You are on page 1of 16

TUGAS PATOLOGI REPRODUKSI

SHIPILIS
Dosen Pengampu : Bd.Anggrawati Wulandari, S.Keb., M.Kes

DI SUSUN OLEH
KELOMPOK 3

1. YOVINIA : 2281A0630
2. FEBBY NINDI A. N : 2281A0628
3. APRIYANI YUDISTRIYATI : 2281A0626
4. OKTOVINA WERFETE : 2281A0604
5. NOVITA M. ARIANI : 2281A0627

PROGRAM STUDI S1 KEBIDANAN


FAKULTAS KEPERAWATAN DAN KEBIDANAN
INSTITUT ILMU KESEHATAN STRADA
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Sifilis merupakan penyakit infeksi menular seksual yang disebabkan oleh
bakteri Treponema pallidum. Sifilis juga disebut sebagai “the great imitator” dimana
infeksi ini dapat menyerang semua organ tubuh serta memberikan gambaran klinis
yang menyerupai banyak penyakit. Sifilis dapat ditularkan melalui hubungan seksual,
transfusi darah serta ditularkan dari ibu ke janin.
Sifilis tetap menjadi masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia. Insidens
sifilis di dunia meningkat bervariasi menurut letak geografik. Berdasarkan Global
AIDS Response Progress Reporting (GARPR) terdapat 5,6 juta kasus sifilis pada laki-
laki dan perempuan usia 15-49 tahun. Setelah menurun pada tahun 2000, jumlah
kasus sifilis di Amerika Serikat meningkat dan sekarang melebihi 55.000 kasus baru
setiap tahun. Terdapat 30.644 kasus sifilis primer dan sekunder pada tahun 2017,
meningkat 76% sejak tahun 2013. Kasus sifilis kongenital sebanyak 918 kasus,
meningkat 154% dibandingkan tahun 2013.
Penularan sifilis biasanya melalui kontak seksual dengan pasangan terinfeksi,
kontaklangsung dengan lesi terinfeksi, transfusi, dan jarum suntik. Sifilis juga
meningkatkan risiko penularan dan transmisi virus humanB immunodeficiency virus
(HIV). Sifilis dapat disembuhkan pada tahap awal infeksi, tetapi apabila tidak
mendapat pengobatan adekuat dapat menjadi infeksi sistemik dan berlanjut ke fase
laten. Gejala penyakit sifilis sangat berkurang sejak ditemukannya penisilin pada
tahun 1940-an. Pengobatan sifilis yang efisien sangat penting untuk mengontrol sifilis
secara efektif.
B. TUJUAN
BAB II
PMBAHASAN
A. DEFINISI SIFILIS
Sifilis merupakan penyakit infeksi menular seksual yang disebabkan oleh bakteri
Treponema pallidum, merupakan penyakit kronis dan bersifat sistemik, selama
perjalanan penyakit dapat menyerang seluruh organ tubuh. Terdapat masa laten tanpa
manifestasi lesi di tubuh, dan dapat ditularkan kepada bayi di dalam kandungan.

B. Mikrobiologi Treponema pallidum


Treponema merupakan anggota dari famili Spirochaetaceae dalam orde
Spirochaetales. Walaupun Treponema pallidum merupakan agen infeksi penting, hanya
sedikit dipahami mengenai mekanisme aksi atau virulensinya.19,20
Treponema pallidum adalah organisme yang berbentuk spiral dan sangat motil dengan
ujung yang meruncing dan memiliki 6 sampai 14 spiral. Dari bentuknya yang silinder,
panjang bakteri mencapai sekitar 6 sampai 15 mm dan lebar mencapai 0,25 mm. T.
pallidum adalah organisme yang memiliki metabolisme yang lambat. 7,8 Bakteri T.
pallidum memiliki beberapa karakteristik, seperti:
a. Membran luar T. pallidum sebagian besar adalah lipid dan mengandung sedikit
protein. Hal ini menimbulkan tatangan dalam mengembangkan tes diagnostik
yang akurat dan vaksin yang efektif. Kondisi tersebut semakin dipersulit karena
T. pallidum hanya dapat dibudidayakan melalui inokulasi ke dalam testis kelinci.
b. Urutan genom T. pallidum menunjukkan organisme tersebut memiliki
keterbatasan dalam biosintesis dan katabolik. T. pallidum dapat meggunakan
katbohidrat, namun tidak mampu untuk mensinstesis asam lemak. Selain itu, T.
pallidum juga memiliki beberapa set enzim yang digunakan untuk membentuk set
molekul.
c. Bakteri T. pallidum merupakan bakteri gram negatif yang memiliki membran luar
dengan membran dalam yang hanya berisi beberapa membran protein integral.
Karateristik ini membantu dalam memberikan pemahaman mengenai bagaimana
organisme dapat menimbulkan proses inflamasi dan respon imunologis. T.
pallidum memiliki keterbatasan dalam jumlah protein permukaan sehingga
permukaan sel bakteri T. pallidum hanya dapat dipresentasikan pada beberapa
target untuk respon imun host. Dengan demikian bakteri T. pallidum dapat
menghindari kliren imunologis.
d. Organisme T. pallidum bereplikasi secara lambat, waktu untuk membelah diri
dikalkulasikan mencapai 30-33 jam pada tahap awal penyakit. Atas dasar
tersebut, maka untuk mencapai pengobatan sifilis dini yang efektif sangat
diperlukan pemeliharaan konsentrasi serum minimal selama 7-10 hari tanpa
interupsi. Selain itu, keterbatasan biosintesis T. pallidum juga tercermin dari tidak
adanya fakta mengenai strain T. pallidum yang resisten terhadap penisilin.
Gambar 2.1. Treponema pallidum
e. Sebagian besar kasus sifilis dapat ditularkan melalui kontak seksual (vaginal,
anogenital, dan orogenital), tetapi juga dapat menyebar secara kongenital (pada
kehamilan melalui transplasenta atau selama persalinan melalui jalan lahir).
Penularan melalui produk darah juga telah dilaporkan terjadi pada beberapa
kasus. Bakteri dapat masuk melalui mikrotrauma dari kulit atau mukosa. Bakteri
bereplikasi, kemudian menuju ke kalenjar limfe, masuk ke pembuluh darah dan
menyebar secara sistemik dalam waktu 24 jam. Infeksi akan menunjukkan
manifestasi klinis dalam rentang waktu 10 – 30 hari setelah T. pallidum masuk
dan menimbulkan lesi primer.
C. Gejala Klinis
Manifestasi awal penyakit sifilis dapat berupa makula kecil, yang kemudian
menjadi papul dan mengalami ulserasi. Ulkus biasanya tunggal, tidak nyeri, dasar
bersih dan relatif tidak memiiki pembuluh darah, meskipun kaang dapat multipel.
Dapat terjadi limfadenopati inguinal bilateral. Pada pria, lesi umumnya ditemukan di
sulkus koronal pada glan penis atau batang penis, sedangkan pada wanita lesi
ditemukan pada vulva, dinding vagina, atau pada servik. Lesi ekstragenital jarang
terjadi. Apabila tidak diobati, ulkus akan menghilang secara spontan dalam waktu 3-8
minggu tanpa meninggalkan bekas luka.
Pada pasien yang tidak mendapat pengobatan, onset tahap sekunder penyakit
dapat terjadi pada 6 minggu hingga 6 bulan setelah infeksi awal. Lesi primer mungkin
masih tetap ada ketika lesi sekunder secara klinis terjadi. Bentuk utama dari sifilis
sekunder adalah ruam kulit dapat berbentuk makula, papular atau papulo-skuamosa
yang terlihat pada telapak tangan dan telapak kaki, namun dapat tersebar pada seluruh
tubuh. Ruam bisa disertai dengan limfadenopati generalisata dan demam, sakit kepala,
serta malaise. Pada sifilis sekunder juga dapat ditemukan kondilomata lata. Gejala
tersebut dapat mengalami remisi spontan dan menghilang dalam 2 – 6 miggu.
Apabila sifilis sekunder tetap tidak terdiagnosis dan tidak mendapat
pengobatan, seluruh manifestasi yang terlihat dari penyakit sembuh secara spontan
dan pasien akan masuk ke periode laten yang dapat berlangsung selama beberapa
tahun. Sifilis laten dibagi menjadi infeksi laten awal dan laten akhir, dengan garis
pembagi yaitu 1 tahun setelah terjadinya infeksi. Selama tahap laten dari penyakit,
tidak ada lesi kulit atau selaput lendir untuk sampel. Oleh karena itu, diagnosis harus
berdasarkan hasil pengujian serologis dan tidak adanya tanda-tanda dan gejala sifilis
tersier.
Sifilis tersier secara umum dipertimbangkan sebagai tahap destruktif dari
penyakit. Gejala dapat muncul beberapa tahun setelah infeksi awal, meskipun proses
penyakit dapat berlanjut lebih cepat pada pasien yang terinfeksi Human
Immunodeficiency Virus (HIV). Manifestasi sifilis tersier dapat berupa lesi
noduloulseratif destruktif yang disebut gumma, osteomielitis, osteitis, kekakuan dan
nyeri gerak dengan disertai berbagai tanda akan terjadinya meningitis, kejang,
penurunan kesadaran, berbagai penyakit kardiovaskuler dan neurosiphilis.
D. Diagnosis Sifilis
Diagnosis sifilis didasarkan pada evaluasi klinis, deteksi organisme penyebab,
dan konfirmasi dari penyakit dengan pemeriksaan laboratorium. Treponema pallidum
tidak dapat dilakukan kultur di laboratorium, tetapi dapat diidentifikasi pada lesi
menggunakan pemeriksaan lapangan gelap atau mikroskop fluoresensi atau dengan
teknik molekuler. Pada individu yang asimtomatis, dapat dilakukan tes serologi untuk
skrining terhadap infeksi. Serologi masih merupakan metode yang paling reliabel
untuk diagnosis laboratorium sifilis.
Uji serologis dibagi menjadi tes nontreponemal dan treponemal. Diagnosis
serologi konvensional menggunakan pendekatan dua langkah, yaitu skrining pertama
dengan metode nontreponemal, dan kemudian menggunakan tes konfirmasi yang
menggunakan metode antigen treponema untuk mengkonfirmasi hasil tes skrining
positif. Uji nontreponemal juga dapat digunakan untuk memonitor respon pengobatan.
Pemeriksaan histologis dapat dilakukan pada individu dengan lesi yang tidak
khas, dimana pemeriksaan ini ditandai dengan ditemukannya infiltrat perivaskuler
yang terdiri dari limfosit dan plasma sel. Selain itu dapat ditemukan endarteritis
obliterans dan endoplebitis, proliferasi endothelial serta penebalan dinding pembuluh
darah yang dikelilingi sel infiltrat. Selanjutnya dapat terjadi obliterasi dan trombosis
pembuluh darah yang menyebabkan nekrosis. Pada sifilis sekunder dapat ditemukan
spirochaetes pada sayatan yang diberi pewarnaan Levaditi. Sedangkan pada sifilis
tersier yang berbentuk gumma dapat dijumpai vaskulitis granulomatosa.
E. Terapi sifilis
Pengobatan sifilis menggunakan penisilin G yang diberikan secara parenteral.
Penisilin merupakan pilihan obat untuk tatalaksana sifilis pada semua stadium.
Preparat yang digunakan seperti benzathine, aqueous procaine, atau aqueous
crystalline. Dosis dan lama pengobatan disesuaikan dengan stadium dan manifestasi
klinis yang muncul dari penyakit. Pengobatan untuk sifilis laten lanjut dan sifilis
tersier memerlukan waktu yang lebih lama, karena organisme penyebab mungkin
membelah secara lambat. Pengobatan yang lebih lama juga dibutuhkan pada individu
dengan sifilis laten yang tidak diketahui secara pasti durasi individu tersebut terinfeksi
sifilis. Pemilihan preparat penisilin yang tepat memegang peranan penting, karena T.
pallidum dapat berada pada area yang sulit diakses oleh beberapa jenis penisilin,
misalnya area sistem saraf pusat dan cairan humour akueus. Kombinasi penisilin
benzathine, procaine dan preparat penisilin oral dianggap tidak tepat digunakan
sebagai pengobatan sifilis.
Pemantauan pengobatan sifilis dilakukan dengan evaluasi klinis dan serologis
pada 6 dan 12 bulan setelah pengobatan. Respon serologi (titer) harus dibandingkan
dengan titer saat pengobatan berlangsung. Individu yang memiliki tanda dan gejala
menetap atau kambuh dan mereka yang setidaknya mengalami empat kali lipat
peningkatan titer tes nontreponemal secara persisten selama lebih dari 2 minggu,
dapat dikategorikan mengalami kegagalan pengobatan atau re-infeksi. Individu-
individu tersebut harus diobati ulang dan re-evaluasi terkait infeksi HIV.
F. Infeksi Sifilis pada Kehamilan
Patogenesis Sifilis pada Kehamilan
Sifilis pada kehamilan biasanya diperoleh melalui kontak seksual, dimana
pada sifilis kongenital, bayi mendapatkan infeksi sifilis dari transmisi transplasental
dari Treponema pallidum. Penularan melalui hubungan seksual membutuhkan
paparan mukosa yang lembab atau lesi kulit pada sifilis primer atau sekunder. Pasien
dengan penyakit sifilis yang tidak diobati tampaknya dapat pulih, namun dapat
mengalami kekambuhan dalam periode sampai dengan dua tahun. Oleh karena itu,
seseorang dapat lebih berisiko menularkan sifilis pada tahun pertama dan kedua dari
periode terinfeksi sifilis yang tidak diobati.
Tingkat penularan infeksi sifilis pada pasangannya, dalam satu kali kontak
seksual diperkirakan mencapai 30%. Infeksi sifilis terjadi secara sistemik, treponema
menyebar melalui aliran darah selama masa inkubasi. Pada ibu hamil yang terinfeksi
treponema dapat mentransmisikan infeksi pada fetus dalam uterin segera setelah onset
infeksi. Transmisi pada fetus intra uteri tersebut dapat didokumentasikan secara dini
pada minggu kesembilan kehamilan. Ibu hamil terinfeksi sifilis yang berada pada
stadium laten, tetap berpotensi untuk menularkan infeksi pada fetus.

a. Manifestasi Klinis Infeksi Sifilis pada Kehamilan


Sifilis pada kehamilan memberikan manifestasi yang sama dengan infeksi
sifilis secara umum, hanya saja mayoritas wanita hamil yang didiagnosis dengan
sifilis masih berada dalam tahap asimptomatis. Adapun gejalanya dapat dibedakan
berdasarkan tingkat sifilis, yaitu:
1. Primer
Lesi awal sifilis adalah papul yang muncul di area kelamin pada 10-90 hari (rata-
rata 3 minggu) setelah terpapar. Papul berkembang sampai berdiameter 0,5-1,5 cm
dan setelah kira-kira satu minggu terjadi ulserasi yang menghasilkan chancre
tipikal dari sifilis primer (ulkus bulat atau sedikit memanjang, dengan tepi yang
mengeras sebanyak 1-2 cm).

Gambar Chancre pada sifilis primer


Ulkus tersebut memiliki dasar yang bersih dengan diameter 1-2 cm, tanpa
disertai rasa nyeri. Selain itu, pada ulkus genital juga ditemukan pembesaran
kelenjar getah bening inguinal dan seringkali terjadi secara bilateral. Pada sifilis
primer, biasanya ditemukan lesi soliter tetapi lesi multipel juga dapat terjadi. Lesi
primer pada area non-genital dapat terjadi, namun gambarannya dapat berupa lesi
atipikal, khususnya pada area anal. Chancre sifilis primer pada umumnya terjadi di
area genital, perineal atau anal. Walaupun demikian, beberapa bagian tubuh yang
lainnya juga dapat terkena. Kebanyakan chancre ditemukan pada penis (untuk
pria), dan labia atau servik (untuk wanita). Chancre pada wanita ini cenderung
tidak mudah terlihat dan tidak nyeri. Akibatnya, sifilis primer pada wanita tidak
mudah terdiagnosis hingga berkembang menjadi sifilis sekunder. Di lain pihak,
chancre dapat sembuh secara spontan dalam 3-6 minggu melalui mekanisme imun
tubuh, walaupun tanpa mendapatkan pengobatan.

2. Sekunder
Dalam beberapa minggu atau bulan, penyakit dapat berkembang disertai
beberapa perubahan seperti demam dengan suhu rendah, malaise, radang
tenggorokan, nyeri kepala, adenopati, dan ruam pada kulit ataupun mukosa. Pada
tahap ini terjdi penyebaran T.Pallidum secara luas melalui sistem hematogen dan
limpatik, hal ini dibuktikan melalui temuan pada darah, kelenjar limfa, biopsi hati,
dan cairan serebrospinal. Sekitar 25% pasien sifilis sekunder memiliki kelainan
pada cairan serebrospinal, dengan adanya peningkatan jumlah sel, protein, dan
temuan T.Pallidum.
Temuan awal pada stadium ini berupa ruam berwarna tembaga yang hilang
dengan cepat, dimana keluhan ini seringkali tidak disadari pasien sehingga
terlewatkan saat pemeriksaan. Beberapa hari kemudian muncul erupsi
makulopapular yang simetris pada daerah badan dan ekstrimitas, termasuk telapak
tangan dan kaki. Lesi berwarna merah kecoklatan, menyebar, dan berdiameter 0,5-
2 cm. Biasanya ruam disertai sisik, walau terkadang halus, folikular, ataupun pada
kasus jarang bisa disertai pustula, kecuali pada bagian telapak tangan dan kaki.
Lesi pada mukosa dapat berupa lesi kecil yang superfisial, ulkus dengan tepi
keabuan yang tidak nyeri (biasanya dianggap sebagai sariawan/apthous ulcer yang
tidak nyeri), ataupun dapat juga berupa sebagai plak keabuan yang lebih besar.
Gastritis erosiva juga dilaporkan terjadi pada beberapa kasus.
Kondiloma lata merupakan sebuah istilah yang digunakan untuk lesi putih atau
keabuan yang besar, meninggi, dan biasa ditemukan di daerah yang hangat dan
lembab. Lesi ini merupakan manifestasi dari sifilis sekunder yang mengalami
perubahan kulit pada area yang hangat dan lembab, seperti aksila dan daerah lipat
paha. Saat ini kondiloma lata seringkali ditemukan di daerah sekitar chancre
primer, utamanya daerah perineum dekat anus, hal ini kemungkinan diakibatkan
oleh penyebaran secara langsung treponema dari lesi primer. Sifilis sekunder
merupakan penyakit sistemik, sehingga dokter tidak boleh lalai hanya
memperhatikan manifestasi dermatologisnya saja.
Sifilis laten merupakan infeksi sifilis yang tanpa gejala klinis, namun hasil tes
serologisnya positif. Selain pemeriksaan serologis, dapat juga dilakukan
pemeriksaa cairan serebrospinal untuk mengeksklusi neurosifilis asimptomatis,
walaupun kebanyakan dokter tidak melakukan pungsi lumbal pada semua pasien
dengan kemungkinan sifilis laten.
3. Tersier
Kejadian morbiditas dan mortalitas dari sifilis utamanya diakibatkan oleh
manifestasi dan keterlibatan penyakit pada kulit, tulang, sistem saraf pusat (SSP),
ataupun organ viscera, utamanya jantung dan pembuluh darah besar. Interval waktu
dari awal infeksi hingga manifestasi stadium tersier dari penyakit ini bervariasi dari 1
hingga 20 tahun. Penelitian pada era sebelum penggunaan antibiotik menyatakan
sepertiga kasus infeks sifilis yang tidak diobati akan berkembang menjadi komplikasi
tersier, dimana neurosifilis merupakan komplikasi tersering. Sifilis tersier secara
umum dibagi menjadi tiga kelompok yaitu: neurosifilis, sifilis kardiovaskular, dan late
benign syphilis.
Setelah invasi spirocheta pada SSP saat sifilis stadium awal, infeksi yang tidak
diobati dapat sembuh sendiri, atau berkembang menjadi meningitis sifilis asimtomatik,
ataupun berkembang menjadi meningitis sifilis simptomatik. Perkembangan
selanjutnya dapat menuju sifilis meningovaskular (biasanya 5-12 tahun pasca infeksi
primer) atau terus berkembang menjadi paresis (18-25 tahun).
Sifilis meningovaskular dapat melibatkan beberapa bagian pada SSP.
Manifestasinya berupa hemiparesis atau hemiplegia (83% kasus), afasia (31%), and
kejang (14%). Sekitar 50% pasien lainnya mengalami gejala umum seperti pusing,
nyeri kepala, insomnia, gangguan memori dan mood selama beberapa minggu hingga
bulan, yang diakibatkan gangguan perfusi.
Late benign syphilis atau gumma merupakan proses inflamasi granulomatosa
proliferatif yang bersifat destruktif pada jaringan. Kebanyakan terjadi pada kulit dan
tulang, dengan frekuensi yang lebih jarang pada mukosa dan viscere seperti otot, dan
struktur okular. Manifestasi pada kulit dapat berupa nodular atau nodul ulseratif dan
lesi soliter.
4. Dampak Infeksi Sifilis Pada Kehamilan
Sifilis primer maupun sekunder yang tidak mendapat penatalaksanaan selama
kehamilan akan 100% berefek pada janin, dimana 50% dari kehamilan dalam
kondisi ini akan menghasilkan kelahiran prematur atau kematian perinatal. Sifilis
laten dini pada kehamilan yang tidak diterapi dapat menyebabkan angka
prematuritas atau kematian perinatal sekitar 40%. Sepuluh persen janin yang lahir
dari ibu dengan sifilis lanjut yang tidak diterapi menunjukkan tanda-tanda infeksi
kongenital, dan angka kematian perinatal meningkat hingga sepuluh kali lipat.
Kendati sifilis jarang dapat ditularkan secara seksual setelah lebih dari dua tahun
terinfeksi, wanita dengan sifilis yang tidak diterapi dapat tetap infeksius terhadap janin
yang dikandungnya hingga beberapa tahun lamanya. Sejumlah penelitian terbaru telah
mengkonfirmasi prognosis sifilis pada kehamilan yang tidak mendapat terapi. Pada 56
kasus yang dilaporkan, hanya 7 di antaranya yang mendapat terapi selama kehamilan,
dimana 34% dari kasus tersebut mengalami stillbirth, dan angka rerata usia kehamilan
saat kelahiran adalah 32.3 minggu. Penelitian lain menunjukkan adanya insiden
kelahiran prematur sebesar 28% pada kelompok wanita penderita sifilis yang
mendapat terapi selama masa kehamilan. Bukti presumtif adanya sifilis kongenital
tampak pada 15 (26%) kasus dari 57 wanita yang diterapi (tidak selalu adekuat) yang
ditemukan pada usia kehamilan 24 minggu dan pada 41 (60%) wanita dari 70 wanita
yang mendapat terapi pada trimester ketiga.
Berdasarkan penelitian meta analisis yang dilakukan terhadap 6 artikel mengenai
adverse pregnancy outcomes pada wanita dengan sifilis, didapatkan kematian janin,
kematian neonatus, kelahiran prematur, serta berat badan lahir rendah merupakan
manifestasi yang paling sering ditemukan. Gejala infeksi sifilis ditemukan pada 15%
bayi yang lahir dari ibu sifilis yang tidak mendapatkan terapi.

5. Dampak Infeksi Sifilis Pada Bayi


Infeksi sifilis pada kehamilan meningkatkan risiko infeksi transplasenta pada
janin sebesar 60-80%. Risiko infeksi tersebut semakin meningkat terutama pada
trimester kedua kehamilan. Transmisi dari ibu ke bayi semakin tinggi pada infeksi
sifilis primer atau sekunder yang tidak mendapatkan terapi (risiko sebesar 60-90%),
pada sifilis laten dini risiko penularan mencapai 40% dan 10% pada sifilis laten lanjut.
Sebanyak 2/3 kehamilan dengan sifilis memberikan gejala asimtomatis saat bayi lahir,
namun infeksi tetap ada dan dapat bermanifestasi segera setelah lahir ataupun
bertahun-tahun paska kelahiran. Adapun manifestasinya dapat diklasifikasikan
menjadi sifilis kongenital dini dan sifilis kongenital lanjut. Lesi sifilis kongenital dini
dan lanjut dapat sembuh namun meninggalkan jaringan parut dan beberapa kelainan,
disebut juga stigmata sifilis kongenital.
6. Sifilis pada Kehamilan
Skrining sifilis pada kehamilan merupakan aspek penting yang harus
dilakukan selama masa kehamilan. Deteksi dini yang memadai pada masa kehamilan,
berperen secara efektif dalam mengobati dan mencegah transmisi sifilis. Skrining
sifilis pada kehamilan mencakup:
a. Semua wanita hamil harus diskrining sifilis pada kunjungan pertama pelayanan
antenatal.
b. Wanita yang berisiko tinggi mengalami sifilis dan wanita yang tinggal di daerah
dengan morbiditas sifilis yang tinggi harus melakukan pemeriksaan ulang antara
minggu ke-28 dan 32 kehamilan serta saat melahirkan.
c. Pada ibu yang tidak mendapatkan pemeriksaan adekuat selama masa kehamilan,
pemeriksaan Rapid Plasma Reagin (RPR) harus dilakukan pada saat melahirkan.
d. Setiap ibu dan bayi yang tidak memiliki status sifilis maternal terdokumentasi, tidak
dapat meninggalkan rumah sakit tanpa dilakukannya skrining.

e. Setiap ibu yang mengalami kematian janin setelah usia 20 minggu kehamilan harus
dilakukan pemeriksaan sifilis.

f. Ibu hamil yang seropositif harus mendapatkan terapi, kecuali mereka memiliki
dokumentasi pengobatan yang adekuat dengan respon serologis yang tepat sesuai
dengan pengobatan dan titers dinyatakan rendah serta stabil.

g. Ibu paska terapi sifilis, apabila memiliki respon yang baik terhadap pengobatan dan
memiliki titer serofast rendah (Venereal Disease Research Laboratory (VDRL) < 1: 2
dan RPR < 1:4), tidak memerlukan terapi ulang.

h. Wanita dengan titer antibodi yang persisten dan lebih tinggi dapat mengindikasikan
terjadinya infeksi ulang.

Menurut Centers for Disease Control and Prevention (CDC) 2015, rekomendasi
skrining sifilis pada ibu hamil meliputi:
1. Skrining dilakuan pada semua ibu hamil pada kunjungan pertama prenatal.
2. Jika ibu hamil memiliki risiko tinggi, maka tes ulang secara dini dilakukan
pada trimester ketiga kehamilan dan pada saat persalinan.

7. Diagnosis Sifilis pada Kehamilan


Metode paling spesifik dan sensitif dalam mendiagnosis sifilis primer ialah
dengan menemukan treponema dari sediaan cairan yang diambil dari permukaan
chancre yang kemudian diperiksa dibawah mikroskop lapangan gelap. Ruam sifilis
primer dibersihkan dengan larutan NaCl fisiologis, kemudian tekan bagian
dalam/dasar lesi hingga didapatkan serum. Serum diperiksa dengan mikroskop
lapangan gelap, dengan menggunakan minyak emersi. Treponema pallidum
berbentuk ramping, bergerak lambat dan berangulasi. Hasil yang baik dapat
diperoleh selama tidak ada riwayat terapi atibiotik ataupun penggunaan obat
topikal di daerah pengambilan spesimen sebelumnya. Bahan apusan juga dapat
diperiksa menggunakan mikroskop fluoresensi, dimana bahan apusan dioleskan
pada gelas objek, difiksasi dengan aseton, diberi fluoresen. Namun hasilnya tidak
sebaik mikroskop lapangan gelap dan tidak spesifik.
Beberapa pemeriksaan antibodi non spesifik yang dapat dilakukan :
1. Tes Non-treponemal (RPR, VDRL)
Kedua tes RPR dan VDRL dapat mendeteksi antibodi terhadap
kardiolipin, yang merupakan komponen membran sel dari T.pallidum. Hasil tes
yang positif perlu dikonfirmasi dengan pemeriksaan treponema. Tes non-
treponemal berfungsi untuk menentukan aktifitas penyakit dan respon terhadap
terapi. Contohnya peningkatan empat kali lipat dari titer dari hasil sebelumnya
(1:2 menjadi 1:8) mengindikasikan re-infeksi; penurunan titer empat kali lipat
pasca pengobatan (1:32 menjadi 1:8) mengindikasikan respon yang baik terhadap
pengobatan.
2. Tes Treponemal (TPHA, Elisa, FTA-Abs)
Hasil tes yang reaktif akan tetap reaktif seumur hidup bahkan sesudah
diterapi secara tepat. Hasil ini mengindikasikan adanya paparan infeksi sifilis dan
tidak menjadi indikator aktifitas penyakit.

8. Penatalaksanaan Sifilis pada Kehamilan


Penisilin merupakan terapi baku emas untuk infeksi sifilis pada ibu hamil. Hingga
saat ini belum ditemukan adanya strain T. pallidum yang resisten terhadap penisilin
secara signifikan. Tujuan terapi penisilin pada ibu hamil adalah untuk menangani
penyakit ibu, mencegah transmisi pada janin dan menangani penyakit sifilis yang telah
terjadi pada janin. Penanganan sifilis pada ibu hamil mengikuti regimen yang sesuai
dengan stadium penyakitnya (tabel 3).
Stadium Sifilis Penanganan
Primer/Sekunder/Laten awal Benzatin penisilin G 2.4 juta unit IM
dosis tunggal
Laten akhir/Tersier/durasi tidak diketahui Benzatin penisilin G 7.2 juta unit,
Neurosifilis diadministrasikan dalam tiga dosis 2.4
juta unit IM dalam interval 1 minggu
Aqueous crystalline penisilin G, 18
hingga 24 juta unit perhari,
diadministrasikan dalam 3 – 4 juta unit
IV setiap 4 jam atau sebagai infus
kontinius selama 10-14 hari
Atau
Procaine penisilin G, 2.4 juta unit IM
1x/hari ditambah probenecid 500 mg PO
4x/hari selama 10-14 hari

Beberapa kepustakaan merekomendasikan dosis kedua benzatin penisilin


diberikan setelah satu minggu setelah dosis awal untuk memperbaiki kemungkinan
respon serologis.
Alergi penisilin dilaporkan pada 5 hingga 10 persen wanita hamil. Pada ibu
hamil dengan alergi penisilin, pengunaan antibiotika lain tidak direkomendasikan.
Pasien perempuan yang tidak hamil dengan riwayat alergi penisilin dapat diterapi
dengan antibiotika lain, namun pada ibu hamil regimen lain tidak efektif.
Antibiotika golongan eritromisin dan azitromisin tidak ditemukan efektif,
tetrasiklin dikontraindikasikan pada ibu hamil, sementara pengunaan ceftriaxone
belum diketahui secara pasti karena kurangnya data mengenai efikasi.
Terapi yang direkomendasikan pada ibu hamil dengan alergi penisilin adalah
desensitisasi penisilin. Desensitisasi penisilin merupakan prosedur dimana pasien
dipaparkan penisilin dengan dosis bertahap hingga mencapai dosis efektif. Setelah itu
pasien diberikan terapi penisilin yang sesuai. Prosedur desensitisasi harus dilakukan
oleh tenaga kesehatan yang terlatih dengan ketersediaan alat untuk menangani reaksi
anafilatik. Desensitisasi oral umumnya lebih sederhana dan aman.
Terapi siflilis pada ibu hamil dapat memicu reaksi Jarisch-Herxheimer. Reaksi
ini merupakan reaksi febril akut yang disertai dengan nyeri kepala, mialgia, bercak dan
hipotensi. Gejala-gejala ini diperkirakan terjadi akibat pelepasan liposakarida
treponema dari spirosit yang mati. Umumnya reaksi mulai muncul satu hingga dua jam
setelah terapi, mencapai puncak pada delapan jam dan berkurang dalam 24 hingga 48
jam. Reaksi ini dapat memicu kontraksi uterus, kelahiran pre-term, dan gangguan
irama jantung fetus. Namun resiko terjadinya reaksi Jarisch-Herxheimer bukan
merupakan kontraindikasi pemberian penisilin pada ibu hamil. Reaksi Jarisch-
Herxheimer ditangani secara suportif.
Evaluasi titer serologis antibodi nontreponemal harus dilakukan dalam 1, 3, 6,
12, dan 24 bulan setelah terapi. Jika terapi efektif, maka dapat diharapkan titer
berkurang 4-6 kali dalam 6 bulan pasca terapi dan menjadi non reaktif dalam 12
hingga 24 bulan. Titer yang meningkat hingga 4x atau tidak berkurang menunjukan
kegagalan terapi atau reinfeksi.
9. Pencegahan Transmisi Infeksi Sifilis dari Ibu ke Bayi
Sifilis kongenital sebagai satu manifestasi transmisi infeksi sifilis dari ibu ke
bayi, terjadi akibat kurang adekuatnya skrining terhadap infeksi menular seksual pada
masa kehamilan. Hal tersebut mengakibatkan penanganan infeksi sejak dini tidak
dapat dilakukan.
Pencanangan program penatalaksanaan prenatal pada semua wanita hamil
tetap menjadi dasar program pencegahan sifilis transmisi sifilis dari ibu ke bayi.
World Health Organization telah mencanangkan Global Strategic Plan untuk
mengeliminasi sifilis kongenital, yang terdiri dari 4 pilar, yaitu a) memastikan komitmen
politik yang berkelanjutan dan advokasi; b) meningkatkan akses, kualitas serta pelayanan
kesehatan maternal dan bayi baru lahir; c) melakukan skrining dan pengobatan pada
wanita hamil dan pasangannya; seta d) membangun pengawasan, pemantauan dan system
evaluasi. Selain itu, WHO bersama-sama dengan Program for Appropriate Technology
and Health (PAHO) menginisisasi dual testing project untuk mengeliminasi sifilis
kongenital. Metode pada program tersebut adalah dengan melakukan tes untuk
menemukan T.pallidum dan HIV secara bersamaan, dengan sampel dan peralatan
yang sama, sehingga seluruh wanita hamil akan mendapatkan tes skrining untuk HIV
dan sifilis secara bersamaan. Berdasarkan hal-hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa
skrining sejak awal kehamilan merupakan poin yang penting untuk mencegah
transmisi sifilis dari ibu ke bayi.
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Sifilis merupakan infeksi menular seksual disebabkan oleh Treponema
pallidum sub spesies pallidum. Manifestasi klinis tergantung stadium primer,
sekunder, laten, atau tersier. Terapi sifilis berdasarkan pada stadium klinis. Penisilin
adalah lini pertama terapi untuk semua stadium. Selain sebagai alat diagnostik, tes
serologis juga dapat digunakan sebagai follow-up respons terapi.

B. SARAN
Sebagai tenaga kesehatan kita perlu lebih baik lagi dalam menangani penyakit
sifilis sehingga penularannya dapat di atasi.
DAFTAR PUSTAKA

Giovani, Vina. 2016. Infeksi Sifilis Pada Kehamilan. Unud Rsup Sanglah. Bali

You might also like