You are on page 1of 2

RATIO DECIDENDI DALAM PUTUSAN FERDY SAMBO

OLEH:
ANDIKA MEIGISTA CAHYA HENDRA KUSUMA
NIM : 231963001

Sebelum kami menjelaskan,…kami akan mencoba untuk Mencari Pengertian terkait RATIO
DECINDENDI,…
RATIO DECINDENDI Adalah ungkapan dalam bahasa Latin yang berarti "alasan putusan".
Dalam bidang hukum, ratio decidendi adalah alasan atau penalaran yang menjadi pokok
suatu putusan

Dalam beberapa bulan terakhir ini, kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua
Hutabarat atau Brigadir J kerap menghiasi pemberitaan di media massa. Publik menaruh
perhatian besar dalam kasus tersebut dengan mengikuti setiap episode proses hukumnya.
Irjen Ferdy Sambo adalah salah satu terdakwa yang banyak disorot publik karena dianggap
otak dalam kasus pembunuhan Brigadir J. Dari beberapa terdakwa, Ferdy Sambo
merupakan terdakwa pertama yang dijatuhi vonis oleh majelis hakim. Dari tuntutan pidana
seumur hidup, majelis hakim menjatuhkan vonis lebih tinggi yakni pidana mati.
Menurut kami selaku mahasiswa program pasca sarjana universitas wijaya putra ( UWP)
Andika Meigista Cahya Hendra Kusuma menilai vonis mati yang dijatuhkan hakim kepada
Ferdy Sambo, tidak semata-mata didasarkan pada faktor yuridis (hukum) saja. Namun juga
faktor non-yuridis seperti :

1.keadaan diri terdakwa,


2.akibat yang ditimbulkan dari tindak pidana yang dilakukan terdakwa,
3.cara terdakwa melakukan tindak pidana,
4.keadaan korban tindak pidana, dan lain sebagainya.

“Faktor non-yuridis inilah yang paling banyak mempengaruhi hakim dalam menentukan
bobot pidana yang dijatuhkan. Hakim akhirnya memilih menjatuhkan pidana mati bukan
pidana lainnya karena melihat faktor non-yuridis sebagaimana dicantumkan dalam alasan-
alasan yang memperberat,.

Menurut majelis hakim, ada banyak alasan yang memperberat pidana Ferdy Sambo, antara
lain:

1. kedudukan Ferdy Sambo sebagai Kadiv Propam Polri,


2.korban adalah ajudan yang telah mengabdi selama 3 (tiga) tahun,
3.perbuatan Ferdy Sambo mengakibatkan duka yang mendalam bagi keluarga korban,
4.Perbuatan Ferdy Sambo menimbulkan keresahan bagi masyarakat luas.

“Majelis hakim menganggap tidak ada alasan-alasan yang memperingan, sehingga wajar
jika hakim mengganjar dengan pidana mati,”

dalam suatu putusan, paling tidak hakim akan mempertimbangkan 3 (tiga) kepentingan
sekaligus, yaitu :
1. terdakwa sendiri,
2.korban, dan
3.masyarakat.

Untuk tindak pidana yang relatif ringan atau sedang hakim biasanya masih
mempertimbangkan kepentingan terdakwa untuk memperbaikinya (rehabilitasi).

Sementara untuk tindak pidana yang berat, hakim akan lebih cenderung mempertimbangkan
kepentingan korban dan masyarakat (general deterrence). Dalam putusan Ferdy Sambo,
hakim jelas menganggap perbuatan yang dilakukannya merupakan tindak pidana berat,
sehingga vonis yang dijatuhkan cenderung berpihak kepada kepentingan korban dan
masyarakat.
Selain itu, penjatuhan pidana mati menunjukkan bahwa hakim cenderung menggunakan
teori tujuan pemidanaan retributif atau pembalasan (quia peccatum) dengan berpandangan
bahwa perbuatan Ferdy Sambo yang sangat keji dan tidak manusiawi patut diganjar dengan
pidana yang setimpal (talio beginsel).
Sedangkan secara teoritis dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), sanksi
pidana dirumuskan dengan pola antara, yaitu ada rentang minimal dan maksimal.

“Pidana minimal (straf minima) untuk semua tindak pidana adalah sama, sementara pidana
maksimalnya (straf maksima) masing-masing tindak pidana berbeda. Inilah yang dikenal
dengan sistem pidana minimum umum-maksimum khusus,”

Ia pun menambahkan salah satu perbuatan yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum
terhadap Ferdy Sambo adalah tindak pidana pembunuhan berencana sebagaimana diatur
dalam Pasal 340 KUHP. Ancaman pidana maksimalnya berupa pidana penjara 20 tahun,
pidana penjara seumur hidup, atau pidana mati.
“Sementara pidana minimal untuk semua tindak pidana adalah 1 (satu) hari. Di sini, secara
yuridis hakim diberikan kewenangan untuk menjatuhkan pidana di antara rentang 1 (hari)
penjara sampai dengan pidana maksimal tersebut,”

You might also like