You are on page 1of 19

MAKALAH

KORUPSI BERDASARKAN GONE THEORY

DOSEN PEMBIMBING

Riyanti Imron, S.ST, M.kes/ R. I

Kelompok 2

Disusun Oleh:

1. Iis Nopitasari (1815401111)


2. Asti Mahadewi (1815401112)

3. Febi Pramuji Lestari (1815401122)

4. Reni Safitri (1815401136)

5. Adella Mutiara (1815401144)

PROGAM STUDI DIII KEBIDANAN TANJUNG KARANG


POLITEKNIK KESEHATAN TANJUNG KARANG

TAHUN AJARAN 2019/2020

2
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Tuhan Yang Maha Esa, kami panjatkan puji
syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-
Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ilmiah
tentang “Korupsi Berdasarkan Gone Theory”.

            Makalah ilmiah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan
bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah
ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang
telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.

      Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena
itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca
agar kami dapat memperbaiki makalah ilmiah ini.

Akhir kata kami berharap semoga makalah ilmiah tentang “Korupsi


Berdasarkan Gone Theory” ini dapat memberikan manfaat maupun inpirasi
terhadap pembaca.

    
                                                                                     

Bandar Lampung, 8 Januari 2020

                                                                                                        Penulis

i
DAFTAR ISI

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Korupsi tetap menjadi sorotan utama di Indonesia. Karyono (2002)
menyatakan bahwa korupsi di Indonesia sudah terjadi berulang kali pada
sistem penyelenggaraan pemerintah. Hasil pemeriksaan BPK menunjukkan
fakta bahwa pada semester II tahun 2010 ditemukan sejumlah 1.513 kasus
fraud dengan total kerugian sebesar Rp. 659 miliar pada pengadaan barang/jasa
yang meliputi 146 kasus merugikan keuangan negara, 1.319 kasus merugikan
keuangan daerah dan 6 kasus merugikan keuangan perusahaan BUMN, serta
42 kasus merugikan keuangan perusahaan BUMD.

Pada tahun 2015, hasil laporan tahunan dari Komisi Pemberantasan


Korupsi (KPK) menunjukkan bahwa KPK berhasil melakukan operasi tangkap
tangan sebanyak 5 (lima) kali, melakukan 84 kegiatan penyelidikan, 99
penyidikan, dan 91 penuntutan, baik kasus baru maupun sisa penanganan pada
tahun sebelumnya, serta melakukan eksekusi terhadap 33 putusan pengadilan
yang telah berkekuatan hukum tetap (Hardian, 2011; Transparency
International, 2011, 2012, 2013).

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana korupsi menurut Gone Theory?
2. Apa saja yang termasuk dalam faktor internal penyebab korupsi berserta
contohnya?
3. Apa saja yang termasuk dalam faktor eksternal penyebab korupsi beserta
contohnya?

3
1.3 Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui korupsi menurut Gone Theory?
2. Untuk mengetahui yang termasuk dalam faktor internal penyebab korupsi
berserta contohnya?
3. Untuk mengetahui yang termasuk dalam faktor eksternal penyebab korupsi
beserta contohnya?

4
BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Korupsi Menurut Gone Theory


Salah satu teori yang membahas mengenai prilaku korupsi, dengan baik
dihadirkan oleh Jack Bologne (Bologne : 2006), yang dikenal dengan teori
GONE. Ilustrasi GONE Theory terkait dengan faktor-faktor yang menyebabkan
terjadinya kecurangan atau korupsi yang meliputi Greeds (keserakahan),
Opportunities (kesempatan), Needs (kebutuhan) dan Exposure (pengungkapan).
Greed, terkait keserakahan dan kerakusan para pelaku korupsi.

Teori GONE merupakan penyempurnaan dari teori Triangle Fraud yang


mengungkapkan mengapa seorang koruptor melakukan tindak fraud yang meliputi
unsur Greed (Keserakahan), Opportunity (Kesempatan), Need (Kebutuhan),
Exposes (Hukuman yang rendah). Teori GONE adalah teori yang menyatakan
alasan pelaku tindak pidana melakukan praktik fraud, sehingga dapat dikatakan
bahwa penggunaan Teori GONE ini merupakan hal yang tepat. Tuanakotta (2010)
menyebutkan bahwa faktor Greed dan Need merupakan faktor individual yang
berhubungan dengan individu pelaku kecurangan, sedangkan faktor Opportunity
dan Exposes merupakan faktor generik/umum yang berhubungan dengan
organisasi sebagai korban perbuatan kecurangan.

Jika kecurangan atau fraud pengadaan barang/jasa pemerintah dikaitkan


dengan idealisme pimpinan, Widayat (2014) menyebutkan bahwa pergeseran
paradigma kepemimpinan ideal atau idealisme pemimpin menghantarkan sistem
pengelolaan pemerintahan yang dihiasi kepentingan kekuasaan sehingga
berdampak munculnya malpraktik kekuasaan berbasis kolusi, korupsi, dan
nepotisme (KKN). Hal ini bisa disadari secara seksama bahwa kekuasaan yang
kurang sehat memiliki kecenderungan untuk menghasilkan produk-produk
manusia berjiwa oportunis, tanpa memikirkan dampak negatif terhadap segala
pemikiran, perbuatan, dan kebijakan yang dilakukan.

5
Teori GONE adalah teori yang populer digunakan dalam penelitan fraud.
Penelitian ini menggunakan teori GONE dari Jack Bologne (1993) sebagai dasar
teori untuk meneliti faktor-faktor penyebab terjadinya perilaku fraud. Teori
GONE merupakan teori yang menyempurnakan Teori Triangle Fraud, dimana
kedua teori tersebutmengungkapkan alasan seorang koruptor melakukan tindak
fraud. Fraud Triangle Theorymerupakan teori yang meneliti tentang penyebab
terjadinya fraud yang pertama kali ditulis oleh Cressey (1953) dan dinamakan
fraud triangle atau segitiga kecurangan. Fraud triangle menurut Cressey (1953)
menjelaskan tiga faktor yang hadir dalam setiap situasi fraud yang meliputi
Pressure (Tekanan), Opportunity (Peluang), Rationalization (Rasionalisasi).

Teori GONE menyebutkan akar penyebab kecurangan terdiri dari empat


faktor yaitu: Greed, Opportunities, Need dan Expose. Greed terkait keserakahan
dan kerakusan para pelaku korupsi yang secara potensial ada dalam diri setiap
orang. Opportunity atau kesempatan terkait dengan sistem yang memberi lubang
terjadinya korupsi, yang berkaitan dengan keadaan organisasi/instansi atau
lingkungan masyarakat yang membuka kesempatan bagi seseorang untuk
melakukan kecurangan. Need atau kebutuhan adalah sikap mental yang tidak
pernah cukup, penuh sikap konsumerisme, dan selalu sarat kebutuhan yang tak
pernah usai. Exposes sebagai hal yang berkaitan dengan hukuman pada pelaku
korupsi yang rendah, hukuman yang tidak membuat jera pelaku maupun orang
lain, dan deterrence effect yang minim.

Getie Mihret (2014) meneliti budaya nasional dan risiko fraud pada 66
negara. Variabel independen budaya nasional menggunakan lima dimensi nilai
budaya Hofstede and Hofstede (2005) dan fraud sebagai variabel dependennya.
Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa risiko fraud tinggi ada pada negara
dengan budaya jarak kekuasaan yang lebar dan budaya orientasi jangka panjang
yang terbatas seperti Indonesia. Pada konteks Indonesia beberapa peneliti seperti
(Dewani & Chariri, 2015; Jatiningtyas & Kiswara, 2011; Nugroho, 2015) yang
mengamati fraud pengadaan barang/jasa pemerintah.Jatiningtyas & Kiswara
(2011) meneliti faktorfaktor yang mempengaruhi fraud pada pengadaan
barang/jasa pemerintah. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa terdapat

6
perbedaan yang signifikan dalam penilaian terhadap penghasilan panitia, sistem
dan prosedur, etika dan lingkungan pengadaan barang/jasa, antara panitia
pengadaan dan auditor BPKP, kecuali pada kualitas panitia pengadaan
barang/jasa.

Nugroho (2015) meneliti tentang Implementasi Sistem Pengadaan Secara


Elektronik (E-Procurement) terhadap fraud Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah,
yang menemukan bahwa sistem e-procurement berpengaruh secara signifikan dan
memiliki arah yang positif terhadap fraudpengadaan barang/jasa pemerintah,
sementara itu Dewani & Chariri (2015) meneliti modus pencucian uang di
Indonesia. Fokus dari penelitiannya adalah untuk mengungkapkan kasus-kasus
tindak pidana pencucian uang yang melibatkan artis wanita. Hasil penelitian
mereka menunjukkan bahwa auditor pemerintah mengakui esensi pencucian uang
sesuai dengan peraturan dan pendapat ahli. Artis wanita hanyalah korban atau
mereka dilibatkan sebagai pemegang dana korupsi. Zaini, Carolina, &Setiawan
(2015) meneliti Pengaruh Fraud Diamond dan Gone TheoryTerhadap Academic
Fraud. Mereka menyatakan bahwa tidak semua faktor yang terdapat dalam Fraud
Diamond berpengaruh terhadap fraud (faktor tekanan berpengaruh positif,
sedangkan kemampuan dan rasionalisasi tidak berpengaruh terhadap academic
fraud), sedangkan Faktor Gone Theory berpengaruh terhadap fraud (keserakahan,
kesempatan, dan exposes berpengaruh positif, sedangkan kebutuhan berpengaruh
negatif terhadap perilaku academic fraud).Didalam Teori Triangle Fraud yang
dikemukakan Cressey (1953) terdapat tiga faktor yang tepat untuk
menggambarkan alasan mengapa mereka melakukan fraud atau tindak kecurangan
yaitu adanya tekanan, peluang atau kesempatan, sedangkan didalam Teori GONE
yang dikemukakan Bologne (1993) sebagai landasan dalam penelitian ini terdapat
unsur Greed (Keserakahan), Opportunity (Kesempatan), Need (Kebutuhan),
Exposes (Hukuman yang rendah) yang dijadikan alasan seorang koruptor
melakukan tindak kecurangan/fraud.

Greed atau keserakahan sebagai faktor yang pertama disebutkan sebagai


penyebab terjadinya fraud. Faktor keserakahan cenderung membuat seseorang
buta akan tindakannya, menghalalkan segala cara untuk dapat memenuhi hasrat

7
materialnya Dewani & Chariri (2015), sehingga semakin tinggi tingkat
keserakahan sesorang maka semakin tinggi pula potensinya untuk melakukan
tindakan fraud.

Ha1: Greed berpengaruh secara positif terhadap perilaku kecurangan/fraud pada


pengadaan barang/jasa pemerintah.Bologne (1993) menempatkan faktor
opportunity atau kesempatan sebagai faktor yang kedua disebutkan sebagai
penyebab terjadinya fraud. Kesempatan merupakan bagian penting dari setiap
pekerjaan fraud karena kesempatan dianggap faktor pemicu terjadinya kecurangan
atau fraud (Albrecht et al., 2004). Kesempatan memiliki pengaruh yang signifikan
terhadap kecurangan atau fraud. Oleh karena itu semakin tinggi kesempatan untuk
melakukan fraud maka semakin tinggi pula potensi seseorang untuk melakukan
tindakan fraud.

Ha2: Opportunity berpengaruh secara positif terhadap perilaku kecurangan/fraud


pada pengadaan barang/jasa pemerintah.Terkait dengan faktor need atau
kebutuhan adalah faktor ketiga terjadinya fraud (Bologne, 1993), setiap orang
mempunyai kebutuhankebutuhan yang lebih sehingga dapat menjadi pendorong
terjadinya kecurangan dan untuk memenuhi kebutuhan tersebut orang akan
melakukan apa saja demi memenuhi kebutuhannya meskipun harus dengan
melakukan kecurangan sekalipun. Semakin tinggi tingkat kebutuhan maka
semakin tinggi pula potensi seseorang untuk melakukan tindakan fraud.

Ha3: Need berpengaruh secara positif terhadap perilaku fraud pada pengadaan
barang/jasa pemerintah. Hukuman yang rendah (exposes) adalah hal yang
berkaitan dengan tindakan atau konsekuensi yang dihadapi oleh pelaku
kecurangan apabila pelaku diketemukan melakukan kecurangan (Dewani &
Chariri, 2015). Hukuman yang rendah (exposes) belum menjamin tidak
terulangnya kecurangan tersebut baik oleh pelaku yang sama maupun oleh pelaku
yang lain. Semakin rendah tingkat hukuman maka semakin tinggi pula potensi
seseorang untuk melakukan tindakan fraud.

Ha4: Exposes berpengaruh secara positif terhadap perilaku fraud pada pengadaan
barang/jasa pemerintah.Tappen, Davis, & Tradewell (1995)menyebutkan bahwa

8
idealisme pimpinan pada dasarnya terkait dengan karakter pemimpin yang ideal
dimana seorang pemimpin mampu menjalankan kekuasaannya secara efektif dan
efisien, sehingga dapat mensejahterakan rakyatnya. Idealisme pimpinan yang
demikian cenderung berani beragumen dengan pendapat yang berbeda, meskipun
dianggap berbeda tetapi tetap percaya diri, cenderung optimis dan memiliki
pemikiran yang positif, dan berani mengambil segala risiko atas keputusannya.
Selanjutnya, Tappen et al. (1995) menyatakan bahwa pemimpin yang demikian
harus memenuhi syarat-syarat memiliki pengetahuan (knowledge), memiliki
kesadaran diri (self awareness), komunikatif, memiliki energi, memiliki tujuan
yang jelas, dan berorientasi padatindakan/action. Semakin tinggi tingkat idealisme
pimpinan maka semakin rendah potensi seseorang untuk melakukan tindakan
fraud.

Ha5: Idealisme pimpinan berpengaruh secara negatif terhadap perilaku


kecurangan/fraud pada pengadaan barang/jasa pemerintah.

Widayat (2014) idealisme pimpinan yang baik dengan sistem akan menentukan
individu yang bekerja didalamnya menjadi baik meskipun individu dalam suatu
kelompok tersebut kurang baik, namun sebaliknya apabila idealisme pimpinannya
buruk dengan sistem akan menentukan individu yang bekerja didalamnya menjadi
buruk meskipun individu dalam suatu kelompok tersebut mempunyai kualitas dan
kinerja yang bermutu dibidangnya. Idealismepimpinan di instusi pemerintah
mempunyai konsekuensi institusional sebagaicerminan sistem perilaku individu
birokrasi, sehingga idealisme pimpinan di hipotesiskan akan meningkatkan atau
menurunkan perilaku greed, opportunity, need dan exposes terhadap fraud.

Ha6: faktor greed akan menurunkan perilaku fraud apabila tingkat idealisme
pimpinan tinggi.

Ha7: faktor opportunity akan menurunkan perilaku fraud apabila tingkat idealisme
pimpinan tinggi.Ha8: faktor need akan menurunkan perilaku fraud apabila tingkat
idealisme pimpinan tinggi.Ha9: faktor exposes akan menurunkan perilaku fraud
apabila tingkat idealisme pimpinan tinggi.

9
2.2 Faktor Internal Penyebab Korupsi Beserta Contohnya
Faktor Internal merupakan faktor pendorong korupsi dari dalam diri, yang dapat
dirinci menjadi:

a. Aspek perilaku individu


1) Sifat Tamak/Rakus Manusia.

Korupsi, bukan kejahatan kecil-kecilan karena mereka membutuhkan


makan. Korupsi adalah kejahatan orang profesional yang rakus. Sudah
berkecukupan, tapi serakah. Mempunyai hasrat besar untuk memperkaya diri.
Unsur penyebab korupsi pada pelaku semacam itu datang dari dalam diri sendiri,
yaitu sifat tamak dan rakus. Maka tindakan keras tanpa kompromi, wajibnya.
Korupsi berkaitan dengan perbuatan yang merugikan kepentingan umum (publik)
atau masyarakat luas untuk keuntungan pribadi atau kelompok tertentu (Syarbaini,
2010). Menurut Nursyam (2000) dalam Kemendikbud (2011) bahwa penyebab
seseorang melakukan korupsi adalah karena ketergodaannya akan dunia materi
atau kekayaan yang tidak mampu ditahannya. Ketika dorongan untuk menjadi
kaya tidak mampu di tahan sementara akses ke arah kekayaan bisa diperoleh
melalui cara berkorupsi, maka jadilah seseorang akan melakukan korupsi.Contoh
Soal

Seorang pegawai suatu institusi ditugaskan atasannya untuk menjadi panitia


pengadaan barang, pegawai tersebut punya prinsip kekayaan adalah segala-
galanya sehingga dia mau menerima suap dari rekanan (penyedia barang).
Walaupun kehidupan keluarganya sudah mapan, karena baik suami dan maupun
isterinya bekerja.

2) Moral yang kurang kuatSeorang yang moralnya tidak kuat cenderung mudah
tergoda untuk melakukan korupsi. Godaan itu bisa berasal dari atasan, teman
setingkat, bawahannya, atau pihak yang lain yang memberi kesempatan untuk itu.
Moral yang kurang kuat salah satu penyebabnya adalah lemahnya pembelajaran
agama dan etika. Menurut kamus Purwadarminta, etika adalah ilmu pengetahuan

10
tentang asas-asas akhlak, yaitu ilmu yang mengajarkan manusia bagaimana
seharusnya hidup sebagai orang bermoral. Etika merupakan ajaran tentang norma
tingkah laku yang berlaku dalam suatu lingkungan kehidupan manusia. Seseorang
yang menjungjung tinggi etika atau moral dapat menghindarkan perbuatan
korupsi walaupun kesempatan ada. Tetapi kalau moralnya tidak kuat bisa tergoda
oleh perbuatan korupsi, apalagi ada kesempatan.

Sebetulnya banyak ajaran dari orang tua kita mengenai apa dan bagaimana
seharusnya kita berperilaku, yang merupakan ajaran luhur tentang moral. Namun
dalam pelaksanaannya sering dilanggar karena kalah dengan kepentingan duniawi.

Contoh SoalSeorang mahasiswi yang moralnya kurang kuat, mudah terbawa


kebiasaan teman untuk mencontek, sehingga sikap ini bisa menjadi benih-benih
perilaku korupsi.

3) Gaya hidup yang konsumtif.Kehidupan di kota-kota besar sering mendorong


gaya hidup seseorang konsumtif. Perilaku konsumtif bila tidak diimbangi dengan
pendapatan yang memadai akan membuka peluang seseorang untuk melakukan
berbagai tindakan untuk memenuhi hajatnya. Salah satu kemungkinan tindakan itu
adalah dengan korupsi. Menurut Yamamah (2009) dalam Kemendikbud (2011),
ketika perilaku materialistik dan konsumtif masyarakat serta sistem politik yang
masih mendewakan materi, maka memaksa terjadinya permainan uang dan
korupsi.

Contoh SoalSerang perawat sebuah rumah sakit mempunyai teman kelompok ibu-
ibu yang senang berbelanja, karena penghasilan perawat tersebut kurang
sedangkan kehidupannya konsumtif maka dia suka menjual sisa buat pasien yang
sebenarnya harus dikembalikan kepada rumah sakit.

4) Penghasilan yang kurang mencukupiPenghasilan seorang pegawai selayaknya


memenuhi kebutuhan hidup yang wajar. Bila hal itu tidak terjadi maka seseorang
akan berusaha memenuhinya dengan berbagai cara. Tetapi bila segala upaya yang
dilakukan ternyata sulit didapatkan, keadaan semacam ini akan member peluang
besar untuk melakukan tindak korupsi, baik korupsi waktu, tenaga atau pikiran.
Menurut teori GONE dari Jake Bologne, korupsi disebabkan oleh salah satu faktor

11
atau lebih dari: keserakahan, kesempatan, kebutuhan dan kelemahan hukum.
Adanya tuntutan kebutuhan yang tidak seimbang dengan penghasilan, akhirnya
pegawai yang bersangkutan karena keserakahannya akan melakukan
korupsi.Contoh SoalSeorang tenaga penyuluh kesehatan yang bekerja di suatu
puskesmas, mempunyai seorang istri dan empat orang anak. Gaji bulanan pegawai
tersebut tidak mencukupi kebutuhan hidup keluarganya. Pada saat member
penyuluhan di suatu desa, dia menggunakan kesempatan untuk menambah
penghasilannya dengan menjual obatobatan yang diambil dari Puskesmas, dengan
janji bahwa obat-obatan tersebut manjur. Penduduk desa dengan keluguannya
mempercayai petugas tersebut.

5) Kebutuhan Hidup Yang Mendesak

Dalam rentang kehidupan ada kemungkinan seseorang mengalami situasi terdesak


dalam hal ekonomi. Keterdesakan itu membuka ruang bagi seseorang untuk
mengambil jalan pintas, di antaranya dengan melakukan korupsi. Kehilangan
pekerjaan dapat menyebabkan seseorang terdesak dalam segi ekonomi. Orang bisa
mencuri atau menipu untuk mendapatkan uang. Di samping itu untuk untuk
mencukupi kebutuhan keluarga orang mungkin juga mencari pekerjaan dengan
jalan yang tidak baik. Untuk mencari pekerjaan orang menyuap karena tidak ada
jalan lain untuk mendapatkan pekerjaan kalau tidak menyuap justru malah
mengembangkan kultur korupsi (Wattimena 2012).

Contoh Soal

Seorang bidan melakukan tindakan mengaborsi ibu hamil dengan bayaran yang
tinggi karena terdesak oleh kebutuhan sehari-hari di mana suaminya di PHK dari
pekerjaannya.

7) Malas atau Tidak Mau BekerjaSebagian orang ingin mendapatkan hasil dari
sebuah pekerjaan tanpa keluar keringat atau malas bekerja. Sifat semacam ini
akan potensial melakukan tindakan apapun dengan cara-cara mudah dan cepat, di
antaranya melakukan korupsi.

12
Contoh SoalSeorang mahasiswa yang malas berpikir, tidak mau mengerjakan
tugas yang diberikan oleh dosen. Untuk mendapatkan nilai yang tinggi,
mahasiswa tersebut menyuruh temannya untuk mengerjakan tugas.

8) Ajaran Agama yang Kurang Diterapkan

Indonesia dikenal sebagai bangsa yang religious, yang tentu akan melarang tindak
korupsi dalam bentuk apapun. Agama apapun melarang tindakan korupsi. Di
antaranya agama islam sangat anti korupsi. Yang dilarang dalam islam bukan saja
perilaku korupnya, melainkan juga setiap pihak yang ikut terlibat dalam rangka
terjadinya tindakan korupsi itu. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa
korupsi masih berjalan subur di tengah masyarakat. Situasi paradok ini
menandakan bahwa ajaran agama kurang diterapkan dalam kehidupan.

Contoh SoalWalaupun agama sudah dipelajari sejak sekolah dasar sampai dengan
perguruan tinggi, beberapa orang mahasiswa tetap saja suka mencontek pada
waktu ujian. Seorang petugas kesehatan memeras pasiennya, padahal pada waktu
kuliah belajar agama dan etika.

b. Aspek sosialPerilaku korup dapat terjadi karena dorongan keluarga. Kaum


behavioris mengatakan bahwa lingkungan keluargalah yang secara kuat
memberikan dorongan bagi orang untuk korupsi dan mengalahkan sifat baik
seseorang yang sudah menjadi traits pribadinya. Lingkungan dalam hal ini malah
memberikan dorongan dan bukan memberikanan pada orang ketika ia
menyalahgunakan kekuasaannya.

Teori solidaritas Sosial yang dikembangkan oleh Emile Durkheim (1858-1917)


memandang bahwa watak manusia sebenarnya bersifat pasif dan dikendalikan
oleh masyarkatnya. Emile Durkheim berpandangan bahwa individu secara moral
adalah netral dan masyarakatlah yang menciptakan kepribadiannya.

Contoh SoalSeorang karyawan baru di suatu instansi pelayanan kesehatan sangat


dihargai oleh atasan dan teman-temannya karena perilakunya yang baik dan soleh.
Setelah menikah karyawan tersebut jadi orang yang suka menipu karena

13
terpengaruh oleh lingkungan keluarganya yang baru. Keluarganya senang
terhadap perubahan perilaku karyawan tersebut karena menghasilkan banyak
uang.

2. Faktor EksternalFaktor eksternal ialah pemicu perilaku korup yang disebabkan


oleh faktor di luar diri pelaku. Salah satu contoh kasus korupsi secara formal
ditujukan kepada perilaku pejabat publik, baik politikus maupun pegawai negeri
untuk memperkaya diri sendiri dengan menyalah gunakan wewenang dan
jabatannya. Tetapi korupsi juga bisa diartikan lebih luas ditujukan kepada perilaku
individu yang menimbulkan kerugian baik materiil maupun immaterial sehingga
menimbulkan dampak merugikan kepentingan umum baik secara langsung
maupun tidak langsung.

Beberapa faktor eksternal yang menyebabkan terjadinya korupsi:

a. Aspek sikap masyarakat terhadap korupsi

Pada umumnya jajaran manajemen selalu menutupi tindak korupsi yang dilakukan
oleh segelintir oknum dalam organisasi. Akibat sifat tertutup ini pelanggaran
korupsi justru terus berjalan dengan berbagai bentuk. Oleh karena itu sikap
masyarakat yang berpotensi menyuburkan tindak korupsi terjadi karena:

Nilai-nilai di masyarakat kondusif untuk terjadinya korupsi.

1) Korupsi bisa ditimbulkan oleh budaya masyarakat. Misalnya, masyarakat


menghargai seseorang karena kekayaan yang dimilikinya. Sikap ini sering kali
membuat masyarakat tidak kritis pada kondisi, misalnya dari mana kekayaan itu
didapatkan.

2) Masyarakat kurang menyadari bahwa korban utama korupsi adalah masyarakat


sendiri. Anggapan masyarakat umum terhadap peristiwa korupsi, sosok yang
paling dirugikan adalah negara. Padahal bila negara merugi, esensinya yang
paling rugi adalah masyarakat juga, karena proses anggaran pembangunan bisa
berkurang sebagai akibat dari perbuatan korupsi.

14
3) Masyarakat kurang menyadari bila dirinya terlibat korupsi. Setiap perbuatan
korupsi pasti melibatkan anggota masyarakat. Hal ini kurang disadari oleh
masyarakat. Bahkan sering kali masyarakat sudah terbiasa terlibat pada kegiatan
korupsi sehari-hari dengan cara-cara terbuka namun tidak disadari.

b. Aspek ekonomiPendapatan tidak mencukupi kebutuhan. Dalam rentang


kehidupan ada kemungkinan seseorang mengalami situasi terdesak dalam hal
ekonomi. Keterdesakan itu membuka ruang bagi seseorang untuk mengambil
jalan pintas di antaranya dengan melakukan korupsi. Gaya hidup yang konsumtif,
menjadikan penghasilan selalu dianggap kurang Lingkungan pergaulan juga
berperan mendorong seseorang menjadi lebih konsumtif dan tidak dapat
menetapkan prioritas kebutuhan.

c. Aspek politis

Menurut Rahardjo (1983) bahwa kontrol sosial adalah suatu proses yang
dilakukan untuk mempengaruhi orang-orang agar bertin3gkah laku sesuai dengan
harapan masyarakat. Kontrol sosial tersebut dijalankan dengan menggerakkan
berbagai aktivitas yang melibatkan penggunaan kekuasaan negara sebagai suatu
lembaga yang diorganisasikan secara politik, melalui lembaga-lembaga yang
dibentuknya. Dengan demikian instabilitas politik, kepentingan politis, meraih
dan mempertahankan kekuasaan sangat potensi menyebabkan perilaku korupsi.
Seseorang melakukan korupsi mungkin karena tekanan orang terdekatnya seperti
istri/suami, anak-anak yang menuntut pemenuhan kebutuhan hidup. Korupsi juga
bisa terjadi karena tekanan pimpinan atau rekan kerja yang juga terlibat.

Bahkan korupsi cenderung dimulai dari pimpinan, sehingga staf terpaksa terlibat
“the Power tends to corrupts absolute”. Kekuasaan itu cenderung ke korupsi,
kekuasaan mutlak mengakibatkan korupsi mutlak. Perilaku korup juga
dipertontonkan oleh partai politik. Tujuan berpolitik di salah artikan berupa tujuan
mencari kekuasaan dengan menghalalkan berbagai cara. Perilaku korup seperti
penyuapan, politik uang merupakan fenomena yang sering terjadi.

15
d. Aspek Organisasi

1) Kurang Adanya Sikap Keteladanan Pimpinan

Posisi pemimpin dalam suatu lembaga formal maupun informal mempunyai


pengaruh penting bagi bawahannya. Bila pemimpin tidak bisa memberi
keteladanan yang baik di hadapan bawahannya, misalnya berbuat korupsi maka
kemungkinan besar bawahnya akan mengambil kesempatan yang sama dengan
atasannya.

2) Tidak Adanya Kultur Organisasi Yang Benar

Kultur organisasi biasanya punya pengaruh kuat terhadap anggotanya. Apabila


kultur organisasi tidak dikelola dengan baik, akan menimbulkan berbagai situasi
tidak kondusif mewarnai kehidupan organisasi. Pada posisi demikian perbuatan
negatif, seperti korupsi memiliki peluang untuk terjadi.

3) Kurang Memadainya Sistem Akuntabilitas

Institusi pemerintahan umumnya pada satu sisi belum dirumuskan dengan jelas
visi dan misi yang diembannya, dan belum dirumuskan tujuan dan sasaran yang
harus dicapai dalam periode tertentu guna mencapai hal tersebut. Akibatnya,
terhadap instansi pemerintah sulit dilakukan penilaian apakah instansi tersebut
berhasil mencapai sasarannya atau tidak. Akibat lebih lanjut adalah kurangnya
perhatian pada efisiensi penggunaan sumber daya yang dimiliki. Keadaan ini
memunculkan situasi organisasi yang kondusif untuk praktik korupsi.

4) Kelemahan Sistem Pengendalian ManajemenPengendalian manajemen


merupakan salah satu syarat bagi tindak pelanggaran korupsi dalam sebuah
organisasi. Semakin longgar/lemah pengendalian manajemen sebuah organisasi
akan semakin terbuka perbuatan tindak korupsi anggota atau pegawai di
dalamnya.

5) Lemahnya PengawasanSecara umum pengawasan terbagi menjadi dua, yaitu


pengawasan internal (pengawasan fungsional dan pengawasan langsung oleh
pimpinan) dan pengawasan bersifat eksternal (pengawasan dari legislatif dan

16
masyarakat). Pengawasan ini kurang bisa efektif karena beberapa faktor, di
antaranya adanya tumpang tindih pengawasan pada berbagai instansi, kurangnya
profesional pengawas serta kurangnya kepatuhan pada etika maupun
pemerintahan oleh pengawas sendiri.

e. Aspek

Substansi di Indonesia sudah menjadi rahasia umum, masih ditemukan aturan-


aturan yang diskriminatif, berpihak, dan tidak adil, rumusan yang tidak jelas
sehingga menjadi multi tafsir, kontradiksi dan overlapping dengan peraturan lain
baik yang sederajat maupun lebih tinggi). Penegakan hukum juga masih menjadi
masalah. Masyarakat umum sudah mulai luntur kepercayaan kepada aparat
penegak hukum, karena praktek-praktek penegakan yang masih diskriminatif, dan
tindak jelas tujuannya. Masyarakat menganggap ketika terlibat masalah hukum
pasti butuh biaya yang tidak sedikit untuk aparat penegak hukum. Muncul
lelucon, kalau hilang ayam, lapor ke aparat, jadi hilang sapi, karena biaya perkara
yang mahal. Sehingga orang-orang yang banyak uang, dianggap akan luput dari
jerat atau mungkinkannya lebih ringan dan mendapatkan berbagai kemudahan.

17

You might also like