan tempat bagi setiap warga
negara; dan (3) atas kesadaran moralnya, warga negara bebas untuk mentaati
berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku di negaranya termasuk
ketentuan konstitusi negara.

Kesadaran berkonstitusi warga negara memiliki beberapa tingkatan yang


menunjukkan derajat setiap warga negara dalam melaksanakan ketentuan
konstitusi negara. Tingkatan kesadaran berkonstitusi menurut N. Y. Bull, dalam
Kosasih Djahiri terdiri dari: (1) anomous, yaitu kesadaran atau kepatuhan
terhadap ketentuan konstitusi negara yang tidak jelas dasar dan alasannya atau
orientasinya; (2) heteronomous, yaitu kesadaran atau kepatuhan terhadap
ketentuan konstitusi negara yang berlandaskan dasar/orientasi motivasi yang
beraneka ragam atau berganti-ganti; (3) sosionomous, yaitu kesadaran atau
kepatuhan terhdap ketentuan konstitusi negara yang berorientasikan pada kiprah
umum atau khalayak ramai; dan (4) autonomous, yaitu kesadaran atau kepatuhan
ketentuan konstitusi negara yang didasari oleh konsep kesadaran yang ada dalam
diri seorang warga negara.

Kemudian tanda warga negara yang memiliki kesadaran berkonstitusi


adalah warga negara yang memiliki kemelekkan terhadap konstitusi
(constitutional literacy). Udin S. Winataputra mengidentifikasi beberapa bentuk
kesadaran berkonstitusi warga negara Indonesia yang meliputi: (1) kesadaran dan
kesediaan untuk mempertahankan dan mengisi kemerdekaan Indonesia sebagai
hak asasi bangsa dengan perwujudan perilaku sehari-hari; (2) kesadaran dan
pengakuan bahwa kemerdekaan Indonesia sebagai bangsa sebagai rahmat Allah
Yang Maha Kuasa dengan perwujudan perilaku sehari-hari; dan (3) kepekaan dan
ketanggapan terhadap kewajiban pemerintah negara untuk melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta turut melaksanakan ketertiban
dunia dengan perwujudan perilaku sehari-hari.

Kesimpulan
UUD 1945 yang merupakan konstitusi bangsa dan negara Indonesia
adalah aturan hukum tertinggi yang keberadaannya dilandasi legitimasi
kedaulatan rakyat dan negara hukum. Oleh karena itu, UUD 1945 dipandang
sebagai bentuk kesepakatan bersama (general agreement) “seluruh rakyat
Indonesia” yang memiliki kedaulatan. Hal itu sekaligus membawa konsekuensi
bahwa UUD 1945 merupakan aturan tertinggi dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara yang mengatur bagaimana kedaulatan rakyat akan dilaksanakan. UUD
mengatur bentuk dan susunan negara, alat-alat perlengkapannya di pusat dan
daerah, dan mengatur tugas tugas alat-alat perlengkapan itu serta hubungan satu
sama lain.
Konstitusi sebagai hukum dasar yang utama dan merupakan hasil
representatif kehendak seluruh rakyat, haruslah dilaksanakan dengan sungguh-
sungguh di setiap sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu,
prinsip yang timbul adalah setiap tindakan, perbuatan, dan/atau aturan dari semua
otoritas yang diberi delegasi oleh konstitusi, tidak boleh bertentangan dengan
basic rights dan konstitusi itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA

Astawa, I Putu Ari. 2017. Negara dan Konstitusi. Materi Kuliah


Kewarganegaraan. Dapat ditemukan di:
https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_pendidikan_1_dir/2f0542d649a363
d3f04d06edb24599a0.pdf (diakses pada 22 Maret 2023)

Sukriono, Didik. 2016. Membangun Kesadaran Berkonstitusi terhadap Hak-Hak


Konstitusional Warga Negara sebagai Upaya Menegakkan Hukum
Konstitusi. Jurnal Legislasi Indonesia. 13 (3): 273―284. Dapat ditemukan
di: https://e-jurnal.peraturan.go.id/index.php/jli/article/view/155/pdf
(diakses pada 22 Maret 2023)

Ayu, Monica dan Nibras Nada (Ed). 2022. Hubungan Antarlembaga Negara
menurut UUD 1945. Artikel. Dapat ditemukan di:
https://nasional.kompas.com/read/2022/02/22/01150001/hubungan-
antarlembaga-negara-menurut-uud-1945 (diakses pada 22 Maret 2023)

Yusmiati. 2020. Hubungan Antarlembaga Negara menurut UUD 1945.


Nusantara: Jurnal Ilmu Pengetahuan Sosial. 7 (1): 1―13. Dapat ditemukan
di: http://jurnal.um-tapsel.ac.id/index.php/nusantara/article/view/1437/827
(diakses pada 22 Maret 2023)

Nadiroh. t.t. Modul 1: Teori dan Konsep Konstitusi. Modul Pembelajaran. Dapat
ditemukan di: http://repository.ut.ac.id/3939/1/PKNI4419-M1.pdf (diakses
pada 22 Maret 2023)

Frinaldi, Aldri dan Nurman S. 2005. Perubahan Konstitusi dan Implikasinya pada
Perubahan Lembaga Negara. Jurnal Demokrasi. 4 (1): 9―21. Dapat
ditemukan di: https://media.neliti.com/media/publications/242805-
perubahan-konstitusi-dan-implikasinya-pa-4a634b48.pdf (diakses pada 22
Maret 2023)
Anand, Zulqadri. 2013. Implikasi Perubahan Undang-Undang Dasar 1945
terhadap Sistem Ketatanegaraan Indonesia. Fiat Justicia: Jurnal Ilmu
Hukum. 7 (3): 269―279. Dapat ditemukan di:
https://jurnal.fh.unila.ac.id/index.php/fiat/article/view/386/343 (diakses
pada 22 Maret 2023)

You might also like