Professional Documents
Culture Documents
Menolak Paradox of Plenty
Menolak Paradox of Plenty
(Riski Ismail)
Masih segar dalam ingatan kita beberapa waktu yang lalu, saat Presiden Joko
Widodo secara tegas mengatakan Indonesia bisa keluar dari kutukan sumber
daya alam menuju industri yang memiliki nilai tambah tinggi. Dilansir dari
republika.co.id (17/07/2020), secara rinci upaya tersebut dapat dilakukan dengan
tiga hal, yakni inovasi distruptif, kualitas sumberdaya manusia (SDM) unggul dan
penguasaan teknologi. Paradoks memang, jika kita kaitkan langkah kebijakan
pemerintah dengan angka pertumbuhan ekonomi yang cenderung melambat,
baik sebelum dilanda pandemi maupun pasca diterapkan new normal.
Istilah “kutukan sumber daya alam” pertama kali dicetuskan oleh ekonom
sosial, Auty (1993). Negara yang kaya akan sumber daya alam berupa minyak
bumi, gas alam. Namun, tidak dibarengi dengan kemampuan sumber daya
manusia dalam memanfaatkan kekayaannya untuk mendorong perekonomian,
akan cenderung mengalami perlambatan ekonomi juga performa pembangunan
ekonomi dan tata kelola pemerintahannya (good governance), akan lebih rendah
dibandingkan dengan negara yang minim sumber daya alam.
Sach dan Stiglitz (2007) dalam bukunya “Escaping The Resource Curse”
membagi empat pemain utama dalam masalah ini. Terdiri dari perusahaan
berskala internasional, perusahaaan nasional, pemerintah dan perwakilan dari
rakyat dimasing-masing daerah. Dari empat pemain utama tersebut munculah
yang disebut dengan asimetris informasi, agen asimetris dan kekuatan tawar.
Masalah agen asimetris adalah masalah yang paling mendasar dibanding dua
masalah asimetris lainya yang hanya berperan sebagai pendukung.
Masalah asimetris keagenan ini muncul manakala yang bersangkutan tidak loyal
melayani kepentingan prinsipal atau aktor utamanya. Karenanya, langkah
pertama dalam sebuah analisis adalah mengidentifikasi prinsipalnya. Dari sinilah
teori politik bermula, kepemilikan sumberdaya alam kerap dikaitkan dengan
kedaulatan suatu negara. Menurut teori politik modern, kedaulatan berada di
tangan rakyat. Tetapi kenyataannya tidak selalu begitu. Cristopher W. Moris
dalam dunia politik kontemporer, gagasan kedaulatan rakyat ini terlalu sering
dipahami sebagai satu prosedur yang sederhana mengenai satu lembaga politik
yang dianggap mewakili kedaulatan rakyat, yang dapat menggunakan
kekuasaanya atas nama rakyat. Meski demikian, demi memahami persoalan
keagenan ini, maka kita harus mengidentifikasikan rakyat sebagai prinsipal.