You are on page 1of 27

BAB I

LATAR BELAKANG

1.1 Latar Belakang


Ginjal merupakan organ yang penting bagi tubuh karena salah satu
fungsinya yaitu metabolisme. Dalam ginjal terdapat bagian-bagian yang
melakukan proses metabolime secara padu. Salah satu bagiannya yaitu
nefron. Nefron merupakan suatu unit fungsional terkecil dari ginjal. Bagian
nefron terdiri dari glomerulus, kapsula bowman, tubulus dan duktus
kolektifus. Glomerulus merupakan bagian nefron yang berfungsi untuk
melakukan filtrasi darah yang akan menyerap bahan yang diperlukan untuk
tubuh dan membuang sisa metabolisme melalui urin.2
Glomerulonefritis adalah penyebab utama gangguan ginjal. Presentase
penyebab adanya penyakit ginjal stadium akhir di Amerika sebesar 10-15%.
Dalam beberapa kasus, glomerulonefritis ini menjadi progesif tanpa
intervensi tepat waktu yang menyebabkan morbiditas. Penyakit ginjal ini
ditandai dengan kerusakan pada membran dasar, mesangium, atau endotel
kapiler, yang mengakibatkan hematuria, proteinuria, dan azotemia.1
Glomerulonefritis merupakan keadaan inflamasi di glomerulus sehingga
menggangu fungsinya untuk memfiltrasi darah. Penyebab dari
glomerulonefritis dibagi menjadi 2 yaitu primer dan sekunder. Menurut
progesivitasnya dibagi juga menjadi 2 yaitu akut dan kronis.
Manifestasi klinis secara umum pada pasien glomerulonefritis bisa
berlangsung secara mendadak (akut) atau secara menahun (kronis) seringkali
tidak diketahu karena tidak menimbulkan gejala. Glomerulonefritis kronik
ditandai proteinurian persisten dengan atau tanpa hematuria disertai
penurunan fungsi ginjal progresif lambat.
Gejalanya dapat berupa mual-mual, kurang darah (anemia), atau
hipertensi. Gejala umum berupa sembab kelopak mata, kencing sedikit, dan
berwarna merah, biasanya disertai hipertensi. Penyakit ini umumnya (sekitar
80-95%) sembuh spontan, 10 % menjadi kronis, dan 5 % berakibat fatal.1

Di Indonesia GN masih merupakan penyebab utama penyakit ginjal tahap

1
akhir (PGTA) yang menjalani terapi pengganti dialisis walaupun data dunia
menunjukkan bahwa diabetes merupakan penyebab yang tersering.
Manifestasi klinik GN sangat bervarisi, mulai dari kelainan urin yaitu
proteinuria dan atau hematuria saja sampai dengan GN yang berlangsung
progresif cepat disertai
gangguan fungsi ginjal.10

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ginjal
2.1.1 Anatomi
Dua ginjal terletak pada dinding posterior abdomen, di luar rongga
peritoneum. Setiap ginjal pada orang dewasa beratnya kira-kira 150 gram
dan kira-kira seukuran kepalan tangan. Sisi medial setiap ginjal merupakan
daerah lekukan yang disebut hilum tempat lewatnya arteri dan vena renalis,
pembuluh limfatik, saraf, dan ureter yang membawa urine akhir dari ginjal
ke kandung kemih, tempat urine disimpan hingga dikeluarkan. Ginjal
dibungkus oleh kapsul fibrosa yang keras untuk melindungi struktur
dalamnya yang rapuh. Jika ginjal dibelah dua dari atas ke bawah, dua daerah
utama yang dapat digambarkan yaitu daerah korteks di bagian luar dan
medula di bagian dalam. Medula ginjal terbagi menjadi 8 sampai 10 massa
jaringan berbentuk kerucut yang disebut piramida ginjal. Dasar dari setiap
piramida dimulai pada perbatasan antara korteks dan medula serta berakhir
di papila, yang menonjol ke dalam ruang pelvis ginjal, yaitu sambungan
dari ujung ureter bagian atas yang berbentuk corong. Batas luar pelvis
terbagi menjadi kantong-kantong dengan ujung terbuka yang disebut kalises
mayor, yang meluas ke bawah dan terbagi menjadi kalises minor, yang
mengumpulkan urine dari tubulus setiap papila. Dinding kalises, pelvis, dan
ureter terdiri atas bagian kontraktil yang mendorong urine menuju kandung
kemih, tempat urine disimpan sampai dikeluarkan melalui miksi.3
Darah yang mengalir ke kedua ginjal normalnya sekitar 22 persen dari
curah jantung, atau 1.100 ml/menit. Arteri renalis memasuki ginjal melalui
hilum dan kemudian bercabang-cabang secara progresif membentuk arteri
interlobaris, arteri arkuata, arteri interlobularis (juga disebut arteri
radialis), dan arteriol aferen, yang menuju ke kapiler glomerulus tempat
sejumlah besar cairan dan zat terlarut (kecuali protein plasma) difiltrasi
untuk memulai pembentukan urine. Ujung distal kapiler pada setiap
glomerulus bergabung untuk membentuk arteriol eferen, yang menuju

3
jejaring kapiler kedua, yaitu kapiler peritubular, yang mengelilingi tubulus
ginjal.3
Sirkulasi ginjal ini unik karena memiliki dua jejaring kapiler, yaitu
kapiler glomerulus dan kapiler peritubulus, yang tersusun seri dan
dipisahkan oleh arteriol eferen yang membantu mengatur tekanan
hidrostatik dalam kedua perangkat kapiler. Tekanan hidrostatik yang tinggi
pada kapiler glomerulus (kira- kira 60 mm Hg) menyebabkan filtrasi cairan
yang cepat, sedangkan tekanan hidrostatik yang jauh lebih rendah pada
kapiler peritubulus (kira-kira 13 mm Hg) memungkinkan reabsorpsi cairan
yang cepat. Dengan mengatur tahanan arteriol aferen dan eferen, ginjal
dapat mengatur tekanan hidrostatik pada kapiler glomerulus dan kapiler
peritubulus, dengan demikian mengubah laju filtrasi glomerulus, reabsorpsi
tubulus, atau keduanya sebagai respons terhadap kebutuhan homeostatik
tubuh.3
Kapiler peritubulus mengalir ke dalam pembuluh sistem vena, yang
berjalan secara paralel dengan pembuluh arteriol. Pembuluh darah sistem
vena secara progresif membentuk vena interlobularis, vena arkuata, vena
interlobaris, dan vena renalis, yang meninggalkan ginjal di samping arteri
renalis dan ureter.3

4
Tiap ginjal manusia terdiri atas kurang lebih 800.000 sampai 1.000.000
nefron, masing-masing mampu membentuk urine. Ginjal tidak dapat
membentuk nefron baru. Oleh karena itu, pada trauma ginjal, penyakit
ginjal, atau proses penuaan yang normal, akan terjadi penurunan jumlah
nefron secara bertahap. Setelah usia 40 tahun, jumlah nefron yang berfungsi
biasanya menurun kira-kira 10 persen setiap 10 tahun; jadi, pada usia 80
tahun, jumlah nefron yang berfungsi 40 persen lebih sedikit daripada ketika
usia 40 tahun. Berkurangnya fungsi ini tidak mengancam jiwa karena
perubahan adaptif sisa nefron menyebabkan nefron tersebut dapat
mengekskresikan air, elektrolit, dan produk sisa dalam jumlah yang tepat.3
Setiap nefron terdiri atas: (1) kumpulan kapiler yang disebut glomerulus,
yang akan memfiltrasi sejumlah besar cairan dari darah, dan (2) tubulus
panjang tempat cairan hasil filtrasi diubah menjadi urine dalam
perjalanannya menuju pelvis ginjal.
Glomerulus tersusun dari jejaring kapiler glomerulus yang bercabang dan
beranastomosis, yang mempunyai tekanan hidrostatik tinggi (kira-kira 60
mm Hg) bila dibandingkan dengan kapiler lainnya. Kapiler glomerulus
dilapisi oleh sel-sel epitel, dan keseluruhan glomerulus dibungkus oleh
kapsula Bowman. Kira-kira 20-30 persen nefron mempunyai glomerulus
yang terletak di korteks ginjal sebelah dalam dekat medula, dan disebut
nefron jukstamedular. Nefron ini mempunyai ansa Henle yang panjang dan
masuk sangat dalam ke medula. Pada beberapa kasus, ansa Henle mencapai
ujung papila ginjal.3
Struktur vaskular nefron jukstamedular juga berbeda dengan nefron
kortikal. Pada nefron kortikal, seluruh sistem tubulus dikelilingi oleh
jaringan kapiler peritubular yang luas. Pada nefron jukstamedular, arteriol
eferen yang panjang akan berlanjut dari glomerulus turun ke bawah menuju
medula bagian luar dan kemudian membagi diri menjadi kapiler-kapiler
peritubulus khusus yang disebut vasa rekta, yang memanjang ke bawah
menuju medula, dan terletak berdampingan dengan ansa Henle. Seperti ansa
Henle, vasa rekta kembali menuju korteks dan mengalirkan isinya ke dalam

5
vena kortikal. Jaringan kapiler khusus dalam medula ini berperan penting
dalam pembentukan urine yang peka.3

2.1.2 Fisiologi
Ginjal menjalankan fungsi yang vital sebagai pengatur volume dan
komposisi kimia darah dan lingkungan dalam tubuh dengan mengekresikan
zat terlarut dan air secara selektif.4
Ginjal melakukan fungsinya yang paling penting dengan cara menyaring
plasma dan memisahkan zat dari filtrat dengan kecepatan yang bervariasi,
bergantung pada kebutuhan tubuh. Akhirnya, ginjal "membuang" zat-zat
yang tidak diinginkan dari filtrat (dan karena itu dari darah) dengan cara
mengekskresikannya ke dalam urine, sementara zat yang dibutuhkan
dikembalikan ke dalam darah.3
Cairan yang difiltrasi dari kapiler glomerulus mengalir ke dalam kapsula
Bowman dan kemudian masuk ke tubulus proksimal, yang terletak dalam
korteks ginjal. Dari tubulus proksimal, cairan mengalir ke ansa Henle yang
masuk ke dalam medula ginjal. Setiap lengkung terdiri atas pars desendens
dan asendens. Dinding pars desendens dan ujung pars asendens yang paling
rendah sangat tipis, dan oleh karena itu disebut bagian tipis ansa Henle. Di
tengah perjalan an kembalinya pars asendens dari lengkung tersebut ke

6
korteks, dindingnya menjadi jauh lebih tebal dan, oleh karena itu disebut
bagian tebal pars desendens.3
Pada ujung pars asendens tebal terdapat bagian yang pendek, yang pada
dindingnya terdapat plak terdiri atas sel epitel khusus, dan dikenal sebagai
makula densa. Seperti yang dibahas kemudian, makula densa memainkan
peran penting dalam mengatur fungsi nefron. Setelah makula densa, cairan
memasuki tubulus distal, yang terletak di korteks ginjal (seperti tubulus
proksimal). Tubulus ini kemudian berlanjut sebagai tubulus renalis
arkuatus dan tubulus koligens kortikal, yang menjadi duktus koligens
kortikal. Bagian awal dari 8 sampai 10 duktus koligens kortikal bergabung
membentuk duktus koligens tunggal yang lebih besar, yang turun ke medula
dan menjadi duktus koligens medula. Duktus koligens bergabung
membentuk duktus yang lebih besar secara progresif, yang akhirnya
mengalir menuju pelvis ginjal melalui ujung papila ginjal. Setiap ginjal,
mempunyai kira-kira 250 duktus koligens yang sangat besar, yang masing-
masing mengumpulkan urine dari sekitar 4.000 nefron.3

2.2 Glomerulonefritis
2.2.1 Definisi
Glomerulonefritis merupakan penyakit yang ditandai inflamasi
intraglomerulus dan proliferasi sel, serta hematuria. Hematuria pada
pasien dengan glomerulonefritis ditandai dengan keberadaan eritrosit
dismorfik atau silinder eritrosit, yang dapat membedakannya dengan
kelainan glomerulus dari perdarahan ekstraglomerulus.5
Glomerulonefritis adalah penyakit inflamasi atau non-inflamasi pada
glomerulus yang menyebabkan perubahan permeabilitas, perubahan
struktur, dan fungsi glomerulus. Data imunopatologik dan eksperimental
banyak membuktikan bahwa kerusakan glomerulus pada
Glomerulonefritis merupakan mekanisme imunologik.10

2.2.2 Etiologi
Sebagian besar etiologi glomerulonefritis tidak diketahui kecuali yang

7
disebabkan oleh infeksi beta streptokokus pada glomerulonefritis paska
infeksi streptokokus atau akibat virus hepatitis C. Faktor presipitasi
misalnya infeksi dan pengaruh obat atau pajanan toksin dapat
menginisiasi terjadinya respon imun serupa yang menyebabkan
glomerulonefritis dengan mekanisme sama.10
Klasifikasi etiologi glomerulonefritis dapat dibuat berdasarkan
gambaran klinis, mulai dari proteinuria berat (>3,5 g/hari) dan edema
yang memenuhi syarat untuk sindrom nefrotik hingga sindrom nefritik di
mana hematuria dan hipertensi lebih terlihat sedangkan proteinuria
kurang terlihat. Cara yang terbaru dan diterima secara luas untuk
mengklasifikasikan glomerulonefritis adalah membaginya menjadi lima
bentuk glomerulonefritis berdasarkan proses kekebalan yang
mendasarinya. Berikut ini adalah klasifikasi terbaru glomerulonefritis,
termasuk jenis patogen dan entitas penyakit yang terkait dengannya:6
1. GN kompleks imun - nefropati IgA, vaskulitis IgA, GN terkait
infeksi, nefritis lupus, dan GN fibriler dengan deposit Ig poliklonal
2. Pauci-imun GN - PR3-ANCA GN, MPO-ANCA GN, dan ANCA-
negatif GN
3. Anti-glomerular basement membrane (GBM) GN - Anti-GBM GN
4. Monoklonal Ig GN - GN proliferatif dengan deposit Ig monoklonal,
penyakit deposisi Ig monoklonal, GN fibrillary dengan deposit Ig
monoklonal, dan glomerulopati immunotaktoid
5. Glomerulopati C3 - Glomerulonefritis C3, penyakit deposit padat.6

2.2.3 Patogenesis
Mekanisme kejadian glomerulonefritis dapat dibedakan menjadi dua
(2) cara, yaitu terjebaknya kompleks imun yang beredar dan
pembentukan deposit kompleks imun didalam glomerulus. Pada
mekanisme yang pertama, kompleks antigen-antibodi yang terbentuk
dalam edaran darah, mengendap di jaringan sub endotel dan mesangium
glomerulus, disertai dengan aktivasi sistem komplemen yang berikatan

dengan kompleks antigen-antibodi tersebut.5

8
Pada mekanisme pembentukan deposit kompleks imun di dalam
glomerulus, antibodi berikatan dengan komponen struktural dari
glomerulus atau dengan yang bukan bagian intrinsik, tetapi tertanam di
glomerulus karena ciri fisio-kimianya, misal; autoantigen Goodpasture
yang ditemukan di membran basal glomerulus sebagai dua epitop yang
tidak saling berhubungan pada rantai α3 dari kolagen jenis IV. Pada

pasien dengan lupus eritematosus sistemik, kompleks histon-DNA yang


berikatan dengan permukaan sel glomerulus dan membran basalnya,
merupakan contoh antigen yang tertanam di glomerulus dan dapat

menjadi sasaran antibodi anti-DNA.5


Antibodi dapat berikatan dengan antigen yang secara normal tidak ada
di glomerulus, tetapi tertanam di glomerulus. Antigen tersebut
berinteraksi dengan berbagai komponen intrinsik dari glomerulus.
Antigen yang tertanam dapat berupa molekul kationik yang berikatan
dengan komponen anionik glomerulus; DNA, nukleosom dan protein inti
lainnya yang berafinitas untuk komponen membran basal glomerulus;
hasilan bakteri; protein berukuran besar (imunoglobulin yang mengendap

di mesangium dan kompleks imun sendiri).5


Setelah terjadi kerusakan glomerulus, akan diikuti oleh aktivasi
sejumlah perantara proinflamasi, sistem pembekuan darah, komplemen
dan pembentukan sitokin proinflamasi. Aktivasi komplemen
menimbulkan kemotaksis dari neutrofil dan menyebabkan pembentukan
Membrane Attack Complex (MAC) yang menyebabkan sel mengalami
lisis. Aktivasi sistem pembekuan darah menyebabkan deposit fibrin di
glomerulus. Bila fibrin ini keluar ke ruang Bowman, dapat menjadi
perangsang bagi sel epitel untuk berproliferasi, sehingga menyebabkan
pembentukan crescent di glomerulus. Penglepasan sitokin menyebabkan
aktivasi dan perubahan sel glomerulus secara endogen, sehingga terjadi
proliferasi sel, pembentukan protease dan oksidan secara berlebihan,
serta perubahan di matriks ekstraseluler diikuti dengan fibrosis, yang

9
kemungkinan juga dirangsang oleh Platelet Derived Growth Factor
(PDGF) dan transforming Growth Factor beta (TGF-β).
Pada tahapan kronik kerusakan glomerulus, perubahan hemodinamik

di glomerulus menyebabkan hiperfiltrasi dan tekanan darah tinggi


intraglomerulus, diikuti dengan pengerasan jaringan dan kerusakan antar
selnya. Tekanan fisik yang timbul akan memperberat kerusakan
glomerulus yang sedang terjadi. Bergantung sel yang mengalami
kerusakan, apoptosis berperan penting baik pada penyembuhan

glomerulonefritis ataupun pembentukan jaringan parut di glomerulusnya.


5

2.2.4 Manifestasi klinis


Manifestasi klinik penyakit glomerular merupakan kumpulan gejala
atau sindrom klinik yang terdiri kelainan urin asimtomatik, hematuri
makroskopik, sindrom nefrotik, sindrom nefritik, glomerulonefritis
progresif cepat, dan glomerulonefritis kronik.10
Gejala yang muncul pada penderita glomerulonefritis bergantung
kepada jenis penyakit ini, apakah akut atau kronis. Gejala yang umumnya
muncul, yaitu urine yang berbuih dan berwarna kemerahan, hipertensi,

pembengkakan pada wajah, tangan, kaki, dan perut, kelelahan, dan


frekuensi buang air kecil berkurang. Glomerulonefritis kronis seringkali
sulit terdeteksi karena dapat berkembang tanpa menimbulkan gejala.
Apabila muncul gejala, gejalanya dapat serupa dengan gejala yang ada
pada glomerulonefritis akut. Namun, berbeda dengan glomerulonefritis
akut, pada glomerulonefritis kronik dapat terjadi frekuensi buang air
kecil yang meningkat di malam hari.8
Klasifikasi ini sederhana dan mudah diaplikasikan walaupun satu
gambaran klinik dapat diasosiasikan dengan berbagai jenis
glomerulonefritis baik penyebab maupun histopatologinya. Pada
sebagian besar penyakit glomerular tidak menunjukkan gejala khas.
Gejala dan tanda misalnya proteinuria, hematuria, penurunan fungsi

10
ginjal, perubahan ekskresi garam dengan akibat edema, kongesti aliran
darah, dan hipertensi mungkin dapat ditemukan.8
Kelainan urin asimtomatik ditandai hematuria mikroskopik dengan
atau tanpa disertai proteinuria. Hematuri mikroskopik ditandai dengan
ditemukan 2 eritrosit /Ipb (lapang pandang besar) pada pemeriksaan
sedimen urin dengan 3000 putaran per menit selama 5 menit atau
ditemukan eritrosit lebih dari 10x10L. Hematuri mikroskopik dapat
diikuti proteinuria non nefrotik (< 3.5 g/24 jam) biasanya tidak lebih dari
1.5 g/24 jam urin. Hematuri dan proteinuri asimtomatik yang disertai
silinder eritrosit lebih sering ditemukan pada glomerulonefritis.10
Hematuri makroskopik yang diasosiasikan dengan glomerulonefritis
biasanya tanpa keluhan sakit dan tampilan urin berwarna kecoklatan.
Kemungkinan hemoglobinuria, mioglobinuria, porfiria, dan pengaruh
makanan berwarna atau obat misalnya rifampisin perlu disingkirkan.
Evaluasi urologik diperlujab juga untuk menyingkirkan kemungkinan
kelainan yang lain.10
Sindrom nefrotik ditandai dengan proteinuria 23,5 g/1.73 m3/hari,
edema anasarka, hipoalbuminemia, dan hiperlipidemia. Pemeriksaan urin
ditemukan lipiduria dan silinder eritrosit (red cell cast). Lipiduria
ditandai dengan silinder hialin berisi badan lemak oval berwarna
kecoklatan. Fungsi ginjal pada sindrom nefrotik umumnya masih normal.
Pada sindrom nefritik sebagai bukti inflamasi ditemukan hematuria dan
silinder eritrosit, proteinuria, edema, hipertensi dan penurunan fungsi
ginjal. Proteinuria jarang mencapai tingkat nefrotik dan kadar serum
albumin masih normal.10
Sindrom nefritik dapat dibedakan menjadi fokal bila proteinuria <1.5
g/24 jam dan sindrom nefritik difus yang disertai proteinuria lebih berat
tetapi belum mencapai stadium nefrotik.10
Glomerulonefritis progresif cepat menunjukkan kerusakan mendadak
dan berat, ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang terjadi dalam
beberapa hari atau minggu. Pasien menunjukkan tanda uremia akut,
gambaran nefritik, dan pada biopsi ginjal menunjukkan gambaran

11
histologik spesifik. Glomerulonefritis kronik ditandai proteinuria
persisten dengan atau tanpa hematuria disertai penurunan fungsi ginjal
progresif lambat.10

2.2.5 Diagnosis
Menegakkan diagnosis glomerulonefritis diperlukan anamnesis untuk
mengetahui riwayat penyakit, melakukan pemeriksaan jasmani dan
pemeriksaan penunjang untuk menyingkirkan penyakit non-glomerular.
Informasi tentang riwayat glomerulonefritis dalam keluarga, penggunaan
obat antiinflamasi non steroid, preparat emas organik, heroin,
imunosupresif seperti siklosporin atau takrolimus, dan riwayat infeksi
streptokokus, endokarditis atau infeksi virus diperlukan untuk menelusuri
penyebab glomerulonefritis. Berbagai keganasan misalnya paru,
payudara, gastrointestinal, ginjal, penyakit Hodgkin dan limfoma non-
Hodgkin, serta penyakit multisistem misalnya diabetes, amiloidosis,
lupus dan vaskulitis juga diasosiasikan dengan glomerulonefritis. Edema
tungkai disertai edema periorbita sering merupakan gejala klinik awal
glomerulonefritis. Edema periorbita sampai ke dinding perut dan genital
disertai penumpukan cairan di rongga abdomen (asites) atau pleura (efusi
pleura) biasanya ditemukan pada sindrom nefrotik. Akibat
hipoalbuminemia kronik seringkali didapatkan tampilan kuku terlihat
pucat dan membentuk pita berwarna putih, dan ditemukannya xantelasma
dikaitkan dengan hiperlipidemia. Kemungkinan lain penyebab timbulnya
edema misalnya penyakit jantung atau sirosis hati juga perlu
disingkirkan.8
Pemeriksaan urinalisis sangat penting untuk menegakkan diagnosis
glomerulonefritis. Ditemukan hematuria dan silinder eritrosit membuat
kecurigaan kearah glomerulonefritis semakin besar. Morfologi eritrosit
dalam urin dapat menggambarkan darimana eritrosit berasal. Eritrosit
urin dismorfik lebih dari 60% menunjukkan eritrosit berasal dari
glomerulus. Proteinuria yang ditemukan lebih dari 1 g/24 jam dapat
disimpulkan juga berasal dari glomerulus. Pemeriksaan biokimiawi

12
misalnya gula darah, serum albumin, profil lemak, dan fungsi ginjal
diperlukan untuk membantu diagnosis glomerulonefritis. Pemeriksaan
serologi seperti ASTO, C3, C4, ANA dan anti-dsDNA, antibodi anti-
GBM (glomerular basement membrane), ANCA diperlukan untuk
menegakkan diagnosis glomerulonefritis dan membedakan
glomerulonefritis primer dan sekunder. Apabila ada kecurigaan,
pemeriksaan untuk menegakkan infeksi bakteri, HIV, virus hepatitis B
dan C juga diperlukan. Ultrasonografi ginjal diperlukan untuk menilai
ukuran ginjal dan menyingkirkan kelainan lain seperti obstruksi sistem
pelvokalises oleh karena batu ginjal. Biopsi ginjal diperlukan untuk
menegakkan diagnosis histopatologi yang dapat digunakan sebagai
pedoman pengobatan. Biopsi ginjal terbuka dilakukan dengan operasi
dan memerlukan anestesi umum sedangkan biopsi jarum perkutan
dilakukan dengan anestesi lokal. Biopsi ginjal tidak dilakukan apabila
ukuran ginjal < dari 9 cm yang menggambarkan proses kronik.8
Pemeriksaan urine merupakan metode eritrosit terpenting dalam
mendiagnosis glomerulonefritis karena dapat mendeteksi adanya
kerusakan struktur glomerulus.9
Beberapa parameter yang dianalisis melalui pemeriksaan urine, antara
lain adalah:9
1. Keberadaan sel darah merah sebagai penanda adanya kerusakan
glomerulus.
2. Keberadaan sel darah putih sebagai penanda adanya peradangan.
3. Menurunnya berat jenis urine.
4. Keberadaan protein sebagai penanda adanya kerusakan sel ginjal.
Tes darah dapat memberikan informasi tambahan terkait kerusakan
ginjal. Beberapa hal yang dapat diperiksa pada darah untuk melihat
kerusakan ginjal, antara lain:9
1. Menurunnya kadar hemoglobin (anemia).
2. Meningkatnya kadar zat sisa seperti ureum dan kreatinin.
3. Menurunnya kadar protein albumin dalam darah karena keluar
melalui urine.

13
 Tes imunologi dilakukan untuk mendapatkan informasi mengenai
kelainan sistem imun. Pemeriksaan tersebut antara lain antinuclear
antibodies (ANA), komplemen, antineutrophil cytoplasmic antibody
(ANCA), dan antiglomerular basement membrane (anti-GBM).9
Pencitraan bertujuan untuk memperlihatkan gambaran kondisi ginjal
secara visual. Metode pencitraan yang dapat digunakan, antara lain
adalah foto Rontgen, CT scan dan USG.9
Biopsi ginjal. Dilakukan dengan mengambil sampel jaringan ginjal
dan diperiksa di bawah mikroskop untuk memastikan pasien menderita.
Biopsi juga akan membantu dokter untuk mencari penyebab dari
glomerulonefritis.
Berdasarkan gambaran klinis, perlu dibedakan antara spektrum
nefrotik dan nefritik. Ini penting karena membantu mempersempit
perbedaan patologi glomerulus yang mendasarinya. Juga, diagnosis
banding akan mencakup penyebab primer versus sekunder tergantung
pada kelompok usia dan gambaran klinis.
Glomerulonefritis primer yang muncul sebagai sindrom nefrotik pada
pasien muda cenderung merupakan penyakit perubahan minimal,
sedangkan pada orang dewasa, variasi membran lebih mungkin terjadi.
Dalam kategori sekunder, diabetes melitus harus disingkirkan.
Ketika sindrom nefritik adalah presentasi utama pada anak-anak,
kemungkinan besar itu adalah pasca infeksi. Namun, pada orang dewasa,
nefropati IgA harus dipertimbangkan. Ketika vaskulitis sistemik
melibatkan glomeruli, penyebab pada kelompok usia yang lebih muda
adalah purpura Henoch Schonlein, sedangkan pada orang dewasa,
granulomatosis dengan poliangiitis harus dicurigai. Nefritis lupus terlihat
lebih sering pada wanita muda (20 sampai 30 tahun).

2.2.6 Tatalaksana
Langkah pengobatan untuk tiap penderita glomerulonefritis tentu
berbeda-beda. Perbedaan ini ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu jenis
glomerulonefritis yang diderita (kronis atau akut), penyebabnya, serta

14
tingkat keparahan gejala yang dialami. Tujuan utama pengobatan
glomerulonefritis adalah untuk mencegah kerusakan ginjal yang lebih
parah. Glomerulonefritis akut terkadang bisa sembuh dengan sendirinya
tanpa membutuhkan penanganan tertentu, biasanya yang diakibatkan
oleh infeksi Streptokokus pada tenggorokan.10
Imunosupresan dapat diberikan untuk menangani glomerulonefritis
akibat gangguan sistem imun. Contoh obat ini adalah kortikosteroid,
cyclophosphamide, ciclosporin, mycophenolate mofetil, dan
azathioprine.
Glomerulonefritis dapat menyebabkan tekanan darah meningkat dan
menimbulkan kerusakan ginjal yang lebih parah. Oleh karena itu, tekanan
darah penderita glomerulonefritis perlu diatur untuk mencegah kerusakan
ginjal. Dua golongan obat yang dapat digunakan untuk mengatur tekanan
darah adalah ACE inhibitors (contohnya captropil dan lisinopril) dan
ARB (contohnya losartan dan valsartan). Selain itu, kedua golongan obat
tersebut juga dapat mengurangi kadar protein yang bocor melalui urine,
sehingga obat bisa tetap diberikan walaupun tekanan darah tidak tinggi.
Dapat dilakukan pada penderita dengan hasil tes imunologi ANCA
dan anti-GBM positif. Protein sistem imun (antibodi) yang terdeteksi
melalui pemeriksaan imunologi biasanya terkandung dalam plasma
darah. Untuk membuang antibodi tersebut, dilakukan pembuangan
plasma darah penderita, melalui sebuah prosedur yang disebut
plamapheresis. Plasma darah yang dibuang akan digantikan dengan
plasma pengganti atau cairan infus.10
Jika glomerulonefritis diketahui sejak awal, kerusakan ginjal yang
disebabkan oleh glomerulonefritis akut dapat diperbaiki kembali. Jika
glomerulonefritis yang terjadi bertambah parah dan menyebabkan gagal
ginjal, penderita dapat menjalani proses hemodialisis (cuci darah) untuk
menyaring darah. Selain itu, penderita juga dapat menjalani operasi
cangkok ginjal. Agar kerusakan ginjal tidak bertambah parah, penderita
glomerulonefritis dapat menerapkan langkah-langkah pendukung
pengobatan seperti berikut ini:

15
1) Menjaga berat badan
2) Berhenti merokok
3) Mengurangi asupan kalium
4) Mengurangi asupan protein
5) Mengurangi konsumsi garam.10

2.2.7 Komplikasi
Glomerulonefritis akut terkadang bisa sembuh tanpa penanganan
tertentu. Tetapi secara umum, baik glomerulonefritis akut maupun kronis
bila tidak ditangani secara benar, bisa bertambah parah dan memicu
penyakit lain. Beberapa komplikasi yang mungkin terjadi adalah7
1. Hipertensi.
2. Sindrom nefrotik.
3. Gagal ginjal akut.
4. Penyakit ginjal kronis.
5. Gagal jantung dan edema paru akibat cairan yang menumpuk dalam
tubuh.
6. Gangguan kesimbangan elektrolit seperti natrium dan kalium.
7. Rentan terhadap infeksi.

2.3 Glomerulonefritis Akut


Sindroma nefrotik akut terdiri atas bermulanya hematuria dan proteinuria
yang mendadak, sering disertai oleh azotemia (misalnya LFG yang
menurun) dan retensi garam dan air renal. Apabila LFG sangat turun,
oligoanuria mungkin terdapat. Retensi garam dan air menyebabkan kongesti
sirkulasi, hipertensi, dan edema. Hematuria mungkin adalah akibat migrasi
eritrosit melalui kerusakan glomerulus dan/atau dinding kapiler peritubular
menyebabkan terdapatnya eritroit dalam cairan tubulus di bagian awal
nefron.8
Proteinuria ialah akibat kehilangan muatan anion dinding kapiler (defek
muatan-selektif) atau munculnya kapiler glomelurus dengan radius yang
lebih besar daripada pori-pori normal, memungkinkan molekul protein

16
plasma yang besar untuk melewati filter glomerulus. Laju filtrasi
glomerulus berkurang karena infiltrasi kapiler oleh sel radang atau karena
bertambahnya jumlah sel glomerulus intrinsik, sehingga menurunkan daerah
permukaan filtrasi. Dengan alternatif, fungsi daerah permukaan filtrasi dapat
berkurang akibat perluasan lokal bahan vasoaktif yang dapat menyebabkan
kontraksi yang reversibel dari sel mesangial (misalnya, angiotensin l1,
leukotrien), yang oleh karenanya menyebabkan penurunan jumlah kapiler
glomerulus yang diperfusi. Proliferasi sel parietal atau viseral bercampur
dengan sel yang menginfiltrasi (monosit) dan fibrin yang terpolimerisasi
dapat menghilangkan ruang Bowman, yang lebih lanjut lagi dapat
menghalangi filtrasi. Retensi cairan disebabkan baik oleh laju filtrasi
glomerulus maupun oleh persistensi penyerapan kembali garam dan air yang
berlebihan oleh nefron bagian distal. Volume cairan ekstraseluler dan
intravaskuler menjadi bertambah banyak dengan adanya retensi cairan dan
garam.8
Edema pada glomerulonefritis akut cenderung untuk muncul pertama-
tama pada daerah tekanan jaringan yang rendah, seperti daerah periorbital,
tetapi kemudian berkembang dan melibatkan bagian tubuh yang tergantung
dan menyebabkan asites dan/atau efusi pleural. Kongesti sirkulasi
dimanifestasikan oleh peningkatan tekanan sistemik dan tekanan pembuluh
paru serta curah jantung yang meningkat. Apabila tekanan pembuluh kapiler
paru meningkat tinggi dari tekanan onkotik plasma yang berlawanan, dapat
terjadi edema paru. Hipertensi diastolik arteri ialah akibat bertambahnya
volume cairan ekstraseluler mempertinggi curah jantung, dan secara
berangsur meningkatkan resistensi vaskuler perifer. Aktivitas renin plasma,
aldosteron, dan sistem saraf simpatik relatif tertekan. Hipertensi dapat
disertai oleh ensefaloplasti, terutama pada anak muda. Luas dan keparahan
abnormalitas saluran kemih pada GNA adalah bervariasi. Gross hematuria
paling sering terjadi dan makroskopik sering digambarkan sebagai urin yang
berwarna seperti berasap, kopi atau kola. Derajat hematuria yang lebih
sedikit mungkin tidak dikenali pasien atau orang tuanya; dengan alasan ini,
gambaran retensi cairan dan hipertensi dapat dikelirukan dengan penyakit

17
lainnya, apabila pemeriksaan sedimen urin tidak dilakukan dalam evaluasi
permulaan.8
Hematuria meskipun tidak terdapat dalam berbagai variasi, sering disertai
dengan ekskresi silinder eritrosit. Gambaran khas eritrosit dalam sedimen
urin adalah kecil, terdistorsi, terfragmentasi, dan hipokromik (hematuria
dismorfik). Leukosituria dan silinder leukosit mungkin menunjukkan
adanya inflamasi pada glomerulus dan interstisium. Derajat proteinuria
berbeda-beda menurut sifat dan kehebatan lesi glomerulus yang
mendasarinya. Jarang sekali, laju ekskresi protein berada dalam rentang
yang normal, tetapi pada
umumnya evolusi jangka pendek di antara 0,5 dan 3 g/hari. Jika proteinuria
mencolok dan terus-menerus, sindroma nefrotik mungkin muncul Evaluasi
singkat glomerulonefritis akut bergantung pada lesi glomerulus yang
mendasari dan terapinya. Sebagai contoh, pada endokarditis infektif resolusi
temuan urin fungsi ginjal yang membaik dapat terjadi dengan cepat setelah
pengendalian bakteremia dengan antimikroba. Dalam kurang lebih satu
minggu dari awitannya, kebanyakan pasien dengan glomerulonefritis
pascastreptokokus akut mulai mengalami resolusi spontan dari retensi cairan
dan hipertensi. Kelainan urin sering membutuhkan waktu yang lebih lama
untuk sembuh. Beberapa pasien dengan sindroma nefritik akut akan
mengalami suatu bentuk gagal ginjal yang progresif secara cepat (yakni,
glomerulonefritis progresif cepat, dibicarakan di bawah). Biopsi ginjal
berguna untuk mengetahui sifat lesi yang mendasarinya, tetapi hal ini tidak
perlu dilakukan pada setiap kasus.8

18
A. Glomerulonefritis pasca streptokokus
Merupakan pola dasar penyakit GNA. Glomerulonefritis pasca
streptokokus (GNPS) timbul segera sesudah infeksi faring atau kulit
dengan satu dari sejumlah terbatas strain streptokokus B-hemolytic group
A. Streptokokus "nefritogenik" ini dapat diidentifikasi melalui
pemeriksaan serotipik dinding sel antigen (protein M). Di antara kejadian
luar biasa (KLB; outbreak) infeksi streptokokus jenis "nefritogenik",
angka serangan GNPS ini relatif sama. Di antara keluarga, episode
asimtomatik GNPS melebihi episode simtomatik dengan faktor 3 atau 4
terhadap 1. Imunitas terhadap protein M bertipe spesifik, tahan lama, dan
protektif. Oleh karena itu, episode GNPS yang berulang ialah tidak biasa.
KLB infeksi faring-terkait-GNPS paling sering dijumpai pada anak
berumur 6 sampai 10 tahun. GNA yang terjadi setelah infeksi
streptokokus kulit berhubungan dengan higiene perorangan yang buruk,
kepadatan, dan penyakit kulit yang bersamaan, prevalensi GNPS lebih
mencolok untuk penyakit faring daripada seperti infestasi skabies.
Variasi musim dan geografik dalam untuk penyakit yang berhubungan
dengan kulit.8
Gambaran yang penting adalah adanya periode laten antara
manifestasi infeksi yang paling awal dan timbulnya tanda dan gejala
nefritis. Menyusul infeksi faring periode laten biasanya 6 sampai 10 hari.
Infeksi kulit berhubungan dengan periode laten yang lebih panjang, rata-
rata kira-kira 2 minggu. Tanda inflamasi glomerulus yang terjadi pada
waktu yang sama seperti, atau beberapa saat setelah, infeksi biasanya
merupakan petunjuk adanya eksaserbasi penyakit glomerulus yang
sebelumnya sudah terdapat, seperti penyakit Berger (nefropati IgA).8
Diagnosis GNPS bertumpu pada diperlihatkannya sedikit dua dari tiga
ciri-ciri berikut:
(1) Streptokokus B-hemolitik grup A suatu strain yang secara potensial

19
nefrogenik ditemukan dalam lesi tenggorokan/kerongkongan atau lesi
kulit
(2) Respons imun terhadap satu atau eksoenzim streptokokus lebih, respons
antistreptolisin O (ASO), antistreptokinase (ASK), anti-
deoksiribonuklease B (ADNAase B), antinikotinil adenin dinukleo-tidase
(ANADase), atau antihialuronidase (AH).
Respons ASO khasnya adalah cepat pada infeksi faring tetapi sering
tidak didapati pada infeksi kulit, sedangkan respons AH, ADNAase, dan
ANADase terjadi setelah infeksi kulit. Tes untuk respons antibodi
multipel dan penentuan seri adalah penting untuk mencapai ketepatan
diagnosis sampai 90 persen. Terapi antimikroba dini dapat mencegah
respons antibodi terhadap eksoenzim dan menyebabkan kultur
tenggorokan negatif, tetapi tidak dapat mencegah pertumbuhan GNPS;
hal ini membuat diagnosis serologik yang tepat sulit atau tidak mungkin
dilakukan. (3) Penurunan sepintas dalam konsentrasi serum komponen
C3 komplemen, dengan kembalinya ke normal dalam 8 minggu setelah
tanda pertama penyakit ginjal. Laju endap darah biasanya meninggi,
sedangkan protein reaktif-C dan faktor rematoid biasanya normal atau
tidak dapat dideteksi.8
Krioglobulinemia dapat sepintas lalu terdeteksi. Anemia maupun
hipoalbuminemia ringan yang sebagian besar diakibatkan oleh
pengenceran. Hipoalbuminemia berat dapat terjadi jika proteinuria berat
berlangsung berkepanjangan. Angka ekskresi protein urin lebih dari 3,5
g/hari terjadi pada kurang dari 20 persen pasien yang dirawat di rumah
sakit. Proteinuria adalah karakter yang tidak selektif dan sering
mengandung konsentrasi hasil degradasi-fibrin dan protein C3 yang
tinggi, terutama selama fase diuretik. Hiponatremia, hiperkloremia,
hiperkalemia, dan asidosis metabolik dapat dijumpai pada pasien
azotemik atau oligurik, khususnya pasien yang dengan
bebas mendapatkan air atau kalium. Aktivitas renin plasma dan laju
sekresi aldosteron rendah, mencerminkan penekanan sekunder terhadap
volume plasme yang mengembang dan/atau hiperkalemia dengan kadar

20
peptida natriuretik atrium yang meningkat. Kadar natrium dalam urin
biasanya rendah, mencerminkan reabsorpsi garam yang tingi pada nefron
bagian distal. Foto roentgen abdomen memperlihatkan ginjal yang
normal atau membesar. Foto roentgen toraks mungkin normal atau
memperlihatkan sedikit pembesaran jantung, sering disertai dengan
kongesti paru. Elektrokardiogram dapat memperlihatkan kelainan
gelombang T yang nonspesifik. Demam rematik jarang terdapat
bersamaan dengan GNPS akut.8
Diagnosis banding GNPS mencakup infeksi lain atau penyakit ginjal
primer yang dapat menyebabkan sindroma nefritik akut yang identik.
Penyakit multisistem seperti lupus eritematosus sistemik, purpura
Henoch-Schonlein dan vaskulitis dapat mula-mula tampil sebagai nefritis
akut. Penyakit non-glomerulus utama, yang mencakup purpura
trombositopenik trombotik, sindroma uremik-hemolitik, penyakit ginjal
ateroembolik, dan nefritis interstisial hipersensitivitas akut dapat juga
menunjukkan ciri-ciri sindroma nefritik akut.8
Terapi GNPS akut ialah suportif. Adalah layak untuk menganjurkan
tirah baring sampai tanda inflamasi glomerulus dan kongesti sirkulasi
(terutama hipertensi) mereda, tetapi inaktivitas berkepanjangan tidak
bermanfaat dalam proses penyembuhan. Retensi cairan, kongesti
sirkulasi dan edema dapat diterapi dengan restriksi natrium dan cairan
atau diuretika loop. Diuretika sendiri sering meringankan hipertensi
ringan sampai sedang. Jika terdapat hipertensi berat, obat vasodilator
seperti nitroprusid, nifedipin, hidralazin, atau diazoksid mungkin
berguna. Ensefalopati dan kongesti paru umumnya menjadi baik dengan
menurunkan tekanan darah dan pembebasan beban berlebih dari
peredaran darah. Digitalis harus dihindarkan kecuali pada penyakit
jantung organik yang terdokumentasi dengan baik dengan gagal
kongestif. Terapi dengan resin penukar ion dan/atau dialisis mungkin
diperlukan pada oliguria, kelebihan beban cairan, dan hiperkalemia.
Restriksi protein ringan adalah layak untuk pasien azotemik. Serangkaian
antibiotik (seperti, penisilin atau eritromisin) selama tujuh sampai

21
sepuluh hari harus diberikan, jika ditemukan infeksi streptokokus.
Kemoprofilaksis jangka panjang tidak merupakan indikasi.
Glukokortikoid dan obat sitotoksik tidak bermanfaat.8

B. Glomerulonefritis pasca infeksi non streptokokus


Suatu keanekaragaman luas penyakit lain daripada yang disebabkan
oleh streptokokus f-hemolitik grup A juga dapat berhubungan dengan
GNA. Varitas ini meliputi status bakteremia dan berbagai penyakit virus
serta parasit. Biasanya penyakit ini dapat didiagnosis dengan adanya
gambaran klinis ekstrarenal yang khas atau temuan bakteriologik dan
serologik. Endokarditis infeksiosa, jenis sepsis lainnya, demam tifoid,
mononukleus infeksiosa, hepatitis virus akut (hepatitis B), malaria
falsiparum, dan toksoplasmosis adalah penyakit menular yang dapat
menimbulkan GNA. Kompleks imun yang beredar memainkan peranan
penting dalam patogenesis GNA pada penyakit ini. Keadaan bakteremia
kronik atau subakut sering berhubungan dengan penurunan komponen
komplemen serum C1q, C4, dan C3, kadar faktor rematoid yang
meningkat, krioimunoglobulin yang beredar, dan tes untuk kompleks
imun beredar yang positif. Pengendalian infeksi biasanya menghasilkan
resolusi inflamasi glomerulus, walaupun glomerulonefritis progresif
cepat kronik atau dapat terjadi.

2.4 Glomerulonefritis Kronik


Kebanyakan tipe glomerulonefritis akan memasuki fase kronik karena
pasien tersebut memiliki risiko untuk mengalami kerusakan glomerular
yang berkelaniutan sehingga pada akhimya akan masuk kepada penyakit
ginjal kronik (PGK). Sebagian besar pasien glomerulonefritis yang
mengalami penyakit tersebut di usia muda biasanya bertranstormasi menjadi
PGK di usia dewasa. Progresi ke PGK pada usia muda dapat diperlambat
atau dicegah dengan memperhatikan proteksi ginjal seiak awal. Penurunan
massa nefron akibat kerusakan awal akan menyebabkan turunnnya LFG.

22
Penurunan ini menyebabkan hipertrofi dan hiperfiltrasi dari nefronsisa dan
akan menginisiasi hipertensi intraglomerular. Perubahan ini teiadi untuk
meningkaikan LFG dari nefron sisa, sehingga dapat meminimalkan
konsekuensi fungsional dari kerusakan nefion. Namun kerusakan yang terus
berlanjut akan menyebabkan terjadinya glomeruloskelrosis sehingga
kerusakan ginjal terus berlanjut.6
Sindroma glomerulonefritis kronik ditandai terutama dengan kelainan
urin persisten (misalnya proteinuria dan/atau hematuria) dan gangguan
fungsi ginjal progresif lambat, terkadang berakhir dengan hipertensi,
pengerutan ginjal, ginjal granuler, dan gagal stadium akhir. Dengan
kemungkinan perkecualian lesi perubahan minimal yang berhubungan
dengan sindroma nefrotik idiopati dapat berakhir dengan glomerulonefritis
kronik. Perubahan struktural dapat dikategorikan sebagai proliferatif
(termasuk glomerulonefritis mesangium, glomerulonefritis proliferatif
intrakapsuler dan/atau ekstrakapsuler, dan glomerulonefritis proliferatif
segmental dan fokal), sklerosing (termasuk sklerosis glomerulus fokal dan
difus) dan membranosa. Lesi-lesi demikian dijumpai pada kebanyakan
pasien dengan glomerulonefritis kronik. Sisanya, lesi tidak dapat
digolongkan secara morfologis dan sering disebut sebagai glomerulonefritis
"nonspesifik" kronik. Asal etiologik dan patogenetik glomerulonefritis
nonspesifik kronis adalah heterogen. Penyakit vaskuler yang
mengkomplikasi menyebabkan obliterasi glomerulus. Beberapa pasien
dengan glomerulonefritis nonspesifik kronik dapat mempunyai episode
GNPS akut yang sebelumnya tidak diketahui.8
Deteksi glomerulonefritis kronik biasanya terjadi dalam satu dari
beberapa cara yang pertama yaitu temuan insidental urin abnormal,
gangguan fungsi ginjal, atau hipertensi selama skrining mutifasik dari
individu asimtomatik dan yang kedua hasil awitan yang tersembunyi dan
membahayakan dari gejala atau tanda penyakit ginjal, terutama anemia dan
hipertensi; atau yang ketiga, sesudah eksaserbasi glomerulonefritis, biasanya
seperjalanan penyakit yang disebabkan bakteri atau virus. Dalam stadium
lanjut, pembedaan glomerulonefritis kronik dari penyebab lain gagal ginjal

23
dapat sulit. Namun, adanya ginjal yang mengerut simetrik, proteinuria
sedang sampai berat, sedimen urin abnormal (terutama silinder sel darah
merah), dan bukti sinar-X dari sistem pielokaliks normal menunjukkan
glomerulonefritis kronik.8
Evolusi glomerulonefritis kronik bervariasi, tergantung dari penyakit
yang mendasarinya, dan adanya komplikasi, khususnya hipertensi. Temuan
kelainan sedimen urin dapat terlewatkan selama bertahun-tahun hingga
penyakit berkembang menjadi gagal tahap akhir. Karena hipertensi umum
terjadi dan temuan klinis dan laboratoris nonspesifik, banyak pasien
didiagnosis sebagai mempunyai "hipertensi esensial" atau
arteriolonefrosklerosis sekunder. Namun, banyak pasien, bukan terbanyak,
dengan hipertensi non maligna esensial yang timbul insufisiensi ginjal
progresif mempunyai penyakit parenkim ginjal yang mendasarinya
(meliputi bentuk utama glomerulonefritis, seperti nefropati IgA). Biopsi
ginjal perlu untuk menentukan lesi glomerulus yang mendasarinya.
Kelebihan utama evaluasi morfologik adalah lebih berguna untuk
memastikan prognosis daripada terapi.8
Terapi adalah suportif dan simtomatik. Hipertensi dan infeksi saluran
kemih harus diterapi dengan sungguh-sungguh, dengan jalan menghindari
agen nefrotoksik. Obat diuretik harus diberikan hanya sebagai tambahan
terhadap penatalaksanaan hipertensi atau untuk menatalaksana edema.
Pembatasan garam atau kalium yang ketat biasanya tidak diperlukan dan
dapat membahayakan. Apabila tidak ada gagal jantung kongestif atau
hipoalbuminemia yang jelas, edema yang berat jarang terjadi sebelum
mencapai fase terminal. Restriksi protein dan fosfat dapat memperlambat
gagal ginjal.8

24
BAB III
KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan
Glomerulonefritis mencakup subset penyakit ginjal yang ditandai dengan
kerusakan yang dimediasi kekebalan pada membran dasar, mesangium, atau
endotel kapiler, yang menyebabkan hematuria, proteinuria, dan azotemia.
Bentuk akut glomerulonefritis (GN) dapat terjadi akibat penyebab ginjal
primer atau penyakit sekunder yang menyebabkan manifestasi ginjal.
Glomerulonefritis dibagi menjadi 2 yaitu glomerulonefritis akut dan
glomerulonefritis kronik.
Glomerulonefritis kronis seringkali sulit terdeteksi karena dapat
berkembang tanpa menimbulkan gejala. Apabila muncul gejala, gejalanya
dapat serupa dengan gejala yang ada pada glomerulonefritis akut. Namun,
berbeda dengan glomerulonefritis akut, pada glomerulonefritis kronik dapat
terjadi frekuensi buang air kecil yang meningkat di malam hari.
Glomerulonefritis dikaitkan dengan penyakit sistemik; itu sebagian besar
diselesaikan dengan mengelola penyebab yang mendasarinya.
Glomerulonefritis dikelola secara suportif dan dengan terapi modifikasi
penyakit tertentu. Hasilnya terutama tergantung pada intervensi tepat waktu,
yang, jika tidak dilakukan, dapat menyebabkan rangkaian kejadian progresif
yang menyebabkan glomerulonefritis berkembang menjadi penyakit ginjal
kronis (meningkatkan risiko perkembangan penyakit kardiovaskular secara
bersamaan).

25
26
DAFTAR PUSTAKA

1. Wetmore JB, Guo H, Liu J, Collins AJ, Gilbertson DT. 2016. The
incidence, prevalence, and outcomes of glomerulonephritis derived from a
large retrospective analysis. Kidney Int. 2016 Oct;90(4):853-60.
2. Guyton Arthur C.2012. Buku Ajar Fisiologi Manusia dan Mekanisme
Penyakit. Edisi 12. Jakarta: EGC. Hal: 305
3. Price SA, Wilson LM. 2012. Patofisiologi Konsep Klinis dan Proses-
proses penyakit. Vol. 2. Edisi ke-enam. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC.
4. Stahl RA, Hoxha E. [Glomerulonephritis]. Dtsch Med Wochenschr. 2016
Jul;141(13).
5. Sethi S, Fervenza FC. 2019. Standardized classification and reporting of
glomerulonephritis. Nephrol Dial Transplant. 2019 Feb 01;34(2):193-199.

6. Hebert LA" Parikh S, Prosek J, Nadasdy T, Rovin BH. 2013. Difierential


Diagnosis of Glomerufar Disease: A Systematic and Inclusive Apprcadr.
Am J Nephrcl 2013;38:253-zop
7. Wang SY, Bu R, Zhang Q, Liang S, Wu J, Liu XZS, Cai GY, Chen XM.
2016. Clinical, Pathological, and Prognostic Characteristics of
Glomerulonephritis Related to Staphylococcal Infection. Medicine
(Baltimore). 

8. Isselbacher dkk. 2012. Harrison Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam, Alih


bahasa Asdie Ahmad H., Edisi 13, Jakarta: EGC
9. Mosquera J, Pedreañez A. 2021. Acute post-streptococcal glomerulonephritis:
analysis of the pathogenesis. Int Rev Immunol. 2021;40 (6):381-400
10. Prodjosudjadi, W, et al. 2017. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II,
edisi VI. Jakarta : Internal Publishing Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit
Dalam.. Hal: 2074 -2080

27

You might also like