You are on page 1of 4

PERAN MEDIA DALAM MERESPON ISU PEREMPUAN

Media dan perempuan keduanya saling mempengaruhi. Terkhusus kerkhusus bagaimana


pengaruh media merepresentasikan perempuan yang diwarnai eksploitasi perempuan dalam
bentuk steoreotype keliru ataupun dalam bentuk komoditaspelaris produk saja. Memang
sekilas ini tidak disadari oleh penikmat media karena sudah saking lumrahnya, sehingga
sangat diperlukan adanya pengembalian peran perempuan sebagaimana mestinya di media
dan tidak terkesan hanya menjadi objek diskriminatif belaka. Pemberitaan media pada
umumnya belum secara proporsional merespon isu perempuan. Media tak jarang seakan
memframing perempuan hanya patut ke ranah domestik saja seperti ibu rumah tangga,
pengasuh anak, pelaris losmetik dan kecantikan bahkan ketika menjadi tokoh publik, tak
jarang framing ini masih diselipkan seakan bicara "Perempuan itu kalo ga cantik ga dapat
atensi". Oleh karena itu penting bagi pegiat media untuk menyadari bahwa setiap
pemberitaan kalian terhadap perempuan dapat menciptakan citra perempuan dalam
khalayak. Maka ada setidaknya dua strategi yang bisa dilakukan pegiat media. Yang
pertama perlu adanya pegiat media yang sadae gender ketika membuat berita sehingga
tidak menampilkan berita yang membuat perempuan terugikan. Pemberitaan yang tidak
sensitif mengenai hal gender seharusnya sudah dibuang. Karena, banyaknya berita-berita
itu semakin mengamini stereotype negatif perempuan. Jika media dikelola oleh "orang
orang terbelakang" berpotensi menelanjangi perempuan dalam pemberitaanya. Yang kedua
: diperlukan adanya upaya penyadaran secara masif dan sistematis untuk pegiat media agar
berprespektif gender dengan mengangkat etika jurnalistik yang berlaku. Pentingnya
penyadaran etika jurnalistik sangat mempengaruhi penekanan pemberitaan perempuan
sebagaimana mestinya dan sesuai kaidah dan etika jurnalistik. Dalam hal ini, setiap pegiat
media memiliki peran vital dalam meningkatkan kualitas media yang dimiliki, jika pegiat
media sudah memiliki pemahaman yang komprehensif akan kualitas media yang
dikembangkannya maka bisa mengangkat pemberitaan sosok perempuan sebanding
ataupun proporsional dengan kaum laki-laki dan tidak mendiskriminasikan kaum wanita.
Media massa sebagai "watch dog" sangat diharapkan dapat berperan penting dalam
memberikan edukasi kepada masyarakat tentang apa yang dialami dan dirasakan oleh
perempuan yang menjadi korban kekerasan dengan tepat, serta dapat mengedepankan
jurnalisme yang damai dalam mengangkat isu konflik. Kasus kekerasan terhadap
perempuan sering sekali terjadi di Indonesia, bahkan menurut pengamatan Komnas
Perempuan pada tahun 2019, angka kekerasan terhadap perempuan meningkat menjadi
10% dari tahun sebelumnya. Kasus kekerasan terhadap perempuan juga tidak luput menjadi
pemberitaan media massa di Indonesia. Media massa sendiri memiliki kemampuan dalam
mengkontruksi realitas dan media merupakan salah satu instrumen utama dalam
membentuk konstruksi isu gender pada masyarakat. Menurut Noelle-Neumann salah satu
sifat media massa yaitu ubikuitas (ubiquity) mengacu kepada fakta bahwa media
merupakan sumber informasi yang sangat luas karena terdapat dimana saja, dengan kata
lain ubikuitas adalah kepercayaan bahwa media terdapat di mana-mana. Karena media
terdapat di mana saja maka media menjadi instrumen yang sangat penting, dapat
diandalkan dan selalu ada ketika orang membutuhkan informasi. Media berusaha mendapat
dukungan publik terhadap pandangan atau pendapat yang disampaikannya, dan selama itu
pula pandangan atau pendapat itu terdapat di mana-mana (Morrison, 2013: 531). Media
massa memiliki beberapa kelebihan diantaranya jangkauan yang luas, dengan waktu yang
tidak terbatas sangat sekali efektif untuk menyebarkan isu, media pun menjadi alat untuk
menyebarkan isu gender kepada masyarakat. Maka dari itu, kemudian media memiliki
pilihan untuk memberitakan isu gender sebagai bentuk pembelajaran kepada pembaca,
sebagai kritik, atau bahkan menjadikan isu gender ini sebagai komoditas (Jurnal
Perempuan, 2010: 136). Media massa yang diminati oleh masyarakat di zaman ini adalah
media online (internet). Pengguna internet menggunakan situs untuk mendapatkan berita.
Menurut Straubhar dan LaRose (2007: 149) dalam buku komunikasi massa yaitu dua
sampai tiga pengguna internet mengakses situs untuk mendapatkan berita terbaru setiap
minggunya. Media online memang lebih diunggulkan dari media lainnya karena dapat
diakses di mana saja, kapan saja dan jenis penyajian beritanya berupa gambar, gambar
bergerak, teks maupun audio. Ditengah-tengah kondisi dimana masih banyak korban
kekerasan yang masih takut untuk melapor, keterbatasan literasi masyarakat, dan
keterbatasan ketersediaan gawai untuk melapor secara online, peran media massa sangat
membantu dalam memberikan informasi terkait kasus kekerasan terhadap perempuan. Oleh
karena itu, kami sangat berharap dalam mengangkat isu terkait kekerasan terhadap
perempuan, media dapat mengangkat sisi edukasi kepada masyarakat. Selain itu,
diharapkan semakin banyak lagi wartawan yang menulis terkait isu kekerasan terhadap
perempuan yang memiliki sensitivitas atau perspektif korban dalam mengangkat isu ini.
Kekerasan terhadap perempuan konteksnya begitu luas, kami paham bahwa media ingin
terlibat membantu korban, namun konstruksi masyarakat atau sosial yang ada di dalam
pikiran menghalangi kita untuk dapat menyebutkan apa yang dialami korban dengan tepat,
karena hal tersebut turut membingkai bagaimana kasus ini akan di adovokasikan. Oleh
karena itu, media diharapkan mampu untuk memperdalam pengetahuan tentang kekerasan
terhadap perempuan, serta mengedepankan jurnalisme damai karena memiliki dampak pada
komunitas yang menghadapinya. Faktor penyebab masih banyaknya pemberitaan yang
belum memiliki perspektif gender diantaranya belum tercapainya kesetaraan gender,
minimnya jurnalis perempuan di sebuah media, masih sedikitnya jurnalis perempuan yang
menduduki posisi penting dalam pengambilan keputusan redaksi.

Jurnalis perempuan rentan menjadi korban pelecehan seksual serta masih melekatnya
setereotip kepada jurnalis perempuan yang seringkali diabaikan. Bagi masyarakat Indonesia
yang mayoritas beragama Islam, tentunya bisa memahami bahwa didalam kitab suci umat
Islam, yaitu Al Qur'an sudah sangat jelas memberi petunjuk bahwa tidak mengajarkan
diskriminasi antara laki-laki dan perempuan mempunyai derajat dan kedudukan yang sama.
Oleh karena itu pandangan pandangan yang banyak menyudutkan kaum perempuan sudah
selayaknya diubah, karena Al Qur'an selalu menyerukan keadilan, keamanan dan
ketentraman, mengutamakan kebaikan dan mencegah kejahatan. Adapun peran perempuan
untuk mengisi media massa bisa dalam beberapa model,
yakni: pertama, menunjukan prestasi diri, maksudnya sosok perempuan di media massa
mampu menunjukkan jati diri seorang perempuan sehingga bisa menonjolkan aspek
prestasinya yang tidak kalah dengan laki-laki dan dapat bersaing, seperti prestasi akademik
atau karier di kancah perpolitikan, pekerjaan dan sebagainya. Hal ini perlu menjadi perhatin
bagi perempuan agar menghilangkan pandangan bahwa perempuan hanya bisa mengisi di
media massa hanya terkait sensasionalitas dengan hanya penampilan tubuh saja namun ada
sisi-sisi lain yang lebih bagus, bermanfaat dan beretika yang dapat dikonsumsi oleh public.
Ketiga memberi edukasi, artinya memberikan nilai-nilai edukasi kepada penikmat media
massa dengan pesan-pesan moril yang bagus, sehingga mengangkat citra seorang
perempuan yang anggun dan bisa disegani oleh kaum laki-laki. Ini penting dilakukan agar
memberi kesan baik bahwa sosok perempuan juga memiliki bagian untuk memberikan
edukasi kepada publik, sehingga latar belakang pendidikan seorang perempuan ini menjadi
penting untuk ditingkatkan dan dikembangkan secara terus menerus.

You might also like