Professional Documents
Culture Documents
Fitroh Dan Potensi Manusia
Fitroh Dan Potensi Manusia
1
urusan Tuhan. Allah SWT berfirman:“Katakanlah: ‘ruh adalah urusan Tuhan-Ku, kamu
tidak diberi ilmu kecuali sedikit” (QS. Al-Isra’: 85)
c. Potensi Qalbu
Qalbu disini tidak dimaknai sebagai hati yang ada pada manusia. Qalbu lebih mengarah pada
aktifitas rasa yang bolak-balik. Sesekali senang, sesekali susah, kadang setuju kadang
menolak.
Qalbu berhubungan dengan keimanan. Qalbu merupakan wadah dari rasa takut, cinta, kasih
sayang, dan keimanan. Karena qalbu ibarat sebuah wadah, ia berpotensi menjadi kotor atau
tetap bersih.
2
C. Ayat-Ayat tentang Potensi Manusia
Firman Allah: “Dan siapakah yang lebih baik agamanya dan pada orang yang ikhlas
menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan dan ia mengikuti
agama Ibrahim yang lurus. “ (Q.S An Nisa': 125)
Dan firman-Nya
“Barang siapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia orang yang
berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang
kokoh.” (Q.S. Luqman: 22)
c) Aspek Tarbawi (pendidikan)
Hendaknya senantiasa mengingat Allah SWT. yang menciptakan seluruh alam.
Selalu berserah diri dan beribadah kepada Allah SWT.
3
Penjelasan ayat ini adalah bahwa tidak ada yang kekal dikehidupan ini. Orang-orang
musyrik bergembira jika musibah kematian menimpa Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Mereka mengatakan : “Kita menunggu ajal menimpanya”.2[2]
Ayat ini menjelaskan bahwa semua yang makhluk bernafas di muka bumi ini akan
mati, baik Rasullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam maupun para Nabi dan Rasul sebelumnya.
Kegembiraan orang-orang musyrik atas kematian beliau tidak berguna sama sekali, karena
mereka pun juga akan mati.
Dalam ayat ini Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman kepada Nabi-Nya Shallallahu
‘alaihi wa sallam (yang maknanya): “wahai Muhammad, Kami tidak menjadikan anak cucu
Adam hidup abadi di dunia ini sebelum kamu; sehingga Aku mengabadikan kamu; dan kamu
akan mati sebagaimana mereka”.3[3]
2[2] Abû bakar Jâbir al-Jazâiri, Aisarut Tafasir, Maktabah Ulûm wal Hikam. (Madinah: 2003), hlm. 412
3[3] Muhammad bin Jarîr Abû Ja’far at-Thabary, Tafsir at-Thabari. (Lebanon: Muassasah Risâlah, 2000
), hlm. 439
4[4] Salim Bahreisy & Said Bahreisy. Terjemahan singkat Tafsir Ibnu Katsir.(Surabaya: PT. Bina Ilmu,
1990), hlm. 360
4
Imam Ibnu Katsir berkata: “Alloh Ta’ala memberitakan tentang manusia dan sifat-
sifat tercela yang ada padanya, kecuali orang-orang yang dirahmati oleh Alloh, yaitu hamba-
hambaNya yang beriman. Bahwa manusia itu jika ditimpa oleh kesusahan setelah
kenikmatan, dia berputus asa dari kebaikan terhadap masa depan, dan dia mengingkari
(kebaikan) yang telah lewat, seolah-olah dia tidak pernah melihat kebaikan, dan setelah itu
dia tidak berharap kelonggaran. Demikian juga jika manusia itu mengalami kenikmatan
setelah kesusahan, “dia akan berkata: “Telah hilang bencana-bencana itu daripadaku”, yaitu:
setelah ini kesusahan dan keburukan tidak akan menimpaku lagi.
FirmanNya: “Sesungguhnya dia sangat gembira lagi bangga“, yaitu dia bergembira
dan bersombong dengan apa yang ada di tangannya, berbangga terhadap orang lain”.
FirmanNya: “Kecuali orang-orang yang sabar“, yaitu menghadapi kesusahan-kesusahan dan
perkara-perkara yang tidak disukai; firmanNya “dan mengerjakan amal-amal saleh“, yaitu
pada waktu longgar dan sehat; firmanNya: “mereka itu beroleh ampunan“, yaitu dengan
sebab kesusahan yang mereka alami; firmanNya: “dan pahala yang besar“, dengan sebab
amalan mereka pada waktu longgar”. (Tafsir Ibnu Katsir, surat Huud: 9-11)5[5]
6[6] Abdur-Rahmân bin Alî bin Muhammad Al-Jauzî, Zadul Masir, (Beirut: al-Maktab Al-Islami, 1404
H), hlm. 350
5
dan kalau menjamu orang lain makan ke dalam rumahnya akan disediakannya makanan yang
agak istimewa daripada makanannya sehari-hari. Tetapi dalam waktu yang tidak dicampuri
orang lain, mungkin mereka hanya makan sekali sehari dengan laukpauk yang serba kurang.
Orang luar tidak boleh mengetahui itu. Kadang-kadang terjadi perselisihan suami dan
isteri dalam perkara yang kecil-kecil, entah karena kekurangan belanja, entah karena
kenakalan anak. Orang luar tidak perlu tahu akan hal itu. Urusan rumah tangga adalah urusan
tersendiri dalam rumahtangga itu tersendiri, yang tidak boleh diketahui oleh orang lain. Oleh
sebab itu menurut peraturan agama Islam yang dijelaskan dalam ayat ini, sekali-kali tidak
boleh seorang yang merasa dirinya beriman kepada Tuhan dan taat kepada Rasul, masuk saja
ke dalam rumah orang, siapa pun orangnya, kalau tidak dengan izinnya.
Tidak perduli apakah rumah itu istana presiden yang lengkap penjaga dan
pengawalnya, ataupun gubuk buruk beratapkan rumbia di lorong yang sempit penuh lumpur.
Namun kedaulatan penghuni rumah itu atas rumahnya tetaplah sama.
Bagaimana seseorang yang pulang dari kerja keras mengurus penghidupan,
menanggalkan pakaian yang lekat di tubuh, tinggal baju kaos dan celana katok (celana dalam)
tiba-tiba dalam keadaannya demikian itu datang' saja orang lain tanpa salam dan tanpa
memberitahu? Dan masuk saja tanpa izin? Bagaimana perasaan seorang perempuan
terhormat, sedang dia hanya berkutang sehelai dan berkain sesampul gantung, merasa aman
karena hanya dengan suaminya dan anak-anaknya, tiba-tiba muncul saja orang lain dari pintu,
padahal hubungan dengan orang lain itu selama ini adalah dalam batas kesopanan?
Di dalam hal ini diterangkan benar, jangan masuk ke dalam sebuah rumah
sebelum tasta'nisun, artinya diketahui benar terlebih dahulu bahwa yang empunya rumah
sedang senang, sedang gembira menerima tamu. Wa tusallimu, artinya dengan disertai ucapan
salam kepada sahibul bait yang empunya rumah. Maka kedua syarat ini tidak boleh terpisah,
kesukaan yang empunya rumah dan ucapan salam. Sekali-sekali jangan menerobos saja
masuk sambil mengucapkan salam, padahal yang empunya rumah belum menyatakan suka
menerima kita, jangan pula masuk saja sebelum mengucapkan salam.8[8]
a) Mufrodat
اس َ َّالن : Manusia
َوجْ هَك َ : Wajahmu
يل َ تَ ْب ِد : Perubahan
لِلدِّي ِن : Wajahmu
َ ْ َأ
كث َر : Kebanyakan
ًحنِيفا
َ : Dengan lurus
َ
َيَ ْعل ُمون : Mengetahui.
ْ
َفِط َرت : Fitrah
b) Tafsir
Dalam ayat tersebut, Allah menjelaskan bahwa fitrah yang dimaksud adalah“al-dinu
al-Qayyim” agama yang lurus. Akan tetapi, potensi tersebut juga dapat dipengaruhi oleh
faktor dari luar baik berupa pendidikan ataupun lingkungan yang dalam hadits diatas
digambarkan dengan faktor orang tua.
8[8] HAMKA, Tafsir al-Azhar, (Jakarta:PT. Panji Mas, 1983), hlm. 3
6
Sebagai potensi dasar, maka fitrah itu cenderung kepada potensi-potensi psikologis
yang perlu untuk dikembangkan ke arah yang benar. Diantara potensi psokologis tersebut
adalah:
Beriman kepada Allah SWT.
Kecenderungan untuk menerima kebenaran, kebaikan, termasuk untuk menerima pendidikan
dan pengajaran.
Dorongan ingin tahu untuk mencari hakikat kebenaran yang berwujud daya fikir.
Dorongan biologis yang berupa syahwat dan tabiat
Kekuatan-kekuatan lain dan sifat-sifat manusia yang dapat dikembangkan dan dapat
disempurnakan.9[9]
Ibn taimiyah dalam menginterprestasikan fitrah yang dibawa oleh manusia
adakalanya:
Fitrah al Ghazirah, yaitu fitrah inheren dalam diri manusia yang memberikan daya akal
(Quwwah al-aql), yang berguna untuk mengembangkan potensi dasar manusia.
Fitrah al-Munazzal, yaitu fitrah luar yang masuk pada diri manusia. Fitrah ini berupa
petunjuk al-Qur’an dan as-sunnah yang digunakan sebagai kendali dan pembimbing bagi
fitrah al-Gazirah.
Dapat disimpulkan bahwa fitrah yang berupa pembawaan pada diri manusi
merupakan potensi-potensi dasar manusia yang memiliki sifat kebaikan dan kesucian untuk
menerima rangsangan (pengaruh) dari luar menuju pada kesempurnaan dan kebenaran.
Namun, fitrah manusia bukanlah satu-satunya potensi yang dapat mencetak manusia
sesuai dengan fungsinya. Ada juga potensi lain yang menjadi kebalikann dari fitrah ini, yaitu
nafs yang mempunyai kecenderungan pada keburukan dan kejahatan. Untuk itu fitrah harus
tetap dikembangkan secara wajar dengan fitrah al-Munazzal yang dijiwai oleh wahyu (al-
Qur’an dan as-Sunnah), sehingga dapat mengarahkan perkembangan seorang anak kepada
jalur yang benar secara kaamilah. Oleh karena betapa pentingnya pendidikan untuk
mengarahkan perkembangan manusia ke arah yang benar (ad-din al-Qayyim), hendaklah
suatu pendidikan mulai ditanamkan sejak dini.
Melatih dan membiasakan suatu perbuatan baik, merupakan metode yang amat tepat
dilakukan pada masa usia anak-anak. Karena dari metode pembiasaan inilah akan
terbentuknya jiwa dan kepribadian yang baik.
Dalam hadis lain disebutkan:
“Dari Anas bin Malik, dari Rasulullah SAW bersabda: Muliakanlah anak-anakmu dan
perbaikilah adab mereka.” (HR. Ibn Majah)
Potensi-potensi yang dibawa oleh manusia sejak lahir sangatlah rentan akan
pengaruh-pengaruh dari luar, oleh sebab sejak usia dini fitrah tersebut harus diarahkan dan
dibimbing ke arah yang benar dengan pendidikan kepribadian (akhlak) dan pendidikan
agama. Dalam hal ini orang tua adalah faktor yang sangat berpengaruh, karena orang tua
adalah orang pertama kali yang bersentuhan dengan seorang anak.
Sejak usia dini, seorang anak mulai mengenal dunia di luar dirinya secara objektif
disertai pengahayatan secara subjektif. Mulai adanya pengenalan pada Aku sendiri dengan
bantuan bahasa dan kata-kata. Nabi SAW mengingatkan agar orang tua mengajarkan dan
mendidik anak dengan beberapa hal diantaranya adalah adab, shalat, kecintaan dengan Nabi
dan al-Qur’an, serta mengembangkan minat dan bakat.
Pendidikan merupakan salah satu kebutuhan pokok dalam kehidupan manusia yang
berfikir bagaimana menjalani kehidupan dunia ini dalam rangka mempertahankan hidup
dalam hidup dan penghidupan manusia yang mengemban tugas dari Sang Kholiq untuk
7
beribadah.
Manusia sebagai mahluk yang diberikan kelebihan oleh Allah SWT dengan suatu bentuk akal
pada diri manusia yang tidak dimiliki mahluk Allah yang lain dalam kehidupannya, bahwa
untuk mengolah akal pikirnya diperlukan suatu pola pendidikan melalui suatu proses
pembelajaran.
Berdasarkan undang-undang Sisdiknas No.20 tahun 2003 Bab I, bahwa pendidikan adalah
usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar
peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan
yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Selanjutnya diuraikan bahwa dalam upaya membina tadi digunakan asas/pendekatan
manusiawi/humanistik serta meliputi keseluruhan aspek/potensi anak didik serta utuh dan
bulat (aspek fisik–non fisik : emosi–intelektual ; kognitif–afektif psikomotor), sedangkan
pendekatan humanistik adalah pendekatan dimana anak didik dihargai sebagai insan manusia
yang potensial, (mempunyai kemampuan kelebihan-kekurangannya dll), diperlukan dengan
penuh kasih sayang – hangat – kekeluargaan – terbuka – objektif dan penuh kejujuran serta
dalam suasana kebebasan tanpa ada tekanan/paksaan apapun juga.10[10]
Kesimpulan
Manusia adalah mahluk yang sempurna dibandingkan dengan makhluk lain. Ia diberi
berbagai potensi oleh tuhan untuk dikembangkan dan digali agar manusia itu dapat menjadi
insan kamil. Potensi yang dimiliki oleh manusia ada beberapa diantaranya : potensi akal,
potensi ruh, potensi qalbu, potensi fitrah, dan potensi nafs.
Selain itu dalam Alquran telah diterangkan mengenai potensi manusia dalm Surah Al
– An’am ayat 79
“Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi,
dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah Termasuk orang-orang yang
mempersekutukan tuhan”.
Jadi manusia harus bersyukur karena Allah telah memberinya berbagai potensi,
dibandingkan dengan mahluk selain manusia.
10[10] http://iyhaelmawat.blogdetik.com, berilmu dalam tafsir ibnu katsir. Diakses, 6 april 2013.
8
9