You are on page 1of 2

Menolak Paradox Of Plenty

(Riski Ismail)

Masih segar dalam ingatan kita beberapa waktu yang lalu, saat Presiden Joko
Widodo secara tegas mengatakan Indonesia bisa keluar dari kutukan sumber
daya alam menuju industri yang memiliki nilai tambah tinggi. Dilansir dari
republika.co.id (17/07/2020), secara rinci upaya tersebut dapat dilakukan dengan
tiga hal, yakni inovasi distruptif, kualitas sumberdaya manusia (SDM) unggul dan
penguasaan teknologi. Paradoks memang, jika kita kaitkan langkah kebijakan
pemerintah dengan angka pertumbuhan ekonomi yang cenderung melambat,
baik sebelum dilanda pandemi maupun pasca diterapkan new normal.

Mengacu pada data BPS, pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2020


tercatat minus 2,07 persen. Realisasi produk domestik bruto (PDB) ini anjlok
dibandingkan tahun 2019 sebesar 5,02 persen, sekaligus terburuk sejak krisis
1998 yang tumbuh minus 13,16 persen. Berbanding lurus dengan pertumbuhan
ekonomi yang melambat, tingkat kemiskinan juga terus terjadi peningkatan di
tahun 2020 yakni sebesar 9,78 persen.

Sebagai negara dengan kekayaan sumber daya alam yang melimpah,


seyogyanya laju pertumbuhan ekonomi harus sejalan dengan sumber daya alam
yang ada, sehingga berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Ketidak-sesuaian inilah yang disebut dengan kutukan sumber daya alam.

Istilah “kutukan sumber daya alam” pertama kali dicetuskan oleh ekonom
sosial, Auty (1993). Negara yang kaya akan sumber daya alam berupa minyak
bumi, gas alam. Namun, tidak dibarengi dengan kemampuan sumber daya
manusia dalam memanfaatkan kekayaannya untuk mendorong perekonomian,
akan cenderung mengalami perlambatan ekonomi juga performa pembangunan
ekonomi dan tata kelola pemerintahannya (good governance), akan lebih rendah
dibandingkan dengan negara yang minim sumber daya alam.

Secara makro, pendapatan dari sektor pertambangan memang berkontribusi


bagi stabilitas APBN. Kontradiktif memang, jika ditinjau secara mikro fenomena
yang terjadi di negeri ini. Lihat saja Aceh, daerah yang dikaruniai kekayaan alam
berupa perak, gas alam, minyak bumi, emas dan batu bara, namun terbukti
menyumbang angka kemiskinan tertinggi 15,43 persen (BPS,2020). Disusul Riau
yang didominasi minyak bumi dan gas alam serta Papua dengan tambang
tembaga dan emasnya, namun pertumbuhan ekonomi papua melemah minus
10,44 persen, dengan menyumbang tingkat kemiskinan dan angka buta huruf
tertinggi tinggi di Indonesia.

Sachs dan Warner, (2001) dalam penelitiannya menemukan bahwa pertumbuhan


ekonomi di negara kaya sumber daya alam cenderung melambat, juga
cenderung terjebak pada fenomena rent seeking. Mendasari penelitian tersebut,
muncul berbagai anggapan bahwa sumber daya alam, justru lebih merupakan
kutukan daripada sebagai berkah. Temuan ini sejalan dengan Nankani (1980)
bahwa negara pengekspor mineral tidak memberikan dampak yang signifikan
terhadap pertumbuhan ekonomi.
Mematahkan Kutukan

Sach dan Stiglitz (2007) dalam bukunya “Escaping The Resource Curse”
membagi empat pemain utama dalam masalah ini. Terdiri dari perusahaan
berskala internasional, perusahaaan nasional, pemerintah dan perwakilan dari
rakyat dimasing-masing daerah. Dari empat pemain utama tersebut munculah
yang disebut dengan asimetris informasi, agen asimetris dan kekuatan tawar.
Masalah agen asimetris adalah masalah yang paling mendasar dibanding dua
masalah asimetris lainya yang hanya berperan sebagai pendukung.

Masalah asimetris keagenan ini muncul manakala yang bersangkutan tidak loyal
melayani kepentingan prinsipal atau aktor utamanya. Karenanya, langkah
pertama dalam sebuah analisis adalah mengidentifikasi prinsipalnya. Dari sinilah
teori politik bermula, kepemilikan sumberdaya alam kerap dikaitkan dengan
kedaulatan suatu negara. Menurut teori politik modern, kedaulatan berada di
tangan rakyat. Tetapi kenyataannya tidak selalu begitu. Cristopher W. Moris
dalam dunia politik kontemporer, gagasan kedaulatan rakyat ini terlalu sering
dipahami sebagai satu prosedur yang sederhana mengenai satu lembaga politik
yang dianggap mewakili kedaulatan rakyat, yang dapat menggunakan
kekuasaanya atas nama rakyat. Meski demikian, demi memahami persoalan
keagenan ini, maka kita harus mengidentifikasikan rakyat sebagai prinsipal.

Untuk mengeksploitasi sumber daya alam, perusahaan perlu mendapatan


konsesinya lebih dahulu. Perusahaan hanya memperolehnya dari rezim yang
berkuasa, tapi dalam hal ini rezim tersebut bukanlah prinsipal. Melainkan mereka
yang mewakili rakyat. Para penguasa mendapatkan imbalannya dari perusahaan
tersebut, bukan dari rakyat yang kepentingannya justru harus mereka lindungi.
Dengan sumber kekayaan itu, para penguasa memiliki modal yang lebih kuat
agar tetap berkuasa dan punya kemampuan finansial besar dalam genggaman.
Hal ini menjelaskan mengapa negara yang kaya sumber daya alam cenderung
kurang demokratis dan kerap jatuh ke tangan para penguasa represif.

Demi mematahkan kutukan, kita harus mengurai persoalan dengan seksama.


Kuncinya adalah kepiawaian kita dalam pengelolaan sumberdaya alam. Jangan
sampai justru kekayaan alam tersebut menjadi kutukan. Pertama, kita harus
merumuskan secara tegas dan lugas mengenai peran negara. UUD 1945 pasal
33 (3) dengan gamblang menyatakan bahwa kekayaan alam dikuasi oleh negara
dan dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Negara harus
mampu mewujudkan peruntukan kekayaan sumber daya alam kita bagi seluruh
rakyat. Untuk itu pemerintah harus memanfatkan instrumen kebijakan yang
memadai lewat mekanisme perpajakan. Daerah penghasil sumber daya alam
telah diberikan hak lebih setelah penerapan otonomi daerah. Dengan mekanisme
fiskal yang tersedia, pemerintah pusat bisa merelokasi dana yang diperoleh dari
pengelolaan sumber daya alam untuk memajukan pembangunan daerah.
Sedangkan pemerintah daerah bisa memanfaatkan dana bagi hasil untuk
menumbuhkembangkan kegiatan produktif dan mentransformasikannya untuk
peningkatan kesejahteraan rakyat.

You might also like